BAB 1 PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan 47. Pada penelitian ini bersifat deskriptip yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis tentang Pengenaan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan terhadap Hibah Wasiat pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang
45 Pasal 1 ayat (52) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
46Pasal 957 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
47Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.63.
menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber – sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.48
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan Undang-Undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.49 Sedangkan pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan mengkaji latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.50
2. Sumber Data Penelitian.
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau bahan non hukum.
Sumber-sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
48Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang : UMM Press, 2009),hal.127.
49Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: Kencana, 2009),hal. 93
50Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan teori hukum pada peneitian tesis dan Disertasi,( Jakarta :PT. Rajagrafindo Persada,2013), hal. 18.
sekunder serta bahan-bahan hukum tersier. 51Adapun bahan – bahan hukum tersebut antara lain :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
3. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
5. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
6. Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan.
7. Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
8. Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan .
9. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
51Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hal.141
10. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Jenis pajak Daerah yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 111 tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena waris dan hibah wasiat.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berkaitan erat dengan bahan-bahan hukum primer dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu Buku-buku yang ditulis para ahli hukum dan ahli hukum pajak mengenai hukum waris dan hukum waris testamenter, ilmu hukum pajak, dasar-dasar perpajakan, Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan lain-lain yang berkaitan dengan perpajakan.
c. Bahan Hukum Tersier atau bahan non hukum, yaitu berupa kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data a. Studi kepustakaan/dokumentasi.
Yaitu dengan menelaah bahan hukum kepustakaan yang terkait dengan permasalahan yang diajukan untuk meneliti lebih jauh, guna memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan tanya jawab antara peneliti dengan informan untuk mendapatkan informasi. Untuk menambah
dan melengkapi data sekunder yang diperoleh akan dilakukan wawancara dengan informan yang terdiri dari Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dikota Medan yang telah membuat akta yang berkaitan dengan hibah wasia, Badan Pertanahan Kota Medan, dan Dinas Pendapatan Kota Madya Medan.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, selanjutnya akan dilakukan proses pengeditan data. Ini dilakukan agar akurasi data dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjajaki kembali ke sumber data. Setelah pengeditan selanjutnya adalah pengolahan data. Setelah pengolahan data selesai selanjutnya akan dilakukan analisis data secara deskriptif-analitis-kualitatif, dan khusus terhadap data dalam dokumen-dokumen akan dilakukan kajian isi (content analysis).52
Lexy J. Moleong mengemukakan bahwa kajian isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari suatu dokumen untuk kemudian diambil suatu kesimpulan sehingga pokok permasalahan yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini dapat terjawab.53
Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan metode deduktif yakni berpikir dari yang umum menuju hal yang khusus dengan menggunakan perangkat normatif.
Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dalam penelitian ini.
52Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 163-165.
53Ibid.
BAB II
PENENTUAN LAHIRNYA HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PADA HIBAH WASIAT YANG DAPAT DIKENAKAN BEA PEROLEHAN
HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
A. Hibah Wasiat menurut Hukum Perdata di Indonesia.
1. Pewarisan berdasarkan Wasiat (Testament).
Menurut Klaassen-Eggens, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan harta kekayaan dan terjadinya hubungan-hubungan hukum sebagai akibat kematian seseorang dengan atau tanpa perubahan.54
Dalam ketentuan Pasal 131 juncto Pasal 163 IS (het Indische Staatsregelling) penduduk dibagi dalam 3 (tiga) golongan dan menetapkan hukum perdata yang berlaku pada masing-masing golongan penduduk yakni sebagai berikut55:
1. Golongan Eropah atau yang disamakan,
2. Golongan Timur Asing yang dibagi atas 2 (dua) bagian yaitu golongan Timur Asing Cina dan golongan Timur Asing Bukan Cina.
3. Golongan Bumiputra.
Pembagian golongan penduduk tersebut membuat perbedaan hukum waris yang diterapkan. Bagi golongan Eropah atau yang dipersamakan dan Golongan Timur Asing Cina berlaku hukum waris yang ditentukan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bagi golongan Timur Asing Bukan Cina berlaku hukum
54 R.Soetojo Prawirohamidojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya: Airlangga University Press, 2000), hal.1.
55Asis Safioedin, Beberapa hal tentang Burgerlijk Wetboek, (Bandung:PT. CitraAditya Bakti, 1994), hal 7
waris adatnya masing-masing dan sepanjang pengaruh agama lebih dominan dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka diberlakukan hukum waris yang ditentukan oleh hukum agamanya itu. Bagi golongan Bumiputra berlaku hukum waris adat menurut lingkungan hukum adatnya masing-masing.
