• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN LAUT A Tinjauan Mengenai Pengangkutan Secara Umum

D. Batas-Batas Ganti Rugi Yang Menjadi Tanggung Jawab Pengangkut

Menurut ketentuan Pasal 468 ayat (2) KUHD, pengangkut terikat untuk mengganti kerugian yang disebabkan karena tidak diserahkannya barang-barang, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian atau karena kerusakan barang, kecuali bilamana dapat dibuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau adanya kerusakan itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang sepantasnya yang tidak dapat dicegah atau dihindarinya akibat dari sifat, keadaan atau cacat yang terdapat pada barang-barang itu sendiri.30

Perumusan undang-undang membawa konsekuensi, bahwa barang siapa menggugat pihak pengangkut pada umumnya cukup mendalihkan dan kalau perlu membuktikan bahwa barang-barang yang diangkut telah diterima oleh pengangkut dalam keadaan baik, namun diserahkannya dalam keadaan tidak lengkap. Dalam keadaan semacam itu, maka pihak pengangkut harus dapat membuktikan bahwa telah terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan cacatnya barang, peristiwa mana sebelumnya tidak dapat dicegahnya.31

Dalam Pasal 468 ayat (3) KUHD itu disebutkan, bahwa pihak pengangkut bertanggung jawab terhadap perbuatan mereka yang ia pekerjaan dan ia bertanggung jawab pula terhadap alat-alat yang ia gunakan oleh pengangkut

30

HMN Purwosutjipto, Op.cit, hal. 78. 31

dalam melaksanakan pengangkutan. Arti dari pasal tersebut ialah bahwa pengangkut adalah bebas dari pertanggungjawaban untuk mengganti kerugian, apabila orang lain yang dikerjakan pengangkut dapat menunjukkan adanya suatu peristiwa yang sepantasnya tidak dapat dicegah atau dihindarinya.

Untuk pengiriman barang-barang berharga, maka pihak yang bersangkutan dengan barang-barang berharga tersebut harus diberitahukan kepada pengangkut. Apabila pihak yang bersangkutan dengan barang-barang berharga itu lalai memberitahukan kepada pihak pengangkut, maka ada alasan bagi pengangkut untuk mengadakan pembatasan tentang tanggung jawabnya. Ketentuan ini diatur di dalam pasal 469 KUHD. Jadi dalam hal ini pengangkut hanyalah bertanggung jawab, apabila sifat dan harga dari barang-barang berharga tersebut diberitahukan lebih dulu kepadanya. Sedang terhadap kerugian yang timbul karena sebab-sebab lain dengan tidak adanya pemberitahuan itu tetap menjadi tanggung jawab pengangkut.

Meskipun dalam prinsip pengangkutan tidak diperbolehkan untuk membatasi tanggung jawab kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesalahannya, tetapi Pasal 470 KUHD di dalam ayat (1) dan ayat (2) memperkenankan, apabila hal itu diperjanjikan, maka si pengangkut tidak akan bertanggung jawab apabila barang tersebut sebelum atau pada waktu barang itu diterimanya. Jumlah itu tidak boleh lebih rendah dari Rp. 600,- dan apabila sifat dan harga barang tersebut dengan sengaja diberitahukan secara tidak benar kepadanya, maka pengangkut dibebaskan dari pemberian ganti kerugian (Pasal 470 KUHD).

Dewi Meivisa Harahap : Peranan Dan Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Apabila pengangkut itu adalah si pengusaha kapal itu sendiri, maka sesuai dengan Pasal 474 KUHD tanggung jawab pengangkut sebagai demikian itu tentang kerugian yang ditimbulkan kepada barang-barang yang diangkut adalah terbatas sampai jumlah Rp. 50,- per tiap m3 isi bersih kapal tersebut, ditambah sekedar mengenai kapal-kapal yang digerakkan dengan tenaga mesin, dengan apa yang untuk menentukan isi tersebut, harus dikurangkan dari isi kotor ruangan yang diperlukan oleh tenaga penggerak. Apabila kerugian itu disebabkan karena kesengajaan atau kesalahan berat dari pihak pengangkut, maka berdasarkan Pasal 467 KUHD, pengangkut dapat dituntut penggantian kerugian terhadap seluruh kerugian.32

32

Hasnil Basri Siregar, Op.cit, hal. 89.

