• Tidak ada hasil yang ditemukan

George dan Yule, 2015 (dalam Suwakil 2018) mengemukakan aspek bahasa yaitu terdiri dari kata, kalimat, bunyi, dan makna. Keempat aspek tersebut, antara lain:

1) Kata

Kata menurut Chaer (2008: 5) merupakan satuan terkecil yang biasa dan dapat menduduki salah satu fungsi sintaksis (subjek, predikat, objek, atau keterangan). Kridalaksana, 2008 (dalam Suwakil 2018) mejelaskan proses morfologis yang utama, yaitu derivasi zero, afiksasi, reduplikasi, abreviasi (pemendekan), komposisi (perpaduan), dan derivasi balik.

a. Derivasi zero merupakan proses morfologis yang mengubah leksem menjadi kata tanpa penambahan atau pengurangan apapun, misalnya leksem batu menjadi kata batu, Kridalaksana dalam Kamus Linguistik edisi ketiga (1993: 41).

b. Kridalaksana dalam Kamus Linguistik edisi ketiga (1993: 3) afiksasi merupakan proses atau hasil penambahan afiks pada akar, dasar, atau alas. Konsep ini mencakup prefix, sufiks, infiks, simulfiks, konfiks, dan suprafiks.

c. Reduplikasi menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik edisi ketiga (1993: 186) merupakan proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal, misalnya rumah-rumah, tetamu, bolak-balik, dsb. Terdapat tiga macam reduplikasi, yaitu reduplikasi fonologis, reduplikasi morfologis, dan reduplikasi sintaksis. Reduplikasi fonologis merupakan pengulangan unsur-unsur fonologis seperti fonem, suku kata, atau bagian kata, missal lelaki, pipi, dan kupu-kupu. Reduplikasi morfologis merupakan pengulangan morfem yang menghasilkan kata, missal rumah-rumah, mengobar-ngobarkan. Sedangkan reduplikasi sintaksis merupakan pengulangan morfem yang menghasilkan klausa, missal jauh-jauh, didatanginya (=walaupun jauh, didatanginya). d. Abreviasi (pemendekan) merupakan proses morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian dari kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi ini menyangkut penyingkatan, pemenggalan, akronimi, kontraksi, lambing huruf, Kridalaksana dalam Kamus Linguistik edisi ketiga (1993: 1).

e. Komposisi (perpaduan) merupakan proses penggabungan dasar dengan dasar (biasa berupa akar maupun bentuk berimbuhan) untuk mewadahi suatu “konsep” yang belum tertampung dalam sebuah kata menurut Chaer (2008: 209).

f. Derivasi balik merupakan pembentukan kata secara terbalik, missal tikah dalam ditikahkan dibentuk dari kata nikah berdasarkan analogi dengan pola yang ada (misalnya tanya menjadi nanya), jadi tikah dianggap sebagai asalnya sedangkah nikah sebagai bentuk derivasinya, padahal kebalikannya yang betul (hal ini kita ketahui karena nikah berasal dari Bahasa Arab) Kridalaksana dalam Kamus Linguistik edisi ketiga (1993: 41).

2) Kalimat

Menurut Chaer (2009: 44) kalimat merupakan satuan di atas klausa dan di bawah wacana. Kalimat adalah satuan bahasa yang menjadi inti dalam pembicaraan sintaksis.

Chaer (2009), jenis kalimat dibagi berdasarkan tiga kategori antara lain:

a. Berdasarkan kategori klausanya dibedakan adanya, (a) kalimat verbal, yakni kalimat yang predikatnya berupa verba atau frase verbal, (b) kalimat ajektifal, yakni kalimat yang predikatnya berupa ajektifa atau frase ajektifal, (c) kalimat nominal, yakni kalimat yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal, (d) kalimat preposisional, yakni kalimat yang predikatnya berupa frase preposisional. Perlu dicatat kalimat jenis ini hanya digunakan dalam bahasa ragam nonformal, (e) kalimat numeral, yakni kalimat yang predikatnya berupa numeralia atau

frase numeralia. Perlu dicatat kalimat jenis ini hanya digunakan dalam bahasa ragam nonformal, (f) kalimat adverbial, yakni kalimat yang predikatnya berupa adverbial atau frase adverbial. b. Berdasarkan jumlah klausanya dibedakan adanya, (a) kalimat

sederhana, yakni kalimat yang dibangun oleh sebuah klausa, (b) kalimat “bersisipan”, yakni kalimat yang pada salah satu fungsinya “disisipkan” sebuah klausa sebagai penjelas atau keterangan, (c) kalimat majemuk rapatan, yakni sebuah kalimat majemuk yang terdiri dari dua klausa atau lebih di mana ada fungsi-fungsi klausanya yang dirapatkan karena merupakan substansi yang sama, (d) kalimat setara, yakni kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih dan memiliki kedudukan yang setara, (e) kalimat majemuk bertingkat, yakni kalimat yang terdiri dari dua buah klausa yang kedudukannya tidak setara, (f) kalimat majemuk kompleks, yakni kalimat yang terdiri dari tiga klausa atau lebih yang di dalamnya terdapat hubungan koordiatif (setara) dan juga hubungan subordinatif (bertingkat), Chaer (2009: 46).

