• Tidak ada hasil yang ditemukan

Basel Frame Work

Dalam dokumen Booklet Perbankan Indonesia 2016 (Halaman 69-73)

PERKEMBANGAN DAN ARAH KEBIJAKAN

C. Basel Frame Work

1. Implementasi Kerangka Permodalan Basel

Indonesia sebagai salah satu anggota dalam forum G-20 serta forum-forum internasional lainnya, seperti Financial Stability Board (FSB), Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) telah memberikan komitmennya untuk mengadopsi rekomendasi yang dihasilkan oleh forum-forum tersebut. Sejalan dengan itu, serta dengan adanya pengalihan fungsi pengawasan bank dari BI kepada OJK, maka ke depan OJK di dalam melaksanakan tugas-tugasnya tidak terlepas dalam upaya mengadopsi berbagai rekomendasi tersebut. Dalam melakukan proses adopsi dari berbagai rekomendasi tersebut di atas, OJK tetap akan menyesuaikan dengan kondisi dan perkembangan industri perbankan di dalam negeri. 2. Evolusi Kerangka Permodalan Basel

Permodalan merupakan salah satu fokus utama otoritas pengawas bank dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian. BCBS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang menjadi standar secara internasional yaitu sebagai berikut:

a. Tahun 1988, mengeluarkan konsep permodalan serta perhitungan ATMR khusus untuk risiko kredit;

b. Tahun 1996, menyempurnakan komponen modal dengan menambahkan Tier 3 serta perhitungan ATMR Risiko Pasar;

c. Tahun 2006, mengeluarkan dokumen International Convergence on Capital Measurement and Capital Standard (A Revised Framework) atau lebih dikenal dengan Basel II;

d. Tahun 2009, mengeluarkan rekomendasi Basel 2.5 yang mencakup kerangka perhitungan ATMR Risiko Pasar dengan menggunakan internal model, pengenaan beban modal untuk transaksi sekuritisasi, aspek manajemen risiko untuk kompensasi, risiko konsentrasi, risiko reputasi dan stress testing, valuasi atas seluruh eksposur yang dicatat berdasarkan fair value, dan pengungkapan sekuritisasi;

e. Tahun 2010, dalam rangka merespon krisis keuangan global, BCBS mengeluarkan

rekomendasi peningkatan ketahanan bank baik di level mikro maupun makro atau dikenal dengan kerangka Basel III.

3. Implementasi Kerangka Basel II di Indonesia

a. Kerangka Basel II (Pilar 1, Pilar 2 dan Pilar 3) di Indonesia telah diimplementasikan secara penuh sejak Desember 2012. Beberapa ketentuan yang terkait dengan implementasi Basel II tersebut antara lain sebagaimana ilustrasi berikut:

SE No. 7/51/DPNP

PBI No. 13/21/PBI/2013 BASEL II Risiko Kredit Standardised Approach Internal Rating Based Approach Standardised

Approach InternalModel Basic IndicatorApproach StandardisedApproach AMA

Risiko Pasar Risiko Operasional PBI No. 10/15/PBI/2008

PBI No. 15/12/PBI/2013

SE No. 14/21/DPNP SE No. 13/6/DPNP

PBI No. 7/4/PBI/2005 SE No. 9/3/DPNP SE No. 11/3/DPNP

Keterangan : Final Rule in force Draft Regulation not published

SE BI No. 14/21/DPNP

Pilar 1. Minumum

Capital Requirement Pilar 2. SupervisoryReview Process Pilar 3. MarketDiscipline

PBI No. 14/18/PBI/2012 SE No. 14/37/DPNP PBI No. 15/12/PBI/2013

PBI No. 14/14/PBI/2012 SE No. 14/35/DPNP

Gambar 4.2: Implementasi Kerangka Basel II

b. Kerangka Basel 2.5

Dalam rangka penerapan kerangka remunerasi di Indonesia sebagai salah satu bagian kerangka Basel 2.5, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 45/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Dalam Pemberian Remunerasi pada tanggal 23 Desember 2015. Lebih lanjut, pada bulan Januari 2016, OJK juga melakukan penyempurnaan atas Consultative Paper (CP) Basel 2.5 yang diterbitkan di tahun 2013 dengan menerbitkan CP mengenai Sekuritisasi pada Januari 2016.

c. Kerangka Basel III 1) Kerangka Permodalan

Pada tanggal 12 Desember 2013 telah diterbitkan PBI No. 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum yang mengatur mengenai: (i) peningkatan kualitas permodalan melalui perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal sesuai dengan kerangka

Basel III; (ii) kewajiban penyediaan rasio permodalan yang terdiri dari rasio modal inti paling rendah sebesar 6% dari ATMR dan rasio modal inti utama paling rendah sebesar 4,5% dari ATMR, dan (iii) kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) di atas Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko.

