• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

9. Bahasa Makassar

Bahasa Makssar juga disebut sebagai Basa Mangkasara' adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia.Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin.Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari setiap konsonan.Beberapa contoh kata atau ungkapan dalam bahasa Makassar dalam huruf Latin:

Makassar Arti Balla' Rumah Bulu' Bulu/Rambut Bambang Hangat/Panas Cipuru' Lapar

Doe' Uang

Iyo' Iya

Lompo Besar

Sallo Lama (untuk waktu) Tabe' Permisi

Tena Tidak Ada Mata Allo Mata Hari Jappa-jappa Jalan-jalan Lompo Besar Ca’di Kecil Sallo Lama Tabe’ Permisi Tena Tidak

Nia Ada

Karaeng Raja Motere Pulang Nganre Makan

10. Gambaran Sejarah Kota Bantaeng

Dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang Keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi.Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua. Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu.

Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding, dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan Daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini).

Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesuatu tempat permandian yang terbuat dari bambu). Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi Kerajaan Bantaeng.

Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka.

Tomanurung menyatakan kesediaannya, tetapi dengan syarat.“Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tetapi saya ibarat angin

dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.

Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.”(Saya terima permintaanmu tetapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun).

Maka jadilah Tomanurung ri Ontoini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto). Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain.Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat).

Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.

Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bantaeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun, kini hal itu hanya cerita.Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini.Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang, dan Lawi-Lawi.

Perlawanan Rakyat Bantaeng terhadap Penjajah Belanda.Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, di mana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasangan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran. Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri atas perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung)

sebagai anggotanya yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

11. Hakikat Pemertahanan Bahasa a. Pemertahanan Bahasa

Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 2006:193) bahwa menurutnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangakauan pemakaiannya bersifat nasional.

Namun ada kalanya bahasa pertama (B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.

Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 2006 : 11). Pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain

dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan.

Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Sebagai contoh kajian semacam itu dilakukan oleh Gal di Australia dan Dorial (dalam Oktavianus 2006:65) di Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang bahasa imigran melainkan tentang bahasa pertama (B1) yang cenderung bergeser dan digantikan oleh bahasa baru (B2) dalam wilayah mereka sendiri.

Kajian lain dilakukan oleh Liberson (dalam Sumarsono 1993:2) yang berbicara tentang imigran Perancis di Kanada, tetapi bahasa pertama (B1) mereka masih mampu bertahan terhadap bahasa Inggris yang lebih dominan, setidak-tidaknya hingga anak-anak mereka menjelang remaja. Masalah bergeser dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah hanya karena

masalah bahasa imigran, melainkan dipengaruhi oleh banyaknya faktor lain yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa.

Contoh kasus pemertahanan bahasa terjadi pada masyarakat Wonomulyo, Kabupaten Polman yang berasal dariJawa. Kasus pemertahanan bahasa Jawa ini disampaikan oleh Syamsuddin, 2004:147). Menurut Syamsuddin, penduduk Wonomulyo, Kabupaten Polman yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Mandar, tetapi menggunakan sejenis bahasa Jawa, sejak transmigrasiketika mereka yang berasal dari Pulau Jawa dan tiba di tempat itu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Jawanya.Pertama, wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis tidak terpisah. Kedua, adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Mandar untuk menggunakan bahasa Mandar dalam berinteraksi dengan golongan minoritas masyarakat migran meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Mandar.Ketiga, anggota masyarakat Mandar mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Transmigran ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyakat transmigran yang minoritas dan masyarakat Mandar

yang mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Mandar dalam berinteraksi intrakelompok dalam masyarakat mingran. Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari masyarakat. Bahasa jawa yang dia bawah sebagai konsekuaensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat migran, sedangkan bahasa Mandar dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Mandar.

Terjadi pemertahanan bahasa terjadi perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi, terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah masyarakat minoritas. Pemertahanan bahasa sendiri adalah suatu upaya agar bahasa tertentu dapat dipertahankan keberadaannya. Perubahan Bahasa adalah adanya perubahan kaidah (direvisi, menghilang atau muncul kaidah-kaidah baru dan semua itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik yaitu, Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Semantik, dan Leksikon.)

b. Faktor-faktor Strategis Pemertahanan Bahasa

Bertahan atau bergesernya sebuah bahasa, baik pada kelompok minoritas maupun pada kelompok imigran transmigran dapat disebabkan oleh banyak faktor. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor industrialisasi dan

urbanisasi/ transmigrasi merupakan faktor-faktor utama.

