Phalaenopsis x Renanthera Phalaenopsis x Vandopsis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Induksi Variasi Somaklonal dengan Iradiasi Sinar Gamma pada Kalus Phalaenopsis
Langkah utama dalam pemberian perlakuan mutagenik adalah estimasi dosis yang cocok untuk induksi mutasi. Metode yang tepat untuk penentuan dosis iradiasi pada suatu tanaman telah dilakukan oleh banyak peneliti dengan cara menentukan radiosensitivitas (Predieri 2001). Radiosensitivitas dapat diestimasikan melalui respon fisiologis bahan tanaman yang diiradiasi. Determinasi dosis dapat ditentukan berdasarkan reduksi pertumbuhan vegetatif dari bahan yang diradiasi (LD50) jika dibandingkan dengan tanaman kontrol pada siklus vegetatif yang pertama (M1V1).
Setelah dilakukan iradiasi pada kalus, kalus langsung dipindahkan pada media agar yang baru, selanjutnya diamati tingkat lethalitas kalus selama beberapa minggu hingga lethalitas maksimum. Data yang diperoleh, diolah menggunakan program CurveExpert 1.3 dan menunjukkan nilai LD50 pada ketiga klon berkisar antara 15-22 Gy (Tabel 8). Hasil menunjukkan bahwa secara genetik tingkat radiosensitivitas kalus
masing-masing klon berbeda. Genotipe klon 377 merupakan genotipe yang radiosensitivitasnya paling rendah (LD50 22 Gy), sedangkan genotipe klon 642 merupakan genotipe yang paling sensitif di antara ketiganya (15.3 Gy). Radiosensitivitas genotipe SGN-PV2.11 berada di antara kedua klon tersebut (16.2 Gy).
Tabel 8 LD50 pada kalus 3 klon Phalaenopsis akibat iradiasi sinar gamma.
Klon Persamaan LD 20 (Gy) LD 50 (Gy) 377 Y= 92.72-2.36x + 0.02x2 + 0.0001x3 5.7 22.0 642 Y=89.58 - 2.958 x + 0.024x2 3.3 15.3 SGN-PV2.11 Y= 101.2 - 4.07x + 0.062x2 + 0.0003x3 5.7 16.2
Pada penelitian lain yang dilakukan pada mutasi Phalaenopsis dengan menggunakan bahan plantlet diperoleh bahwa LD 50 diperoleh pada dosis 32.5 Gy (Khamla et al. 2007) dan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kurniati (2004) dosis lethal yang diperoleh untuk iradiasi plantlet Phalaenopsis silangan Phal. Hinamatsuri x Dtps. Modern Beauty adalah sebesar 27.8 Gy, sedangkan pada kalus Phal. amabilis ’formosa x Phal. Taipei Gold’GS membutuhkan dosis optimum 10 Gy. LD50 biasanya digunakan sebagai tolok acuan dosis untuk meradiasi material yang akan dimutasikan, tetapi Shirong (2008) menyatakan bahwa untuk menentukan dosis optimum yang dapat menimbulkan mutan tetapi tidak melukai jaringan somatik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah dosis yang menyebabkan 60-70% tanaman yang hidup (LD30-40). Hussin et al (2008) juga menyatakan dosis optimum yang diterapkan untuk menginduksi mutan adalah 20% di atas dan 20 % di bawah dosis optimumnya. Berdasarkan hal ini perlakuan dosis diambil interval lebih kecil untuk dengan tujuan diperoleh mutan yang lebih banyak.
Daya Regenerasi Kalus Phalaenopsis pasca iradiasi
Iradiasi kalus menyebabkan daya regenerasi tanaman setiap klon berbeda. Secara keseluruhan persentase kalus yang mampu bertunas berkisar antara 27-87% dan memiliki daya regenerasi dalam setiap gerombol kalus berkisar antara 3-8 plantlet setiap gerombol kalus dalam pengamatan selama 12 MST.
