• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

H. Teknik Penyajian Hasil

Tahapakhirdari seluruh

prosespenelitianiniadalahpenyajianhasilanalisis

data.PenyajianhasilpenelitiantentangpemertahananbahasaBugis di tengah penutur bahasa Makassardi Kabupaten Bantaeng,

dilakukansecarainformal(naratif)yaituberupauraian,kata-kata,kalimatdan secaraformalyaitupenjelasandalam bentuktabel,peta,bagan, dangambaryangdituangkandalamlimabab.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Penetrasi Bahasa

Ada tiga unsur sehingga bahasa mengalami penetrasi.Pertama, penambahan dan penyesuaian fonem dalam suatu bahasa atau dialek berdasarkan penuturan bahasa tersebut. Kedua, terjadi peminjaman fonem atau morfem dan digunakan secara meluas oleh penutur bahasa tetapi menggeser unsur lama.Ketiga, menetapnya suatu fonem atau morfem pada posisi tertentu dalam suatu bahasa dengan menggantikan posisi fonem atau morfem bahasa penerima. Sesuai dengan temuan di lapangan, bahwa bahasa Bugis tidak mampu menangkal bahasa lain yang hidup berdampingan dengan bahasa bugis. Bahasa bugis dominan digunakan dalam lingkup keluarga.Pemakaian pada masing-masing komunitas atau keluarga makin minim atau tersubtitusi dengan bahasa daerah alain atau bahasa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa trnsformasi bahasa Indonesia sangat dominan, simultan dan kontinyu, namun tidak berbanding lurus dengan sosialisasi bahasa daerah pada setiap person.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, wajarlah bila selalu dapat peristiwa pengubahan. Terutama pengubahan bentuk kata.Pada umumnya, pengubahan bentuk kata itu disebabkan oleh adanya pengubahan beberapa kata asli karena pertumbuhan dalam

bahasa itu sendiri, atau karena memang adanya pengubahan bentuk dari kata-kata pinjaman.

2. Fonologi Bahasa Bugis

Identitas fonem sebagai pembeda dalam penyebutan antara kata yang terdapat dalam bahasa daerah Bugis, bahasa daerah Makassar dan bahasa Indonesia. Namun, perbedaan fonem dari ketiga bahasa tersebut, yakni BB, BS dan BI menunjukkan makna yang sama. Beberapa contoh kata yang mengalami proses fonemik antara bahasa Bugis, Bahasa Bantaeng dan Bahasa Indonesia

Bahasa Bugis Bahasa Bantaeng Bahasa Indonesia

Janci Janji Janji

Akhera’ Akhira’ Akhirat

Emma’ Amma’ Mama

Wija Bija Keluarga

Bedda Tappung Bedak

Aga Apa Mengapa

Camming Carammeng Cermin

Genrang Ganrang Gendang

Yawa Rawa Bawah

Assikolang Passikolang Sekolah

Dari beberapa contoh kata yang mengalami proses morfofonemik, dari bahasa Bugis mengalami perubahan fonem ketika beralih ke bahasa

Bantaeng dan begitu juga ketika beralih ke bahasa Indonesia. Dari contoh pertama, kata janci dari bahasa Bugis mengalami perubahan fonem dalam bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia, yakni ‘janji’.Dari fonem /c/

menjadi /j/. Kata ‘akhera’’ mengalami perubahan fonem ‘akhira’’ dan bahasa Indonesia ‘akhirat’. Dari ketiga bahasa ini terjadi dua pergeseran fonem yakni /e/, /i/, /’/,/’/,/t/.Kata ‘emma’’ mengalami peerubahan fonem /a/

amma, dan pergeseran fonem /m/ menjadi fonem awal pada kata dalam bahasa Indonesia yakni ‘mama’. Kata ‘wija’ dari fonem /w/ menjadi /b/

dalam bahasa Bantaeng, dan mengalami perubahan bunyi kosakata dalam bahasa Indonesia yakni ‘keluarga’. Kata ‘Bedda’ dalam bahasa Bugis mengalami pergeseran kosakata dalam bahasa Bantaeng, yakni

‘tappung’ dan perubahan fonem dalam bahasa Indonesia yaitu fonem, /’/

menjadi fonem /k/ bedak. Kata ‘aga’ dalam bahasa Bugis mengalami perubahan fonem pada fonem kedua dalam bahasa Bantaeng yaitu fonem /p/apa. Dan ketika beralih dalam bahasa Indonesia mengalami banyak penambahan fonem yaitu fonem /m/,/e/,/n/,/g/, menjadi kata ‘mengapa’.