Fishman (1972:22) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Selain itu, faktor konsentrasi wilayah permukiman oleh Sumarsono (2002:27) disebutkan pula sebagai salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa.

Konsentrasi wilayah permukiman merupakan faktor penting dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang kecil jumlahnya pun dapat lebih kuat mempertahankan bahasanya, jika konsentrasi wilayah permukiman dapat dipertahankan, sehingga terdapat keterpisahan secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Faktor-faktor lain yang dapat mendukung pemertahanan bahasa adalah digunakannya bahasa itu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dalam penerbitan buku-buku agama, dan dijadikannya sebagai bahasa pengantar dalam upacara-upacara keagamaan.

Holmes dalam Language Maintenance and Shift in Three New Zealand Speech Community (Wardnaugh 1998: 14) menunjuk tiga faktor utama yang berhubungan dengan keberhasilan pemertahanan bahasa. Pertama, jumlah orang yang mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa ibu mereka.

Kedua, jumlah media yang mendukung bahasa tersebut dalam masyarakat (sekolah, publikasi, radio, dan lain-lain.) Ketiga, indeks yang berhubungan dengan jumlah orang yang mengakui dengan perbandingan total dari media-media pendukung.

Hal senada juga dinyatakan oleh Miller (dalam Syamsuddin 2004:65) yang mengklasifikasikan situasi kebahasaan yang hidup lestari, sakit-sakitan, atau bahkan mati dan punah bergantung kepada apakah anak-anak mempelajari bahasa ibunya, apakah penutur orang dewasanya berbicara dengan sesamanya dalam setting yang beragam menggunakan bahasa ibu tersebut, dan berapa jumlah penutur asli bahasa ibu yang masih ada.

Pergeseran dan pemertahanan bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Masalah pergeseran dan pemertahanan bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh faktor yang dilatarbelakangi oleh situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian praktis sebuah bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya. Faktor lain misalnya adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, dan kepentingan politik (Sumarsono 2002: 3).

Pada umumnya sekolah atau pendidikan sering juga menjadi penyebab bergesernya bahasa, karena sekolah selalu memperkenalkan bahasa kedua (B2) kepada anak didiknya yang semula monolingual, menjadi dwibahasawan dan akhirnnya meninggalkan atau menggeser bahasa pertama (B1) mereka.

Faktor lain yang banyak oleh para ahli sosiolinguistik adalah faktor yang berhubungan dengan faktor usia, jenis kelamin, dan kekerapan kontak dengan bahasa lain. Rokhman dalam Syamsuddin 2004:32) dalam kajiannya mengidentifikasikan tiga faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa pada masyarakat tutur Jawa dialek Banyumas, yakni faktor sosial, kultural, dan situasional.

Kajian tentang berbagai kasus tersebut di atas memberikan bukti bahwa tidak ada satupun faktor yang mampu berdiri sendiri sebagai satu-satunya faktor pendukung pergeseran dan pemertahanan bahasa. Dengan demikian, tidak semua faktor yang telah disebutkan di atas mesti terlibat dalam setiap kasus.Dapat disimpulkan bahwa faktor pemertahaan bahasa antara lain:

1) Faktor Prestise dan Loyalitas

Orang akan sangat bangga dengan budayanya termasuk dengan bahasa yang mereka gunakan. Artinya, nilai prestise dari language choice seseorang yang menggunakan bahasa

daerah mereka di tengah komunitas yang heterogen lebih tinggi tingkatannya dengan bahasa daerah lain.Situasi yang demikian menurut Dressler (dalam Aslinda 2007:45) merupakan langkah awal dari penghilangan atau pemusnahan sebuah bahasa. Dia juga menambahkan bahwa pada saat sebuah bahasa daerah kehilangan prestisenya dan kurang digunakan dalam fungsi-fungsi sosial, maka ia menyebutkan keadaan ini sebagai sebuah evaluasi sosiopsikologis negative (negative sociopsychological evaluation) dari sebuah bahasa. Pada kondisi inilah penutur asli sebuah bahasa daerah bisa dengan rela(voluntarily) mengubah bahasanya ke satu bahasa daerah lain yang lebih prestisius.

Kondisi yang paling dominan adalah di ranah keagamaan. Untuk acara-acara keagamaan, ritual-ritual pada acara kematian, kelahiran anak dan sebagainya, bahasa pengantar yang digunakan dalam acara-acara tersebut hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia melainkan bahasa daerah.

