• Tidak ada hasil yang ditemukan

Basil Gram Positif Dan Gram Negatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Basil Gram Positif Dan Gram Negatif"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

BASIL GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF

3.1 Basil Gram Positif Pembentuk Spora

3.1.1 Spesies Clostridium

Clostridium adalah bakteri batang anaerobik, besar, gram positif yang bergerak. Banyak merusak protein atau membentuk toksin, dan beberapa melakukan keduanya. Tempat hidup alamiahnya adalah tanah atau saluran usus hewan dan manusia, tempat mereka hidup sebagai saprofit. Jenis yang patogen antara lain adalah organisme yang menyebabkan botulisme, tetanus, gangren gas, dan colitis pseudomembranosa.

Morfologi dan Identifikasi

Ciri Khas Organisme

Spora klostridia biasanya lebih besar dari diameter batang tempat spora tersebut dibentuk. Pada berbagai spesies, spora terletak sentral, subterminal, atau terminal. Kebanyakan spesies klostridia dapat bergerak dan mempunyai flagel peritrik.

Biakan

(2)

Bentuk koloni

Beberapa organisme menghasilkan koloni yang besar dan meninggi dengan pinggir utuh (C. perfringens), lainnya menghasilkan koloni yang lebih kecil yang meluas dalam jalinan filamen yang halus (C. tetani). Kebanyakan spesies menghasilkan daerah hemolisis pada agar darah. C. perfringens secara khas banyak daerah hemolisis di sekitar koloni.

Sifat-sifat Pertumbuhan

Sifat basil anaerob yang terkenal adalah ketidak mampuannya menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen akhir. Kuman ini tidak mempunyai sitokrim oksidase dan tidak dapat memecahkan hidrogen peroksidase. Karena itu, bila terdapat oksigen, H2O2 cenderung tertimbun sampai mencapai

konsentrasi toksik. Klostridia dapat meragikan berbagai gula, banyak yang dapat mencernakan protein. Susu diubah menjadi asam oleh beberapa klostridia, dicernakan oleh yang lainnya.

Sifat Antigenik

Semua klostridia mempunyai beberapa antigen yang sama tetapi masing-masing juga mempunyai antigen spesifik yang dapat larut, yang memungkinkan penggolongan dengan cara tes presipitin.

(3)

1.

Clotridium tetani

Clostridium tetani, yang menyebabkan tetanus, tersebar luas di dunia dalam tanah dan tinja kuda dan hewan lain. Beberapa tipe C. tetani dapat dibedakan dengan antigen flagel spesifik. Semuanya mempunyai antigen O (somatic), dan menghasilkan neurotoksin dari tipe antigenik yang lama, tetanospamin.

Toksin

Sel vegetatif C. tetani menghasilkan tetanospamin yang terutama dilepaskan bila bakteri tersebut mengalami lisis. Produksi toksin tampaknya dikendalikan oleh gen dalam plasmid. Tetanospasmin bekerja terhadap susunan saraf pusat dengan berbagai cara. Toksin ini menghambat pelepasan asetilkolin, sehingga mengganggu transmisi neuromuskuler. Namun, cara kerja paling penting adalah penghambatan neuron spinal postsinaps denga menghambat pelepasan mediator penghambat. Ini mengakibatkan kejang otot yang menyeluruh, hiperfleksia dan kejang umum.

Patogenesis

C. tetani bukan organisme yang invasive. Infeksi tetap terlokalisasi pada daerah jaringan yang rusak tempat spora

(4)

masuk. Luas jaringan yang terinfeksi kecil, dan penyakit ini hampir seluruhnya merupakan toksemia. Germinasi spora dan pertumbuhan organisme vegetatif menghasilkan toksin dibantu oleh (1) jaringan nekrotik, (2) Garam-garam kalsium, dan (3) adanya infeksi piogenik, yang semuanya membantu menimbulkan potensial oksidasi-reduksi yang rendah.

Toksin yang dilepaskan dari sel-sel vegetatif dapat mencapai susunan saraf pusat melalui transpor akson secara retrograd atau melalui aliran darah. Pada susunan saraf pusat, toksin mudah terikat pada gangliondi medulla spinalis dan batang otak.

Gambaran Klinik

Masa inkubasi antara 4-5 hari sampai berminggu-minggu. Penyakit ini ditandai dengan kontraksi tonik konvulsif otot-otot lurik. Kejang otot sering terjadi pada daerah luka pertama dan infeksi, kemudian otot-otot rahang, yang berkontraksi sedemikian rupa sehingga mulut tidak dapat dibuka. Lambat laun otot-otot lainnya terserang mengakibatkan kejang tonik. Setiap rangsangan dari luar dapat menimbulkan serangan tetani. Penderita sadar penuh dan mungkin merasa sangat nyeri. Kematian biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pernapasan. Angka kematian pada tetanus umum sangat tinggi.

(5)

Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada gambaran klinik dan anamnesis adanya luka, meskipun hanya 50% pasien tetanus menderita luka ynag menyebabkannya meminta pertolongan medis. Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi dapat menghasilkan C tetani, tetapi pemberian antitoksin untuk pencegahan atau pengobatan tidak perlu menunggu hasil biakan. Bukti isolasi C. tetani harus didasarkan pada pembentukan toksin dan netralisasi toksin dengan antitoksin spesifik.

Pencegahan dan Pengobatan

Hasil pengobatan tetanus tidak memuaskan. Karena itu, pencegahan sangat penting. Pencegahan tetanus bergantung pada (1) imunisasi aktif dengan toksoid, (2) perawatan yang baik pada luka yang terkontaminasi dengan tanah dan sebagainya, (3) pemakaian antitoksin sebagai pencegahan, dan (4) pemberian penisilin.

a. Antitoksin

Antitoksin tetanus, yang dibuat pada hewan atau manusia dapat menetralkan toksin, tetapi hanya sebelum

(6)

toksin itu terikat pada jaringan saraf. Karena sering terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap serum asing dan karena cepatnya serum asing disingkirkan, pemberian antitoksin manusia lebih disukai. Pemberian itamuskular 250-500 unit antitoksin manusia memberikan perlindungan sistemik yang memadai selama 2-4 minggu. Profilaksis antitoksin harus selalu disertai imunisasi aktif dengan toksoid tetanus.

b. Tindakan pembedahan

Debridemen pembedahan sangat penting karena tindakan ini menghilangkan jaringan nekrotik yang penting untuk pengembangbiakan organisme. Oksigen hiperbarik tidak bermanfaat.

c. Antibiotika

Penisilin sangat kuat menghambat pertumbuhan C. tetani dan menghentikan pembentukan toksin lebih lanjut. Antibiotika juga dapat mengendalikan infeksi piogenik yang menyertainya.

d. Tetanus toksoid

Bila individu yang sebelumnya telah diimunisasi lalu menderita luka yang membahayakan, suatu dosis toksoid

(7)

tambahan sebaiknya disuntikan untuk merangsang pembentukan antitoksin. Suntikan toksoid ini dapat diikuti oleh antitoksin jika pasien tidak mendapat imunisasi atau booster sebelumnya atau jika riwayat imunisasi tidak diketahui.

Pengendalian

Tetanus adalah penyakit Yang dapat dicegah sepenuhnya. Imunisasi aktif secara masal dengan toksoid tetanus harus diwajibkan. Imunisasi dasar sebaiknya dilakukan pada semua anak-anak selama tahun pertama kehidupan. Suntikan booster toksoid diberikan waktu sekolah. Setelah itu diberikan booster dengan jarak 10 tahun untuk mempertahankan kadar serum antitoksin lebih dari 0,01 unit per milliliter.

Tindakan pengendalian tidak mungkin dilakukan sebab organisme tersebar luas dalam tanah dan daya tahan hidup spora sangat lama.

2.

Clostridium botulinum

Clostridium botulinum, yang menyebabkan botulisme, tersebar di seluruh dunia, organisme ini ditemukan dalam tanah dan kadang-kadang dalam faeses hewan.

(8)

Tipe C. botulinum dibedakan melalui tipe antigenic toksin yang dihasilkan. Spora organisme ini sangat resisten terhadap panas, tahan pada suhu 1000C selama paling sedikit 3-5 jam.

Resisten terhadap panas berkurang pada pH asam atau bila konsentrasi garam tinggi.