Tabel 9 Pengaruh perlakuan dosis iradiasi pada kalus embriogenik klon SGN- PV2.11, 642 dan 377 terhadap persentase kalus yang bertunas dan jumlah tunas per kalus selama 12 minggu setelah tanam (MST).
Klon dan Dosis iradiasi Kalus bertunas (%) Rata-rata Jumlah tunas per kalus Klon 377 0 47.0 4.2c 20 53.3 7.4ab Klon 642 0 5 33.3 40.0 3.0cd 5.5b 15 27.0 6.0b Klon SGN-PV2.11 0 47.0 6.2b 2,5 80.0 7.6ab 5 75.0 8.4a 10 87.0 3.6c 15 27.0 4.25c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf α 5%.
Dosis tertentu menyebabkan kalus berdeferensiasi lebih banyak. Pada klon 377 dosis 20 Gy yang sesuai LD50 menyebabkan deferensiasi kalus menjadi plantlet lebih banyak dibandingkan dengan diferensiasi kalus yang tidak diradiasi. Sebaliknya pada klon SGN-PV2.11 dan 642 diferensiasi kalus yang diiradiasi dengan dosis LD50 yaitu 15 Gy menyebabkan kemampuan difrensiasi kalus menjadi plantlet masing-masing lebih rendah.bila dibandingkan dengan diferensiasi kalus menjadi plantlet yang tidak diradiasi (Tabel 9). Apabila dosis diturunkan kurang dari 15 Gy, diferensiasi kalus menjadi lebih tinggi pada kedua klon yaitu SGN-PV2.11 dan 642. Hal tersebut dapat dijelaskan dari sifat radiosensitivitas klon 377 yang rendah sehingga dengan dosis iradiasi yang tinggi masih mampu berdeferensiasi, sedang klon SGN-PV2.11 dan 642 yang memiliki radiosensitivitas lebih tinggi dari klon 377 kemampuan deferensiasi kalus lebih rendah dari pada klon 377.
Dosis iradiasi juga menyebabkan kemampuan berdeferensiasi meningkat dari pada tanpa iradiasi. Kemampuan regenerasi tanaman pada kalus yang diradiasi juga meningkat daripada regenerasi tanaman pada kalus tanpa iradiasi. Kemampuan setiap klon untuk beregenerasi juga berbeda. Pada klon 377, pemberian iradiasi 20 Gy meningkatkan jumlah plantlet per kalus dari 4 menjadi 7 plantlet. Iradiasi 5 Gy dan 15 Gy pada klon 642 meningkatkan jumlah palntlet dari 3 menjadi 5-6 plantlet,
sedang pada klon SGN-PV2.11, dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5 Gy mampu beregenerasi lebih banyak dari pada dosis 10 dan 15 Gy. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosis iradiasi tertentu dapat menyebabkan meningkatnya kemampuan berdeferensiasi dan beregenerasi suatu tanaman secara in vitro. Borzonei et al. (2010) mendapatkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa dosis iradiasi 100 Gy meningkatkan 25% berat kering tanaman gandum, sedang penelitian Melki and Salami (2008) mendapatkan peningkatan hasil yang meningkat pada 15 Gy daripada 0 Gy.
Pembentukan generasi M1V4 melalui embriogenesis langsung
Irradiasi menyebabkan sebagian sel menjadi tidak normal dan berada di antara sel-sel normal. Selama proses pembelahan, sel termutasi berkompetisi dengan sel-sel normal untuk bertahan hidup. Proses ini dinamakan seleksi diplontik. Sel termutasi yang mampu bertahan hidup apabila sel tersebut berasal dari materi yang diperlakukan dengan mutagen secara in vitro, akan terekspresi menjadi tanaman mutan solid (Datta et al. 2005).
