• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5. Batasan Penelitian

Pada penelitian ini hanya akan dilakukan proses reduksi langsung pada pellet pasir besi dalam skala laboratorium dan kemudian pada skala yang lebih besar.

Sebelum dibuat pellet pasir besi yang digunakan akan dibenefisiasi dengan menggunakan magnetik separator. Analisis terhadap ingot besi yang dihasilkan akan menunjukkan seberapa optimal proses reduksi langsung yang telah dilakukan dan analisis terhadap slag yang terbentuk akan menunjukkan jumlah besi yang masih belum dapat tereduksi dan dalam bentuk senyawanya.

2.1 Teknologi Pembuatan Besi

Teknologi yang banyak digunakan saat ini dalam proses pembuatan besi dari bijih besi ada dua yaitu Blast Furnace dan Direct Reduction Iron (DRI). Teknologi ini sudah cukup lama dan banyak digunakan di dunia. Gambar 2.1 menunjukan penggunaan teknologi pembuatan besi dengan teknologi DRI yang ada di dunia.

Gambar 2.1 Penggunaan Teknologi Pembuatan Besi di Dunia Sumber : International Iron and Steel Institute, 2006

Berdasarkan gambar diatas teknologi generasi kedua (direct reduction iron) seperti Midrex, Hyl dan Fastmet telah memproduksi total 55,9 metrik ton besi dunia pada tahun 2005. MIDREX teknologi merupakan teknologi yang paling banyak digunakan oleh perusahaan baja didunia. PT. Krakatau Steel juga mengunakan teknologi DRI ini yaitu Hyl yang berasal dari Meksiko. Teknologi banyak digunakan karena biaya investasi yang murah dibandingkan dengan teknologi generasi pertama dan bukan proses yang berkelanjutan. Bahan baku yang digunakan adalah Hematit/Magnetite dengan kadar Fe yang cukup tinggi sehingga tidak bisa dipenuhi oleh bijih besi lokal yang kadar Fe nya rendah.

7

Teknologi generasi pertama (blast furnace) adalah teknologi yang paling lama.

Teknologi ini merupakan proses yang berkelanjutan sehingga sangat cocok digunakan pada daerah dengan ketersedian bahan baku yang melimpah.

Kekurangan dari teknologi ini adalah membutuhkan bijih besi dengan kadar Fe yang tinggi dan juga kokas dengan spesifikasi yang bagus. Hal ini tidak bisa dipenuhi oleh dalam negeri dikarenakan rendahnya kadar Fe bijih besi Indonesia dan batubara Indonesia yang masih muda. Bagian-bagian dari dapur tinggi dapat dilihat pada Gambar 2.2. Sementara Gambar 2.3 menunjukkan mini blast furnace yang telah di-set-up di Balai Pengolahan Mineral Lampung, LIPI sejak tahun 1985. Teknologi ini merupakan peleburan reduksi (reduction smelting) dan masuk kategori reduksi tidak langsung. Pembuatan besi dengan dapur tinggi membutuhkan kokas yang sangat mahal dan temperatur tungku yang tinggi sekitar 1500-2000oC. Proses pembuatan besi dengan teknologi ini merupakan proses yang berkelanjutan sehingga membutuhkan jaminan ketersediaan bahan baku.

Pellet besi yang digunakan memerlukan kualitas yang baik yaitu kadar Fe yang tinggi dan tidak adanya kandungan pengotor. Besi yang dihasilkan memiliki kandungan karbon 4-5% sehingga sangat getas.

Teknologi generasi kedua adalah pembuatan besi dengan menggunakan gas alam untuk mereduksi bijih besi sehingga didapat besi reduksi langsung (Direct Reduction Iron). Teknologi ini tidak sebesar dapur tinggi, investasinya lebih rendah dan sudah banyak dibangun di negara-negara berkembang. Teknologi ini juga digunakan oleh PT. Krakatau Steel yang disebut Hyl dari Meksiko.