Toksin

Selama pertumbuhan C. botulinum dan selama autolisis bakteri, toksin dikeluarkan ke dalam lingkungan sekitarnya. Dikenal tujuh variasi antigenik toksin (A-G). Tipe A, B dan E adalah penyebab utama penyakit pada manusia. Tipe A dan B dihubungkan dengan berbagai makanan, dan tipe E terutama pada hasil ikan. Tipe menyebabkan leher lemas pada unggas; tipe D, botulisme pada mamalia.

Toksin C. botulinum merupakan substansi paling toksik, dosis letal bagi manusia mungkin sekitar 1-2 µg. Toksin dirusak oleh pemanasan selama 20 menit pada suhu 1000C.

Pembentukan toksin di bawah kendali suatu gen virus. Beberapa strain C. botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakteriofaga yang dapat menginfeksi strain nontoksigenik dan mengubahnya menjadi toksigenik.

(9)

Botulisme adalah suatu keracunan akibat memakan makanan dimana C. botulinum tumbuh dan menghasilkan toksin. Penyebab paling sering adalah makanan kaleng yang bersifat basa, dikemas kedap udara, diasap, diberi rempah-rempah, yang dimakan tanpa dimasak lagi. Dalam makanan ini spora C. botulinum tumbuh; dalam keadaan aerob, bentuk vegetatif tumbuh dan menghasilkan toksin.

Toksin bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan saraf–otot, mengakibatkan paralysis flasid.

Gambaran Klinik

Gejala-gejala dimulai 18-24 jam setelah makan maknanan yang beracun, dengan gangguan penglihatan, ketidak mampuan menelan, dan kesulitan bicara; tanda-tanda paralysis bulbar berjalan progresif, dan kematian terjadi karena paralysis pernapasan atau henti jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar sepenuhnya sampai menjelang mati. Angka kematian tinggi. Penderita yang sembuh tidak membentuk antitoksin dalam darah.

(10)

Toksin sering dapat ditemukan dalam serum penderita, dan toksin dapat ditemukan pada maknanan yang tersisa. Mencit yang disuntik intraperitonial akan mati dengan segera. Tipe antigenic toksin diidentifikasi dengan cara menetralisasi dengan antitoksin spesifik pada mencit.

Pengobatan

Antitoksin yang poten terhadap tiga tipe toksin botulinus telah dibuat pada hewan. Secara eksperimental telah dicoba pemberian guanidine hodroklorida yang kadang-kadang berhasil.

Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian

Karena spora C. botulinum tersebar luas dalam tanah, spora ini sering mencemari sayuran, buah-buahan dan bahan-bahan lainnya. Makanan yang toksik mungkin rusak dan tengik, dan kaleng dapat meggembung atau mungkin kelihatannya tidak berbahaya. Risiko dari makanan kaleng rumahan dapat dikurangi bila makanan didihkan selama lebih dari 20 menit sebelum dihidangkan.

(11)

Banyak jenis klostridia penghasil toksin dapat menimbulkan infeksi invasive bila masuk ke dalam jaringan yang rusak. Kira-kira 30 spesies klostridia dapat menimbulkannya, tetapi penyebab paling sering dalam penyakit invasive adalah Clostridium perfingens (90%). Suatu enterotoksin yang dihasilkan C. perfingens merupakan penyebab umum keracunan makanan.

Toksin

Klostridia menghasilkan sejumlah besar jenis toksin dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Banyak toksin yang bersifat mematikan, menyebabkan nekrosis dan hemolisis.

Beberapa strain C. perfingens menghasilkan enterotoksin yang kuat, terutama bila tumbuh dalam masakan daging. Kerja enterotoksin bakteri ini meliputi hipersekresi yang nyata dalam jejenum ileum, disertai kehilangan cairan dan elektrolit pada diare.

Patogenesis

Spora klostridia mencapai jaringan melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka atau dari saluran usus. Spora berkembang biak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi rendah; sel-sel vegetatif berkembang biak, meragikan karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan membentuk

(12)

gas.nekrosis jaringan bertambah luas, memberi kesempatan untuk peningkatan pertumbuhan bakteri, anemia hemolitik dan akhirnya toksemia berat dan kematian.

Gambaran Klinik

Dari luka yang terkontaminasi, infeksi menyebar dalam 1-3 hari dan menimbulkan krepitasi pada jaringan subkutis dan otot, secret yang berbau, nekrosis progresif yang cepat menyebar, demam, hemolisis, toksemia, shock dan kematian. Sebelum ada pengobatan spesifik, amputasi dini adalah satu-satunya pengobatan. Kadang-kadang infeksi hanya mengakibatkan selulitis atau fasciitis anaerob.

Keracunan makanan karena C. perfingens biasanya terjadi setelah memakan sejumlah besar klostridia yang tumbuh dalanm makanan daging yang dihangatkan. Toksin terbentuk bila organisme bersporulasi dalam usus; permulaan diare – biasanya tanpa muntah atau demam- adalah 6-18 jam. Penyakit ini berlangsung hanya 1-2 hari.

Tes Diagnostik Laboratorium a. Bahan

Bahan dari luka, nanah, jaringan.

(13)

Adanya batang besar Gram positif, pembentuk spora, pada sediaan dengan pewarnaan gram memberi dugaan adanya klostridia ganggren gas, tetapi spora tidak selalu terlihat.

c. Biakan

Bahan dibiak pada perbenihan daging cincang glukosa dan perbenihan tioglikolat, serta pada lempeng agar darah yang diinkubasi secara anaerob. Pertumbuhan pada salah satu perbenihan dipindahkan ke susu. Gumpalan yang dipisahkan oleh gas dalam 24 jam menunjukkan adanya C. perfingens. Bila telah diperoleh biakan murni dengan memilih koloni dari lempeng darah yang diinkubasi secara anaerobik, dibiakan dapat diidentifikasi dengan reaksi-reaksi biokimia (berbagai gula pada tioglikolat, daya kerja pada susu), hemolisis, dan bentuk koloni. Aktivitas lesitinase diukur dengan mengukur presipitasi yang terbentuk di sekitar koloni pada perbenihan kuning telur. Identifikasi akhir dilakukan dengan melihat pembentukan toksin dan netralisasi dengan antitoksin spesifik. C. perpingens jarang membentuk spora bila dibiakan pada agar di laboratorium.

(14)

Pengobatan

Aspek pengobatan yang paling penting adalah debridemen pembedahan secara cepat dan meluas pada daerah yang terkena dan eksisi semua jaringan yang telah rusak, tempat organisme mudah tumbuh. Pemberian obat-obat antibiotika khususnya penisilin, dimulai pada waktu yang sama. Oksigen hiperbarik mungkin membantu dalam perawatan infeksi jaringan oleh klostridia. Konon ini dapat mendetoksikasi penderita dengan cepat.

Antitoksin tersedia untuk melawan toksin C. perpingens, C. novyi, C. histoliticum, dan C. septicum, biasanya dalam bentuk imunoglobulin terkonsentrasi. Antitoksin polivalen (mengandung antibodi terhadap beberapa toksin) telah digunakan. Walaupun antitoksin ini kadang-kadang diberikan kepada individu dengan luka terkontaminasi yang mengandung banyak jaringan rusak, tidak ada bukti akan kemanjurannya. Keracunan makanan yang disebabkan oleh enterotoksin C. perpingens biasanya hanya perlu perawatan simptomatik.

(15)

Tindakan pencegahan yang terbaik adalah pembersihan tang secukupnya dan sedini mungkin pada luka yang terkontaminasi dan debridemen pembendahan, bersamaan dengan pemberian obat antimikroba terhadap klostridia (misalnya penisilin). Antitoksin sebaiknya jangan diandalkan. Walaupun toksoid untuk imunisasi aktif telah tersedia, toksoid ini tidak dipergunakan dalam praktek.

4.

Clostridium difficile dan Penyakit Diare

a. Kolitis pseudomembranosa

Kolitis pseudomembranosa didiagnosis melalui

pengamatan endoskopik yang memperlihatkan

pseudomembran atau abses mikro pada penderita diare yang telah diberi antibiotika. Plak dan abses mikro mungkin terlokalisasi pada satu daerah di usus besar. Tinja akibat diare bisa sangat cair atau disertai darah, dan pasien menderita kejang perut, leukositosis dan demam. Meskipun kolitis pseudomembranosa dapat diakibatkan oleh berbagai jenis antibiotika, penyebab yang paling sering adalah ampisilin dan klindamisin. Pengobatan penyakit ini dilakukan dengan menghentikan pemberian antibiotika penyebabnya dan memberikan metronidazol atau vankomisin oral.