Dalam bahasa Bugis kata ‘kata camming’ mengalami penambahan fonem dalam bahasa Bantaeng yaitu fonem /r/,/a/ dan mengalami perubahan pada fonem /e/ menjadi ‘carammeng’. Dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan pada fonem kedua yaitu /e/ dan peleburan pada fonem akhir dari bahasa Bugis dan bahasa Bantaeng yaitu fonem /g/

menjadi kata ‘cermin’ dalam bahasa Indonesia. Kata ‘Genrang’ dalam bahasa Bugis mengalami perubahan fonem dalam bahasa Bantaeng pada

fonem kedua, menjadi /a/, dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan pada fonem, dari fonem /r/ menjadi /d/ yakni ‘gendang’. Kata ‘yawa’ dalam bahasa Bugis mengalami perubahan pada bahasa Bantaeng pada fonem awal yaitu fonem /r/ menjadi kata ‘rawa’. Dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan yaitu fonem /b/ dan penambahan fonem pada pada huruf akhir yaitu fonem /h/ menjadi ‘bawah’. Kata ‘assikolang’ dalam bahasa Bugis mengalami penambahan fonem /p/ dalam bahasa Bantaeng menjadi ‘passikolang’ sedangkan dalam bahasa Indonesia mengalami peleburan dalam beberapa fonem, yaitu /p/,/a/,/s/,/n/,/g/, perubahan fonem /i/ menjadi /e/ dan penambahan fonem /h/ pada huruf akhir, yaitu ‘sekolah’.

3. Morfologi Bahasa Bugis

Morfologi sebagai ilmu yang membicarakan masalah bentuk-bentuk dan pembentukan kata, maka semua satuan bentuk menjadi kata , yakni

‘morfen’ dengan segala bentuk dan jenisnya. Diantaranya adalah morfem dasar dan morfem afiks. Dalam penetrasi bahasa Bugis banyak mengalami proses morfofonemik antara bahasa Bugis beralih ke bahasa Banteang dan bahasa Indonesia. Beberapa kata yang mengalami penetrasi bahasa dalam proses morfofonemik, baik ketika berada dalam bahasa daerah Bugis, bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia.

Bahasa Bugis Bahasa Bantaeng Bahasa Indonesia

Anrikku Andikku Adikku

Pammulanna Pakaramulanna Berawal

Mawari Anu bari Sudah basi

Massumpajeng Assumbayang Bersembayang

Mabbusa Abbusa Berbusa

Makecce Dingin Dingin

Makkaritutu Sanna tutuna Hati-hati Maccule-cule Akkare-karena Bermain-main

Annasuang Pappaluang Dapur

Massulara’i Assaloarai Pakai celana

Dari beberapa contoh kata yang disajikan, mengalami proses morfofonemik. Terjadi morfem bebas dan morfem terikat.Kata ‘anrikku’

dalam bahasa bugis.Jika kata ini dipenggal menjadi an-rik-ku maka tidak bermakna.Pemisahan morfen yang tepat adalah ‘anrik’ dan ‘-ku’.Anrik yang merupakan morfem bebas dan –ku merupakan morfem terikat, nanti akan bermakna jika dilekatkan dengan morfem bebas seperti pada kata

‘anrikku’. Begitu pula dengan kata ‘andikku’ dalam bahasa Bantaeng dan

‘adikku’ dalam bahasa Indonesia.Posisi morfem terikat dari masing-masing kata berposisi sebagai sufiks dalam proses afiksasi.

Kata ‘pammulanna’ terdiri dari morfem bebas` dan morfem terikat.‘pammula’ adalah morfem bebas dan ‘–nna’ adalah morfem terikat.

Begitu pula dengan kata dalam bahasa Bantaeng ‘pakaramulanna’, pemenggalannya ‘pakaramula–nna’. Dalam bahasa Bugis dan bahasa Bantaeng morfem terikat berada pada akhiran, sedangkan dalam bahasa Indonesia ‘berawal’ pemenggalannya ‘ber-awal’. Ber- merupakan morfem terikat dan ‘awal’ merupakan morfem bebas. Morfem terikatnya berposisi sebagai prefiks dalam proses afiksasi.