Kekhawatiran ini diantisipasi oleh pemerintah daerah dengan program kembali ke bahasa ibu. Program ini tidak hanya bersifat seremonial belaka namun lebih dimanifestasikan lagi pengembangannya di lembaga

pendidikan dasar. Dibeberapa daerah, semua sekolah dasar wajib mengajarkan bahasa daerah kepada murid-muridnya.

Hal ini sebenarnya merupakan penerapan apa yang dinyatakan oleh Fishman (dalam Ekoyanantiasih 2013:116) bahwafor language spread, schools have long been the major formal (organized) mechanism involved.

2) Faktor Migrasi dan Konsentrasi Wilayah

Migrasi sebenarnya merupakan salah satu faktor yang membawa kepada sebuah pergeseran bahasa. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Fasold (1984), Lieberson, S. (1982) bahwa bila sejumlah orang dari sebuah penutur bahasa bermigrasi ke suatu daerah dan jumlahnya dari masa ke masa bertambah sehingga melebihi jumlah populasi penduduk asli daerah itu, maka di daerah itu akan tercipta sebuah lingkungan yang cocok untuk pergeseran bahasa.

Pola konsentrasi wilayah inilah yang menurut Sumarsono (1990:27) disebutkan sebagai salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa.

3) Faktor Publikasi Media Massa

Media massa juga merupakan faktor lain yang turut menyumbang pemertahanan bahasa daerah. Format yang dipresentasikan pada media ini dikemas dalam bentuk iklan

(advertising). Untuk lebih akrab dengan pendengar dan pemirsa TV, pihak stasiun radio dan televisi lebih banyak mengiklankan produk-produk dalam bahasa daerah daripada bahasa lain. Situasi kebahasaan seperti ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Holmes bahwa salah satu faktor utama yang berhubungan dengan keberhasilan pemertahanan bahasa adalah jumlah media yang mendukung bahasa tersebut dalam masyarakat (publikasi, radio, TV, dan sebagainya).

c. Dampak Positif dan Negatif Masyarakat Bilingual atau Multilingual

Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru.

Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.

B. Kerangka Pikir

Interferensi adalah sebagai peristiwa pemakaian unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain yang terjadi pada segala tingkat unsur kebahasaan, yaitu cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk frasa dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, dan cara memberikan arti kata-kata tertentu Interferensi sebagai transfer negatif yaitu penggunaan suatu aturan bahasa asli yang mengarah ke suatu kesalahan yang tidak tepat pada bahasa target.

Interferensi sering terjadi pada seorang dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua. Interferensi sistemik akan terlihat dalam bentuk perubahan satu bahasa dengan unsur-unsur atau struktur bahasa yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa interferensi sistemik menunjukkan gejala perubahan sistem sebuah bahasa akibat pengaruh bahasa lain.

Kontak bahasa yang terjadi dalam diri dwibahasawan menimbulkan salin pengaruh antara B1 dan bahasa kedua. Kontak bahasa ini terjadi pada diri individu yang menggunakan kedua bahasa tersebut secara bergantian pada umumnya bahasa yang paling dikuasai oleh seorang dwibahasaan akan berpengaruh besar terhadap pemerolehan bahasa berikutnya.

Pengaruh bahasa Makassar terhadap bahasa Bugis atau sebaliknya, dapat terjadi pada setiap sistem atau unsur bahasa karena pembicara memakai sistem atau unsur bahasa Bugis dalam menggunakan bahasa Makassar atau sebaliknya. Sistem bahasa yang digunakan dapat berupa sistem fonologi, morfologi dan sintaksis penggunaan sistem bahasa tertentu pada bahasa lain disebut transfer.

Transfer yang dimaksud dapat berupa transfer positif dan transfer negatif. Transfer negatif inilah yang disebut interferensi. Transfer inilah yang menyebabkan terjadinya kesalahan berbahasa.

Dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang memegang peran penting yaitu (1) bahasa sumber ( bahasa donor ), (2) bahasa penyerap (resipien), dan (3) unsur serapan/inportase. Dalam peristiwa kontak bahasa mungkin pada suatu peristiwa suatu bahasa merupakan bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa merupakan bahasa resipien. Bahasa sumber adalah bahasa yang menjadi sumber dari unsur sarapan.Jika unsur serapan itu masuk kedalam suatu bahasa, maka bahasa yang dimaksudnya disebut bahasa penyerap (resipien).Dalam peristiwa masuknya unsur-unsur bahasa Bugis ke dalam penggunaan bahasa Makassar disebut juga interferensi.