Teknologi lain yang dikembangkan pada generasi kedua ini adalah MIDREX® Process (ditunjukkan oleh Gambar 2.5.a) dan Fastmet® Process (ditunjukkan oleh Gambar 2.6). Teknologi lain yang dikembangkan adalah HOTLINK® Process (ditunjukkan Gambar 2.5.b) yang merupakan pengembangan dari MIDREX® Process. Penggunaan teknologi generasi kedua ini jika dibandingkan dengan dapur tinggi meningkat secara drastis dari 800.000 ton pada tahun 1970 menjadi 55.000.000 ton pada tahun 2005 (Negami, 2001). Bijih besi yang digunakan pada proses ini adalah hematit dan magnetit, sehingga tetap membutuhkan Fe dengan kadar yang tinggi dan tanpa banyak pengotor.

1. Hembusan udara panas dari tungku 2. Daerah pencairan

3. Zona reduksi FeO (Ferrous Oxide) 4. Zona reduksi Fe2O3 (Ferric Oxide) 5. Daerah pemanasan awal

6. Tempat masuk Bijih besi, Kapur dan Kokas

7. Gas sisa pembakaran

8. Lajur Bijih besi, Kapur dan Kokas 9. Slag

10. pig iron

11. Saluran gas buang

Gambar 2.2 Diagram Dapur Tinggi

Mini Blast Furnace sejak 1985, di BPML, LIPI Lampung

Kapasitas: 10 rb ton/th

Gambar 2.3 Mini Blast Furnace Untuk Mengolah Bijih Besi Kadar Tinggi Yang Ada Di Balai Pengolahan Mineral Lampung, Lipi.

9

Gambar 2.4 Plant Reduksi Langsung Yang Digunakan Oleh PT. Krakatau Steel.

Gambar 2.5 Plant Reduksi Langsung Berbasis Gas Alam (a) MIDREX® Process, (b) HOTLINK®

Process.

Gambar 2.6 Plant Reduksi Langsung Berbasis Gas Alam Fastmet® Process Menggunakan Rotary Hearth Furnace.

a b

Teknologi generasi ketiga yang dikembangkan oleh Kobe Steel adalah IT Mark Three (ITmk3®) (Hoffman, 2004), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7 dan 2.8.

Teknologi ini merupakan pengembangan dari Fastmet® process, yang merupakan reduksi langsung dengan menggunakan batu bara. ITmk3® adalah proses yang unik, karena Pellet direduksi dan dilelehkan pada suhu yang relatif rendah yaitu 1350oC. Pada proses ini besi dengan mudah terpisah dari slag. Reaksi pada ITmk3® berada pada fasa padat/ cair yang berbeda dengan teknologi pembuatan besi konvensional. Keunggulan lain dari teknologi ini adalah FeO sisa kurang dari 2% dan tidak merusak bata api. Bijih besi halus dan bijih besi kadar rendah bisa digunakan pada teknologi ini. Kobe steel dalam penelitiannya dalam waktu yang singkat (3-9 menit) telah berhasil mereduksi langsung bijih besi dengan teknologi ITmk3® dengan variasi temperatur. Seiring dengan penambahan waktu pada pemanasan 1350oC, metalisasi berjalan lebih sempurna dan terjadi pengumpulan/

pemisahan slag dari metal yang terbentuk.

Gambar 2.7 Itmk3® Process Menggunakan Rotary Hearth Furnace (Hoffman, 2004).

Gambar 2.8 Patent Itmk3® Menggunakan Finisher-Hearth-Melter (FHM) Furnace (Hoffman, 2003).

11

2.2 Kandungan mineral magnetik dalam pasir besi

Secara umum, mineral dalam pasir besi terdiri dari dua komponen dibedakan atas dasar sifat magnetiknya, yaitu mineral magnetik dan mineral non magnetik.

Mineral magnetic menjadi primadona bagi sebagian besar orang dikarenakan jumlahnya yang sangat melimpah dan kegunaannya yang bernilai ekonomi tinggi.

Oksida besi-titanium (FexTiyOz) adalah senyawa magnetik yang cukup dominan selain oksida besi lainnya. Kumpulan senyawa oksida besi-titanium ini terdiri dari mineral-mineral yang memenuhi diagram segitiga (ternery diagram) dengan anggota-anggota tepi (end members) terdiri dari TiO2, FeO dan Fe2O3, seperti terilhat dalam gambar 2.9 (Putnis, 1992).