Implementasi atas ketentuan Basel III tersebut dilakukan secara bertahap sejak 2014 hingga implementasi penuh pada 2019, dengan

Gambar 4.3: Kerangka Permodalan Basel III di Indonesia

pentahapan implementasi sebagai berikut: 2) Kerangka Likuiditas

Selain kerangka permodalan, Basel III juga memperkenalkan 2 (dua) standar yang berlaku secara internasional untuk mengukur level minimum likuiditas tertentu yang harus dipelihara oleh bank sebagai antisipasi dalam menghadapi krisis, yaitu Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR). LCR merupakan ukuran likuiditas yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan likuiditas jangka pendek bank dengan memelihara aset likuid berkualitas tinggi/ High Quality Liquid Asset (HQLA) yang cukup untuk menutupi jumlah arus kas bersih dalam 30 hari kedepan, sedangkan NSFR merupakan ukuran likuiditas yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan likuiditas jangka panjang bank dengan mensyaratkan

bank untuk mendanai kegiatannya dengan pendanaan yang stabil melebihi jumlah yang diperlukan selama periode stress dalam satu tahun. Dalam rangka implementasi LCR di Indonesia, OJK telah menerbitkan CP pada bulan September 2014 untuk meminta tanggapan dari Industri dan pada tahun 2015 diharapkan regulasi LCR telah dapat diterbitkan untuk diimplementasikan pada tahun 2016. Sebelum LCR efektif diimplementasikan pada 2016, kepada bank-bank tertentu telah diminta untuk melakukan uji coba perhitungan LCR yang dimulai untuk periode data Desember 2014 serta uji coba pengungkapan LCR yang akan mulai dilakukan pada triwulan I 2015 bersamaan dengan laporan keuangan publikasi triwulanan. Pemenuhan atas rasio LCR ini akan dilakukan secara bertahap sejalan dengan timeline BCBS, yaitu sejak 1 Januari 2015 dengan rasio minimum sebesar 60% sampai dengan 1 Januari 2019 dengan rasio 100% (setiap tahun meningkat sebesar 10%). Sementara itu, terkait NSFR sesuai timeline BCBS, implementasi NSFR akan dimulai sejak 1 Januari 2018. Sejalan dengan hal tersebut, maka sebelum NSFR efektif diimplementasikan di Indonesia, OJK akan menerbitkan CP untuk meminta tanggapan dari berbagai pihak yang terkait.

3) Kerangka Leverage

Sebagai upaya untuk membatasi pembentukan leverage yang berlebihan pada sistem perbankan, BCBS juga memperkenalkan rasio tambahan yaitu leverage ratio sebagai suatu non-risk based approach yang melengkapi rasio permodalan sesuai profil risiko yang telah berlaku. Tujuan leverage ratio tersebut adalah sebagai backstop dari rasio permodalan sesuai profil risiko untuk mencegah terjadinya pembentukan leverage yang berlebihan untuk menghindari terjadinya

proses deleveraging yang memburuk yang dapat membahayakan keseluruhan sistem keuangan dan perekonomian. Minimum leverage ratio yang harus dipenuhi adalah sebesar 3% yang dihitung dengan membagi modal inti (Tier 1) dengan total eksposur bank (tanpa berisiko tertimbang).

Dalam rangka implementasi leverage ratio, OJK telah menerbitkan CP Leverage Ratio pada bulan Oktober 2014 untuk meminta masukan dari berbagai pihak yang terkait. Implementasi Leverage Ratio di Indonesia akan mulai efektif diimplementasikan sejak 1 Januari 2018. Hal ini sejalan dengan timeline BCBS yang mensyaratkan Leverage Ratio sebagai bagian dari pilar 1 sejak 1 Januari 2018.

Selain itu, sejalan dengan persyaratan BCBS bahwa terdapat kewajiban pengungkapan Leverage Ratio kepada publik mulai Januari 2015, maka sebelum Leverage Ratio efektif diimplementasikan, bank-bank diminta untuk melakukan ujicoba perhitungan yang akan dimulai untuk data Desember 2014 dan pengungkapan leverage ratio yang akan dimulai pada triwulan I 2015 bersamaan dengan laporan keuangan publikasi

D. Bank Pembangunan Daerah sebagai Regional

Dalam dokumen Booklet Perbankan Indonesia 2016 (Halaman 69-73)