• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETRASI BAHASA BUGIS DI TENGAH LINGKUNGAN PENUTUR BAHASA MAKASSAR DI KABUPATEN BANTAENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENETRASI BAHASA BUGIS DI TENGAH LINGKUNGAN PENUTUR BAHASA MAKASSAR DI KABUPATEN BANTAENG"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

i

MAKASSAR LANGUAGE SPEAKERS IN BANTAENG

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan Oleh

HASRIANI

Nomor Induk Mahasiswa: 105.04.09.039.14

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR 2016

(2)

ii

PENETRASI BAHASA BUGIS DI TENGAH LINGKUNGAN PENUTUR BAHASA MAKASSAR KABUPATEN BANTAENG

Yang disusun dan diajukan oleh

HASRIANI

NIM: 105.04.09.039.14

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis Pada tanggal 11 Juli 2016

Makassar, Juli 2016 Menyetujui

KomisiPembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H. M. Ide Said, DM., M. Pd. Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum.

Mengetahui,

Direktur Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Bahasa Indonesia

Prof. Dr. H. M. Ide Said, DM., M. Pd. Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum.

(3)

iii

Nama : Hasriani

Nim : 105.04.09.039.14

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal 11 Juli 2016 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 11 Juli 2016

TIM PENGUJI

Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd ………

(Ketua/Pembimbing/Penguji)

Dr. A. Rahman Rahim, M. Hum. ………

(Sekretaris/Pembimbing/Penguji )

Dr. Bahrun Amin, M. Hum ………

( Penguji 1 )

Dr. Syafruddin, M.Pd ………

(Penguji 2 )

(4)

iv Nomor Pokok :105.04.09.039.14

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proposal Tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan proposal tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Juli 2016

Yang Menyatakan

Hasriani

Nim. 105.04.09.039.14

(5)

v

Kebertahanan sebuah bahasa daerah merupakan simbol kebertahanan konsep nilai kebudayaan tradisional. Hilang atau punahnya bahasa daerah termasuk bahasa Bugis, maka hilang dan punah pula konsep nilai kebudayaan tradisional, karena kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti dengan baik melalui ungkapan bahasa daerah masyarakatnya.

Dengan kata lain, apabila bahasa daerah punah, citra dan jati diri masyarakatnya pun menjadi tidak jelas. Dengan mengangkat kasus pemertahanan bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan , penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa (2) mengetahui faktor penunjang dan penghambat penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar, dan (3) mengetahui dampak penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar. Metode yang digunakan adalah pendekatan sosiolinguistik dengan teknik kuesioner, wawancara, pengamatan, kemudian dianalisis dengan pola analisis SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng masih mempertahankan bahasanya dalam ranah keluarga baik ditinjau dari kategori umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Faktor-faktor yang mendukung pemertahanan bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng adalah loyalitas, kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), kebanggaan bahasa, umur, dan pekerjaan.

Kata Kunci: Penetrasi Bahasa Bugis dan dipengaruhi oleh keadaan responden

(6)

vi

Language Speakers in Bantaeng. Supervised by M. Ide Said DM and A. Rahman Rahim.

Viability of a regional language was a symbol of the survival of the concept of traditional cultural values

KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Tesis ini berjudul “Penetrasi Bahasa Bugis di Tengah Penutur Bahasa Makassar Kabupaten Bantaeng.

(7)

vii

kerendahan hati , penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said DM., M.Pd sebagai pembimbing I, dan Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum sebagai pembimbing II, dengan penuh kesabaran dan keikhlasan telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan , saran serta motivasi, sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, dan para Dosen serta karyawan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada M. Wahyuddin , S.Pd, S.PdI yang setiap saat memberikan izin mengikuti perkuliahan. Ucapan terima kasih ini pun penulis sampaikan kepada teman-teman di kelas C Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah menjadi kawan seperjuangan yang hebat.

Buat kedua orang tua, ibu mertua dan bapak mertua tercinta sembah sujud dan terima kasih atas kasih sayang, arahan, doa yang tak pernah putus kalian berikan untuk penulis. Kepada suami tercinta Muhammad Amin, S.Pd.

Terima kasihku untuk semua waktu, kesabaran, kesetiaan, dan motivasimu yang tidak henti kau berikan dari awal pendidikan hingga selesainya

(8)

viii

bantuan baik moril maupun material, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak sempat penulis sebutkan namanya, hanya kado doa penulis ucapkan semoga bernilai ibadah.

Akhirnya, penulis hanya berdoa semoga semua yang telah hadir memotivasi dan membantu penulis dapat menjadi amalan dan Tuhanlah membalas dengan kebaikan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti, pembaca, dan guru bahasa Indonesia sebagai bahan memperkaya pengetahuan tentang model pembelajaran. Amin!

Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khaerat.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iii

ABSTRAK……….. v ABSTRACK ……….

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR……… viii

DAFTAR LAMPIRAN……… ix

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN……….. x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ... 9

A. Kajian Pustaka ... 9

1. Penelitian yang Relevan ... 9

2. Pengertian Bahasa ... 11

3. Hakikat Bahasa ... 12

4. Hakikat Fonologi ... 17

5. Hakikat Morfologi ... 20

6. Hakikat Kedwibahasaan ... 24

7. Pengertian Sosiolinguistik ... 29

8. Bahasa Bugis ………. ... 34

9. Bahasa Makassar ... 37

10. Hakikat Pemertahanan Bahasa ... 42

B. Kerangka Pikir ... 54

(10)

x

C. Jenis dan Sumber Data ... 57

D. Teknik Penentuan Informan ... 57

E. Instrumen Penelitian ... 58

F. Metode Pengumpulan Data ... 59

G. Teknik Analisis Data ... 61

H. Teknik Penyajian Hasil ... 63

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN… ... 64

A. Hasil Penelitian.. ... 64

B. Pembahasan… ... 75

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN……… ………... 93

A. Simpulan… ... 93

B. Saran… ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

LAMPIRAN………. 98

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 3.1 Tabel Keadaan Responden Berdasarkan Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin 71

3.2 Tabel Keadaan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 72

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1 Contoh Angka dalam Bahasa Bugis 36

2.2 Contoh Kata dalam Bahasa Makassar 37

(12)

xii

4.1 Contoh kata dalam Morfologi bahasa Bugis 68

4.1 Contoh kata dalam Sintaksis bahasa Bugis 72

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Angket Kuisioner Instrumen Penelitian 93

2. Undangan Seminar Proposal 94

3. Izin Penelitian dari PPs Unismuh Makassar 95

(13)

xiii

6. Riwayat Hidup 98

DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL

Singkatan dan Simbol Makna/Arti

1. dll : dan lain-lain

2. Kel. : Kelurahan

3. Kec. : Kecamatan

4. Kab. : Kabupaten

(14)

xiv

8. KM : Kilo Meter

9. No. : Nomor

10. NIP : Nomor Induk Pegawai

11. NIM : Nomor Induk Mahasiswa

12. % : Persen

13. m : meter

DAFTAR ISTILAH

Homogeny : Persamaan macam, jenis, sifat, watak dari anggota suatu kelompok

Heterogen : Beraneka ragam

Diglosia : Situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam

masyarakat.