Gambar 2.9 Diagram Fasa Segitiga Sistem Feo-Fe2O3-TiO2 (Putnis, 1992)

Sistem segitiga diatas menjelaskan berbagai komposisi kimia dari mineral-mineral oksida yang hampir selalu menjadi perhatian dalam mempelajari sifat kemagnetan batuan, yaitu FeO (wustite), Fe3O4 (magnetite), γ-Fe2O3 (maghemit), α-Fe2O3

(hematite), FeTiO3 (ilmenit), Fe2TiO4 (ulvospinel), Fe2TiO5 (pseudobrookite), dan FeTi2O5 (ilmeno-rutile atau ferropseudobrookite). Segitiga tersebut juga memuat informasi mengenai tiga deret sistem, yaitu titanomagnetite, titanohematite, dan

yang diperoleh dengan oksidasi titanomagnetit pada temperatur dibawah 300oC.

Dari keempat deret oksida besi titanium tersebut, yang membawa sifat magnetik paling menonjol adalah titanomagnetit. Sistem titanomagnetit, khususnya magnetit, merupakan komponen senyawa paling dominan yang terkandung dalam pasir besi (Yulianto, 2003). Secara alamiah keberadaan mineral besi oksida dalam pasir besi bercampur dengan berbagai mineral lainnya. Pasir besi merupakan salah satu produk dari batuan beku (Schon, 1998) sehingga komposisi mineral yang menyertai magnetit pasir besi sangat bervariasi bergantung pada batuan induk dan lokasinya.

2.3 Reduksi bijih besi menjadi ingot besi

Secara kimia proses reduksi terhadap senyawa besi oksida dapat dilakukan dengan reduktan C atau H2 yang akan menghasilkan produk gas CO atau uap air.

FenOm + mC Æ nFe + mCO(g) (1) FenOm + mH2(g) Æ nFe + mH2O(g) (2) Proses reduksi diatas biasa disebut dengan proses reduksi langsung (Direct Reduction), dimana terjadi interaksi langsung antara Fe dan C atau H2. Khusus pada reaksi dengan C juga biasa disebut dengan reaksi interaksi padat-padat, karena FenOm dan mC pada awal reaksi (sebelum diberikan energi) berwujud padat. Proses reduksi langsung akan berjalan jika terjadi kontak antara oksida besi dan karbon. Kontak oksida besi dan karbon telah didefinisikan dalam tiga keadaan (Kashiwaya, 2004) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.10. Keadaan pertama adalah oksida besi dan karbon terpisah. Pada keadaan ini reduksi langsung tidak akan terjadi dan reduksi tidak langsung akan mendominasi pada proses tersebut.

Keadaan kedua adalah telah terjadi kontak antara oksida besi dan karbon tetapi kontaknya lemah. Hal ini dikarenakan kontaknya hanya terjadi pada tingkat makro dan tanpa tekanan sehingga keadaan pertama akan berulang dimana reduksi tidak langsung akan mendominasi. Keadaan ketiga adalah kontak yang kuat terjadi antara oksida besi dan karbon. Hal ini didapat dengan menggunakan mechanical alloying. Pada saat penghancuran dengan ball milling dimana ukuran partikel dan kristal mengecil seiring dengan lama waktu milling sehingga terjadi kontak area yang besar antara oksida besi dan karbon dalam level atom (Kashiwaya, 2004).

13

I. Oksida besi dan karbon terpisah

II. Terjadi kontak dalam level makroskopik

III. Terjadi kontak yang kuat antara oksida besi dengan karbon, sehingga reduksi langsung dimungkinkan terjadi

Gambar 2.10 Ilustrasi Mekanisme Terjadinya Proses Reduksi Oksida Besi Oleh Karbon (Kashiwaya, 2004)

Reduksi tidak langsung (3), dimana karbon monoksida (CO) sebagai reduktan digunakan dan reaksi reduksi dengan CO merupakan reaksi yang lebih cepat karena CO reduktan yang lebih kuat dari C. Gas CO ini didapatkan dari reaksi (4) yang disebut reaksi regenerasi CO.

mCO + FenOm Æ nFe + mCO2 (3) mCO2 + mC Æ 2mCO (4)