Kata ‘mawari’ dalam dalam bahasa Bugis dibentuk dalam dua morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas yakni ‘ma-wari’.‘ma-‘

menunjukkan morfem terikat dan ‘wari’ merupakan morfem bebas. Dalam bahasa Bantaeng terdiri dari dua kata yaitu ‘anu’ dan ‘bari’. Namun ketika kata ‘anu’ berdiri sendiri tidak bermakna.Jadi terbentuk sebagai morfem terikat dan ‘bari’ adalah morfem bebas. Dalam bahasa Indonesia, terbentuk menjadi satu frasa, tetapi hanya dibentuk dalam satu morfem yaitu morfem bebas, yaitu kata ‘sudah’ dan ‘basi’. Walaupun tidak dilekatkan pada satu kata dasar tetap mempunyai makna.

Kata ‘massumpajeng’ dalam bahasa bugis dibentuk dalam dua morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas, ‘mas’ sebagai morfem terikat dan ‘sumpajeng, sebagai morfem bebas. Dalam bahasa daerah Bantaeng ‘assumbayang’ dibentuk dalam dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem bebas ‘as’ sebagai morfem terikat dan ‘sumbayang’ sebagai morfem bebas. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘bersembahyang’ terdiri dari dua morfem yaitu ‘ber-‘ dan ‘sembahyang’. Dari ketiga kata, antara bahasa

Bugis, bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia, posisi morfem terikat masing-masing sebagai prefiks dalan proses afiksasi.

Dari masing-masing kata dari bahasa bugis, bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia, yaitu ‘mabbusa’, ‘abbusa’, berbusa’. Dari ketiga kata ini sama-sama dibentuk dalam dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem bebas. Posisi morfem terikat masing-masing sebagai prefiks dalam bentuk afiksasi.

Kata ‘makecce’ dalam bahasa Bugis terdiri dari dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem bebas.Pemenggalannya yaitu ‘ma’ sebagai morfem terikat dan ‘kecce’’ sebagai morfem bebas. Dalam bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia yaitu kata ‘dingin’ hanya berdiri sebagai morfem bebas.

Kata ‘makkarititu’ dalam bahasa Bugis terdiri dari dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem bebas, morfem terikat berposisi sebagai prefiksdan infiksdalam afiksasi dengan pemenggalan ‘mak-kari-‘

sedangkan morfem bebas dengan kata dasar ‘tutu’. Dalam bahasa Bantaeng dibahasakan ‘ sanna tutu’. Kata ini dibentuk dalam satu morfem yaitu morfem bebas, karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai makna, kata ‘sanna’ dan ‘tutu’. Dalam bahasa Indonesia yaitu kata ‘hati-hati’. Kata ini dibentuk dalam morfem bebas dengan proses reduflikasi, yaitu pengulangan kata secara dwilingga. Walaupun mempunyai dua kata tetapi hanya mempunyai satu makna, dan ketika pemenggalannya

‘hatidan ‘hati’ maka hilang maknanya,.Jadi, harus dipadukan menjadi kata

‘hati-hati’.

Kata ‘maccule-cule’ dalam bahasa bugis dibentuk dalam dua morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas. Dengan pemenggalan

‘mac-‘ sebagai morfem terikat dan ‘cule-cule’ sebagai morfem bebas. Kata

‘maccule-cule juga dibentuk melalui proses reduflikasi dwipurwa yaitu pengulangan secara sebahagian. Dalam bahasa Bantaeng kata ‘akkare-karena’. Juga mengalami proses morfologi yang sama dengan kata

‘accule-cule’ dari bahasa bugis. Begitupun dalam bahasa Indonesia kata

‘bermain-main’ selain terdiri dari dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem bebas juga diproses melalui reduflikasi dwipurwa.

Kata ‘annasuang’ dalam bahasa Bugis dibentuk dalam dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem bebas, sekaligus juga mengalami proses konfiks dalam afiksasi yaitu ‘an-ang’, sedangkan kata ‘nasu’ adalah morfem bebas. Begitu pun dalam bahasa Bantaeng, kata ‘pappalluang’

dengan pemenggalan ‘pap-pallu-ang’.Konfiks ‘pap-ang’ sebagai morfem terikat dan ‘pallu’ sebagai morfem bebas.Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ‘dapur’ berdiri sendiri yaitu dibentuk dalam morfem bebas karena tidak ada morfem yang melekat pada kata dasar tersebut.