(15)

xv Homo Gramaticus : Sistem bunyi Etimologis : Asal-usul kata Morfologi : Pembentukan kata

Morfem : Satuan bentuk bahasa terkecil Afiksasi : Pengimbuhan

Reduflikasi : Pengulangan Bilingualism : Kedwibahasaan Handphone : Alat komunikasi

Purposive sampling : Teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu

Strengths : Kekuatan Opportunities : Peluang Weaknesses : Kelemahan

Treaths : Ancaman

Linguistic pride : Kebanggaan berbahasa Awareness of norm : Kesadaran akan norma Language loyality : Loyalitas bahasa

(16)

xvi

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Manusia memiliki alat komunikasi dan interaksi yaitu sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna dibandingkan dengan alat komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi yang baik antara masyarakat.

Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur ini akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolinguistik disebut bilingualisme dan diglosia.

(18)

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak.Sehingga menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki bahasa yang berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan lebih dari satu bahasa.Penggunaan lebih dari satu bahasa ini disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu bahasa disebut bilingual.Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu bahasa yang kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.

Di Sulawesi Selatan, selain bahasa Indonesia, terdapat pula bahasa daerah yang juga berfungsi sebagai alat komunikasi. Salah satunya adalah bahasa daerah Makassar. Dengan demikian, masyarakat Sulawesi Selatan juga merupakan masyarakat Dwibahasawan.Dalam komunikasinya, masyarakat ini senantiasa menggunakan kedua bahasa tersebut secara bergantian. Dalam proses inilah, persentuhan atau kontak di antara keduanya dapat terjadi.

Bahasa merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia.

Bahasa digunakan oleh bangsa Indonesia dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari- hari. Semua orang menyadari bahwa interaksi dan segala kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Chaer dan Agustina (2006:1) mengatakan bahwa bahasa digunakan oleh

(19)

penuturnya untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.

Bahasa sebagai alat komunikasi, digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi antar sesama dalam masyarakat karena manusia hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, bahasa juga hidup dalam masyarakat. Bahasa dan masyarakat sangat erat hubungannya.

Bahasa dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagian besar penutur bahasaI ndonesia merupakan penutur yang bilingual atau dwibahasa. Terjadinya kedwibahasaan disebabkan oleh adanya kontak bahasa antarabahasa pertama dengan bahasa kedua. Di Negara Indonesia bahasa pertamanya adalah bahasa ibu penutur (bahasa daerah) dan bahasa keduanya adalah bahasa Indonesia.Penutur bahasa Indonesia yang berlatar belakang kebahasaan bahasa Bugis jumlahnya cukup besar.

Arus globalisasi melanda tata kehidupan social masyarakat Sulawesi Selatan dewasa ini. Hampir semua lini dalam kehidupan masyarakat Bantaeng dipengaruhi oleh perkembangan global yang sulit untuk dikendalikan. Perkembangan global, pada satu sisi mendorong perubahan,perkembangan masyarakat ke arah yang lebih baik dan mapan. Misalnya, perkembangan teknologi komunikasi dapat mempermudah relasi dalam masyarakat.Hal ini terlihat dalam produksi alat-alat komunikasi yang canggih, seperti telepon genggam (handphone), televise (TV) dan internet. Pada sisi lain, perkembangan

(20)

global membawa masyarakat ke arah yang negatif. Misalnya, egois, apatis, dan menampilkan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kaidah- kaidah masyarakat suku Makassar. Masyarakat Bantaeng yang dimaksud dalam konteks ini adalah masyarakat Bantaeng yang sudah heterogen dalam artian sudah berbaur dengan etnis-etnis lainnya.

Gaya hidup seperti di atas sangat dominan dalam praktik hidup masyarakat Bantaeng saat ini. Kabupaten Bantaeng sebagai salah satu kabupaten di Indonesia bagian timur mengalami perubahan dalam tata cara kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat Bantaeng dikenal sebagai masyarakat homogeny dari segi adat-istiadat, bahasa Makassar, budaya, dan agama. Dalam konteks ini masyarakat Bantaeng secara umum dikenal sebagai masyarakat yang melestarikan warisan budaya leluhurnya.

Citra masyarakat Bantaeng seperti di atas sudah tidak sesuai lagi dengan gaya hidup masyarakat multicultural. Kabupaten Bantaeng merupakan kabupaten yang mengal a mi perkembangan pesat di berbagai sektor.Sektor pariwisata, ekonomi, dan pertaniaan merupakan sektor andalan kabupaten ini. sehingga kabupaten ini mulai didatangi oleh banyak orang mengadu nasib. Keberagaman latarbelakang budaya tersebut menjadikan masyarakat Kabupaten Bantaeng sebagai masyarakat multikultural.

Salah satu suku yang berada di tengah-tengah kaum mayoritas masyarakat suku Makassar adalah berasal dari suku Bugis. Suku ini

(21)

menjadi urutan kedua di kabupaten ini setelah suku Makassar. Ini diakibatkan karena Kabupaten Bantaeng sangat dekat dengan kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan yang bersuku Bugis, seperti Kabupaten Bulukumba, Sinjai, dan Bone.