(16)

Pemberian antibiotika menimbulkan perkembangbiakan C. difficile, yang menghasilkan dua toksin. Toksin A (BM 440000-500000), enterotoksin kuat yang juga memiliki aktivitas sitotoksik, terikat pada membran lapisan sikat usus pada tempat reseptor. Toksin B (BM 360000-470000) adalah suatu sitotoksin kuat. Kedua toksin ditemukan dalam tinja penderita kolitis pseudomemranosa. Tidak semua strain C. difficile menghasilkan toksin, dan meskipun gen tox tampaknya tidak dibawa oleh plasmid ataupun faga, pengaturan produksi toksinnya secara genetik tidak diketahui.

b. Diare Akibat Antibiotika

Pemberian antibiotika sering menyebabkan diare ringan atau sedang, yang disebut diare akibat antibiotika. Penyakit ini biasanya lebih ringan dari pada bentuk klasik kolitis pseudomembranosa. Sekitar 25% kasus diare akibat antibiotika mungkin berhubungan dengan C. defficile.

3.1.2 Spesies Bacillus

Genus Bacillus termasuk batang besar, Gram positif, aerob, dan membentuk rantai. Kebanyakan anggota genus ini adalah organisme saprofit yang lazim terdapat dalam tanah, air, udara dan

(17)

tumbuh-tumbuhan seperti Bacillus cereus dan Bacillus subtilis. Beberapa di antaranya patogen bagi insekta. B cereus dapat tumbuh pada makanan dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan. Organisme ini kadang-kadang dapat menimbulkan penyakit pada orang dengan fungsi imun yang terganggu. Bacillus anthracis, penyebab antraks adalah bakteri patogen utama genus ini.

Morfologi dan dan Identifikasi

Ciri Khas Organisme

Sel berukuran 1x 3-4 µm, mempunyai ujung yang berbentuk empat persegi dan tersusun dalam rantai panjang; spora terletak ditengah basil yang tidak bergerak.

Biakan

Koloni B. anthracis berbentuk bulat. Hemolisis jarang ditemui pada B. anthracis tetapi sering pada basil saprofit.

Sifat Pertumbuhan

Basil saprofit menggunakan sumber nitrogen dan karbon sederhana untuk energi dan pertumbuhannya. Sporanya resisten

(18)

terhadap perubahan lingkungan, tahan terhadap panas kering dan disinfektan kimia tertentu selama waktu yang cukup lama dan bertahan selama bertahun-tahun dalam tanah kering. Produk hewan yang terkontaminasi dengan spora anthraks hanya dapat disterilkan dengan autoklaf.

1.

Bacillus cereus

Keracunan makanan karena B. cereus mempunyai dua bentuk berbeda , jenis muntah yang berkaitan dengan nasi yang terkontaminasi, dan jenis diare yang berkaitan dengan daging dan saus. B. cereus menghasilkan beberapa endotoksin, penyebab diare yang lebih bersifat keracunan dari pada infeksi lewat makanan.

B. cereus adalah organisme tanah yang sering mengkontaminasi nasi. Bila sejumlah besar nasi dimasak dan dibiarkan dingin perlahan-lahan, spora B. cereus bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase log pertumbuhan atau selama sporulasi. Enterotoksin dapat ditemukan dalam makanan atau dibentuk dalam usus. Adanya B. cereus dalam tinja penderita tidak cukup untuk menegakkan diagnosis penyakit B. cereus, karena bakteri ini dapat berada adalam tinja orang normal.

(19)

B. cereus adalah penyebab penting dari infeksi mata, keratitis berat, enoftalmitis, dan panoftalmitis. Secara khas, organisme masuk ke dalam mata melalui benda asing yang berhubungan dengan trauma. Bakteri ini juga berhubungan dengan infeksi lokal dan infeksi sistemik, termasuk endokarditis, meningitis, osteomielitis, dan pneumonia.

2. Bacillus anthracis

a. Struktur antigen

Bahan simpai B. anthracis yang terdiri dari polipeptida

berbobot molekul tinggi yang mengandung asam D-glutamat, adalah suatu hapten. Badan bakteri mengandung protein dan suatu polisakarida somatik, keduanya bersifat antigenik.

b. Patogenesis

Anthraks terutama merupakan penyakit pada biri-biri, sapi, kuda, dan hewan lainnya; manusia jarang terserang. Infeksi biasanya didapat dengan masuknya spora melaui luka pada kulit atau selaput lendir, jarang dengan inhalasi spora ke dalam paru-paru. Pada hewan, pintu masuknya adalah mulut

(20)

dan saluran pencernaan. Spora dari tanah yang tercemar mudah masuk bila termakan bersama tumbuhan berduri. Pada manusia, goresan pada kulit atau inhalasi menyebabkan timbulnya infeksi.

Spora tumbuh pada jaringan di tempat masuk, dan pertumbuhan organisme vegetatif mengakibatkan pertumbuhan edema gelatinosa dan kongesti. Basil menyebar melalui getah bening ke dalam aliran darah, dan bakteri berkembang biak dengan bebas dalam darah dan jaringan segera sebelum dan setelah kematian hewan. Dalam plasma hewan yang mati karena anthraks, telah ditemukan suatu faktor toksik. Bila diinokulasikan, zat ini mematikan mencit atau marmot dan secara spesifik dinetralisasi oleh antiserum anthraks.

Tipe anthraks yang lain adalah anthraks pernapasan. Spora anthraks yang terhirup dari dbu wool, bulu, atau kulit mengakibatkan berkembangnya spora dalam paru-paru atau dalam kelenjar getah bening trakeobronkial dan menimbulkan mediastinitis hemoragik, pneumonia, meningitis, dan sepsis, yang biasanya cepat menimbulkan kematian jumlah organisme dalam darah dapat melebihi 107/ml.

(21)

c. Patologi

Pada hewan yang peka, organisme berkembang biak di

tempat masuk. Simpai tetap utuh, dan organisme dikelilingi oleh sejumlah besar cairan seperti protein yang mengandung sedikit leukosit; organisme kemudian dengan cepat menyebar dan mencapai aliran darah.

Pada hewan yang resisten, organisme berkembang biak selama beberapa jam, setelah itu berkumpul sejumlah besar lekosit. Simpai lambat laun mengalami disintegrasi dan menghilang. Organisme tetap terlokalisasi.

d. Gambaran Klinik

Pada manusia, anthraks menimbulkan infeksi kulit Mula-mula timbul papula dalam 12-36 jam setelah masuknya organisme atau spora melaui goresan. Papula ini denga. cepat berubah menjadi veskel, kemudian pustula dan akhirnya ulkus nekrotik; lalu infeksi dapat menyebar, menimbulkan septikemia.

Pada anthraks pernapasan, gejala dini dapat berupa

mediastinitis, sepsis, meningitis, atau edema paru-paru hemorhagik. Pneumonia hemorhagik dengan syok merupakan gejala yang terakhir.

(22)

e. Tes Diagostik Laboratorium

Bahan

Cairan atau nanah dari lesi lokal; darah, dahak.

Pewarnaan sediaan

Dari lesi local atau darah hewan yang mati; rantai bakteri berbentuk batang besar gram positif. Anthraks dapat diidentifikasi pada sediaaan kering dengan teknik pewarnaan imunofluoresensi.

Biakan

Bila dibiakan pada lempeng agar darah, organisme ini membentuk koloni kelabu nonhemolitik dengan morfologi mikroskopik yang khas. Peragian karbohidrat tidak bermanfaat. Pada perbenihan setengah padat, basil antraks selalu tidak bergerak, sedangkan organisme tidak patogen yang sejenis menunjukan pergerakan dengan menyebar. Biakan anthraks virulen mematikan mencit atau marmot bila disuntikan secara intraperitoneal.

(23)

Tes Serologi

Antibodi penyebab presipitasi atau hemaglutinasi dapat diperlihatkan dalam serum orang atau hewan yang telah divaksinasi atau terinfeksi.

f. Resistensi dan Kekebalan

Beberapa hewan (marmot) sangat peka, sedangkan ynag lain (tikus) sangat resisten terhadap infeksi anthraks. Kenyataan ini diperkirakan akibat sejumlah mekanisme pertahanan; aktivitas lekosit, suhu badan, dan daya bakterisidal darah.