Proses pembentukan mutan solid pada materi kultur in vitro ditempuh dalam pembentukan beberapa turunan generasi. Berdasarkan protokol IAEA (2001), untuk mendapatkan mutan solid diperlukan generasi paling sedikit 4 generasi. Pada materi yang didapatkan secara in vitro disebut M1V4, oleh karena itu dalam penelitian ini diperlukan pembentukan generasi M1V4. Pembentukan generasi M1V4 dilakukan sesuai dengan cara perbanyakan materi yang digunakan. Materi yang berupa tunas adventif atau tunas aksilar dan memiliki batang dapat dibentuk M1V4 dengan cara menanam kembali ruas-ruas batang yang memiliki mata tunas dan diulang hingga 3- 4 kali penanaman. Materi yang diperbanyak melalui pembentukan kalus dapat dilakukan perbanyakan dengan cara organogenesis atau embriogenesis langsung dan diulang 3-4 kali pembentukan plantlet secara organogenesis atau embriogenesis langsung.
Gambar 10 Embriogenesis langsung pada pembentukan M1V4. Kalus –kalus bening muncul dari irisan daun pada media E1 (a), E2 (b), E3 (c) di ruang gelap. Perubahan kalus menjadi calon tunas setelah kalus dipindahkan ke ruang terang pada media E1 (d), E2 (e), E3 (f).
Proses pembentukan generasi M1V4 pada Phalaenopsis dapat dilakukan melalui pembentukan kembali kalus yang berasal dari daun generasi sebelumnya, tetapi membutuhkan waktu lebih lama. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih cepat yaitu melalui embriogenesis langsung. Pada embriogenesis langsung, mula-mula terbentuk kalus bening (Gambar 10a-c) dalam ruang gelap selama 8 minggu. Selanjutnya inkubasi dipindahkan pada ruang terang, dan menyebabkan proliferasi kalus tidak terjadi, tetapi langsung berubah menjadi calon plantlet.
Pengaruh media EL1, EL2 dan EL3 terlihat pada gambar 12 serta tabel di bawah. Secara visual kalus yang menyerupai calon embrio atau biasa disebut protocorm-like bodies (plb’s) terbentuk paling banyak pada EL3. Pada tabel 10 terlihat bahwa media EL1 tidak mampu merangsang terbentuknya embrio karena tidak adanya hormon. Media EL2 dan EL3 mampu mendorong terjadinya diferensiasi pada ketiga macam klon. Eksplan daun klon SGN-PV2.11 mampu membentuk plb sebesar 13.3- 57.8%, pada klon 642 mampu membentuk embrio sebanyak 13.3 - 48.9% sedangkan 377 hanya 13.3 - 17.8%. Pengaruh dosis iradiasi juga terlihat jelas pada tabel 10 tersebut. Dosis 2.5 Gy lebih responsif dibandingkan dengan 5 Gy.
a
b
c
Tabel 10 Persentase pembentukan tunas M1V4 melalui embriogenesis langsung menggunakan eksplan daun selama 12MST
Media & Klon Dosis
(Gy) Perubahan eksplan (%) % Eksplan terbentuk plb Rata-rata jumlah tunas per eksplan 12 MST
Coklat Hijau Berkalus
Klon SGN-PV2.11 EL1 0 80.0 22.2 0.0 0.0 0.0 d 2.5 31.1 66.7 17.8 13.3 1.3 c 5 33.3 66.7 48.9 40.0 5.5 ab EL2 0 75.6 24.4 0.0 0.0 0.0 d 2.5 31.1 66.7 44.4 31.1 1.9 c 5 24.4 75.6 53.3 48.9 6.6 a EL3 0 73.3 28.9 0.0 0.0 0.0 d 2.5 26.7 71.1 66.7 42.2 4.6 b 5 26.7 72.2 53.3 57.8 6.9 a Klon 642 EL1 0 82.2 20.0 0.0 0.0 0.0 c 5 37.8 60.0 22.2 15.6 3.9 ab 15 40.0 60.0 46.7 40.0 3.6 b EL2 0 77.8 22.2 0.0 0.0 0.0 c 5 31.1 35.6 35.6 13.3 4.8 ab 15 24.4 75.6 53.3 48.9 5.0 a EL3 0 80.0 20.0 0.0 0.0 0.0 c 5 42.2 55.6 44.4 35.6 5.1 a 15 42.2 62.2 42.2 33.3 4.7a Klon 377 EL1 0 84.5 15.5 0.0 0.0 0.0 b 20 71.1 28.9 13.3 13.3 4.5 a EL2 0 75.6 24.4 0.0 0.0 0.0 b 20 44.4 55.6 22.2 15.6 3.9 b EL3 0 73.3 28.9 0.0 0.0 0.0 b 20 26.7 71.1 17.8 17.8 4.6 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada uji Duncan taraf α 5%. El (1/2 MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 1 mg.l-1 IAA), E2 (1/2
MS + 0,2 mg.l-1 TDZ + 0,2 mg.l-1 IAA), E3 (1/2 MS + 3,5 mg.l-1 TDZ + 1 mg.l-1
IAA), plb (protocorm-like bodi’s). Olah data rata-rata jumlah tunas telah dilakukan
transformasi logaritma.