Suku pendatang akan bersosialisasi atau membaur dengan masyarakat asli yang menggunakan bahasa Makassar. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa diantara keduanya. Bahasa Makassar sebagai bahasa mayoritas dan bahasa Bugis sebagai bahasa minoritas atau bahasa masyarakat pendatang. Kontak bahasa tersebut mempengaruhi kesadaran, sikap, dan tindakan sebagian masyarakat pendatang (Bugis) terhadap bahasa asli (Makassar) sebagai salah satu identitas budayanya.Hal ini sangat tampak dalam fenomena kurangnya penggunaan bahasa Bugis dalam komunikasi masyarakat suku Makassar di Kabupaten Bantaeng. Orang pendatang cenderung mengikuti gaya hidup dan cara berkomunikasi masyarakat asli di Kabupaten Bantaeng.

Hal ini tampak dalam lingkup pergaulanmasyarakat multicultural di Kabupaten Bantaeng, baik di lingkungan kerja maupun keluarga, dominan menggunakan bahasa Makassar, bahkan terkadang menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar. Dalam situasi seperti itu, kemungkinan besar beberapa bahasa terlibat di dalamnya dan ada kemungkinan setiap warga pendatang atau masyarakat Bugis menjadi dwibahasawan, baik

(22)

secara aktif maupun pasif. Karena dalam repertoarnya terdapat beberapa bahasa, warga dapat melakukan pilihan bahasa. Dalam situasi diglosia yang baik, tiap-tiap bahasa mempunyai ranah pemakaiannya. Namun, jika bahasa yang satu merambah ke ranah penggunaan bahasa lainnya, terjadi diglosia yang bocor. Akibatnya bahasa tersebut terdesak atau tergeser, sehingga terjadi pergeseran bahasa.

Jika terjadi pergeseran bahasa oleh masyarakat Bugis secara terus menerus akan menyebabkan pemertahanan bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng akan tergerus oleh bahasa Makassar. Penutur masyarakat Bugis di Kabupaten Bantaeng lambat laun akan beralih menggunakan bahasa Makassar. Akan tetapi,apabila tiap-tiap bahasa bertahan pada posisi ranah masing-masing, hal yang terjadi adalah kebertahanan bahasa. Sehingga inilah yang mendorong peneliti ingin meneliti tentang permertahanan bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng.

Bertolak dari uraian di atas walaupun bahasa Bugis merupakan ciri penting untuk menentukan identitas keetnikan suatu kelompok pendatang (Bugis), nampaknya bahasa Bugis tidaks elalu dapat dipertahankan namun bukan berarti bahasa Bugis harus ditinggalkan begitu saja. BahasaBugis di Kabupaten Bantaeng justru harus didayagunakan agar budaya dan identitas suku bangsa tidak tercerabut dari akarnya. Dalam menghadapi guncangan pengaruh

(23)

social yang begitu cepat dan kuat, pemertahanan bahasa Bugis dalam masyarakat penutur bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng merupakan upaya yang relevan untuk mempertahankan bahasa Bugis sebagai salah satu warisan leluhur sejak dahulu kala.

B. RumusanMasalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, rumusan masalahpenelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah penetrasi pemakaian bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar ditinjau dari aspek fonologi, morfologi dan sintaksis ?

2. Apakah faktor-faktor penunjang dan penghambat penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar?

3. Apakah dampak penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar?

C. TujuanPenelitian

Tujuanyangingin dicapai dalam penelitian iniadalah:

1. Untuk mengetahui penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar ditinjau dari aspek fonologi, morfologi dan sintaksis ?.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penunjang dan penghambat penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar.

3. Untuk mengetahui dampak penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar.

(24)

D. Manfaat HasilPenelitian

Hasil penelitian penetrasi bahasaBugis di tengah penutur bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis seperti di bawah ini:

1. ManfaatTeoretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan bagi pengembangan khazanah keilmuan khususnya dalam bidang bahasa daerah. Di samping itu, melalui penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan minat kalangan akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang bahasa daerah di Sulawesi Selatan.

2. ManfaatPraktis

a. Secara praktis hasil penelitiani nidiharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat, kelompok masyarakat yang peduli akan bahasa daerah Bugis-Makassar agar lebih gigih memperjuangkan bahasa tersebut yang saat ini keberadaannya mengalami keguncangan oleh arus globalisasi.

b. Hasil penelitianini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah, atau kepada penentu kebijakan dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh bahasa daerah seperti pada dewasa ini.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKADAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian yang Relevan

Bertahan atau bergesernya sebuah bahasa, baik pada kelompok minoritas maupun pada kelompok imigran transmigran dapat disebabkan oleh banyak faktor. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor industrialisasi dan urbanisasi/

transmigrasi merupakan faktor-faktor utama. Fishman (1972) menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya.

Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Selain itu, faktor konsentrasi wilayah permukiman oleh Sumarsono (2002:27) disebutkan pula sebagai salah satu faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa.

Konsentrasi wilayah permukiman merupakan faktor penting dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang kecil jumlahnya pun dapat lebih kuat mempertahankan bahasanya, jika konsentrasi wilayah permukiman dapat dipertahankan, sehingga terdapat keterpisahan secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya.

Faktor-faktor lain yang dapat mendukung pemertahanan bahasa adalah digunakannya bahasa itu sebagai bahasa pengantar di

(26)

sekolah-sekolah, dalam penerbitan buku-buku agama, dan dijadikannya sebagai bahasa pengantar dalam upacara-upacara keagamaan.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh LukmanGusnawaty dariUniversitas Hasanuddin mengungkapkan laju pergeseran bahasa daerah (Bugis) di Sulawesi Selatan. Hasil analisis data sudah membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran bahasa pada dua wilayah utama yang dijadikan fokus dalam peneltian ini, yaitu wilayah desa dan kota. Pada keempat wilayah ini terbukti adanya tingakat perbedaan yang sangat signifikan dengan angka persentase secara umum pada wilayah kota 52% dan desa 19,15%.

Meskipun terdapat perbedaan yang bervariasi antara empat wilayah, secara umum angka tersebut memberikan makna yang sangat signifikan terhadap persoalan pergeseran bahasa pada suatu tempat atau wilayah. Makna yang terkandung dalam data tersebut adalah bahwa laju pergeseran bahasa (BB, Bm, BT, dan BE) di Sulsel sudah waktunya untuk mendapat perhatian khusus.

Sebab kalau tidak keadaannya akan menjadi semakin parah dan akan susah lagi mengatasinya.