4. Sintaksis Bahasa Bugis

Manusia dalam bertutur sapa, berkisah, atau segala sesuatu yang dapat dikatakan sebagai berbahasa, selalu memunculkan

kalimat-kalimat yang dirangkai, dijalin sedemikian rupa, sehingga berfungsi optimal bagi si penutur dalam upaya mengembangkan akal budinya dan memelihara kerjasamanya dengan orang lain. Dalam sintaksis bidang yang menjadi lahannyaadalah unit bahasa yang berupa wacana,kalimat, klausa, frase dan kata. Berikut contoh sintaksis dalam unit kalimat bahasa daerah Bugis, bahasa daerah Bantaeng dan bahasa Indonesia.

1. Melo’ka mancaji persideng.

Ero’a anjari persideng.

Saya ingin menjadi presiden.

2. Cemmeka nappa manre Anrioa nampa nganre Saya mandi lalu makan

3. Tabe, ala’ka bajukku ki lamarie!

Tabe, Alleangnga bajungku ri lamaria!

Tolong ambilkan baju di lemariku!

4. Angkani tau pole, na de’pa nasiap angreangnge

Niami tau battua, na anreppa nasiap kanre-kanreannnga Para tamu sudah datang, sedangkan makanan belum siap saji

5. Iga maqbola akkoro ? Inai a’bayu balla konjo ?

Siapa yang membuat rumah disitu ?

Pada contoh kalimat (1) menunjukkan kalimat berita , yaitu memberitakan sesuatu kepada pendengar atau pembaca. Dalam bahasa lisan, kalimat berita ditandai dengan nada menurun, sedangkan pada pada bahasa tulis ditandai pada bagian akhir kalimatnya dengan tanda titik.Kalimat berita mempunyai berbagai tujuan berdasarkan penggunaannya, yaitu sebagai pemberitahuan, laporan, pengharapan, permohonan, perkenalan, undangan dan sebagainya.Kalimat “Melo’ka mancaji persideng” pada contoh sintaksis bahasa bugis, merupakan kalimat berita yang tujuannya bersifat pemberitahuan, baik itu kepada masyarakat penutur secara langsung ataupun dalam bentuk tertulis yang disampaikan kepada pembaca.Jabatan kalimat yang mengikuti pada contoh, yaitu S-P-O.Kata ‘melo’ka, ero’a dan saya’ berfungsi sebagai subjek, kata ‘mancaji, anjari, dan ingin menjadi’ berfungsi sebagai predikat, dan kata ‘presideng, presideng, dan presiden’ berfungsi sebagai objek.

Pada contoh kalimat (2) menunjukkan kalimat majemuk setara, yang ditandai dengan kata penghubung lalu, dan , kemudian. Dari ketiga contoh kalimat, masing-masing dari bahasa bugis, bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia. Kalimat setara dari bahasa Indonesia menggunakan kata penghubung ‘lalu’ kalimat setara dari bahasa Bugis dan Bantaeng yaitu kata penghubung ‘nappa, nampa’, maknanya sama dengan kata penghubung ‘lalu’. Jabatan kalimat yang mengikuti adalah

(S-P).kata‘saya’ merupakan subjek dan ‘mandi lalu makan’ merupakan predikat.

Pada contoh kalimat (3) menunjukkan kalimat berjenis perintah, yaitu memberikan perintah untuk melakukan sesuatu.Dalam bahasa lisan ditandai dengan naiknya nada pada akhir kalimat, sedangkan dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda seru (!) pada akhir kalimat.