c. Berdasarkan modusnya dibedakan adanya, (a) kalimat berita (deklaratif), yakni kalimat yang berisi pernyataan belaka, (b) kalimat Tanya (interogatif), yakni kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu diberi jawaban, (c) kalimat perintah (imperatif), yakni kalimat yang berisi perintah dan perlu diberi

reaksi berupa tindakan, (d) kalimat seruan (interjektif), yakni kalimat yang menyatakan ungkapan perasaan, dan (e) kalimat harapan (optatif), yakni kalimat yang menyatakan harapan atau keinginan, Chaer (2009: 46).

3) Bunyi

Muslich (2010: 2, dalam Suwakil, 2018) bunyi bahasa dapat dikatakan dengan istilah lain yaitu bunyi-bunyi ujar yang dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Dalam hal ini, bunyi-bunyi ujar merupakan unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan sekaligus berfungsi sebagai pembeda makna.

Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis, Muslich (2010: 118-127, dalam Suwakil 2018), antara lain 1) asimilasi merupakan perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hamper sama, 2) disimilasi merupakan kebalikan dari asimilasi, yaitu perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda, 3) modifikasi vokal merupakan perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya, 4) netralisasi merupakan perubahan bunyi fenomis sebagai akibat pengaruh lingkungan, 5) zeroisasi merupakan penghilangan bunyi fenomis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan, 6) metatesis merupakan perubahan urutan bunyi

fenomis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing, 7) diftongisasi merupakan perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi vokal rangkap (diftong) secara berurutan, 8) monoftongisasi merupakan perubahan dua bunyi vokal (diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong), dan 9) anaptiksis merupakan perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk mempelancar ucapan.

4) Makna

Chaer (2011: 30) makna atau arti lazim didefinisikan sebagai pengertian atau konsep yang terdapat di dalam satuan bahasa itu. Jadi, satuan bahasa itu adalah wadah bagi kita untuk menyampaikan konsep atau pengertian itu. Setiap kata, seperti sudah dibicarakan sebelumnya mempunyai makna yang disebut makna kata atau makna leksikal.

Chaer membagi jenis makna secara berpasang-pasangan menurut beberapa sudut pandang berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada dan tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada dan tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus, lalu berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat

disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik, dan sebagainya (Chaer, 1990: 61-80) :

a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata), Chaer (1990: 62). Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1990: 64). b. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial

Makna referensial adalah bila kata-kata memiliki referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu. Sebaliknya, makna nonreferensial adalah kata-kata tidak memiliki referen. Misalnya, kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena memiliki referen, yaitu sejenis perabotan rumah tangga yang disebut „meja‟. Sedangkan kata karena tidak memiliki referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial (Chaer, 1990: 66).

c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya (Chaer, 1990: 68). Missalnya, kata perempuan atau wanita kedua kata itu memiliki makna yang sama, yaitu manusia dewasa bukan

laki-laki. Makna konotatif adalah makna yang tidak sebenarnya, makna ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Misalnya, kata

ceramah duli berkonotasi negatif karena berarti „cerewet‟,

tetapi sekarang konotasinya positif, Chaer (1990: 71). d. Makna Kata dan Makna Istilah

Makna kata adalah setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Sebaliknya, makna istilah adalah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks.

Perbedaan antara makna kata dan makna istilah, dapat dilihat sebagai berikut:

1. Tangannya luka kena pecahan kaca. 2. Lengannya luka kena pecahan kaca.

Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas memiliki makna yang sama, namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan. Sedangkan, kata lengan merupakan bagian dari pergelangan sampai pangkal bahu, Chaer (1990: 72&73).

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan refernnya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual „sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai‟. Jadi makna konseptual sebenarnya sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata

melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian,

Chaer (1990: 74&75 ).

f. Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang menyimpang dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna „bekerja keras‟, meja hijau dengan makna „pengadilan‟ (Chaer, 1990: 77).

Peribahasa adalah makna yang masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau urutan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya. Misalnya, peribahasa

dua orang yang tidak pernah akur‟. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah akur. (Chaer, 1990: 79).

g. Makna Kias

Istilah kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut memiliki arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti „bulan‟,

raja siang dalam arti „matahari‟ (Chaer, 1994).

Dokumen terkait