• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sebagai Pajak

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 109-123)

BAB II PENENTUAN LAHIRNYA HAK ATAS TANAH DAN

B. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan sebagai Pajak

1. Peralihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menjadi Pajak Daerah.

Pada masa lalu ada pungutan pajak dengan Bea Balik nama yang diatur dalam Ordonasi Bea Baik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia,

termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap dalam Ordonasi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang, yaitu Ordonasi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27.130

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, hak-hak kebendaan yang dimaksud di atas tidak berlaku lagi, karena hak-hak kebendaan produk hukum kolonial telah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam UUPA, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 UUPA antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan lain-lain. Oleh karena itu terhitung sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960, Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi.131 Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonasi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih berlaku. Dengan pertimbangan hal tersebut diatas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Hal ini yang pada tanggal Pengganti Bea Balik Nama

130Heru Supriyanto, Cara Menghitung PBB, BPHTB, dan Bea Materai, (Jakarta :PT:Indeks,2010), hal.111

131Harry Hartoyo dan Untung Supardi, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, (Jakarta:Mitra Wacana Media, 2010), hal. 1-2.

diatas maka pada tanggal 29 Mei 1997 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Kemudian Undang-Undang tersebut mengalami perubahan menjadi Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang juga mengatur bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak pusat. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka penyelengaraan pemerintah daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelengarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemeritah negara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka tanggal 15 September 2009 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Tujuan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah memperbaiki kewenangan pemungutan, meningkatkan local taxing power, meningkatkan efektivitas pengawasan, dan meningkatkan sistem pengelolaan.

Inti dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pengenaan pajak yang close list, pengawasan yang preventif serta korektif, sanksi bagi daerah apabila melanggar, memperkenalkan earmaking

system, dan pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.132

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu jenis pajak Kabupaten/Kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sehingga Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dahulu pajak pusat sekarang menjadi pajak daerah.

Dalam sistem perpajakan Indonesia ada dua kelompok pajak terkait dengan lembaga yang berwenang memungut pajak, yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.

Pembagian Pajak tersebut terkait dengan hirarkhi pemerintahan yang berwenang menjalankan pemerintahan dan memungut sumber pendapatan penerimaan Negara, khususnya pada masa otonomi daerah. Secara garis besar hirarki pemerintahan di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Kemudian Pemerintahan Daerah dibagi lagi menjadi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintah hanya dapat memungut pajak yang ditetapkan menjadi kewenangannya dan tidak boleh memungut pajak yang bukan kewenangannya. Hal ini dimaksud untuk menghindari adanya tumpang tindih dalam pemungutan pajak terhadap masyarakat.133

Pajak Pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui Undang-Undangan, dimana wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat,

132Iwan Mulyana, Op.Cit, hal.7

133Marihot Pahala Siahaan, Op.Cit, hal.1

dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah Pusat dan pembangunan. Pajak Pusat dipungut oleh Pemerintah Pusat yang penyelengaraan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga Negara pada umumnya. Pajak pusat di Indonesia terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan, Bea materai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Masuk, Bea keluar ( Pajak Ekspor) dan Cukai.

Menjadi catatan yaitu bahwa dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ada dua jenis Pajak Pusat yang diubah statusnya menjadi Pajak Daerah. Kedua Pajak Pusat tersebut adalah Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-PP) yang dialihkan menjadi pajak daerah paling lambat 1 Januari 2014, serta BPHTB yang dialihkan menjadi Pajak Daerah mulai 1 Januari 2011.134

Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.135 Pajak Daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah (perda), dimana

134Pasal 180 angka (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tetang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

135 Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tetang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintahan Daerah dalam melaksanakan penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah dikelompokkan sebagai berikut :

a. Pajak Provinsi yang terdiri : 1) Pajak Kendaraan Bermotor.

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

4) Pajak Air Permukaan.

6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

7) Pajak Parkir 8) Pajak Air Tanah

9) Pajak Sarang Burung Walet

10) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan 11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Sistem pemungutan pajak daerah dapat dilakukan pemungutan dengan beberapa sistem yaitu antara lain :136

1. Sistem Surat Ketetapan (SKP).

Dalam sistem ini, wajib pajak ditetapkan untuk menentukan saat seseorang/

badan mulai terutang pajak dan berkewajiban membayar pajak terutang untuk masa pajak tertentu. Aparat perpajakan yang aktif dalam pelaksanaan

136 Sugianto, Pajak dan Retribusi Daerah. Pengelolaan Pemerintah Daerah dalam Aspek keuangan, Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakarta:PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,2008), hal.30-31.

pemungutan, sedangkan wajib pajak lebih bersifat pasif. Jadi secara formal wajib pajak terutang apabila wajib pajak yang bersangkutan sudah menerima surat ketetapan Pajak.