Kekebalan aktif terhadap anthraks dapat diinduksi pada hewan yang peka oleh vaksinasi dengan basil hidup yang telah dilemahkan, dengan suspensi spora atau dengan antigen protektif dari filtrat biakan. Serum imun kadang-kadang disuntikan bersama dengan basil hidup pada hewan.

g. Pengobatan

Banyak antibiotika terhadap anthraks pada manusia, tetapi pengobatan harus dimulai sedini mungkin. Penisilin cukup memuaskan, kecuali pada pengobatan anthraks pernapasan, dimana mortalitas tetap tinggi. Beberapa basil

(24)

gram positif lainnya mungkin resisten terhadap penisilin karena membentuk β laktamse. Tetrasiklin, eritromisin, atau klindamisin mungkin efektif.

h. Epidemiologi, Pencegahan dan Pengendalian

Tanah tercemar oleh spora anthraks dari bangkai

hewan. Spora-spora ini tetap hidup selama puluhan tahun. Mungkin spora ini dapat tumbuh dalam tanah pada pH 6,5 pada suhu yang cocok. Hewan merumput yang terinfeksi melalui luka pada selaput lendir menjadi penyambung rantai infeksi terus-menerus. Kontak dengan hewan yang terinfeksi atau dengan kulit, rambut dan bulunya merupakan sumber infeksi pada manusia.

Tindakan pengendalian meliputi (1) pembuangan bangkai dengan membakar atau mengubur pada sumur yang dalam disertai kapur, (2) dekontaminasi produk-produk hewan (biasanya dnegan autoklaf), (3) baju dan sarung tangan pelindung waktu menangani bahan-bahan yang mungkin tercemar, dan (4) imunisasi aktif hewan peliharaan dengan vaksin hidup yang dilemahkan.

3.2 Batang Gram Positif yang Tidak Membentuk

Spora

(25)

Ciri –ciri Khas Organisme

Korinebakteria berdiameter 0,5-1 µm dan panjangnya beberapa micrometer. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.

Biakan

Pada agar darah koloni C. diphteriae tampak kecil, bergranula, dan berwarna kelabu, dengan batas-batas yang tidak teratur, dan memiliki daerah hemolisis yang kecil. Pada agar yang mengandung kalium telurit, koloni berwarna kelabu sampai hitam sebab telurit direduksi di dalam sel (Staphylococcus dan Streptococcus dapat juga membentuk koloni hitam). Ketiga biovar C. diphtheriae secara khas mempunyai gambaran sebagai berikut: gravis, mitis,

(26)

intermedius. Varian ini diklasifikasikan berdasarkan ciri khas pertumbuhan seperti morfologi koloni, reaksi biokimia, dan sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi. Sangat sedikit referensi laboratorium yang memberikan ciri khas boivar; insiden difteri telah sangat menurun dan hubungan berbagai penyakit dengan biovar tidak penting untuk klinik atau pengaturan kesehatan masyarakat terhadap suatu kasus atau wabah. Jika diperlukan dalam suatu wabah, metode imunokimia dan molekuler dapat digunakan untuk menggolongkan isolat C. diphtheriae.

Sifat-sifat Pertumbuhan

C. diphtheriae dan korinebakteria lain tumbuh secara aerob pada sebagian besar [perbenihan laboratorium. Propionibacterium, bersifat anaerob. Pada perbenihan serum Loeffler, korinebakteria tumbuh jauh lebih mudah daripada kuman patogen pernapasan lainnya, dan pada sediaan mikroskopik, morfologi organisme tampak khas. Kuman ini membentuk asam, tetapi tidak membentuk gas pada beberapa karbohidrat, seperti diperlihatkan pada Tabel di bawah ini.

(27)

Tabel 3-1. Contoh Reaksi Metabolisme Glukosa 1 Maltosa 1 Sukrosa 1 Ureasa 1 C. diphtheriae + + - -C. xerosis + + + -C. pseudodiphtheriticum2 - - - + C. pyogenes (C. haemolyticum) + + +

- Variasi dan Perubahan

Korinebakteria cenderung menjadi pleomorf pada morfologi mikroskopik dan pada morfologi koloni. Bila bakteri difteria tidak toksigenik diinfeksi oleh bakteriofaga dari bakteri difteria toksigenik tertentu, turunan dari bakteri yang terinfeksi akan bersifat lisogenik dan toksigenik, dan sfat ini kemudian dapat diturunkan. Bila bakteri Difteria toksigenik dibiak berturut-turut pada anti-serum spesifik terhadap faga tidak aktif yang ada di dalam selnya, bakteri tersebut cenderung menjadi tidak toksigenik. Jadi, penambahan faga cenderung menimbulkan toksigenisitas (perubahan lisogenik). Pembentukan toksin sebenarnya mungkin hanya terjadi bila profaga lisogenik C. diphtheriae terinduksi dan melisiskan sel. Toksinisitas dikendalikan gen faga, sedangkan daya invasi dikendalikan gen bakteri.

(28)

b. Struktur Antigen

Telah ditemukan perbedaan serologik antar tipe dan tiap tipe C. diphtheriae, tetapi tidak tersedia klasifikasi serologik yang memuaskan. Tes-tes serologik umumnya tidak dipakai pada identifikasi. Toksin difteria mengandung sedikit empat penentu antigenik.

c. Patogenesis

Dalam kelompok ini, bakteri patogen utama bagi manusia adalah C. diphtheriae. Di alam, C. diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, atau pada kulit orang yang terinfeksi atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka; bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri yang toksigenik itu mulai menghasilkan toksin.

Semua C. diphtheriae yang toksigenik mampu mengeluarkan eksotoksin yang menimbulkan penyakit yang sama. Pembentukan toksdin ini in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,5 µg/mL. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. faktor-faktor yang mengatur pembentukan toksin ini in vivo sebelum dimengerti betul.

(29)

Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1 µg/kg. Bila ikatan disulfida dipecahkan, molekul dapat terbagi menjadi dua fragmen. Fragmen B (BM sekitar 38.000) tidak mempunyai aktivitas tersendiri tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida – asalkan ada nikotinamid adenin dianukleotida (NAD) – dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2 (dahulu dinamakan transferase II). Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak. Suatu eksotoksin dengan cara kerja yang mirip dapat dihasilkan oleh strain Pseudomonas aeruginosa.

d. Patologi

Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respons peradangan superficial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk

(30)

”pseudomenbran” yang berwarna kelabu – yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan perdarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher. Bakteri difteria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif. Toksin ini diabsorbsi dan mengakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati,ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh perdarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan saraf, yang sering mengakibatkan paralysis palatum molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.

Difteria luka atau difteria kulit terutama didapati di daerah tropik. Suatu selaput dapat tebentuk pada luka terinfeksi yang tidak dapat sembuh. Namun absorpsi toksin biasanya sedikit dan efek sintemiknya tak berarti. ”Virulensi” bakteri difteria disebabkan karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi, tumbuh cepat, dan kemudian dengan cepat mengeluarkan toksin yang diabsorbsi secara efektif. C. diphtheriae tidak perlu menjadi toksigenik untuk menimbulkan infeksi lokal – misalnya di nasofaring atau kulit – tetapi strain yang nontoksigenik tidak menimbulkan efek toksik lokal maupun sistemik. C diphtheriae tidak secara aktif menginvasi jaringan dalam dan praktis tidak pernah masuk peredaran darah.

(31)

e. Gambaran Klinik

Bila radang difteria dimulai pada saluran pernapasan, biasanya timbul sakit tenggorokan dan demam. Kelemahan dan sesak napas segera terjadi karena obstruksi yang disebabkan oleh selaput. Obstruksi ini malah dapat menyebabkan tercekik bila tidak segera diatasi dengan intubasi atau trakeotomi. Irama jantung yang tidak teratur menunjukkan kerusakan jantung. Selanjutnya, mungkin terdapat gangguan penglihatan, berbicara, menelan, atau pergerakan lengan atau tungkai. Semua gejala ini cenderung menghilang dengan spontan.

f. Tes Diagnostik Laboratorium

Bahan

Dari usap hidung, tenggorokan, atau lesi yang dicurigai lainnya harus diambil sebelum obat-obat antimikroba diberikan.

Sediaan

Sediaan mikroskopik yang diwarnai dengan metilen biru alkali atau pewarnaan Gram menunjukkan batang-batang dalam susunan yang khas.

(32)

Biakan

Inokulasikan ke dalam lempeng agar darah (untuk menyingkirkan Streptococcus hemolitik), agar miring Loeffler, dan lempeng telurit, dan eramkan ketiganya pada suhu 370C.