Keragaman fenotipik plantlet akibat iradiasi sinar gamma
Rataan karakter kuantitatif jumlah daun yang tumbuh setelah 12MST (Tabel 11) terlihat bahwa baik yang berasal dari kalus yang tidak diberi perlakuan maupun dengan yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma tidak terjadi perbedaan yang menyolok. Rataan jumlah daun kontrol sebanyak 2.2 sama dengan jumlah daun pada perlakuan 2.5 Gy. Jumlah tertinggi dapat diperoleh pada 5 Gy. Gambaran umum pada dosis 5 Gy tampak memiliki penampilan yang lebih besar dibanding tanaman yang berasal dari perlakuan yang lain.
Pada percobaan ini populasi plantlet yang didapat dari berbagai dosis iradiasi pada 12 minggu setelah regenerasi diamati secara morfologi adanya abnormalitas pada daun yang ditimbulkan akibat iradiasi. Abnormalitas ini tidak terjadi semata- mata diakibatkan karena iradiasi saja, tetapi mungkin juga karena selama proses embriosomatik. Hal ini terlihat pada Tabel 12, bahwa pada plantlet hasil regenerasi kalus yang tidak diperlakukan dengan sinar gamma 0 Gy masih terjadi perubahan morfologi seperti tanaman menjadi roset.
Tabel 11 Rataan berbagai karakter kuantitiatif pada populasi varian Klon SGN- PV2.11, 642 dan 377 berumur 12 minggu setelah tanam (12 MST). Karakter kuantitatif tanaman 0 Gy 2.5 Gy 5 Gy 10 Gy 15 Gy 20 Gy Klon SGN-PV2.11 Jumlah daun 2.2 2.2 3.2 - - - Jumlah akar 1.8 2.0 2.4 - - - Panjang Daun (cm) 1.6 1.7 2.8 - - - Lebar Daun (cm) 0.9 1.2 1.4 - - - Klon 642 Jumlah daun 2.4 - - - 5.5 - Jumlah akar 2.2 - - - 3.8 - Panjang Daun (cm) 1.7 - - - 2.9 - Lebar Daun (cm) 0.9 - - - 1.1 - Klon 377 Jumlah daun 3.5 - - - - 4.2 Jumlah akar 1.4 - - - - 1.9 Panjang Daun (cm) 2.3 - - - - 2.4 Lebar Daun (cm) 0.7 - - - - 0.7
Keterangan : (-) tidak dilakukan.
Varian-varian yang berbeda morfologi terlihat banyak terjadi pada kalus yang mendapat dosis iradiasi antara 2,5 Gy dan 5 Gy. Pada 5 Gy ini juga didapatkan paling banyak tipe fenotip varian abnormal yaitu terdapat 5 macam keabnormalan daun seperti ujung daun terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh tanaman berwarna terbelah, roset, tepi daun warna merah, daun atau seluruh tanaman berwarna merah serta lembaran daun yang seharusnya melebar, hal ini tidak terjadi tetapi menggulung sehingga menyerupai terompet (Gambar 11). Data juga menunjukkan bahwa klon 642 paling sedikit abnormalitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa klon ini cukup kuat karakternya sehingga dengan dosis yang lebih tinggi, abnormalitas yang ditemui hanya sedikit. Demikian juga pada klon 377 dari 380 plantlet hanya 21 plantlet yang mengalami abnormalitas.