Ririen Ekoyanantiasih, dari Universitas Indonesia Penelitian yang dilakukan mengenai pemertahanan Bahasa Daerah Jawa telah dilakukan di Kelurahan Depok Jaya. Tujuannya untuk mengetahui seberapa jauh variabel-variabel di luar bahasa berpengaruh pada

(27)

proses pemertahanan Bahasa Daerah Jawa. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, serta pengamatan langsung terhadap lima puluh orang sampel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan analitis secara kuantitatif dengan memperhitungkan frekuensi distribusi pemakaian bahasa.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bahasa Daerah Jawa terutama sekali banyak digunakan di antara anggota keluarga.Sehingga dapat dikatakan bahwa pemertahanan Bahasa Daerah Jawa lebih dominan di dalam lingkungan keluarga. Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa besar kecilnya derajat pemertahanan Bahasa Daerah Jawa dipengaruhi oleh faktor usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan mobilitas penduduk.

2. Pengertian Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa bunyi suara atau tanda/isyarat atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hatinya kepada manusia lain (Soekono, 1984:1).Menurut pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah bunyi suara berupa lambang atau tanda yang dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan informasi.

Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi ujaran, yang dihasilkan oleh alat ucap

(28)

manusia (Keraf, 1991:1).Menurut pedapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang merupakan alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa bentuk dan makna.

Chaer dan Agustina (2004:1) berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia.Menurut pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem yang berupa lambang dan bunyi bersifat arbitrer sebagai alat komunikasi.

Berdasarkan pendapat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang hanya dimiliki makhluk hidup yang disebut manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa makhluk hidup yang lain tidak memiliki bahasa sebagai alat komunikasi.

3. Hakikat Bahasa

a. Bahasa Itu Sistematik,

Sistematik artinya beraturan atau berpola. Bahasa memiliki sistem bunyi dan sistem makna yang beraturan. Dalam hal bunyi, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai sebagai suatu simbol dari suatu rujukan (referent) dalam berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan.Kata pnglln tidak mungkin muncul secara alamiah, karena tidak ada vokal di dalamnya. Kalimat pagi ini Faris pergi ke kampus, bisa

(29)

dimengarti karena polanya sistematis, tetapi kalau diubah menjadi Pagi pergi ini kampus ke Faris tidak bisa dimengerti karena melanggar sistem. (Sudaryanto. 1989:51).

Bukti lain, dalam struktur morfologis bahasa Indonesia, prefiks me- bisa berkombinasi dengan dengan sufiks –kan dan –i seperti pada kata membetulkan dan menangisi.Akan tetapi, tidak bisa berkombinasi dengan ter-.Tidak bisa dibentuk kata mentertawa, yang ada adalah menertawakan atau tertawa.

Mengapa demikian ?Karena bahasa itu beraturan dan berpola.

b. Bahasa Itu Manasuka (Arbitrer)

Manasuka atau arbiter adalah acak, bisa muncul tanpa alasan. Kata-kata (sebagai simbol) dalam bahasa bisa muncul tanpa hubungan logis dengan yang disimbolkannya. Mengapa makanan khas yang berasal dari Garut itu disebut dodol bukan dedel atau dudul ? Mengapa binatang panjang kecil berlendir itu kita sebut cacing ? Mengapa tumbuhan kecil itu disebut rumput, tetapi mengapa dalam bahasa Sunda disebut jukut, lalu dalam bahasa Bugis dinamai suket ? Tidak adanya alasan kuat untuk menbugis pertanyaan-pertanyaan di atas atau yang sejenis dengan pertanyaan tersebut. (Moeliono, 1989:27).

Bukti-bukti di atas menjadi bukti bahwa bahasa memiliki sifat arbitrer, mana suka, atau acak semaunya.Pemilihan bunyi dan kata dalam hal ini benar-benar sangat bergantung pada

(30)

konvensi atau kesepakatan pemakai bahasanya.Orang Sunda menamai suatu jenis buah dengan sebutan cau, itu terserah komunitas orang Sunda, biarlah orang Bugis menamakannya gedang, atau orang Betawi menyebutnya pisang.

Ada memang kata-kata tertentu yang bisa dihubungkan secara logis dengan benda yang dirujuknya seperti kata berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena seperti itu hanya sebagian kecil dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.

c. Bahasa Itu Vokal

Vokal dalam hal ini berarti bunyi.Bahasa wujud dalam bentuk bunyi.Kemajuan teknologi dan perkembangan kecerdasan manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi sistem tulis tidak bisa menggantikan ciri bunyi dalam bahasa. Sistem penulisan hanyalah alat untuk menggambarkan arti di atas kertas, atau media keras lain. Lebih jauh lagi, tulisan berfungsi sebagai pelestari ujaran. Lebih jauh lagi dari itu, tulisan menjadi pelestari kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia terdahulu lainnya bisa kita prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari. Sesuatu itu antara lain berbentuk tulisan. Realitas yang menunjukkan bahwa bahasa itu vokal mengakibatkan telaah tentang bahasa

(31)

(linguistik) memiliki cabang kajian telaah bunyi yang disebut dengan istilah fonetik dan fonologi. (Sudaryanto. 1989:52).

d. Bahasa Itu Simbol

Simbol adalah lambang sesuatu, bahasa juga adalah lambang sesuatu.Titik-titik air yang jatuh dari langit diberi simbol dengan bahasa dengan bunyi tertentu.Bunyi tersebut jika ditulis adalah hujan. Hujan adalah simbol linguistik yang bisa disebut kata untuk melambangkan titik-titik air yang jatuh dari langit itu.

Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta berupa gambar di atas kertas. Gambar adalah bentuk lain dari simbol. Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki bahasa untuk menyimbolkan sesuatu menjadikannya alat yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia tidak memiliki bahasa, betapa sulit mengingat dan mengomunikasikan sesuatu kepada orang lain. (Sasangka. 2000:51).

e. Bahasa Itu Mengacu pada Dirinya

Sesuatu disebut bahasa jika ia mampu dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri. Binatang mempunyai bunyi- bunyi sendiri ketika bersama dengan sesamanya, tetapi bunyi- bunyi yang mereka gunakan tidak bisa digunakan untuk mempelajari bunyi mereka sendiri.Berbeda dengan halnya bunyi- bunyi yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi.Bunyi-

(32)

bunyi yang digunakan manusia bisa digunakan untuk menganalisis bunyi itu sendiri.Dalam istilah linguistik, kondisi seperti itu disebut dengan metalanguage, yaitu bahasa dapat dipakai untuk membicarakan bahasa itu sendiri.Linguistik menggunakan bahasa untuk menelaah bahasa secara ilmiah. (Sudaryanto. 1989:54).

f. Bahasa Itu Manusiawi

Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa bahwa itu adalah kekayaan yang hanya dimiliki umat manusia. Manusialah yang berbahasa sedangkan hewan dan tumbuhan tidak.Para ahli biologi telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi, sistem komunikasi binatang berbeda dengan sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi binatang tidak mengenal ciri bahaya manusia sebagai sistem bunyi dan makna. Perbedaan itu kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai homo loquens atau binatang yang mempunyai kemampuan berbahasa. Karena sistem bunyi yang digunakan dalam bahasa manusia itu berpola manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan yang bertata bahasa. (Sudaryanto. 1989:56).

g. Bahasa Itu Komunikasi

Fungsi terpenting dan paling terasa dari bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi. Bahasa berfungsisebagai alat mempererat antarmanusia dalam

(33)

komunitasnya, dari komunitas kecil seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak mungkin terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan bagaimana bentuk kegiatan sosial antarmanusia tanpa bahasa.

Komunikasi mencakup makna mengungkapkan dan menerima pesan, caranya bisa dengan berbicara, mendengar, menulis, atau membaca.Komunikasi itu bisa berlangsung dua arah, bisa pula searah. Komunikasi tidak hanya berlangsung antarmanusia yang hidup pada satu zaman, komunikasi itu dapat dilakukan antarmanusia yang hidup pada zaman yang berbeda, tentu saja meskipun hanya satu arah. Nabi Muhammad saw, telah meninggal pada masa silam, tetapi ajaran-ajarannya telah berhasil dikomunikasikan kepada umat manusia pada masa sekarang. Melalui buku, para pemikir sekarang bisa mengomunikasikan pikirannya kepada para penerusnya yang akan lahir di masa datang. Itulah bukti bahwa bahasa menjadi jembatan komunikasi antarmanusia.

4. Hakikat Fonologi

Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologis, terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Menurut Jahmi (2006:16), satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan

(34)

fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.

Untuk lebih jelasnya kalau diperhatikan baik-baik ternyata bunyi yang terdapat pada kata-kata intan, angin, dan batik adalah tidak sama. Ketidaksamaan bunyi[i] dan bunyi [p] pada deretan kata-kata itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik. Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi /p/dan /b/ yang terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi lpl dan lbl itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.

a. Fonetik

Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.

Kemudian menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.

(35)

1) Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.

2) Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran.

b. Fonemik

Identitas fonem sebagai identitas pembeda. Dasar bukti identitas fonem adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh tentang rupa dan lupa.Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata itu ialah menyangkut bunyi pertama, /r/ dan /i/. Oleh karena semua yang lain dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka pasangan tersebut disebut “pasangan minimal”, perbedaan di dalam pasangan itu adalah “minimal”. Dengan perkataan lain,

(36)

perbedaan antara /i/ dan /r/ adalah apa yang membedakan dari sudut analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, /i/ dan /r/

dalam bahasa Indonesia merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya.

Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.

Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, harus dicari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.

5. Hakikat Morfologi

Secara etimologis kata morfologi berasal dari kata “morf”

yang berarti bentuk dan kata “logi” yang berarti ilmu.Jadi, secara harfiah kata morfologi berarti ilmu mengenai bentuk. Di dalam kajian linguistik, morfologi berarti ilmu mengenai bentuk- bentuk dan pembentukan kata; sedangkan di dalam kajian biologi morfologiberarti ilmu mengenai bentuk-bentuk sel-sel tumbuhan atau jasad-jasad hidup.

(37)

Kalau dikatakan morfologi membicarakan masalah bentuk-bentuk dan pembentukan kata,maka semua satuan bentuk sebelum menjadi kata, yakni morfem dengan segala bentuk dan jenisnya, perlu dibicarakan. Lalu, pembicaraan mengenai pembentukan kata akan melibatkan pembicaraan mengenai komponen atau unsur pembentukan kata itu, yaitu morfem, baik morfem dasar maupun morfem afik, dengan berbagai alat proses pembenktukan kata itu, yaitu afiks dalam proses pembentuklan kata melalui proses afiksasi,reduplikasi, ataupun pengulangan dalam proses pembentukan kata melalui proses reduplikasi, penggabungan dalam proses pembentukan kata melalui proses komposisi dan sebagainya. Jadi, ujung dari proses morfologi adalah terbentuknya kata dalam bentuk dan makna sesuai dengan keperluan dalam satu tindak pertuturan.

Bila bentuk dan makna yang terbentuk dari satu proses morfologi sesuai dengan yang diperlukan dalam pertuturan, maka bentuknya dapat dikatakan berterima, tetapi jika tidak sesuai dengan yang diperlukan, maka bentuk itu dikatakan tidak berterima. Dalam kajian morfologi, alasan sosial itu disingkirkan dulu.

Morfologi atau tata kata adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk pembentukan kata Morfologi

(38)

mengkaji seluk-beluk morfem, bagaimana mengenali sebuah morfem, dan bagaimana morfem berproses membentuk kata.

Morfem adalah bentuk bahasa yang dapat dipotong- potong menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi begitu seterusnya sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak mempunyai makna. Morfem yang dapat berdiri sendiri dinamakan morfem bebas, sedangkan morfem yang melekat pada bentuk lain dinamakan morfem terikat.

Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama. Morf adalah sebuah bentuk yang belum diketahui statusnya. Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, harus dibandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain.

Morfem utuh yaitu morfem yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Morfem terbagi yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi karena disisipi oleh morfem lain.

Kata adalah satuan gramatikal bebas yang terkecil.Kata dapat berwujud dasar yaitu terdiri atas satu morfem dan ada kata yang berafiks. Kata secara umum dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu verba, adjektiva, averbia, nomina, dan kata tugas.

(39)

Dalam bahasa Indonesia kita kenal ada proses morfologis; afiksasi, reduplikasi, komposisi, abreviasi, metanalisis, dan derivasi balik. Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Di dalam bahasa Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang dapat diklasifikasikan menjadi prefiks, infiks, sufiks, simulfiks, konfiks, dan kombinasi afiks.