Bagan Kerangka Pikir

KEDWIBAHASAWAN

KONTAK BAHASA

INTERFERENSISINTAKSIS ( B 1 )

BAHASA BUGIS

( B 2 )

BAHASA MAKASSAR

FONOLOGI MORFOLOGI

BAB III

METODE PENELITIAN

A. RancanganPenelitian

Rancangan penelitian pada dasarnyamembuatrencana suatukegiatan

sebelumpenelitiandilaksanakan.Penelitianinimenggunakanpendekata

n kualitatifmelaluilandasanteoretispada

pendekatanfenomenologis.Suparlan (dalam Achsin, 1993:180) mengatakanbahwalandasanberfikirpendekatan

kualitatifmerujukpadapemikiranMaxWeberyangmenyatakanpokok penelitian sosiologi bukanlahterletakpada gejala-gejala sosial yangdibentukmaupunnilai-nilaiyangsubstantif,melainkanpada

maknayangterbentukdari gejala sosial tersebut. Pendekatan kualitatif lebih mengedepankanadanyasuatu interpretasi terhadap suatuperistiwaataugejala-gejalatertentumelaluisuatuargumentasi

PENETRASI BAHASA BUGIS DI TENGAH PENUTUR BAHASA MAKASSAR

yangobjektif.Dari uraiandi ataspenulisberusahamemahamiperistiwadan

kaitannyaterhadaporang-orang dalamsituasitertentu.

Adapunpenelitianini dirancangsebagaiberikut.1)Penentuanlokasi penelitiansebagai sumberdata yangdiperolehdengan

mendatangitempat-tempatyangmenjadipusataktivitaspemertahananbahasaBugis

sehingga dapat

melakukanobservasidanmenyatudengankegiatannya;2)Memilihteoriy

ang akandigunakanuntuk mengkajidan

menganalisisdatayangdiperolehdalam penelitian;3) Menganalisisdanmenginterpretasikandata yangtelahdiseleksi; 4) Melakukanpenyusunanhasil(data)penelitiandan penulisantesis

B. LokasiPenelitian

Kajianpemertahananbahasa Bugisdi tengah penutur bahasa Makassar dilakukan diKabupaten Bantaeng.Jumlah informantidakdibatasi secaramutlak,tergantungpadatingkatkejenuhan dan keabsahandatayangdidapat.TerpilihnyaKabupaten BantaengsebagailokasipenelitiankarenaKabupaten Bantaeng sudah menjadi salahsatudestinasi tujuan ekonomi karena kabupaten ini sedang bergeliat dalam membangun diberbagai sektor.PendudukKabupaten Bantaeng sebanyak 176.699 jiwa yang menyebar di delapan kecamatan dengan kepadatan 446,4 jiwa/km.

Kabupaten ini di dominasi oleh penutur berbahasa Makassar, namun populasi pertambahan penduduk dari daerah sekitarnya sudah mulai banyak masuk ke kabupaten ini.

Uraianini menjadialasan penulisuntukmemilihKabupaten Bantaeng sebagai tempatyangtepatbagi penelitianpemertahananbahasaBugis di tengah penutur bahasa Makassar.Tempatpenelitianyangsesuai denganmasalahyangdikaji

menunjangpenulismemperolehdatayangakuratuntuk dianalisissecarailmiah

sehinggamendapatkantemuanyangberilmiahpula.

C. Jenisdan SumberData

Jenisdatayangdigunakandalampenelitianiniadalahdata

kualitatif,yaitu berupakata-kata, kalimat,danungkapan-ungkapansertaditunjang dengandata kuantitatif antaralainadalahdataberupatabelsepertijumlahpendudukKabupaten Bantaeng, jumlahpemelukmasing-masingagama,dan jumlahwisatawanyang berkunjung ke Kabupaten Bantaeng.Sumberdatadibedakanatas(a)sumberdataprimeryakniinform andanobjek

yangdiobservasidan(b)sumberdatasekunderyaknidatayangdiperolehda ri dokumensepertilaporan-laporan,disertasi,buku-buku,jurnal,teksyangrelevan sertadapatmenunjangpenelitianini.

D. TeknikPenentuanInforman

Penentuaninformandilakukandenganteknikpurposive

sampling,yaituteknikpenentuansampeldenganpertimbangantertentu

(Hadi, 1980:78).