Kecuali bila usapan dapat dibiakkan dengan cepat, usapan harus disimpan dengan serum kuda steril sehingga bakteri tetap hidup. Dalam 12-18 jam, agar miring Loeffler dapat menghasilkan organisme yang morfologinya ”seperti difteria”. Dalam 36-48 jam, koloni pada perbenihan telurit cukup jelas untuk pengenalan tipe C. diphtheriae.

g. Resistensi & Imunitas

Karena pada dasarnya penyakit difteria adalah akibat daya kerja toksin yang dibentuk oleh organisme dan bukan karena invasi bakteri, resistensi terhadap penyakit sebagian besar bergantung pada tersedianya antitoksin netralisasi spesifik dalam darah dan jaringan. Umumnya difteria hanya menyerang orang yang tidak mempunyai antitoksin atau yang antitoksinnya kurang dari 0,01 Lf unit/mL.

Dapat diperkirakan berapa jumlah relatif antitoksin yang dimiliki oleh seseorang, tetapi dua test yang digunakan untuk

(33)

tujuan ini tidak selalu tersedia: titrasi serum untuk kandungan antitoksin sifatnya terlalu rumit untuk dikerjakan secara rutin; uji Shick, yang berdasarkan daya iritasi dan reaksi local terhadap antigen Shick (toksin difteri yang telah diencerkan) dengan antitoksin yang telah ”diobati” sebagai kontrol, juga jarang bila pernah dikerjakan sebelumnya dan ini adalah suatu bagian ketertarikan mengenai riwayat penyakit. Penilaian terbaik mengenai imunitas terhadap toksin difteri untuk para penderita secara perseorangan dapat dilakukan dengan meninjau kembali catatan mengenai imunisasi toksoid difteri dan imunisasi primer atau booster jika dperlukan.

h. Epidemiologi, Pencegahan, & Pengendalian

Sebelum dilakukan imunisasi buatan, difteria merupakan penyakit utama pada anak kecil. Infeksi terjadi baik secara klinik maupun subklinik pada usia muda dan mengakibatkan pembentukan antitoksin secara luas pada banyak penduduk. Pada masa dewasa muda dan dewasa, infeksi tanpa gejala berperanan sebagai perangsang untuk mempertahankan kadar antitoksin yang tinggi. Jadi, sebagian besar penduduk, kecuali anak-anak, telah kebal.

(34)

Pada usia 6-8 tahun, kurang lebih 75% anak-anak di negara sedang berkembang yang mengalami infeksi kulit oleh C. diphtheriae umumnya memiliki adar antitoksin serum yang bersifat melindungi. Penyerapan sejumlah kecil toksin difteri dari infeksi kulit diperkirakan dapat menimbulkan rangsangan antigenik untuk menimbulkan respons imun; jumlah toksin yang diabsorpsi tidak sampai menyebabkan penyakit.

Imunisasi aktif toksoid difteri pada masa kanak-kanak menghasilkan kadar difteri antitoksin yang secara umum cukup adekuat sampai usia dewasa. Orang dewasa muda harus diberikan booster toksoid, karena hasil difteria toksigenik tidak cukup banyak terdapat pada penduduk negara maju untuk menyebabkan rangsangan infeksi subklinik dan pembentukan resistensi. Kadar antitoksin menurun bersama waktu, dan banyak orang yang lebih tua tidak memiliki jumlah antitoksin yang mencukupi untuk melindungi mereka terhadap difteria.

Oleh karena itu, tujuan dasar pencegahan adalah membatasi penyebaran bakteri difteria toksigenik pada penduduk dan mempertahankan tingkat imunisasi aktif setinggi mungkin.

3.3 Batang Gram Negatif Enterik

(Enterobacteriaceae)

Enterobacteriaceae adalah kelompok besar batang gram-negatif yang heterogen, yang habitat alaminya adalah saluran usus manusia

(35)

dan hewan. Famili ini mencakup banyak genus (misalnya, Escherichia, Shigella, Salmonella, Enterobacter, Klebsiella, Serratia, dan Proteus). Beberapa organisme enterik, misalnya Escherichia coli, merupakan bagian flora normal dan kadang-kadang menyebabkan penyakit, sementara lainnya, Salmonella dan Shigella, selalu bersifat patogen untuk manusia. Enterobacteriaceae adalah anaerob fakulatif atau anaerob, meragikan sejumlah besar karbohidrat, memiliki struktur antigen yang kompleks, dan menghasilkan berbagai jenis toksin dan faktor virulensi yang lain. Dalam bab ini digunakan istilah Enterobacteriaceae, batang enterik gram-negatif, dan bakteri enterik tetapi bakteri-bakteri ini juga dapat disebut koliform.

a. Klasifikasi

Taksonomi Enterobacteriaceae rumit, dan cepat berubah seiring dengan penelitian hemologi DNA. Lebih dari 20 genus dan 100 spesies telah didefinisikan. Dalam bab ini, taksonomi tidak banyak dibahas dan akan dipakai nama-nama yang digunakan dalam literature kedokteran. Pendekatan komprehensif terhadap pengenalan Enterobacteriaceae disajikan oleh Kelly, Brenner, dan Farmer dalam Manual of Cliinical Mikrobiology, 5th ed. Lennete EH

(36)

Famili Enterobacteriaceae secara biokimia ditandai oleh kemampuannya mereduksi nitrat menjadi nitrit, meragikan glukosa, dan menghasilkan asam atau asam dan gas. Enterobacteriaceae tidak membutuhkan peningkatan jumlah natrium klorida untuk pertumbuhan dan bersifat oksidase-negatif. Banyak digunakan uji biokimia untuk membedakan spesies Enterobacteriaceae pada laboratorium di AS perangkat komersial digunakan secara luas untuk tujuan ini.

b. Morfologi & Identifikasi

Organisme yang khas

Enterobacteriaceae adalah batang pendek gram-negatif yang dapat membentuk rantai. Morfologi khasnya dapat dilihat dalam pertumbuhan pada perbenihan pada in vitro, tetapi morfologinya sangat bervariasi dalam bahan klinik. Pada Klebsiella simpainya besar dan teratur, pada Enterobacteriaceae tidak begitu besar, dan tidak lazim pada species yang lain.

Biakan

E. coli dan kebanyakan bakteri enterik lain membentuk koloni yang bundar, cembung, halus dengan tepi yang nyata. Koloni Enterobacter serupa tetapi agak lebih mukoid. Koloni Klebsiella besar, sangat mukoid dan cenderung bersatu bila lama dieramkan. Salmonella dan shigela membuat koloni yang

(37)

mirip dengan E. coli tetapi tidak meragikan laktosa. Beberapa strain E. coli menyebabkan hemolisis pada agar darah.

Ciri-ciri Pertumbuhan

Pola peragian karbohidrat dan aktivitas dekarboksilase asam amino serta enzim lain biasanya digunakan dalam pembedaan biokimia. Beberapa tes, misalnya pembentukan indol dari triptofan, biasanya digunakan untuk pengenalan cepat, sementara yang lain, misalnya reaksi Voges-Proskauer (pembentukan asetil, etilkarbinol dari dekstrosa), biasanya lebih jarang digunakan. Biakan pada perbenihan ”diferensial” yang mengandung zat warna khusus dan karbohidrat (misalnya esosin-metilen biru (EMB), perbenihan Mac-Conkey, atau perbenihan deoksikolat) membedakan koloni peragi-laktosa (berwarna) dari koloni yang tidak meragikan laktosa (tak berpigmen) dan dapat digunakan untuk identifikasi presumtif bakteri enterik secara cepat.

1. Escherichia

E. coli secara khas memberi hasil positif untuk tes indol, lisin dekarboksilase, dan peragian manitol serta membentuk gas dari glukosa. Isolat urin dengan cepat dapat dikenali sebagai E coli karena terjadi hemolisis pada agar darah, morfologi koloniyang khas dengan “kilau”

(38)

iridesen pada perbenihan diferensial misalnya agar EMB, dan tes bercak positif untuk indol. Lebih dari 90% isolat E coli bersifat positif terhadap β-glukuronidase yang menggunakan substrat 4-metilumbeliferil -β-glukuronida (MUG). Isolat dari tempat-tempat pada tubuh selain urin, dengan ciri-ciri khasnya (seperti di atas ditambah tes oksidase negatif) sering dapat dipastikan sebagai E. coli dengan tes MUG positif.