Dan jika didalam bijih terdapat oksida besi-titanium (contoh: ilmenit) maka reaksi reduksi yang akan terjadi adalah

FeTiO3 + C Æ Fe + CO(g) + TiO2 (5) FeTiO3 + CO(g) Æ Fe + CO(g) + TiO2 (6)

Reaksi reduksi ilmenit dengan karbon pada temperatur dibawah 1200oC sudah dapat menghasilkan besi dan oksida titanium (TinO2n-1) dan (Fe, Ti)3O5 (Francis, 2008). Sedangkan pada suhu diatas 1300oC reaksi reduksi ilmenit dengan karbon telah diketahui dapat menghasilkan cairan besi karbon jenuh dan titanium oksikarbida (Francis, 2008). Selain itu dengan menggunakan gelombang mikro (microwave) (Kelly et all., 1995) proses reduksi ilmenit dapat dipercepat dan lebih banyak menghasilkan produk metalisasi. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini.

Tabel 2.1 Perbandingan Reduksi Ilmenit Menggunakan Dua Metode

Sumber : Kelly et all., 1995

Pada tabel diatas dapat diamati bahwa proses reduksi menggunakan metode konvensional dengan muffle furnace baru dapat menghasilkan besi pada suhu 900oC selama 4 jam waktu pembakaran, sedangkan dengan menggunakan gelombang mikro dengan daya 750 W selama 10 menit besi sudah dapat dihasilkan. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan gelombang mikro area permukaan dari pellet dapat diperbesar sehingga kontak dengan pereduksi akan lebih banyak yang pada akhirnya akan mempercepat reaksi. Metode lainnya untuk mereduksi ilmenit dilakukan oleh Welham, (1998). Ilmenit direduksi menggunakan silikon (Si) dengan bantuan ball mill, metode ini dinamakan metode mechanochemical karena memadukan reaksi kimia dengan gerakan mekanik dalam satu proses. Kemudian untuk mengontrol gerakan bola pada saat milling ditempatkan magnet pada vial. Digunakan dua magnet dengan intensitas berbeda (low/high intensity) untuk membedakan intensitas tumbukan bola pada saat milling. Perbandingan konsentrasi ilmenit dan silikon yang digunakan berturut-turut adalah 2:1, gambar 2.11 menunjukkan hasil analisis XRD penelitian tersebut.

15

Gambar 2.11 Hasil XRD Untuk 2:1 Molar Rasio Ilmenit:Si Yang Dimilling a). 100 Jam, b) 200 Jam Intensitas Rendah, c) Sampel B Yang Dianealing Selama 1 Jam Dlm Kondisi

Argon, d). 50 Jam, e). 100 Jam dan f). 200 Jam Intensitas Tinggi. (Welham, 1998)

Reaksi yang terjadi pada saat ilmenit direduksi oleh silikon:

2FeTiO3 + Si Æ 2Fe + SiO2 + 2TiO2 (7)

2FeTiO3 + 5Si Æ SiO2 + FeTiSi (8)

Pada penelitian yang dilakukan Welham ini juga dilakukan untuk 1:1 molar rasio ilmenit:Si dan reaksi yang terjadi adalah reaksi (8) karena pada analisis menggunakan XRD ditemukan fasa FeTiSi pada produk yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan konsentrasi silikon yang lebih banyak annealing pada suhu 600oC terjadi reaksi antara besi (Fe) dengan titanium silikat (TiSi) membentuk FeTiSi.

B. Americ dan S.K. Kawatra (2006) telah berhasil mereduksi magnetit menjadi pig iron dengan menggunakan batubara, limestone dan bentonite. Komposisi yang

digunakan adalah bijih besi magnetit, batubara, limestone dan bentonite secara berturut-turut 71,84% :20,00%: 7,5%: 0,66%, yang dibakar dengan furnace pada suhu 1450oC selama 22 mnt. Anameric berhasil mendapatkan pig iron yang memiliki kadar total Fe 96,49 %, selain itu dianalisis juga kandungan senyawa di dalam slag yang menunjukkan hampir seluruh pengotor (impurities) terpisah dengan baik. Metode pembakaran pellet besi oksida juga dikembangkan dengan menggunakan gelombang mikro (microwave) (gambar 2.12) dalam gas N2 (Nagata et all., 2006). Dengan menggunakan generator gelombang mikro berkekuatan 5 kW (2,45 GHz) besi dapat dipisahkan seluruhnya dari Pellet pada suhu 1350oC.