2. Sistem setor tunai.

Pada sistem ini yang lebih aktif adalah wajib pajak sedangkan aparat perpajakan lebih bersifat pasif. Apabila terjadi ketidakbenaran, aparat pajak harus dapat membuktikan kemudian diambil tindakan.

3. Sistem pembayaran di muka.

Pembayaran di muka, sebagai ketetapan definitif mempunyai arti bahwa dalam sistem ini pada akhir tahun tidak diperlukan lagi penetapan secara definitif dan pembayaran dimuka sebagai pemungutan pendahuluan.

4. Sistem pengaitan.

Sistem pengaitan adalah pungutan pajak daerah dikaitkan pada suatu pelaksanaan atau kepentingan wajib pajak, bisa dilihat pada pelaksanaan pada pajak penerangan jalan yang penetapan dan penagihan menyatu dengan pungutan tagihan rekening listrik.

5. Sistem benda berharga.

Yang dimaksud dengan benda berharga adalah alat atau sarana pembayaran yan digunakan utnuk memenuhi kewajiban, yang sekaligus merupakan tanda pembayaran, bisa berupa karcis kupon, materai, formulir berharga, dan tanda lain yang ditetapkan oleh kepala daerah melalui dinas pendapatan.

6. Sistem kartu.

Sistem kartu memiliki alat yang digunakan sebagai pembayaran dalam pelaksanaanya kartu sebagai tanda terima dan kartu sebagai tempat pembayaran.

Sistem pemungutan pajak daerah dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan jenis Pajak Daerah yang di pungut. Untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan cara yang digunakan adalah dengan sistem setor tunai ke Dinas Pendapatan masing-masing daerah melalui Bank persepsi yang ditunjuk oleh dinas terkait.

2. Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Menurut Pasal 86 Undang - Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Oleh karena itu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan mengatur bahwa subyek pajak sama dengan wajib pajak. Dalam pajak daerah beberapa pajak dimana subyek pajak sama dengan wajib pajak dan terdapat pajak daerah yang subjek pajaknya tidak sama dengan wajib pajak. Pajak sarang burung walet merupakan contoh dimana subyek pajak sama dengan wajib pajak yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang burung walet.137Salah satu contoh pajak derah yang mengatur bahwa subjek pajak tidak sama dengan wajib pajak adalah pajak restoran. Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran. Wajib pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran.

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri, diberikan pengaturan yang tegas mengenai Subjek pajak. Salah satu hal yang diatur adalah hubungan antara Subjek Pajak dan Wajib Pajak dimana ditegaskan kapan Subjek Pajak menjadi Wajib Pajak. Subjek pajak tidak selalu merupakan Wajib Pajak, namun Wajib Pajak selalu merupakan Subjek Pajak karena yang merupakan Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang memiliki objek yang dapat dikenakan pajak, sehingga memenuhi syarat subjektif dan objektif perpajakan. Dengan kata lain dua unsur harus dipenuhi untuk menjadi Wajib Pajak Subjek Pajak dan Objek Pajak.

137Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Darah dan Retribusi Daerah.

Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia.

Subjek pajak baru menjadi Wajib Pajak kalau sekaligus memenuhi syarat-syarat obyektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek pajak tidak perlu merupakan subjek hukum.138

Wajib Pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan Undang-Undang yang berlaku ditentukan untuk melakukan kewajiban pajak. Wajib Pajak adalah subjek pajak yang memenuhi syarat-syarat objektif, jadi memenuhi tatbestand yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dengan kata lain Wajib Pajak adalah orang atau badan yang sekaligus memenuhi syarat-syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif.139

Subjek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sama dengan wajib pajak karena orang atau badan yang sekaligus memenuhi syarat-syarat subyektif dan syarat-syarat objektif dalam perolehan hak atas tanah dan bangunan.

3. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/ atau bangunan. 140 Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan.141

138Sumyar. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Ed.1. (Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2004), hal.47.

139Ibid,hal.51

140 Pasal 1 ayat (41) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

141 Pasal85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud meliputi:142 a. Pemindahan hak karena :

1) Jual beli;

2) Tukar menukar;

3) Hibah;

4) Hibah wasiat;

5) Waris;

6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;

7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8) Penunjukan pembeli dalam lelang;

9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10) Pengabungan usaha;

11) Peleburan usaha;

12) Pemekaran usaha; atau 13) Hadiah.

b. Pemberian hak baru karena;

1) Kelanjutan pelepasan hak ;atau 2) Di luar pelepasan hak.