Reduplikasi merupakan pengulangan bentuk.Ada 3 macam jenis reduplikasi, yaitu reduplikasi fonologis, reduplikasi morfemis, dan reduplikasi sintaktis. Reduplikasi juga dapat dibagi atas: dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, dwiwasana, dan trilingga.

Pemajemukan atau komposisi adalah proses penghubungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata.

Secara empiris ciri-ciri pembeda kata majemuk dari frasa adalah ketaktersisipan, ketakterluasan, dan ketakterbalikan.Abreviasi adalah proses penggalangan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi ialah pemendekan, sedangkan hasil prosesnya disebut kependekan. Bentuk kependekan itu dapat dibagi atas singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf.

(40)

Derivasi balik adalah proses pembentukan kata berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya.

6. Hakikat Kedwibahasaan

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebutjuga kedwibahasaan.Dariistilahnya secara harfiahsudahdapatdipahami apayang dimaksud dengan bilingualism itu,yaituberkenaandenganpenggunaan dua bahasa ataudua kode bahasa. Secara sosiolinguistik,bilingualisme diartikan sebagaipenggunaanduabahasaolehseorang penuturdalampergaulannyadengan

oranglainsecarabergantian(Mackey dalam

Aslinda,2007:24).Gunarwan (

2002:36)mengatakankedwibahasaanadalahpenggunaanduabah asa ataulebiholeh seseorang atau olehsuatu masyarakat.Jadi,

dapat diambil kesimpulan bahwa

kedwibahasaanberhubunganeratdenganpemakaianduabahasaa taulebih oleh seorangatau masyarakatdwibahasawan secarabergantian.

Dalammembicarakan masalah kedwibahasaan,tidak

mungkin terpisahkan adanya peristiwa

kontakbahasa.Suwito(1985:40)mengatakanbahwa

kedwibahasaan sebagai wujud dalam peristiwa kontak bahasa.Seorang

(41)

dwibahasawansangatmungkinsebagaiawalterjadinyainterferensi dalambahasa, sehinggaantarakontak bahasadan dwibahasawansangat erat hubungannya.

Masyarakat Indonesia mengenal bahasa daerah atau bahasa ibu sebagai B1.Mereka menggunakan B1 sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi, sebelum mengenal dan menguasai BI sebagai bahasa kedua.Keadaan seperti ini oleh para sosiolinguis lazim disebut dengan masyarakat yang bilingual atau masyarakat yang berdwibahasa.Istilah kedwibahasaan mula-mula diperkenalkan oleh Bloomfield pada permulaan abad ke-20.“Kedwibahasaan sebagai penguasaan dua bahasa seperti penutur aslinya” (Bloomfield dalam Mustakim, dkk 1994: 10).Selain itu, “kedwibahasaan diartikan sebagai pengetahuan dua bahasa (knowledge of twolanguages)” (Haugen dalam Suwito, 1985: 49).Dalam kedwibahasaan seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah mengetahui secara positif dua bahasa. Kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai dua bahasa, yaitu BI dan B2.Nababan (1987:7) berpendapat bahwa kedwibahasaan adalah

(42)

kemampuan memakai dua bahasa atau lebih dan pemakaian bahasa itu secara bergantian.

Seorang dwibahasawan dapat berganti dari satu bahasa ke bahasa lain. Misalnya, seseorang sedang menggunakan bahasa A tetapi unsur yang dipakai ialah struktur atau unsur bahasa B atau sebaliknya, Kejadian seperti ini disebut dengan istilah interferensi. “Interferensi dapat dikatakan sebagai pengacauan apabila kemampuan dan kebiasaan seseorang dalam bahasa utama (bahasa sumber) berpengaruh atas penggunaannya dari bahasa kedua (bahasa sasaran)”

(Nababan, 1993: 32).“Kedwibahasaan selalu berkembang cenderung meluas karena istilah kedwibahasaan itu bersifat nisbi (relatif)” (Suwito, 1988:48). Jarang sekali orang benar- benar dapat menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya.

Selanjutnya batasan pengertian kedwibahasaan dikemukakan oleh Nababan Et.al bahwa satu daerah atau masyarakat tempat dua bahasa berada disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa.Orang yang menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan.

Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwakedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian, baik secara lisan maupun tertulis oleh satu individu atau kelompok masyarakat.Kedwibahasaan

(43)

dapat terjadi apabila ada dua bahasa atau lebih dalam masyarakat. Keadaan seperti ini terdapat pula di negara kita, di samping bahasa Indonesia terdapat juga bahasa daerah. Istilah penting yang berhubungan dengan kedwibahasaan antara lain adalah dwibahasawan. Dwibahasawan adalah seseorang yang yang mempunyai kemampuan menggunakan dua bahasa secara berganti-ganti.

Wojowasito menjelaskan bahwa seorang dwibahasawan tidak harus menguasai kedua bahasa yang dimilikinya sama fasih, tetapi cukup apabila ia dapat menyatakan diri dalam dua bahasa tersebut atau dapat memahami apa yang dikatakan atau ditulis dalam bahasa itu (dalam Mustakim, 1994: 11).

Suwito (1985:52) menjelaskan bahwa hampir setiap warga negara Indonesia dapat menguasai bahasaIndonesia secara baik di samping bahasa daerahnya masing-masing. Walaupun mereka menguasai kedua bahasa itu secara baik, mereka tidak dapat menggunakan kedua bahasa itu secara sembarangan.Maksudnya, mereka menggunakan bahasa tersebut tidak pada sembarang tempat, sembarang situasi, dan sembarang keperluan.Penggunaan bahasa harus disesuaikan dengan fungsi dan peranan bahasa tersebut.Di Indonesia disamping BI digunakan pula bahasa daerah dan bahasa asing.Penggunaan bahasa-bahasa tersebut harus sesuai

(44)

dengan pola pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi kemasyarakatan, situasi serta konteksnya.

Setiap bahasa mempunyai fungsi dan peranan masing- masing.(Poedjoesoedarmodalam Mustakim, 1994: 12) menjelaskan bahwa bahasa daerah lazim digunakan dalam situasi pembicaraan yang tidak resmi, kekeluargaan, kedaerahan, dan tradisional, bahasa Indonesia atau bahasa nasional digunakan dalam situasi pembicaraan yang bersifat kenegaraan, kedinasan, keilmuan, kenasionalan, dan modern.