Pertimbangantertentuyangdimaksudkanadalahdengan mengambilorang-orang

yangtelahdiketahuimempunyaipengetahuan,pengalaman,dan

memahami permasalahanpemertahananbahasa

Bugis.Informanyangmempunyaipengetahuan tentangpemertahananbahasaBugis,

penulisakanmendapatkanwawasan dan

uraiantentangperkembanganbahasa

Bugisdalameraglobalisasi;Informanyang berpengalaman tentangpemertahananbahasa Bugis dapatmemberiinformasi tentangkekuatan,hambatan,tantangan,serta peluangdalam upayapemertahanan

bahasaBugis.Jadidalamhaltersebut,ditunjangolehinformanyangmemah ami permasalahanbahasa Bugisuntukmenemukansolusi dalamupayapemertahanan bahasaBugisdalammasyarakatmayoritas penutur bahasa Makassardi Kabupaten Bantaeng.Informanyang dipilihadalahinformanyangtinggaldiKabupaten

Bantaengsesuailokasipenelitianini.

Teknikpenentuaninformandiawali

denganmenunjuksejumlahinformanyaituinformanyangmengetahui,me mahami,dan berpengalamansesuai dengan objek

penelitianini.Kemudianpenulismenentukaninforman-informanyanglainsesuai

dengankeperluanpenelitianiniyakniorangyangterlibatdalaminteraksi sosialyangditeliti, sebanyak 40 orang informan.

E. InstrumenPenelitian

MenurutNawawi (1992:69),dalampengumpulandatadiperlukanalat (instrumen)yangtepatagar

datayangberhubungandenganmasalahdantujuan penelitiandapat dikumpulkansecaratepat.Dalam penelitianini,instrumennya adalahpenelitisendirisebagaialatpengumpuldata utama.Karena penelitiyangmemahamisecaramendalamtentangobjekyangdikajinya.Se lamadilokasi,dia dibantu dengan alat pedoman wawancara dan

didukung dengan sejumlah

instrumenlainnyasepertibukucatatanuntukmencatathal-hal

pentingyangmenunjangkelancaranpenelitian;taperecorderyangakandig unakanuntukmerekaminformasidan

pendapatinformanyangberkaitandenganmasalah

penelitianpemertahananbahasa Bugis di tengah penutur bahasa

Makassardi Kabupaten Bantaeng;serta

cameragunakanuntukmendokumentasikankegiatan-kegiatan pentingyangberkenaandenganmasalahpenelitian.

F. MetodePengumpulanData Metode

pengumpulandatayangdipergunakandalampenelitianiniadalah(1)metod eobservasi,(2)metodewawancara,dan(3)studidokumen.

1.Observasi

Nawawi(1995:94)mengatakanmetodeobservasiadalahcarapen gumpulan

datayangdilakukanmelaluipengamatandanmencatatgejala-gejalayangtampak

padaobjekpenelitianyangpelaksanaanyalangsungpadatempatsuat uperistiwakeadaanatausituasi sedangterjadi.

Dalampenelitianinidigunakanmetode

observasilangsungmelaluipengamatandanpencatatanfenomena-fenomenamengenaipemertahananbahasaBugis di tengah penutur bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng.

Artinya

penulislangsungterjunkelokasipenelitianuntukmengamati

fenomenayangberkaitandengan upaya-upayaserta faktor

penunjang dan

pendukungpemertahananbahasaBugisyangdirekam

secaraaudiovisualdanjugamelakukanpencatatanatasfenomenaters skan kepadatujuanpenyelidik.Pada umumnyadua orang

atau lebih hadir secarafisikdalam

m penelitianinidigunakanwawancaraterbuka dan berfokus.

Artinyawawancarayangdilakukanterhadapinformandenganmengg unakanbantuan

pedomanwawancarayaitumembuatcatatantentangpokok-pokokyangakanditanyakansesuaidengantujuanpenelitiandanmeng

erucukpadamasalahpemertahananbahasa Bugis. Daftar pertanyaanataupedomanwawancarayangsesuaitujuansertamasal ah

penelitianakandapatmemperolehdatadanketerangandarisubjekpe nelitianyangakurat.

3. StudiDokumen

Nawawi (1992:

133)mengemukakanstudidokumenadalahcaramengumpulkandata yangdilakukandengankategorisasidan klasifikasibahan-bahantertulisyang berhubungandenganmasalah penelitian

baikdarisumber dokumenmaupunbuku-buku,

koran,majalah,laporan,studipustaka,dan lain-lain.Studi

koran,majalah,laporan,studipustaka,dan lain-lain.Studi

Dokumen terkait