2. Shigella

Shigella bersifat tak bergerak dan biasanya tidak meragikan laktosa tetapi meragikan karbohidrat lain, menghasilkan asam tetapi tidak membentuk gas. Shigella tidak menghasilkan H2S. Keempat spesies Shigella

berhubungan erat dengan E. coli. Berbagai Shigela mempunyai antigen yang sama satu sama lain demikian juga dengan kuman enterik lainnya.

3. Salmonella

Salmonella adalah batang bergerak yang secara khas meragikan glukosa dan manosa tanpa membentuk gas tetapi tidak meragikan laktosa atau sukrosa. Sebagian besar Salmonella menghasilkan H2S. Jika termakan, bakteri

(39)

ini sering bersifat patogen bagi manusia atau hewan. Arizona termasuk dalam golongan Salmonella.

4. Kelompok Klebsiella-Enterobacter-Serratia

Spesies Klebsiella menunjukkan pertumbuhan mukoid, simpai polisakarida yang besar, tidak ada pergerakan, dan biasanya memberi tes positif untuk lisin dekarbosilase dan sitrat. Kebanyakan spesies Enterobacter menghasilkan tes positif untuk pergerakan, asam sitrat, dan orinitin dekarboksilase dan membentuk gas dari glukosa. Enterobacter aerogenes mempunyai simpati yang kecil. Serratia menghasilkan Dnase, lipase, dan gelatinase. Klebsiella, Enterobacter, dan Serratia biasanya memberi reaksi Voges-Proskauer positif.

5. Kelompok Proteus-Morganella-Providencia

Anggota kelompok ini mendeaminasi fenilalanin, dapat bergerak, tumbuh pada perbenihan kalium sianida (KCN), dan meragikan xilosa. Spesies Proteus bergerak sangat aktif dengan memakai flagel peritrik, yang mengakibatkan swarming (pertumbuhan menyebar pada permukaan, membentuk pola menyerupai lingkaran tahun pada pohon) pada perbenihan padat kecuali kalau ini

(40)

dihambat oleh zat kimia, misalnya feniletil alcohol atau perbenihan CLED (Cystine-lactose-electrolyte-deficiebnt). Spesies Proteus dan Morganella Morganii bersifat positif, sementaera spesies Providencia biasanya urease-negatif. Kelompok Proteus-Providencia meragikan laktosa secara amat lambat atau tidak sama sekali. Proteus mirabilis lebih peka terhadap obat antimikroba, termasuk penisilin, disbanding anggota lain dari kelompok itu.

6. Citrobacter

Bakteri ini secara khas bersifat sitrat-positif dan berbeda dari Salmonella karena tidak menyebabkan dekarboksilasi lisin. Bakteri ini sangat lambat meragikan laktosa.

Tabel 3-1. Identifikasi Cepat Dan Presumtif Kuman Enterik Gram-Negatif

(41)

Laktosa Escherichia coli:

Mengkilat seperti logam pada perbenihan diferensial;bergerak; koloni rata, tidak liat.

Enterobacter aerogenes:

Koloni meninggi, tidak ada kilauan logam; sering bergerak; pertuimbuhan lebih liat.

Klebsiella pneunomiae:

Sangat liat pertumbuhan mukoid; tidak bergerak.

Edwardsiella, Serratia,

Citrobacter, Arizona, Providencia, Erwinia.

Spesies Shigella:

Tidak bergerak, tidak membentuk gas dari dekstrosa.

Spesies Salmonella:

Bergerak, biasanya membentuk asam dan gas dari dekstrosa

Spesies Proteus:

Oada agar, ”swarming”; urea dihidrolisis dengan cepat (tercium bau ammonia).

Spesies Pseudomonas:

Pigmen yang larut, hijau-biru dan berfluoresen; tercium bau manis.

c. Struktur Antigen

Enterobacteriaceae mempunyai struktur antigen yang kompleks. Bakteri ini dapat digolongkan berdasarkan lebih dari 150 antigen somatic O (lipopolisakarida) tahan panas, lebih dari 100 antigen K (simpai) yang tak tahan panas, dan lebih dari 50 antigen H (flagel). Pada Salmonella typhi antigen simpai disebut antigen Vi.

Antigen O merupakan bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan teridiri atas unit polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigen O tahan terhadap panas dan alkohol dan biasanya dideteksi dengan aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.

(42)

Meskipun tiap genus Enterobactericeae berhubungan dengan golongan O khusus, dalam satu organisme dapat ditemukan beberapa antigen O. Karena itu, sebagian besar shigela memiliki satu atau lebih antigen O yang sama dengan E coli. E coli dapat bereaksi silang dengan beberapa spesies Providencia, Klebsiella, dan Salmonella. Kadang-kadang, antigen O dapat berhubungan dengan penyakit manusia tertentu, misalnya tipe khusus O pada E. coli ditemukan pada diare dan infeksi saluran kemih.

Antigen K berada di luar antigen O pada beberapa jenis tetapi tidak semua Enterobactericeae. Sebagian adalah polisakarida, termasuk antigen K pada E. coli; lainnya adalah protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi melalui antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi (misalnya strain E. coli yang menghasilkan antigen K1 sering ditemukan pada meningitis neonatus, dan antigen K E. coli menyebabkan peletakan bakteri pada sel epitel sebelum invasi ke saluran cerna atau saluran kemih). Klebsiella membentuk simpati besar yang terdiri atas polisakarida (antigen K) yang menutupi antigen somatik (O atau H) dan dapat dikenali dengan tes pembengkakan simpai menggunakan antiserum khusus. Infeksi pada saluran napas manusia disebabkan terutama oleh jenis simpai 1 dan 2; pada saluran kemih, terutama oleh jenis 8, 9,10 dan 24.

(43)

Antigen H terletak pada flagel dan didenaturasikan atau dirusak oleh panas atau alkohol. Antigen H dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang bergerak. Antigen H semacam itu beraglutinasi dengan antibodi anti-H, terutama IgG. Penentu dalam antigen H merupakan fungsi urutan asam amino dalam protein flagel (flagelin). Dalam satu serotipe, antigen flagel dapat berada dalam satu atau dua bentuk, yang disebut fase 1 (biasanya ditunjukkan dengan huruf kecil) dan fase 2 (biasanya ditunjukkan dengan angka Arab). Organisme ini cenderung berubah bentuk dari satu fase ke fase lain; ini disebut variasi fase. Antigen H pada permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi anti-O.

Ada banyak contoh struktur antigen yang tumpang tindih antara bakteri Enterobacteriaceae dan bakteri lainnya. Sebagian besar Enterobacteriaceae mempuyai antigen O14 E. coli. Polisakarida simpai tipe 2 pada Klebsiella sangat mirip dengan polisakarida tipe 2 pada pneumokokus. Beberapa antigen K bereaksi silang dengan polisakarida simpai dari Haemophilus influenzae atau Neisseria Meninginitidis. Karena itu, O75: K100:H5 pada E. coli dapat menginduksi antibodi yang bereaksi dengan H. influenzae tipe b.

(44)

Kolisin (Bakteriosin)

Banyak organisme gram-negatif menghasilkan bakteriosin. Zat-zat bakterisidal mirip virus ini dihasilkan oleh strain bakteri tertentu yang aktif terhadap beberapa strain lain dari spesies yang sama atau yang serumpun. Pembentukannya dikendalikan oleh plasmid. Kolisin dihasilkan oleh E. coli, marsesin oleh Serratia, dan piosin oleh Pseudomonas. Strain yang menghasilkan bakteriosin bersifat resisten terhadap bakteriosinnya sendiri; karena itu bakteriosin dapat digunakan untuk ”menentukan tipe” organisme1.

1.

Shigella

Habitat alamiah Shigella terbatas pada saluran pencernaan manusia dan primata lainnya: di sini Shigella tersebut menyebabkan disentri basiler.

a. Morfologi & Identifikasi

Ciri-ciri Khas Organisme

Shigella adalah batang gram-negatif ramping: bentuk kokobasil ditemukan pada biakan muda.

(45)

Biakan

Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi paling baik tumbuh secara aerobik. Koloninya konveks, bulat, transparan dengan pinggir-pinggir utuh, mencapai diameter kira-kira 2 mm dalam 24 jam.

Sifat-sifat Pertumbuhan

Semua Shigella meragikan glukosa. Bakteri ini tidak meragikan laktosa, kecuali Shigella sonnei. Ketidakmampuannya untuk meragikan laktosa membedakan bakteri-bakteri shigela pada pembenihan diferensial. Bakteri ini membentuk asam dari karbohidrat, tetapi jarang menghasilkan gas. Bakteri ini dapat juga dibagi menjadi bakteri yang meragikan manitol dan yang tidak, seperti terlihat pada Tabel 3-2.