Situasi kebahasaan seperti ini memungkinkan terjadinya penggunaan bahasa yang tumpang tindih karena adanya kontak bahasa.Jadi, dapat disimpulkan bahwa dwibahasawan adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian.

Akibat dari masyarakat yang bilingual ditambah dengan adanya kontak bahasa, muncul berbagai peristiwa bahasa antara lain berupa peminjamanunsur kebahasaan, peminjaman dengan pengubahan, alih kode dan campur kode,serta interferensi baik secara lisan maupun secara tertulis.Dari beberapa pengertian tentang dwibahasawan, maka penggunaan BIdalam bidang pendidikan formal dan bahasa daerah dalam pergaulan merupakansalah satu bukti bahwa

(45)

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia FKIP Unismuh Makassar adalah dwibahasawan.

7. Pengertian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik bersasal dari kata “sosio” dan “ linguistic”.

Sosio sama dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur-unsur bahasa dan antara unsur-unsur itu.Jadi, sosiolinguistik adalah kajian yang menyusun teori-teori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa.Berdasarkan pengertian sebelumnya, sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa khususnya perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (Nababan et.al 1993:2).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik tidak hanya mempelajari tentang bahasa, tetapi juga mempelajari tentang aspek-aspek bahasa yang digunakan oleh masyarakat.Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dengan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan erat. Sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, lembaga-lembaga, dan proses sosial

(46)

yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada.

Dengan mempelajari lembaga-lembaga, proses sosial dan segala masalah sosial di dalam masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam masyarakat sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang bahasa, atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat (Chaer dan Agustina 2006:

2).Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan tersebut.Selain sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Banyak yang menganggap kedua istilah itu sama, tetapi ada pula yang menganggapnya berbeda. Ada yang mengatakan digunakannya istilah sosiolinguistik karena penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik, sedangkan sosiologi bahasa digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari bidang sosiologi.

(47)

Fishman (dalam Chaer 2006: 5) mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif.Jadi sosiolinguistik berhubungan dengan perincian- perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, latar pembicaraan.Sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.Sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkrit.Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti mempelajari tentang bahasa yang digunakan dalam daerah tertentu atau dialek tertentu. Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa.Jadi kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu.

Sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada kelompok sosial serta variabel linguistik yang digunakan dalam

(48)

kelompok itu sambil berusaha mengorelasikan variabel tersebut dengan unit-unit demografik tradisional pada ilmu-ilmu sosial, yaitu umur, jenis kelamin, kelas sosio-ekonomi, pengelompokan regional, status dan lain-lain. Bahkan pada akhir-akhir ini juga diusahakan korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan fungsi- fungsi sosial dalam interaksi intra-kelompok untuk tingkat mikronya, serta korelasi antara pemilihan bahasa dan fungsi sosialnya dalam skala besar untuk tingkat makronya (Ibrahim, 1995:4).Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang memfokuskan diri pada kelompok sosial serta variabel linguistik.

Alwasilah (1993:3-5) menjelaskan bahwa secara garis besar yang diselidiki oleh sosiolingustik ada lima yaitu macam- macam kebiasaan (convention) dalam mengorganisasi ujaran dengan berorientasi pada tujuan-tujuan sosial studi bagaimana norma-norma dan nilai-nilai sosial mempengaruhi perilaku linguistik. Variasi dan aneka ragam dihubungkan dengan kerangka sosial dari para penuturnya, pemanfaatan sumber- sumber linguistik secara politis dan aspek- aspek sosial secara bilingualisme.

Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak

(49)

hanya mencakup perilaku bahasa saja, tetapi juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakaian bahasa.Dalam sosiolingustik ada kemungkinan orang memulai dari masalah kemasyarakatan kemudian mengaitkan dengan bahasa, tetapi bisa juga berlaku sebaliknya mulai dari bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala-gejala kemasyarakatan.

Sosiolinguistik dapat mengacu pada pemakaian data kebahasaan dan menganalisis kedalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial, dan sebaliknya mengacu kepada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik. Misalnya orang bisa melihat dulu adanya dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis kelamin sehingga bisa disimpulkan, misalnya ragam (A) didukung oleh wanita ragam (B) didukung oleh pria dalam masyarakat itu. Atau sebaliknya, orang bisa memulai dengan memilah masyarakat berdasarkan jenis kelamin menjadi pria- wanita, kemudian menganalisis bahasa atau tutur yang bisa dipakai wanita atau tutur yang bisa dipakai pria.

Trudgill (dalam Sumarsono 2002: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala kebudayaan.Bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala

(50)

sosial melainkan juga gejala kebudayaan.Implikasinya adalah bahasa dikaitkan dengankebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik, dan ini dapat dimengertikarena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.Sebagai anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budayamasyarakat, termasuk nilai-nilai ketika dia menggunakan bahasa.Nilai selaluterkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam kaidah- kaidah yang sebagian besar tidak tertulis tetapi dipatuhi oleh wargamasyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yaknibahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasadan masyarakat.

Berdasarkan batasan-batasan tentang sosiolinguistik di atas dapatdisimpulkan bahwa sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat,dan hubungan antara bahasa dengan masyarakat.Sosiolinguistik membahas ataumengkaji bahasa sehubungan dengan penutur,bahasa sebagai anggota asyarakat.Bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakatyang satu dengan yang lainnya untuk saling bertukar pendapat dan berinteraksiantara individu satu dengan lainnya.

8. Bahasa Bugis

(51)

Bahasa Bugis adalah salah satu dari rumpun bahasa Austronesia yang digunakan oleh etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di sebagian Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Parepare, Kabupaten Pinrang, sebahagian Kabupaten Enrekang, sebahagian Kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, sebagian Kabupaten Bulukumba, dan sebagian Kabupaten Bantaeng.

Bahasa Bugis terdiri atas beberapa dialek. Seperti dialek Pinrang yang mirip dengan dialek Sidrap. Dialek Bone (yang berbeda antara Bone Utara dan Selatan). Dialek Soppeng.

Dialek Wajo (juga berbeda antara Wajo bagian utara dan selatan, serta timur dan barat). Dialek Barru, Dialek Sinjai dan sebagainya.

Ada beberapa kosakata yang berbeda selain dialek.