Jabatan kalimat yang mengikuti( Pel-P-O-Kt)

Pada contoh kalimat (4) menunjukkan kalimat yang berjenis kalimat majemuk bertingkat, dimana salah satu unsurnya ada yang menduduki induk kalimat, sedangkan unsur lainnya menduduki anak kalimat.“Angkani tau pole, Niami tau battue, Para tamu sudah datang”

Ketiga kalimat tersebut menduduki sebagai induk kalimat. Sedangkan yang menduduki anak kalimat adalah “na de’pa nasiap angreangnge, na anreppa nasiap kanre-kanreannnga, sedangkan makanan belum disiapkan”.Jabatan kalimat yang mengikuti pada kalimat bahasa Indonesia adalah( S-P-O-Kw-Pel ). Sedangkan antara kalimat bahasa Bugis dan bahasa Bantaeng jika ingin dilekatkan dengan jabatan kalimat, maka terjadi pergeseran struktur jabatan kalimatnya “Angkani tau pole, na de’pa nasiap angreangnge. Niami tau battua, na anreppa nasiap kanre-kanreannga. Jabatan yang mengikutinya( P-S-P-O).

Pada contoh kalimat (5) menunjukkan kalimat tanya. Dalam bentuk lisan kalimat tanya ditandai dengan nada naik pada akhir kalimat.

Sedangkan pada kalimat tanya dalam bentuk tertulis ditandai dengan tanda tanya (?). Jabatan kalimat yang mengikuti ( S-P-O-K ). Kata “iga, inai, siapa” merupakan subjek.Kata “maq, a’bayu, yang membuat”

merupakan predikat.Kata “bola, balla, rumah” merupakan objek. Kata akkoro, konjo , di situ” menunjuk keterangan tempat.

B. Pembahasan

1. Keadaan Responden

Berdasarkan rencana penelitian bahwa jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 50 orang dari 400 orang penutur Bahasa Bugis di tengah lingkungan penutur bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng namun jumlah kuesioner yang dikembalikan dan terisi dengan baik sebanyak 40 kuesioner, sehingga jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 respondenyang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 25 orang perempuan. Respondendalam penelitian ini dikelompokkan menjadi empat kategori umur yangselanjutnya disebut sebagai generasi, responden yang berumur diatas 50tahun sebagai generasi pertama, umur 28-29 tahun sebagai generasikedua, umur 16-27 tahun sebagai generasi ketiga, dan umur 11-15 tahunsebagai generasi

keempat. Berikut tabel responden berdasar kategorijenis kelamin dan umur.

Tabel 1

Tabel Keadaan Responden Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah

11-15 4 6 10

16-27 5 5 10

28-49 2 8 10

> 50 4 6 10

Jumlah 40

Selain itu, keadaan responden juga dikategorikan berdasarkantingkat pendidikannya yang terdiri atas, tingkat pendidikan TTSD/SD,SMP, dan PT. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2

Tabel keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat

Pendidikan

Responden

1 TTSD/SD 6

2 SMP 15

3 SMA 15

4 PT 4

Jumlah 40

Selanjutnya, keadaan responden juga dikategorikan berdasarkanjenis pekerjaannya yang terdiri atas petani, pedagang/ jual beli, pelajar,PNS, URT, lain-lain, dan tidak bekerja.

2. Situasi Kebahasaan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa umumnyamasyarakat Bantaeng berdwibahasa, adapun kedwibahasaan padamasyarakat Bantaeng bersifat substraktif, atau dengan kata lainfungsi-fungsi sosiolinguistik dari bahasa Bugis digantikan olehbahasa Bantaeng Berdasarkan data dan informasi lain yang diperoleh olehpenulis, umumnya masyarakat Bugis beralih dari pengguna ataupenutur bahasa Bugis menjadi pengguna atau penutur bahasa Bantaeng. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan bersama seoranginforman bapak Kamal (50 tahun), dia mengatakan bahwa,kebudayaan Bantaeng, termasuk bahasa yang ada didalamnya mulaidipengaruhi oleh kebudayaan dari luar sejak 1970-an, yaitu sejakmasyarakat Bantaeng melakukan kawin campur dengan masyarakatyang berasal dari luar Bantaeng, selain itu perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi juga diduga ikut memengaruhi pergeseranbahasa Bugis di Bantaeng.

3.Kedwibahasaan

Berdasarkan situasi kedwibahasaan responden, ada tiga polakedwibahasaan yang digunakan yakni BBB+BS (bahasa Bugis dan bahasa Bantaeng), BS+BI (bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia), dan

BB+BS+BI (bahasa Bugis, bahasa Bantaeng, dan bahasaIndonesia).Ada beberapa jeniskedwibahasaan yang biasanya terjadi pada suatu masyarakat tutur(responden), yaitu kedwibahasaan berdasarkan bentuk dan jenisnya.Berdasarkan bentuk dan jenisnya, kedwibahasaan ini dapat dibedakanberdasarkan cara terjadinya, berdasarkan tingkatannya, berdasarkankemampuannya, berdasarkan perkembangannya, dan berdasarkanpengaruhnya terhadap bahasa pertama.