Tabel 3 -2. Spesies Shigella yang Patogen Nama

Sekarang Golongan dan Jenis Manitol Ornitin Dekarboksilas e S. dysenteriae S. flexnery S. boydii S. Sonnei A B C D – + + + – – – + b. Struktur Antigen

(46)

Shigella mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak tumpang tindih dalam sifat serologik pelbagai spesies ini, dan sebagian besar kuman mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh kuman enterik lainnya.

Antigen somatik O Shigella adalah lipopolisakarida. Spesifitas serologiknya bergantung pada polisakarida itu. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi Shigella didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigennya.

c. Patogen & Patologi

Infeksi Shigella hampir selalu terbatas pada saluran pencernaan; invasi ke aliran darah sangat jarang. Shigella sangat menular; untuk menimbulkan infeksi diperlukan dosis kurang dari 103 organisme (sedangkan untuk Salmonella dan Vibrio adalah 105

– 108). Proses patologik yang penting adalah invasi epitel mukosa;

mikroabses pada dinding usus besar dan ileum terminal yang mengakibatkan nekrosis selaput mukosa, ulserasi superficial, perdarahan, dan pembentukan ”pseudomembran” pada daerah ulkus. Pseudomembran ini terdiri atas fibrin, leukosit, sisa sel, selaput mukosa yang nekrotik, dan bakteri. Bila proses mulai membaik, jaringan granulasi mengisi ulkus dan terbentuk jaringan parut.

(47)

d. Toksin

Endotoksin

Pada waku terjadi autolisis, semua Shigella mengeluarkan lipopolisakaridanya yang toksik. Endotoksin ini mungkin menambah iritasi dinding usus.

Eksotoksin Shigella dysenteriae

S. dysenteriae tipe 1 (basil Shiga) memproduksi eksotoksin tidak tahan panas yang dapat mempengaruhi saluran pencernaan dan susunan saraf pusat. Eksotoksin merupakan protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan mematikan hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini menimbulkan diare, sebagaimana halnya enterotoksin E. coli yang tak tahan panas, mungkin dengan mekanisme yang serupa. Pada manusia, eksotoksin ini juga menghambat absorpsi gula dan asam amino pada usus kecil. Sebagai “neurotoksin” zat ini ikut berperan dalam menyebabkan keparahan penyakit dan sifat fatal infeksi S dysenteriae, serta menimbulkan reaksi susunan saraf pusat (meningismus, koma). Penderita dengan infeksi Shigella flexneri atau Shigella sonnei membentuk antitoksin yang menetralkan eksotoksin S. dysenteriae in vitro. Aktivitas yang bersifat toksik ini berbeda

(48)

dengan sifat invasive shigela pada disentri. Keduanya dapat bekerja berurutan, toksin menyebabkan diare awal yang encer dan tidak berdarah, dan invasi usus besar mengakibatkan disentri lebih lanjut dengan tinja yang disertai darah dan nanah.

e. Gambaran Klinik

Setelah masa inkubasi yang pendek (1-2 hari), secara mendadak timbul nyeri perut, demam, dan tinja encer. Diare tersebut disebabkan oleh kerja eksotoksin dalam usus halus. Sehari atau beberapa hari kemudian, jumlah tinja meningkat karena infeksi meliputi ileum dan kolon; tinja ini berkurang encernya tetapi sering mengandung lendir dan darah. Tiap geraan usus disertai dengan ”mengedan” dan tenesmus (spasme rectum), yang menyebabkan nyeri perut bagian bawah. Demam dan diare ini sembuh secara spontan dalam 2-5 hari pada lebih dari setengah kasus orang dewasa. Namun, pada anak-anak dan orang tua, kehilangan cairan dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, bahkan kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S dysenteriae ini dapat sangat parah.

Setelah sembuh, kebanyakan orang mengeluarkan bakteri disentri dalam waktu yang singkat, tetapi beberapa diantaranya tetap menjadi pembawa yang kronis dan dapat mengalami

(49)

serangan penyakit berulang-ulang. Setelah sembuh dari infeksi, kebanyakan orang akan memiliki antibodi terhadap Shigella dalam darahnya, tetapi antibodi ini tidak melindungi terhadap reinfeksi.

f. Tes Diagnostik Laboratorium

Bahan

Tinja segar, lendir, dan usapan rectum untuk pembiakan. Sejumlah besar leukosit dan darah merah sering dapat terlihat secara mikroskopik dalam tinja. Bahan serum, bila diinginkan, harus diambil tiap 10 hari untuk menunjukkan kenaikan titer aglutinasi antibodi.

Biakan

Bahan digoreskan pada perbenihan diferensial (misalnya, agar Mac Conkey atau agar EMB) dan pada perbenihan selektif (agar enterik Hektoen atau agar Samonella-Shigella), yang menekan Eneterobacteriaceae lain dan organisme gram-positif. Koloni-koloni yang tidak berwarna (laktosa negatif) diinokulasikan ke dalam perbenihan agar triplet gula besi. Organisme yang tidak membentuk H2S, yang

menghasilkan asam, tetapi membentuk gas pada pangkal dan bagian miring yang basa, dan yang tidak bergerak, harus

(50)

diperiksa secara aglutinasi mikroskopik dengan antiserum spesifik Shigella.

Serologi

Orang normal sering mempunyai agglutinin terhadap berbagai spesies Shigella. Tetapi, serangkaian penetapan titer antibodi dengan selang waktu 10 hari dapat menunjukkan kenaikan antibodi spesifik. Serologi tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi Shigella.

Imunitas

Respons antibodi spesifik-tipe akan timbul setelah infeksi. Penyuntikan dengan Shigella yang dimatikan akan merangsang pembentukan antibodi dalam serum, tetapi tidak dapat melindungi manusia terhadap infeksi. Antibodi IgA dalam usus mungkin penting untuk membatasi reinfeksi; antibodi ini dapat dirangsang oleh strain-strain hidup yang dilemahkan dan diberikan melalui mulut sebagai vaksin percobaan. Antibodiserum terhadap antigen somatik Shigella adalah IgM.

(51)

Sprofloksasin, ampisilin, tetrasiklin, dan trimetoprim-sulfametoksazol biasanya menghambat Shigella dan dapat menekan serangan klinik disentri akut. Tetapi obat-obat ini sering gagal menghilangkan organisme dari saluran pencernaan, dan memungkinkan timbulnya pembawa bakteri. Resistensi terhadap banyak jenis obat dapat dipindahkan oleh plasmid, dan infeksi yang resisten tersebar luas. Banyak kasus seperti ini sembuh sendiri. Opiat harus dihindari pada disentri Shigella. Terdapat antitoksin spesifik yang cukup potensial untuk menghadapi eksotoksin S. dysenteriae, tetapi belum terdapat bukti yang meyakinkan secara klinik mengenai hal ini.

h. Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian

Shigella ditularkan melalui makanan, jari, tinja, dan lalat dari orang ke orang (food, fingers, feces, and files). Sebagian besar kasus infeksi Shigella terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun. S. dysenteriae tersebar luas. Kemoprofilaksis massak selama waktu yang terbatas (misalnya pada anggota tentara) telah dicoba, tetapi strain-strain Shigella yang resisten cenderung muncul dengan cepat. Karena manusia merupakan inang utama yang diketahui dari shigeLla yang patogen, usaha pengendalian harus diarahkan pada pembersihan bakteri dari sumber-sumber

(52)

dengan cara (1) pengendalian sanitasi air, makanan, dan susu; pembuangan sampah; dan pengendalian lalat; (2) isolasi penderita dan disinfeksi eksreta; (3) penemuan kasus-kasus subklinik dan pembawa bakteri, khususnya pada para pengurus makanan.

2. Kelompok Salmonella-Arizona

Salmonella sering bersifat patogen untuk manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Berikut ini ditularkan dari hewan atau produk hewan kepada manusia, dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik, dan demam enterik.

Morfologi & Identifikasi

Panjang Salmonella bervariasi. Kebanyakan spesies, kecuali Salmonella pullorum-gallinaarum dapat bergerak dengan flagel peritrika. Bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat hidup dalam air beku untuk

jangka waktu yang cukup lama. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau brilian, natrium,

(53)

tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang menghambat bakteri enterik lainnya; karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan dalam perbenihan yang dipakai untuk mengisolasi Salmonella dari tinja.