Tabel 12 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi varian klon SGN-PV2.11, 377 dan 642 yang diregenerasikan dari kalus embriogenik setelah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 12 MST
Klon Phalaenopsis dan karakter varian
Jumlah dan persentase varian diantara populasi plantlet yang diregenerasikan dari kalus dengan berbagai dosis iradiasi
0 Gy 2.5Gy 5Gy 10Gy 15Gy 20Gy
Klon SGN-PV2.11 (102) * (216) (980) (45) (32)
Tepi daun bergerigi 0 0 9(0.9) 0 0 -
Ujung daun terbelah 1(0.9) ** 5(2.3) 4(0.4) 0 0 -
Daun roset 7(6.8) 12(5.6) 8(0.8) 0 0 -
Daun warna merah 0 14(6.5) 22(2.2) 0 0 -
Daun terompet 0 5(2.3) 3(0.3) 0 0 -
Klon 377 (56) (380)
Tepi daun bergerigi 0 - - - - 0
Ujung daun terbelah 0 - - - - 8(2.1)
Daun roset 0 - - - - 10(2.6)
Daun warna merah 0 - - - - 0
Daun terompet 0 - - - - 0
Klon 642 (155) - - - (89) -
Tepi daun bergerigi 0 - - - 0 -
Ujung daun terbelah 0 - - - 0 -
Daun roset 0 - - - 2(2.2) -
Daun warna merah 0 - - - 0 -
Daun terompet 0 - - - 0 -
Keterangan : (b) * : angka yang b=jumlah planlet yang dievaluasi. p(q) ** : angka yang yang ditunjukkan oleh p = jumlah plantlet dengan fenotip varian dan q = persentase plantlet varian. (-) penelitian tidak dilakukan.
Gambar 11 Fenotip varian yang dihasilkan dari iradiasi sinar gamma (a) plantlet dengan duduk daun roset, (b) daun plantlet merah, (c) daun terompet, (d) daun bergerigi, (e) daun terbelah. Plantlet berumur 4 bulan.
Untuk menunjukkan variabilitas somaklonal dapat dievaluasi secara morfologi (Podwyszynski 2005), sitologi, biokimia dan molekuler (Zhao et al. 2005). Peroksidase merupakan isoenzym yang dapat ditemui di setiap fase tanaman (Kiarostami & Ebrahimzadeh. 2004), oleh karena itu peroksidase sering digunakan untuk mendeteksi varian dengan melihat variasi pita yang dapat dimunculkan pada gel isoenzim. Pada penelitian ini diuji analisis isoenzim dengan dua macam enzim antara lain peroksidase (PER), dan Aspartat aminotransferase (AAT).
Keterangan : 1.tetua betina Phal, 2. tetua jantan Vanda, 3. SGN-PV2.11/89E/5G/5.1 daun berombak,4.SGN-PV2.11/10E/5G/3.7 merah, 5.SGN-PV2.11/37E/2.5G/5.3 merah, 6. SGN-PV2.11/51E/2.5G/2.6 roset. 7.SGN-PV2.11/36B/2.5G/4.1 merah, 8.SGN-PV2.11/35D/2.5G/3.3 merah bercabang, 9. SGN- PV2.11/55E/2.5G/4.3 coklat muda, 10. SGN-PV2.11/38E/5G/6.5 daun terbelah, 11-14 SGN-PV2.11/BC8/0G, 15. tetua betina 642, 16. tetua jantan 642, 17-20 . klon 642 /14F/15G/1-5 normal, 21-24 klon 377/23F/20G/21-5, 25. tetua betina 377, 26. tetua jantan 377.
