• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batang Gram Positif yang Tidak Membentuk Spora

Dalam dokumen Basil Gram Positif Dan Gram Negatif (Halaman 24-34)

Ciri –ciri Khas Organisme

Korinebakteria berdiameter 0,5-1 µm dan panjangnya beberapa micrometer. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.

Biakan

Pada agar darah koloni C. diphteriae tampak kecil, bergranula, dan berwarna kelabu, dengan batas-batas yang tidak teratur, dan memiliki daerah hemolisis yang kecil. Pada agar yang mengandung kalium telurit, koloni berwarna kelabu sampai hitam sebab telurit direduksi di dalam sel (Staphylococcus dan Streptococcus dapat juga membentuk koloni hitam). Ketiga biovar C. diphtheriae secara khas mempunyai gambaran sebagai berikut: gravis, mitis,

intermedius. Varian ini diklasifikasikan berdasarkan ciri khas pertumbuhan seperti morfologi koloni, reaksi biokimia, dan sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi. Sangat sedikit referensi laboratorium yang memberikan ciri khas boivar; insiden difteri telah sangat menurun dan hubungan berbagai penyakit dengan biovar tidak penting untuk klinik atau pengaturan kesehatan masyarakat terhadap suatu kasus atau wabah. Jika diperlukan dalam suatu wabah, metode imunokimia dan molekuler dapat digunakan untuk menggolongkan isolat C. diphtheriae.

Sifat-sifat Pertumbuhan

C. diphtheriae dan korinebakteria lain tumbuh secara aerob pada sebagian besar [perbenihan laboratorium. Propionibacterium, bersifat anaerob. Pada perbenihan serum Loeffler, korinebakteria tumbuh jauh lebih mudah daripada kuman patogen pernapasan lainnya, dan pada sediaan mikroskopik, morfologi organisme tampak khas. Kuman ini membentuk asam, tetapi tidak membentuk gas pada beberapa karbohidrat, seperti diperlihatkan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 3-1. Contoh Reaksi Metabolisme Glukosa 1 Maltosa 1 Sukrosa 1 Ureasa 1 C. diphtheriae + + - -C. xerosis + + + -C. pseudodiphtheriticum2 - - - + C. pyogenes (C. haemolyticum) + + +

- Variasi dan Perubahan

Korinebakteria cenderung menjadi pleomorf pada morfologi mikroskopik dan pada morfologi koloni. Bila bakteri difteria tidak toksigenik diinfeksi oleh bakteriofaga dari bakteri difteria toksigenik tertentu, turunan dari bakteri yang terinfeksi akan bersifat lisogenik dan toksigenik, dan sfat ini kemudian dapat diturunkan. Bila bakteri Difteria toksigenik dibiak berturut-turut pada anti-serum spesifik terhadap faga tidak aktif yang ada di dalam selnya, bakteri tersebut cenderung menjadi tidak toksigenik. Jadi, penambahan faga cenderung menimbulkan toksigenisitas (perubahan lisogenik). Pembentukan toksin sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik C. diphtheriae terinduksi dan melisiskan sel. Toksinisitas dikendalikan gen faga, sedangkan daya invasi dikendalikan gen bakteri.

b. Struktur Antigen

Telah ditemukan perbedaan serologik antar tipe dan tiap tipe C. diphtheriae, tetapi tidak tersedia klasifikasi serologik yang memuaskan. Tes-tes serologik umumnya tidak dipakai pada identifikasi. Toksin difteria mengandung sedikit empat penentu antigenik.

c. Patogenesis

Dalam kelompok ini, bakteri patogen utama bagi manusia adalah C. diphtheriae. Di alam, C. diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, atau pada kulit orang yang terinfeksi atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka; bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri yang toksigenik itu mulai menghasilkan toksin.

Semua C. diphtheriae yang toksigenik mampu mengeluarkan eksotoksin yang menimbulkan penyakit yang sama. Pembentukan toksdin ini in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,5 µg/mL. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. faktor-faktor yang mengatur pembentukan toksin ini in vivo sebelum dimengerti betul.

Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1 µg/kg. Bila ikatan disulfida dipecahkan, molekul dapat terbagi menjadi dua fragmen. Fragmen B (BM sekitar 38.000) tidak mempunyai aktivitas tersendiri tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida – asalkan ada nikotinamid adenin dianukleotida (NAD) – dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2 (dahulu dinamakan transferase II). Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak. Suatu eksotoksin dengan cara kerja yang mirip dapat dihasilkan oleh strain Pseudomonas aeruginosa.

d. Patologi

Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respons peradangan superficial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk

”pseudomenbran” yang berwarna kelabu – yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan perdarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher. Bakteri difteria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin ini diabsorbsi dan mengakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati,ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh perdarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan saraf, yang sering mengakibatkan paralysis palatum molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.