Hasil analisis XRD (gambar 2.14) pada sampel yang digunakan menunjukkan bahwa proses reduksi mulai terjadi pada suhu 850oC, dan pada suhu 1250oC logam besi sudah terbentuk tanpa oksida-oksida lainnya. Pada gambar 2.13 terlihat bahwa kecepatan pemanasan (reduksi) yang terjadi tidak tergantung pada massa pellet yang digunakan namun tergantung pada daya yang digunakan pada generator gelombang mikro. Reduksi besi oksida dengan menggunakan energi gelombang mikro juga dilakukan oleh Standish dan Huang (1990) yang melaporkan bahwa reaksi reduksi dengan karbon besi oksida magnetite atau hematite berjalan lebih optimal dan cepat dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro.

Gambar 2.12 Furnace dengan Generator Gelombang Mikro (Nagata et all., 2006)

17

Gambar 2.13 Hubungan Antara % Berat Yang Hilang dengan Temperatur Pada Pellet Berdiameter 10, 15, Dan 20 Mm Yang Dipanaskan dengan Energi Gelombang Mikro.

(Nagata et all. 2006)

Gambar 2.14 Hasil XRD untuk Hasil Reduksi Pellet Magnetit Yang Direduksi Menggunakan Karbon Pada Suhu 800oC, 1050oC, 1150oC dan 1250oC. (Nagata et all.

2006)

2.4 Penelitian Pasir Besi di Indonesia.

Karakteristik pasir besi Indonesia yang tersebar dan kadar Fe yang tidak terlalu tinggi menjadikan pasir besi Indonesia tidak efisien untuk diolah dengan menggunakan teknologi yang telah ada di Indonesia (Generasi pertama dan kedua). Pasir besi tersebut dapat digunakan tetapi membutuhkan proses yang panjang agar sesuai dengan karakteristik yang dipersyaratkan oleh teknologi tersebut. Selain itu harga kokas yang masih impor (generasi pertama) dan harga gas alam (generasi kedua) yang cenderung naik menjadi kendala lain dalam pengolahan pasir besi di Indonesia. Hal lainnya yang menyebabkan pengolahan pasir besi menjadi besi di Indonesia cukup sulit adalah jenis batuan oksida besinya berbentuk titanomagnetite (Fe2TiO4), Ilmenite (FeTiO3) dan Fe3O4. Ketiga bentuk senyawa oksida besi tersebut cukup sulit untuk direduksi menjadi besi dibandingkan dengan senyawa oksida besi lainnya seperti Fe2O3. Hal ini disebabkan karena ikatan antara oksigen dengan Fe lebih kompak, terlebih lagi ikatan antara Ti dengan oksigen.Selain itu kandungan titanium yang cukup tinggi sekitar 12-14% menyebabkan kandungan Fe relatif rendah sekitar 40-46%. Akan tetapi beberapa penelitian yang berkaitan dengan ekploitasi pasir besi telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia, baik dari kalangan industri, akademisi atau instansi pemerintah.

Peningkatan kadar Ferro dari dalam pasir besi diantaranya dipelajari oleh Azwar Manaf (2005) yang melakukan karakterisasi senyawa-senyawa di dalam pasir besi. Pemisahan pengotor yang digunakan adalah dengan metoda gravity separator (yang ditunjukkan oleh Gambar 2.15) dan pemisahan magnetis. Dengan metoda itu berhasil ditingkatkan kadar Fe pasir besi serta diidentifikasi bahwa sebagian Fe terikat sebagai senyawa FeTiO3 (16%) dan Fe3O4 (84%), prosentasi didasarkan atas total senyawa Fe. Walaupun ketelitian prosentasi unsur kimia masih kurang akurat karena tidak dilakukan analisa kimia, namun hasil studi ini yang didukung alat analisa X-ray Flourescence dan XRD, cukup memberikan petunjuk jenis senyawa Fe dan metoda pemisahan pengotor terutama Si guna meningkatkan kadar ferro dalam pasir besi.