Berdasarkan cara terjadinya, kedwibahasaan digolongkan menjadi dua yaitu kedwibahasaan primer dan kedwibahasaan sekunder.Kedwibahasaan primer ialah pemerolehan bahasa kedua melaluilingkungan masyarakat karena desakan atau keperluan terhadap bahasa

kedua tersebut, sedangkan kedwibahasaan sekunder ialahkedwibahasaan yang diperoleh melalui atau berdasarkan prosespendidikan.Dari hasil penelitian yang dilakukan, responden yang memerolehbahasa Bantaeng secara primer (lingkungan masyarakat) sebanyak 93,1%,dan responden memeroleh bahasa Bantaeng secara sekunder (pendidikan)sebanyak 6,9%. Sementara itu, responden memeroleh bahasa Indonesiasecara sekunder (pendidikan) sebanyak 77,8 % dan memeroleh BahasaIndonesia primer (di lingkungan masyarakat) sebanyak 22,2 %.Berdasarkan data tersebut, telahmenjadi bahasa sehari-hari di wilayahEreng-Ereng.Kecamatan tompobulu Kabupatn Bantaeng.bahasaBantaeng sangat berpotensimenggeser bahasa Bugis sebab pemerolehan bahasa

Bantaeng tersebut diperoleh melalui pergaulan sehari-hari dalam lingkunganmasyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa bahasa BantaengBahasa Indonesiatidak terlalu memiliki pengaruh yang besar dalam menggeser bahasa Bugis karena umumnya masyarakat (responden) memerolehbahasa Indonesia hanya melalui lingkungan pendidikan (sekolah) atau

dengan kata lain bahasa indonesia tidak digunakan sebagai bahasautama, melainkan hanya sebagai bahasa pelengkap yang digunakan pada

saat dan situasi tertentu saja.

Kedwibahasaan berdasarkan kemampuannya dibedakan ataskedwibahasaan aktif-produktif dan pasif-reseptif. Kedwibahasaan aktifproduktifialah kedwibahasaan yang memiliki kemampuan berbicara danmenulis dengan lancar, sedangkan kedwibahasaan pasif-reseptif ialahkedwibahasaan yang hanya bisa mengerti dan kurang bisa berbicara dengan menggunakan bahasa tersebut.Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 95,8% responden memilikikemampuan kedwibahasaan aktif-produktif terhadap bahasa Bantaeng dan4,2% responden yang memiliki kedwibahasaan pasif-reseptif terhadapbahasa Bantaeng. Sementara itu, responden yang memiliki kemampuankedwibahasaan aktif-produktif terhadap bahasa Indonesia sebanyak65,3%, dan responden yang memiliki kedwibahasaan pasif-reseptifterhadap bahasa Indonesia sebanyak 34,7%.Semua jenis kedwibahasaan di atas jika dihubungkan denganpergeseran bahasa Bugis, maka terlihat jelas bahwa bahasa

Bantaeng mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menggeserbahasa Bugis. Hal ini disebabkan oleh sebanyak 95,8%responden memiliki kemampuan bahasa Bantaeng secara aktif-produktif.

Hal ini berarti bahwa masyarakat pengguna bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng sudah sejak lamamenguasai dan menggunakan bahasa Bantaeng sebagai bahasakomunikasi sehari-hari mereka.Selanjutnya, kedwibahasaan berdasarkan tingkatannya dibagimenjadi dua yaitu kedwibahasaan maksimalis dan kedwibahasaanminimalis, namun jenis kedwibahasaan ini sebenarnya sama saja dengankedwibahasaan aktif-produktif dan kedwibhasaan pasif-reseptif.Kedwibahasaan berikutnya adalah kedwibahasaan berdasarkantingkat perkembangannya, kedwibahasaan ini terdiri atas kedwibahasaandini, kedwibahasaan menengah dan kedwibahasaan lambat.Jeniskedwibahasaan ini dapat dibedakan berdasarkan pemerolehan bahasakedua.Pemerolehan yang dimaksud adalah pemerolehan bahasa padamasa pertumbuhan atau pada masa perkembangan dan masa lanjut. Dari