Struktur Antigen

Meski pada awalnya Salmonella dideteksi berdasarkan sifat-sifat biokimianya, golongan dan spesiesnya harus diindentifikasi dengan analisis antigen. Seperti Enterobactericeae lain, Salmonella memiliki beberapa antigen O (dari keseluruhan yang berjumlah lebih dari 60) dan antigen H yang berbeda pada salah satu atau kedua fase. Beberapa Salmonella mempunyai antigen simpai (K), yang disebut Vi, yang dapat mengganggu aglutinasi melalui antiserum O; antigen ini dihubungkan dengan sifat invasive yang dimilikinya. Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda merupakan dasar untuk klasifikasi Salmonella secara serologik.

(54)

Klasifikasi kelompo Salmonella-Arizona cukup rumit disbanding spesies tertentu. Satu sistem klasifikasi terdiri dari tiga spesies utama, Salmonella typhi (satu serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik.

Salmonella yang dapat dan sebaiknya secara rutin diidentifikasi karena penting dalam klinik: S. typhi, S. choleraesuis, S. paratyphi A, dan S. paratyphi B. Salmonella ini dapat diindentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogrup, diikuti dengan penentuan serotipe.

Tabel 3-3. Contoh Rumus Antigenik Salmonella

Golongan O Spesies Rumus Antigenik1

D A C1 B D S. typhi S. paratyphi A S. choleraeasuis S. typhimurium S. enteriditis 9, 12, (Vi):d;-1, 2, 12:a-6, 7:c:1,5 1, 4, 5, 12,;1:1, 2 1, 9, 12:g, m:-1 Antigen O: angka yang dicetak tebal.

(Vi): antigen Vi bila ada. Antigen H fase 1 : huruf kecil. Antigen H fase 2 : angka.

(55)

Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak bergerak. Hilangnya antigen O menyebabkan perubahan koloni dari bentuk halus menjadi bentuk kasar. Antigen Vi dapat hilang sebagian atau seluruhnya. Antigen dapat diperoleh (atau hilang) dalam proses transduksi.

Patogenesis dan Gejala Klinik

S. typhi dan mungkin S. parathipi A serta S. schottmulleri (dahulu Salmonella paratyphi B) terutama menyebabkan infeksi pada manusia; infeksi oleh organisme ini berarti ditularkan dari sumber manusia. Tetapi, sebagian besar Salmonella terutama bersifat patogen bagi hewan yang merupakan reservoir untuk infeksi manusia. Hewan-hewan ini meliputi unggas, babi, hewan pengerat, sapi, hewan piaraan (dari kura-kura sampai burung kakatua), dan hewan lainnya.

Organisme ini hampir selalu masuk melalui mulut, biasanya bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Bagi manusia, dosis infeksi rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik atau subklinik adalah 105 -108

bakteri (tetapi mungkin cukup dengan 103 organisme S typhi).

(56)

infeksi Salmonella adalah keasaman lambung, flora normal dan usus, dan daya tahan usus setempat.

Pada manusia, Salmonella menyebabkan tiga macam penyakit utama, tetapi sering juga ditemukan bentuk campuran.

1. ”Demam Enterik” (Demam Tifoid)

Gejala ini ditimbulkan hanya oleh beberapa Salmonella, tetapi yang terpenting adalah S. typhi (demam tifoid). Salmonella yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke saluran getah bening lalu ke aliran darah. Kemudian bakteri dibawa oleh darah menuju berbagai organ, termasuk usus. Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan diekskresi dalam tinja.

Setelah masa inkubasi 10-14 hari, timbul demam, lemah, sakit kepala, konstipasi, bradikardia, dan mialgia. Demam sangat tinggi, dan limpa serta hati membesar. Meski jarang, pada beberapa kasus terlihat bintik-bintik merah (rose spots) yang timbul sebentar. Jumlah sel darah putih normal atau rendah. Sebelum masa antibiotika, komplikasi utama demam enterik adalah perdarahan usus dan perforasi; angka kematian 10-15%. Pengobatan dengan

(57)

kloramfenikol, ampisilin, atau trimetoprim-sulfametoksazol mengurangi angka kematian menjadi kurang dari 1%.

2. Bakteremia dengan Lesi Fokal

Biasanya ini disebabkan oleh S. chloresuis tetapi dapat disebabkan oleh setiap serotipe Salmonella. Setelah infeksi melalui mulut, terjadi invasi dini terhadap darah (dengan kemungkinan lesi fokal di paru-paru, tulang, selaput otak, dan sebagainya), tetapi sering tidak ada manifestasi usus. Biakan darah tetap positif.

3. Enterokolitis (Dahulu ”Gastroenteritis”)

Ini adalah gejala paling sering yang ditemukan pada infeksi Salmonella. Di AS, S. typhimurium lebih menonjol, tetapi enterokolitis dapat disebabkan oleh setiap dari 1500-2000 tipe Salmonella. Delapan sampai 48 jam setelah memakan Salmonella, timbul rasa mual, sakit kepala, muntah, dan diare hebat, dengan beberapa lekosit dalam tinja. Demam ringan sering terjadi, tetapi biasanya sembuh dalam 2-3 hari.

Terdapat lesi-lesi peradangan di usus halus dan usus besar. Bakteremia sangat jarang (2-4%) kecuali pada orang

(58)

yang imunnya terganggu. Biakan darah biasanya negatif, tetapi biakan tinja positif untuk Salmonella dan dapat tetap positif selama beberapa minggu setelah penyakit sembuh secara klinik.

Tabel 3-4. Penyakit Klinik yang Disebabkan oleh Salmonella

Demam Enterik Septikemia Enterokolitis

Masa inkubasi 7-20 hari Bervariasi 8-48 jam Permulaan

penyakit

Perlahan-lahan Mendadak Mendadak Demam Lambat, kemudian

tetap tinggi dengan stadium ”tifoid” Cepat naik, kemudian memuncak ke satu ”sepsis” Biasanya rendah

Masa sakit Beberapa minggu Bervariasi 2-5 hari Gejala-gejala

gastrointestinal Permulaan sering konstipasi; kemudian diare berdarah

Sering tidak ada Mual, muntah, diare

pada permulaan Biakan darah Positif dalam minggu

1-2 sakit

Positif selama demam tinggi

Negatif Biakan tinja Positif mulai minggu

kedua negatif pada masa lebih dini

Jarang positif Positif segera setelah

timbul penyakit

Tes Diagnosis Laboratorium

a. Bahan

Darah untuk biakan harus diambil berulang kali. Pada demam enteric dan septicemia, biakan darah sering positif dalam minggu pertama masa sakit. Biakan sumsum tulang

Gambar

Tabel 3-1. Contoh Reaksi Metabolisme Glukosa 1 Maltosa1 Sukrosa1 Ureasa1 C. diphtheriae       +       +       -      -C
Tabel 3 -2. Spesies Shigella yang Patogen Nama
Tabel 3-5.  Klasifikasi Pseudomonas yang Menyebabkan                                      Penyakit pada Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 4.6, 4.7, 4.8, 4.9 dan 4.10 grafik secara seri, gambar 4.26, 4.27, 4.28, 4.29 dan 4.30 secara seri – paralel terlihat bahwa trendline atau kecenderungan grafik menurun

Menurut Hall (1980), pada proses pengeringan komoditas pertanian terjadi dua proses dasar yaitu pindah panas untuk menguapkan cairan bahan dan pindah massa akibat adanya

Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum dari SKMHT yang dibuat oleh Notaris yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan

cara belajar disekolah salah satunya adalah masuk kelas tepat waktu, memperhatikan penjelasan guru, menghubungkan pelajaran yang sedang diterima dengan yang sudah

Saat ini ditemui ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan, diantaranya tidak teraturnya dokter dalam melakukan kunjungan, harga yang tidak sesuai dengan pelayanan

Berdasarkan hasil analisa SWOT pada tabel 1 di atas dan strategi bisnis yang akan dicapai, maka peneliti memfokuskan penelitian ini untuk meng- ukur kondisi saat ini

belum diterima oleh GAA Pihak Outstation terlambat mengirim komponen pesawat yang rusak Pengangkutan komponen menunggu pesawat lain yang menuju Cengkareng

Hasil triangulasi data yang dilakukan oleh peneliti pada penelitian ini menunjukan bahwa keterlibatan gereja sebagai bentuk rasa kewajibanya terhadap pembinaan moral anak-anak