19

Tim BPPT (2005) telah mencoba memisahkan TiO2 dari pasir besi yang berasal dari Yogyakarta dengan cara benefisiasi atau pengolahan mineral untuk meningkatkan kadar Fe. Percobaan dilakukan dengan menghaluskan pasir besi sampai – 400 mesh, pemisahan gravitasi, hydrocyclone dan magnetic separator yang ditunjukkan oleh Gambar 4.16. Walaupun ukuran kehalusan pasir besi sampai – 400#, namun hasil yang didapatkan adalah Fe total 58,6% dan TiO2

berkisar antara 8,5 – 9%. Kemudian pasir besi ditambahkan bahan pengikat 4,1%

batu gamping atau campuran kapur seduh 1% dan bentonit 1% untuk dibuat pellet (pelletasi). Pellet yang terbuat dari pasir besi lokal itu kemudian dicampurkan dengan pellet impor dengan variasi perbandingan 10-30% pellet lokal : 90-70%

pellet impor dan dibakar atau dilebur. Hasil dari peleburan ini dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Produk Hasil Reduksi Pellet.

Pellet Yogya Pellet Impor Hasil Uji Reduksi Hasil Uji Peleburan

10% 90% Baik Baik

20% 80% Baik Kurang Baik

30% 70% Kurang Baik Belum dilakukan

Sumber: Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral, BPPT, (2005)

Gambar 2.15 Gravity Separator untuk meningkatkan kadar Fe pada pasir besi (Manaf, A., 2005)

Gambar 2.16 Proses benefiasi pasir besi untuk meningkatkan kadar Fe (BPPT, 2005)

Selanjutnya Pramusanto et all. (2000) melakukan percobaan peningkatan kadar Fe dengan magnetic separator intensitas rendah dan pencucian, sampai diperoleh konsentrat dengan Fe total 58% dan TiO2 12%. Hasil yang mirip dilaporkan oleh Woodcock, JT, untuk Industri baja di New Zealand. Komposisi pasir besi New Zealand mirip dengan komposisi pasir besi Yogya dan Cilacap. Kadar Fe ditingkatkan dari 45% ke 50% dengan magnetik separator intensitas 600 dan 300 gauss, selanjutnya dengan alat Reichart cone, dihasilkan konsentrat dengan kadar Fe 56 % s/d 58% dan TiO2 +/- 8%.

Sebelumnya telah dicoba dibuat Pellet pasir besi sebagai umpan reduksi langsung di PT. Krakatau Steel namun hasilnya kurang menggembirakan sehingga usaha tersebut tidak dilanjutkan (Panggabean, 1997). Dari pengalaman itu usaha pemanfaatan pasir besi lebih baik diarahkan pada pengolahan sampai menghasilkan pig iron yang digunakan sebagai bahan baku “antara” pabrik baja.

Pusat penelitian Metalurgi seperti dilaporkan Rudi Subagja pada lokakarya di tahun 2005, telah melakukan penelitian pasir besi skala laboratorium. Jalur

21

pengolahan yang dipilih adalah pellet komposit, reduksi pellet dan peleburan spons hasil reduksi. Pada tahap reduksi dipelajari pengaruh persentasi karbon dalam pellet terhadap reduksi dengan waktu reduksi tiga jam. Walaupun spons hasil reduksi berhasil dilebur menjadi hot metal, namun waktu reduksi selama tiga jam dirasakan masih terlalu lama untuk diterapkan dalam skala industri.

Disamping itu penelitian tentang metode peleburan yang tepat dalam skala yang lebih besar juga belum dilakukan. Untuk mengejar informasi tersebut dipelajari dari literatur luar negeri, proses pembuatan hot metal dari bijih halus menggunakan kupola udara panas yang dikenal dengan proses Pelletech (Weiss et all. 1986). Dalam proses ini Pellet dikeraskan dengan tekanan tinggi pada autoclave sehingga kapur didalamnya mengalami perubahan fasa dan berfungsi sebagai binder. Peleburan dikupola menggunakan udara panas dan udara yang diperkaya dengan oksigen. Walaupun dapat menghasilkan pig iron, proses ini tidak berkembang, hal diperkirakan karena skalanya yang kecil juga kemungkinan terjadinya peleburan reduksi yang memerlukan temperatur tinggi dan mengkonsumsi bata tahan api yang lebih cepat dari kupola yang biasa. Studi pengolahan pasir besi di Mozambique (Gonzales et all., 2001) menekankan pada strategi pemisahan awal pada tahap benefisiasi dengan memperhatikan kandungan senyawa yang berharga seperti TiO2 yang cukup tinggi (19%), secara ekonomis akan dipertimbangkan jalur proses yang akan menempatkan TiO2 sebagai produk utama dan konsentrat besi sebagai produk samping.