Difteria luka atau difteria kulit terutama didapati di daerah tropik. Suatu selaput dapat tebentuk pada luka terinfeksi yang tidak dapat sembuh. Namun absorpsi toksin biasanya sedikit dan efek sintemiknya tak berarti. ”Virulensi” bakteri difteria disebabkan karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi, tumbuh cepat, dan kemudian dengan cepat mengeluarkan toksin yang diabsorbsi secara efektif. C. diphtheriae tidak perlu menjadi toksigenik untuk menimbulkan infeksi lokal – misalnya di nasofaring atau kulit – tetapi strain yang nontoksigenik tidak menimbulkan efek toksik lokal maupun sistemik. C diphtheriae tidak secara aktif menginvasi jaringan dalam dan praktis tidak pernah masuk peredaran darah.

e. Gambaran Klinik

Bila radang difteria dimulai pada saluran pernapasan, biasanya timbul sakit tenggorokan dan demam. Kelemahan dan sesak napas segera terjadi karena obstruksi yang disebabkan oleh selaput. Obstruksi ini malah dapat menyebabkan tercekik bila tidak segera diatasi dengan intubasi atau trakeotomi. Irama jantung yang tidak teratur menunjukkan kerusakan jantung. Selanjutnya, mungkin terdapat gangguan penglihatan, berbicara, menelan, atau pergerakan lengan atau tungkai. Semua gejala ini cenderung menghilang dengan spontan.

f. Tes Diagnostik Laboratorium

Bahan

Dari usap hidung, tenggorokan, atau lesi yang dicurigai lainnya harus diambil sebelum obat-obat antimikroba diberikan.

Sediaan

Sediaan mikroskopik yang diwarnai dengan metilen biru alkali atau pewarnaan Gram menunjukkan batang-batang dalam susunan yang khas.

Biakan

Inokulasikan ke dalam lempeng agar darah (untuk menyingkirkan Streptococcus hemolitik), agar miring Loeffler, dan lempeng telurit, dan eramkan ketiganya pada suhu 370C. Kecuali bila usapan dapat dibiakkan dengan cepat, usapan harus disimpan dengan serum kuda steril sehingga bakteri tetap hidup. Dalam 12-18 jam, agar miring Loeffler dapat menghasilkan organisme yang morfologinya ”seperti difteria”. Dalam 36-48 jam, koloni pada perbenihan telurit cukup jelas untuk pengenalan tipe C. diphtheriae.

g. Resistensi & Imunitas

Karena pada dasarnya penyakit difteria adalah akibat daya kerja toksin yang dibentuk oleh organisme dan bukan karena invasi bakteri, resistensi terhadap penyakit sebagian besar bergantung pada tersedianya antitoksin netralisasi spesifik dalam darah dan jaringan. Umumnya difteria hanya menyerang orang yang tidak mempunyai antitoksin atau yang antitoksinnya kurang dari 0,01 Lf unit/mL.

Dapat diperkirakan berapa jumlah relatif antitoksin yang dimiliki oleh seseorang, tetapi dua test yang digunakan untuk

tujuan ini tidak selalu tersedia: titrasi serum untuk kandungan antitoksin sifatnya terlalu rumit untuk dikerjakan secara rutin; uji Shick, yang berdasarkan daya iritasi dan reaksi local terhadap antigen Shick (toksin difteri yang telah diencerkan) dengan antitoksin yang telah ”diobati” sebagai kontrol, juga jarang bila pernah dikerjakan sebelumnya dan ini adalah suatu bagian ketertarikan mengenai riwayat penyakit. Penilaian terbaik mengenai imunitas terhadap toksin difteri untuk para penderita secara perseorangan dapat dilakukan dengan meninjau kembali catatan mengenai imunisasi toksoid difteri dan imunisasi primer atau booster jika dperlukan.

h. Epidemiologi, Pencegahan, & Pengendalian

Sebelum dilakukan imunisasi buatan, difteria merupakan penyakit utama pada anak kecil. Infeksi terjadi baik secara klinik maupun subklinik pada usia muda dan mengakibatkan pembentukan antitoksin secara luas pada banyak penduduk. Pada masa dewasa muda dan dewasa, infeksi tanpa gejala berperanan sebagai perangsang untuk mempertahankan kadar antitoksin yang tinggi. Jadi, sebagian besar penduduk, kecuali anak-anak, telah kebal.

Pada usia 6-8 tahun, kurang lebih 75% anak-anak di negara sedang berkembang yang mengalami infeksi kulit oleh C. diphtheriae umumnya memiliki adar antitoksin serum yang bersifat melindungi. Penyerapan sejumlah kecil toksin difteri dari infeksi kulit diperkirakan dapat menimbulkan rangsangan antigenik untuk menimbulkan respons imun; jumlah toksin yang diabsorpsi tidak sampai menyebabkan penyakit.

Imunisasi aktif toksoid difteri pada masa kanak-kanak menghasilkan kadar difteri antitoksin yang secara umum cukup adekuat sampai usia dewasa. Orang dewasa muda harus diberikan booster toksoid, karena hasil difteria toksigenik tidak cukup banyak terdapat pada penduduk negara maju untuk menyebabkan rangsangan infeksi subklinik dan pembentukan resistensi. Kadar antitoksin menurun bersama waktu, dan banyak orang yang lebih tua tidak memiliki jumlah antitoksin yang mencukupi untuk melindungi mereka terhadap difteria.

Oleh karena itu, tujuan dasar pencegahan adalah membatasi penyebaran bakteri difteria toksigenik pada penduduk dan mempertahankan tingkat imunisasi aktif setinggi mungkin.

3.3 Batang Gram Negatif Enterik

Dalam dokumen Basil Gram Positif Dan Gram Negatif (Halaman 24-34)

Dokumen terkait