Karena baik dilihat dari pihak pengangkut maupun dari pihak pengirim barang dalam perjanjian pengangkutan itu dilandasi dengan prinsip ‘itikad baik’ dengan asumsi, baik pihak pengirim barang menghendaki agar barang-barangnya yang dikirim melalui laut itu dapat sampai di tempat tujuan dengan lengkap, aman dan sempurna, sedang di pihak pengangkut menghendaki agar tidak timbul hal-hal yang bertentangan dengan kewajibannya, maka kiranya masalah batas- batas jumlah ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pengangkut itu merupakan suatu masalah yang paling serius dalam pengangkutan di laut. Karenanya KUHD menetapkan secara tegas, dalam Pasal 470 ayat (1), suatu jumlah yang pasti yaitu Rp. 600,- yang karena nilai rupiah yang sangat berlainan dengan nilai rupiah pada waktu itu, maka terjadi beberapa masalah yang rumit.

Untuk itu perlulah kiranya melihat kepada ketentuan yang terdapat di dalam The Hague Rules pada artikel ke-4, yaitu : “Neither the carrier nor the ship shall in even be or become lieable for any loss or damage to or in connection with goods in on amount exceeding 100 poundsterling prepackage or unit or the equivalent of that sum in other currency unless and value of such goods have been declared by shipper before shipment and in serted in the Bill of Ladin”..

Atas ketentuan yang terdapat di dalam The Hague Rules tersebut yang membatasi tangung jawab pengangkut sampai pada jumlah seratus (100) poundsterling untuk setiap bungkus/colli atau unit barang menimbulkan ketidakpuasan. Sehubungan dengan itu, maka pada tahun 1968 di Brussel diadakan suatu protokol untuk menyempurnakan artikel ke -4 atau pasal 4 ayat (5) dari The Hague Rules tersebut. Nama Protocol Brussel 1968 tersebut adalah “Protocol to amend the international convention for the unification of certain rules relating to Bill of Lading, signed at Brussel on 25 August 1924”. Mengenai perubahan terhadap pasal 4 ayat (5) The Hague Rules itu yang kemudian dijadikan pasal 2 dalam The Brussels Protocol 1968 adalah merubah tentang jumlah batasan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pengangkut.

The Brussels Protocol menetapkan tentang masalah tersebut terdapat di dalam artikel ke-2, yaitu : “for the nature and value of such goods have been declared by the shipper before shipment and inserted in the Bill of Lading, neither the carrier nor the ship shall in event be or become lieable for any loss or damage to or in connection with the goods in an amount exceeding the equivalent of francs 10.000 perpackage or unit or francs 30 per kilo of gross weight or unit lost damaged, whichever is the higher”.33

Jadi apabila keadaan dan harga barang yang telah diberitahukan oleh shipper kepada ekspeditur atau pengangkut sebelum pemuatan dan telah

33

Dewi Meivisa Harahap : Peranan Dan Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight disebutkan hal itu dalam Bill of Lading, maka dalam hal terjadi adanya kehilangan atau kerusakan, pengangkut tetap bertanggung jawab terhadap barang dalam batas jumlah dengan 10.000 francs per fax/colli atau 30 francs per kilo per tiap bagian yang hilang atau rusak.

Di dalam artikel ke-2 ayat (2) dari The Brussels Protocol 1968 itu disebutkan : “Neither the carrier nor the ship shall be responsible in any event for loss or damage to, or in connection with the goods, if the nature or value there of has been know lingly mis-stated by the shipper in the Bill of Lading”.

Dalam pengertian ini maka pengangkut tidak akan bertanggung jawab terhadap setiap kejadian mengenai kehilangan dan keruskaan barang, apabila keadaan, sifat atau harga barang ternyata yang disebut dalam Bill of Lading adalah tidak benar, juga apabila kerusakan atau kehilangan itu karena kesengajaan pengangkut, maka “limitation of liability” seperti tersebut terdahulu tidak berlaku bagi pengangkut.

Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut di dalam The Hamburg Rules 1978 itu menetapkan di dalam artikelnya yang ternyata lebih tegas lagi, yaitu di dalam ayat (1) yang dinyatakan bahwa : “for loss or damage is limited amount equivalent to 835 units account per perkilogram of gross weight of the goods lost damaged, whichever is higher”. Selanjutnya di dalam ayat (2) dinyatakan : “for delay in delivery limited to an amount equivalent to two and a half times the freight payable for the goods delayed, but not exceedinging the total freight payable under the contract of carriage of goods by sea”.