Jalur lain dalam reduksi Pellet komposit adalah menggunakan tungku putar sebagaimana digunakan di India dan New Zealand serta Afrika Selatan. Proses ini dikembangkan oleh SLRN dan telah terbukti dalam skala Industri. Proses yang lebih baru menggunakan Rotary Hearth Furnace yang diusulkan oleh Midrex (Tinnis et all., 1990) untuk mengolah bijih besi halus. Untuk meningkatkan efisiensi RHF, Lu dan Huang (2001) mempelajari proses reduksi di RHF dan mengusulkan ditambahnya ketinggian bed Pellet di RHF dari praktek saat ini setinggi 3 pellet ( 25 mm ) menjadi 120 mm. Diusulkan pula bentuk tungku yang lurus berpasangan sehingga dapat menurunkan biaya investasi dan efesiensi energi lebih baik.

3.1. Alat dan Bahan.

3.1.1 Peralatan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Separator Magnetik

Separator atau pemisah magnetik ini dilengkapi dengan pengumpan getar yang berfungsi untuk meratakan dan mengatur jumlah pasir besi yang jatuh diatas sabuk pada bagian pemisah magnet yang menghubungkan antara rol penggerak dan rol magnet. Antara rol penggerak dan rol magnet dihubungkan juga oleh rol penghubung yang berfungsi untuk mengantarkan partikel magnetik dari rol magnet menuju tempat penampungan. Dengan sabuk penghubung tersebut, pasir besi diantarkan menuju rol magnet yang merupakan gabungan dari magnet magnet yang berdiameter sama pada posisi sejajar. Selama rol magnet berputar, partikel yang tidak bersifat magnet akan berjatuhan dan memisahkan diri dari partikel yang bersifat magnetik dengan utama adalah oksida besi. Pasir besi yang bersifat magnet akan terus melewati rol penghubung yang tidak bermagnet sehingga akan terjatuh pada tempat penampungan.

Gambar 3.1 Magnetic Separator

23

2. Diskmill

Alat diskmill yang digunakan dalam penelitian ini adalah Siebtechnik GmbH Platanenallee 46 45478 Mülheim an der Ruhr buatan Jerman. Alat ini terdapat di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2F LIPI) Serpong.

(a) (b) (c)

Gambar 3.2. Diskmill

3. Planetary Ball Mill (PBM 4A)

Suatu alat planetary ball mill bersudut yang memiliki 4 buah jar dimana poros pusat yang digerakkan dengan motor, dihubungkan dengan sabuk pada salah satu jar yang telah dihubungkan juga dengan tiga jar yang lain sehingga keempat jar tersebut berputar secara rotasi pada sumbunya sambil berputar secara revolusi mengitari poros pusatnya. PBM4A ini merupakan instrumaten hasil kreasi Pusat Penelitian Fisika LIPI. Pengaturan dan karakteristik Planetary Ball Mill untuk penelitian ini :

• Putaran

Perbandingan putaran plate dan jar : 1 : 26. Kecepatan putaran motor = 815 rpm, kecepatan putaran pulley bawah = kecepatan putaran pulley jar = 235 rpm, kecepatan putaran sumbu utama = 51.3 rpm, kecepatan putaran plate : 180.8 rpm dan kecepatan putaran jar = 470 rpm. Tipe putaran discontinue/hidup-mati, hidup : 12 menit, mati : 3 menit.

• Jar

Rechargerable atmosphere jar (gas Ar), volume max : 600 ml / jar.

Rechargerable atmosphere jar (gas Ar), volume max : 600 ml / jar.

Dokumen terkait