Misalnya, dialek Pinrang dan Sidrap menyebut kata Lokal untuk pisang. Sementara dialek Bugis yang lain menyebut Otti atau Utti,adapun dialek yang agak berbeda yakni kabupaten sinjai setiap bahasa Bugis yang mengunakan Huruf "W" diganti dengan Huruf "H" contoh; diawa diganti menjadi diaha.

Karya sastra terbesar dunia yaitu I Lagaligo menggunakan bahasa Bugis tinggi yang disebut bahasa Torilangi. Bahasa Bugis

(52)

umum menyebut kata Menre' atau Manai untuk kata yang berarti

"ke atas/naik". Sedang bahasa Torilangi menggunakan kata

"Manerru". Untuk kalangan istana, bahasa Bugis juga mempunyai aturan khusus. Jika orang biasa yang meninggal digunakan kata

"Lele ri Pammasena" atau "mate". Sedangkan jika raja atau kerabatnya yang meninggal digunakan kata "Mallinrung".

Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Contoh:

Contoh angka dalam bahasa Bugis:

Bahasa Indonesia Bahasa Bugis

Nol Nolo'

Satu Si'di

Dua Duwa

Tiga Tellu

Empat Eppa'

Lima Lima

Enam Enneng

Tujuh Pitu

Delapan Aruwa'

Sembilan Asera'

Sepuluh Seppulo

(53)

9. Bahasa Makassar

Bahasa Makssar juga disebut sebagai Basa Mangkasara' adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia.Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin.Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari setiap konsonan.Beberapa contoh kata atau ungkapan dalam bahasa Makassar dalam huruf Latin:

Makassar Arti Balla' Rumah Bulu' Bulu/Rambut Bambang Hangat/Panas Cipuru' Lapar

Doe' Uang

Iyo' Iya

Lompo Besar

Sallo Lama (untuk waktu) Tabe' Permisi

(54)

Tena Tidak Ada Mata Allo Mata Hari Jappa-jappa Jalan-jalan Lompo Besar Ca’di Kecil Sallo Lama Tabe’ Permisi Tena Tidak

Nia Ada

Karaeng Raja Motere Pulang Nganre Makan

10. Gambaran Sejarah Kota Bantaeng

Dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang Keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi.Masing- masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua. Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu.

(55)

Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding, dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan Daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini).

Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesuatu tempat permandian yang terbuat dari bambu). Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi Kerajaan Bantaeng.

Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka.

Tomanurung menyatakan kesediaannya, tetapi dengan syarat.“Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tetapi saya ibarat angin

(56)

dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.

Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.”(Saya terima permintaanmu tetapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun).

Maka jadilah Tomanurung ri Ontoini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto). Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain.Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat).

Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.

(57)

Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bantaeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun, kini hal itu hanya cerita.Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini.Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang, dan Lawi-Lawi.

Perlawanan Rakyat Bantaeng terhadap Penjajah Belanda.Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, di mana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasangan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran. Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri atas perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung)

(58)

sebagai anggotanya yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

11. Hakikat Pemertahanan Bahasa a. Pemertahanan Bahasa

Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 2006:193) bahwa menurutnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangakauan pemakaiannya bersifat nasional.

Namun ada kalanya bahasa pertama (B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.

Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 2006 : 11). Pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain

(59)

dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan.

Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Sebagai contoh kajian semacam itu dilakukan oleh Gal di Australia dan Dorial (dalam Oktavianus 2006:65) di Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang bahasa imigran melainkan tentang bahasa pertama (B1) yang cenderung bergeser dan digantikan oleh bahasa baru (B2) dalam wilayah mereka sendiri.

Kajian lain dilakukan oleh Liberson (dalam Sumarsono 1993:2) yang berbicara tentang imigran Perancis di Kanada, tetapi bahasa pertama (B1) mereka masih mampu bertahan terhadap bahasa Inggris yang lebih dominan, setidak-tidaknya hingga anak-anak mereka menjelang remaja. Masalah bergeser dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah hanya karena

(60)

masalah bahasa imigran, melainkan dipengaruhi oleh banyaknya faktor lain yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa.

Contoh kasus pemertahanan bahasa terjadi pada masyarakat Wonomulyo, Kabupaten Polman yang berasal dariJawa. Kasus pemertahanan bahasa Jawa ini disampaikan oleh Syamsuddin, 2004:147). Menurut Syamsuddin, penduduk Wonomulyo, Kabupaten Polman yang berjumlah sekitar tiga ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Mandar, tetapi menggunakan sejenis bahasa Jawa, sejak transmigrasiketika mereka yang berasal dari Pulau Jawa dan tiba di tempat itu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap mempertahankan bahasa Jawanya.Pertama, wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis tidak terpisah. Kedua, adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Mandar untuk menggunakan bahasa Mandar dalam berinteraksi dengan golongan minoritas masyarakat migran meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Mandar.Ketiga, anggota masyarakat Mandar mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat Transmigran ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara masyakat transmigran yang minoritas dan masyarakat Mandar

Gambar

Diagram analisis SWOT  Berbagai Peluang:
Diagram analisis SWOT  Berbagai Peluang:

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan harus berfokus pada metode perawatan kulit yang perawat berikam, tujuan yang diharapkan, untuk meningkatkan kondisi kulit, dan beragam tindakan asuhan keperawatan

Pada penelitian ini metode kalibrasi kamera pada tahap kalibrasi citra, adaptive threshold dan region merging pada tahap identifikasi dan penilaian LJK menggunakan

Sedangkan rute usulan dibuat agar konsumen yang akan dikunjungi dalam 1 hari berada dalam wilayah yang sama, sehingga total jarak yang didapatkan lebih

Gaya kepemimpinan yang tepat mempunyai peranan yang sangat penting bagi kemajuan perusahaan, gaya kepemimpinan yang tepat dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis

Dari hasil analisis, pada pekerjaan penulangan balok, kolom dan plat lantai didapatkan nilai indeks tenaga kerja yang hamper sama jika dibandingkan dengan TA

Penelitian ini berujuan untuk menguji pengaruh variabel diferensiasi produk, citra merek dan preferensi merek terhadap keputusan pembelian sepeda motor matic Yamaha Mio di

Daripada persoalan-persoalan tersebut, adakah dengan menggunakan konsep kerajaan perpaduan berteraskan Islam mampu membentuk kerjasama dalam kalangan parti

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa dan berbagai kendala yang muncul dalam pelaksanaan mata pelajaran Gambar teknik