data yang diperoleh kedwibahasaan dini responden terhadap bahasa Bantaeng adalah sebanyak 69,4%, kedwibahasaan tengah (masa sekolah)adalah 31,4%. Sementara itu kedwibahasaan dini responden terhadapbahasa Indonesia adalah sebanyak 4,2%, kedwibahasaan tengah 84,7%,sedangkan kedwibahasaa lambat sebanyak 11,1%.Data tersebut

menunjukkan bahwa pada umumnya responden ataumasyarakat penutur bahasa Bugis memeroleh bahasa Bantaeng sejak atau pada masa anak-anak (dini), atau dengan kata lain bahasa Bantaeng sudah diajarkan oleh orang tua mereka sejak mereka masih kecil. Sedangkan pemerolehan bahasa Indonesia umumnya diperoleh padatahap tengah atau masa sekolah (lingkungan pendidikan).Kedwibahasaan selanjutnya adalah kedwibahasaan berdasarkan pengaruhnya terhadap bahasa Bugis (B1).

Berdasarkan data,hasil wawancara, dan observasi yang dilakukan oleh penulis, diperolehinformasi bahwa penggunaan bahasa Bantaeng bersifat substraktif terhadapbahasa Bugis atau dengan kata lain bahasa Bantaeng tersebutbukan berfungsi sebagai bahasa komplementer pada masyarakat pengguna bahasa bugis, namun lebih sebagai bahasa yang mengganti fungsi-fungsidan peran bahasa Bugis. Hal tersebut dapat dilihat padatingginya persentase penggunaan bahasa Bantaeng dibandingkan denganpersentase penggunaan bahasa Bugis pada hampir semua ranahpenggunaan bahasa.

Berdasarkan jenis dan tingkatan kedwibahasaan yang telahdijelaskan di atas, maka bila dilihat dari cara terjadinya, masyarakat pengguna bahasa Bugis (responden) pada umumnya memeroleh bahasa Bantaeng dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat (non formal),sedangkan untuk pemerolehan bahasa Indonesia umumnya diperoleh dilingkungan sekolah (formal). Jika dihubungkan dengan pergeseranbahasa, maka semua jenis kedwibahasaan memiliki pengaruh

yangsangat besar terhadap pergeseran bahasa Bugis. Hal tersebutdisebabkan oleh pemerolehan bahasa Bantaeng yang sejak masa anak-anakdi lingkungan keluarga atau lingkungan masyarakat, atau dengankata lain bahwa bahasa Bantaeng ini sudah digunakan sebagai bahasapergaulan sehari-hari baik dalam lingkungan rumah tangga (keluarga),maupun dalam lingkungan masyarakat pengguna Bahasa Bugis. Hal tersebut tentu saja menyebabkan penguasaan dan penggunaan bahasa

Bugis pada masyarakat Kabupaten Bantaeng menjadi sangat kurang.

4. Gambaran Umum Penetrasi Bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng

Bahasa Bugis adalah salah satu bahasa daerah yang dipelihara dengan baik olehmasyarakat penuturnya, yakni masyarakat Bugis yang bermukim di wilayah kabupaten Bantaeng dan sudah ada sejak dulu serta dipakaisecara terbuka sebagai alat komunikasi dalam berbagai kehidupan di wilayah penutur Bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng, seperti dalamrumah tangga, tempat-tempat umum, masyarakat.

Kondisi real bahasa Bugis di wilayah kabupaten Bantaeng dalam kenyataannyatidak bisa lepas dari kondisi masyarakat Bantaeng itu sendiri.Artinya ragam dialek bahasaBugis menjadi sebuah cerminan etika ke-Bugis-an manusia Bugis-Makassar dalam sosial kemasyarakatannya.Sehingga bahasa Bugis bukan dominasi masyarakat Bantaeng.Bahasa Bugis di wilayah Kabupaten Bantaeng dalam sepanjang

perjalanannya sejak zaman sejarah, kemudian mulaiabad ke delapan,

perjalanannya sejak zaman sejarah, kemudian mulaiabad ke delapan,

Dokumen terkait