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:

a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak ada nya perubahan nama;

e. Orang pribadi atau badan karena wakaf;dan orang pribadi atau badan yang di gunakan untuk kepentingan ibadah.

4. Saat terhutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

142 Pasal 85 ayat (2s) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam pemungutan Pajak Daerah, wajib pajak memiliki kewajiban untuk melunasi pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Pajak yang terutang merupakan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Pajak terutang dalam pajak daerah timbul apabila terpenuhi taatbestand.143

Saat terutang nya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan untuk :144

(a) Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(b) Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(c) Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(d) Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(e) Waris adalah sejak tanggal tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;

(f) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(g) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(h) Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

(i) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjuta dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkan nya surat keputusan pemberian hak;

(j) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkan nya surat keputusan pemberian hak;

(k) Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(l) Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(m) Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani nya akta;

(n) Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(o) Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

143 Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Rajawali Pers,2013),hal.82.

144 Pasal 90 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

(p) Pajak yang terutang tersebut diatas harus dilunasin pada saat perolehan hak.

Sehingga terdapat ketentuan bagi para pihak berwenang yang berkaitan dengan objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yaitu :

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

(2) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

(3) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat memaksa karena memiliki sanksi apabila tidak dijalankan, yakni :

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus ribu rupiah) untuk setiap laporan.

(3) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jika Pasal 90 ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 91 ayat (1) dan berlaku untuk akta pemidahan hak dalam hibah wasiat yang dibuat oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah maka artinya sebelum penandatanganan akta tersebut penerima hibah wasiat (legataris) harus menunjukkan bukti pembayaran pajak. Sementara Pasal 90 ayat (1) huruf d menyebutkan saat terhutang hibah wasiat adalah saat tanggal dibuat dan ditandatangani akta, padahal Pasal 91 ayat (1) mengharuskan pajak dibayar terlebih dahulu sebelum penandatanganan akta. Hal ini menyebabkan

ketidaksesuaian antara saat terhutang pajak pada saat dibuat dan ditandatangani akta dengan kewajiban untuk membayar pajak sebelum ditandatangani akta.

Dalam tataran praktisnya agar Pejabat Pembuat Akta Tanah/ Notaris tidak terkena sanksi Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan bukan dilakukan pada tanggal dibuat dan ditandatangani akta melainkan pembayaran dilakukan sebelum akta pemindahan hak ditandatangani. Dimana pembayaran dapat dilakukan sehari sebelum penandatanganan atau pada hari yang sama sebelum akta ditanda tangani.145 Cara pembayaran diatas merupakan cara yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang terkait dengan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

5. Cara perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen), tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan dengan peraturan daerah. Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Dalam hal jual beli, NPOP adalah harga transaksi. Yang dimaksud harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang terkait.

2. Dalam hal tukar menukar, NPOP adalah nilai pasar. Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi disekitar letak tanah dan atau bangunan.

3. Dalam hal hibah, NPOP adalah nilai pasar 4. Dalam hal hibah wasiat, NPOP adalah nilai pasar 5. Dalam hal hibah waris , NPOP adalah nilai pasar

145Wawancara dengan Syafnil Gani, Notaris/PPAT Kota Medan, tanggal 13 Juni 2014.

6. Dalam hal pemasukan dalam perseroan , NPOP adalah nilai pasar

7. Dalam hal pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan , NPOP adalah nilai pasar

8. Dalam hal peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap , NPOP adalah nilai pasar

9. Dalam hal pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, NPOP adalah nilai pasar

10. Dalam hal pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, NPOP adalah nilai pasar

11. Dalam hal penggabungan usaha, NPOP adalah nilai pasar 12. Dalam hal peleburan usaha, NPOP adalah nilai pasar 13. Dalam hal pemekaran, NPOP adalah nilai pasar 14. Dalam hal hadiah, NPOP adalah nilai pasar

15. Dalam hal penunjukkan pmbeli dalam lelang, NPOP adalah harga trasaski yang tercantum dalam risalah lelang.

Apabila NPOP pada nomor 1 sampai dengan 14 diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan. Nilai perolehan Objek Pajak (NPOP) dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar atau Nilai Jual Objek Pajak (disingkat NJOP dalam perhitungan pajak Bumi dan Bangunan).

Besar pokok Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagai mana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) setelah di kurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai mana dimaksud dalam Pasal 87 ayat 6. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat tanah dan / bangunan berada.146

146Pasal 89 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 109-123)