Gambar 12 Pita isoenzim peroksidase (PER) pada 26 sampel varian iradiasi sinar gamma dan tetua klon.
Terlihat pada gambar 12, analisis beberapa wakil varian yang terdiri dari 26 sampel klon varian hasil iradiasi sinar gamma SGN-PV2.11. Dari kelima jenis isoenzim yang dianalisis yaitu malat dehidrogenase (MDH), esterase (EST), aspartat aminotransferase (AAT), superoxid dismutase (SOD) dan peroksidase (PER), diketahui hanya ada 1 jenis enzim yang memberikan bentuk pita yang dapat dibaca yaitu peroksidase (PER). Pola pita isoenzim pada peroksidase tampak cukup jelas baik pada sampel plantlet varian maupun sampel tanaman tetuanya. Pita terjelas terlihat pada sampel - sampel varian klon 642 dan 377, sedangkan pada varian SGN- PV2.11 no 10 dan 11 saja yang memiliki pita cukup jelas. Muncul atau tidaknya pita isoenzim pada varian-varian hasil iradiasi sinar gamma menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya mutan.
Berdasarkan hasil pengujian dapat diambil kesimpulan :
1. Radiosensitivitas kalus ketiga klon berbeda. Klon 377 memiliki radiosensitivitas paling rendah diantara ketiga klon dengan LD50 sebesar 22 Gy. Klon 642 memiliki radiosensitivitas tertinggi dengan LD50 sebesar 15.3 Gy, sedangkan klon SGN-PV2.11 menunjukkan radiosensitivitas diantaranya yaitu 16.2 Gy.
2. Kemampuan deferensiasi dan regenerasi kalus Phalaenopsis meningkat dengan perlakuan iradiasi dosis rendah yaitu 2.5 – 5 Gy.
3. Dosis iradiasi 2.5 Gy dan 5 Gy merupakan dosis yang menyebabkan terjadinya varian hasil mutasi terbanyak berdasarkan karakter morfologi. 4. Beberapa abnormalitas fenotip daun muncul pada varian-varian yang
dihasilkan dari ketiga klon antara lain daun yang ujungnya terbelah, daun roset, daun tidak beraturan, daun terompet, daun berwarna merah.
5. Isoenzim peroksidase (PER) dapat digunakan untuk membedakan adanya varian dari hasil iradiasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahloowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutations- a new paradigm in plant breeding. Euphytica 119: 167-173.
Ashraf M, Cheema AA, Rhasid M, Qamar Z. 2003. Effects of gamma rays on M1 generation in Basmati Rice. Pak J Bot 35 (5): 791-795.
Ashraf M. 2009. Biotechnolocal approach of improving plant salt tolerance using antioxidant as marker. Bioechnol Adv 27: 84-93.
Borzonei A, Kafi M, Khazei H, Naseriyan B, Majdabedi A. 2010. Effects radiaton oo germination and physiological aspects of wheat (Triticum aestivum L). Pak J Bot 92(4): 2281-2290.
Çağirgan MI. 2009. Chlorophyl mutation-like chimeric cases induced by fast neutrons in M1 generation of a durum wheat. Turkish J Field Crops 14 (2): 159-161.
Datta SK, Mesra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for establishment of solid mutant in Chrysantmemum. Current Sci 88 (1); 155- 158.
Encheva J, Tsvetkova F, Ivanova P. 2003. A comparison between somaclonal variation and induced mutagenesis in tissue culture of sunflower line Z-8-A (Helianthus annuus L). Helia 26 (38): 91-98.
Gossal SS, Das S, Gopal J, Minocha JL, Chopra HR, Dhaliwal HS. 2001. In vitro induction of variability through radiation for late blight resistance and heat tolerance in potato. Di dalam. IAEA. In vitro techniques for selection of
radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions. Austria.
Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass (Brachiaria decumbens) by gamma irradiation. http://www-.google.w.id- /search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850=N
Kiarostami KH, Ebrahimzadeh. 2004. Study on changes of proteins, enzymes and chromosome number in regenerated plants of wheat (Triticum aestivum L.). J Sci. Islamic Rep Iran. http://sciences.ut.,ac.,ir/archive/Autumn- 2000/kiarostami_1142.pdf. Mei 2008.
Khamla CS, Anguravirutt S, Samuppito, Lamseejan S. 2007. Effect of gamma rays on in vitro cultures of fancy leaved Caladium (Caladium bicolor Vent).
http://www.scicoc.or.th/stt/32/sec_f/paper/stt32_FF0059
Kim JH, Baek MH, Chung BY, WiSG, Kim JS. 2004. Alteration in the photosinthesis pigments and antioxidant machineries of red pepper (Capsicum annum L) seedlings from gamma irradiated seeds. J Plant Biotechnol 47 : 314-321. Kovacs E, Keresztes. 2002. Effects of gamma and UV-B?C radiation on plant cell.
Micron 39: 199-210.
Kurniati, R. 2004. Induksi keragaman genetik Phalaenopsis Hinamatsuri x Doritaenopsis modern Beauty dan Phalaenopsis Taipei Gold’ GS’ Dengan menggunakan Iriradiasi sinar gamma. Sekolah Pasca Sarjana . IPB hal. 30-31.
Melki M, Salami D. 2008. Studies the effect of low dose of gamma rays on the behavior of Chickpea under various conditions. Pak J Biol Sci 11(19): 2326- 2330.
Miyazaki et al. 2006. Flower pigment mutations induced by heavy ion beam irradiation in an interspecific hybrid of torenia. Plant Biotech 23 : 163-167 Piluek C, Lamseejan S. 2005. Orchid improvement through mutation induction by
gamma rays. http://www.fnca.jp/english/eold/2 totuzenheni/3/2002ws/04/06- thailand/main.html. 1/7/2005.
Podwyszynska M. 2005. Somaclonal variation in micropropagated Tulips based on phenotype observation. J Fruit Ornamental Plant Res 13: 109-122.
Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185-210.
Reyes-Borja et al. 2007. Alteration of resistance to black sigatoka (Mycosphaerella fijiensis Morelet) in banana by in vitro irradiation using carbon ion-beam. Plant Biotech 24: 349-353.
Samad MA, Begun S, Majid MA. 2001 Somaclonal variation and irradiation in sugarcane calli for selection against red rot, water-logged condition and delayed or non-flowering character. Di dalam. IAEA. In vitro techniques for selection of radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions. Austria.
Seneviratne KACN, Wijesundara DSA. 2007. First African violets (Saintpaulia ionantha H. Wendl) with changing colour pattern induced by mutation. Am J Plant Physiol 2 (3): 233-236.
Sheela VL, Sarada S, Anita S. 2006. Development of protocorm-like bodies and shoot Dendrobium cv Sonia following gamma radiation. J Tropical Agric 44(1): 86-87.
Shirong Z, Luxiang L, Wang J. 2008. Induced Mutations for improvement of fruit Trees and Ornamental Plants China http://www.fnca.next.go.jp/englishhold- /2totuzeni/3/20ciws/04/01china/main_html.10/8/2008.
Soeranto, H. 2005. Pemuliaan Tanaman dengan Teknik Mutasi. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. 20 hal.
Viccini LF, de Carvalho CR. 2002. Meiotic chromosomal variation resulting from irradiation of pollen in maize. J Appl Genet 43 (4): 463-469.
Witjaksono, Litz RE. 2004. Effect of gamma irradiation on embryogenic avocado cultures and somatic embryo development. Plant Cell Tissue Organ Cult 77 : 139-147.
Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) PC49, compared to conventional plants. Plant Cell Tissue Organ Cult 82: 357-361.
INDUKSI VARIAN SOMAKLON DARI KALUS PHALAENOPSIS