Hukum waris diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai benda, karena mempunyai hubungan erat dengan pandangan dari Pasal 528 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menunjukkan hak-hak apa saja yang dapat dimiliki atas suatu benda, antara lain hak waris. Pasal 528 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi atas benda, orang dapat memiliki hak bezit, hak eigendom, hak waris, suatu vruchtgenot, hak erfdienstbaarheid, hak pand atau hipotek, dan oleh karenanya hal tersebut memberikan kesan seakan-akan hak waris ini adalah suatu hak kebendaan.56
Jika dilihat dari unsur-unsur harta benda dalam hukum waris bukan merupakan unsur satu-satunya, akan tetapi masih terdapat unsur-unsur lain, yaitu pewaris, ahli waris, dan perbuatan-perbuatan hukum tertentu dari pewaris pada masa hidupnya yang menyebabkan seseorang yang bukan ahli waris menjadi ahli waris.
Perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan seseorang yang bukan ahli waris menjadi ahli waris meliputi pengakuan anak, pengangkatan anak atau adopsi dan testamen.57
56Ibid, hal.1
57Anisitus,Amanat, Membagi warisan berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.4-5
Dalam hukum waris Perdata Barat, hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dalam hukum waris tersebut berlaku pula asas bahwa apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.58
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prinsip pewarisan adalah : 1. Harta warisan baru terbuka atau dapat diwariskan kepada pihak lain apabila
terjadi suatu kematian ( Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
2. Adanya hubungan darah antara pewaris dengan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri pewaris (Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dengan ketentuan mereka masih terikat dengan perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya apabila mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/istri tersebut bukan merupakan ahli waris.59
3. Untuk dapat menikmati sesuatu berdasarkan surat wasiat, seseorang harus sudah ada saat pewaris meninggal, dengan mengindahkan peraturan Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 899 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Ahli waris adalah mereka-mereka yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya pewaris. Warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan passiva si pewaris yang pindah kepada
58Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:PT.Intermasa,1980),hal.95-96.
59Irma Devita Purnama Sari, Kiat-kiat cerdas, Mudah dan Bijak memahami masalah Hukum Waris, (Bandung:PT Mizan Pustaka, 2012), hal.3
para ahli waris. Kompleks aktiva dan passiva yang menjadi milik bersama beberapa orang ahli waris disebut boedel.60
Dalam Hukum Waris Perdata Barat terdapat 2 (dua) macam ahli waris, yaitu:
1. Ahli Waris Ab-Intestato
Ahli waris Ab-intestato ialah ahli waris menurut Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Undang-Undang yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. Suami atau istri yang hidup terlama maksudnya adalah suami atau istri yang hidup lebih lama daripada suami atau istri yang mati (janda atau duda yang masih hidup), yang diatur dalam Pasal 852a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga pada asasnya, menurut Undang-Undang, untuk dapat mewaris orang harus mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Hubungan darah tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis bapak. Hubungan darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah. Hubungan darah yang tidak sah timbul sebagai akibat hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan pengakuan anak secara sah.
2. Ahli Waris Ad-Testamento
Ahli Waris Ad-Testamento ialah ahli waris menurut wasiat atau testament. Jadi, ahli waris testamenter ditetapkan dengan adanya surat wasiat yang merupakan kehendak dari si pewaris, yang dibuat sebelum si pewaris meninggal dunia.
60J.Satrio, Hukum Waris, (Bandung:Alumni, 1992), hal. 8
Perbedaan penting antara ahli waris menurut Undang-Undang (ab-intestaat) dengan ahli waris yang diangkat dengan suatu testament (ad-testamenter), yaitu :
1. Pewarisan testamenter tidak mengenal penggantian tempat (plaatsvervulling).
Akibatnya adalah jika seorang yang sedianya mendapat warisan berdasarkan testament meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka warisan tersebut sepanjang mengenai bagian dari orang yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, tidak dapat dilaksanakan (gugur). Dalam pewarisan testamenter juga dikenal adanya asas yang mengatakan bahwa dalam hal si pewaris dan si penerima wasiat meninggal dalam kecelakaan yang sama tanpa diketahui terlebih dahulu siapa di antara mereka yang telah meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap mati pada saat yang sama dengan akibat tidak terjadi perpindahan warisan karena wasiat atau testament.
2. Ahli waris testamenter tidak menikmati inbreng.
Wasiat (testament) juga merupakan perbuatan hukum yang sepihak. Hal ini erat hubungannya dengan sifat “herroepelijkheid” (dapat dicabut) dari ketetapan wasiat (testament) itu. Disini berarti bahwa wasiat (testament) tidak dapat dibuat oleh lebih dari satu orang karena akan menimbulkan kesulitan apabila salah satu pembuatnya akan mencabut kembali wasiat (testament).
Hal ini seperti ternyata dalam Pasal 930 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa dalam satu-satunya akta, dua orang atau lebih tidak diperbolehkan menyatakan wasiat mereka, baik untuk mengaruniai seorang ke tiga, maupun atas dasar penyataan bersama atau bertimbal balik.
Ketetapan dalam wasiat (testament) memiliki 2 (dua) ciri, yaitu dapat dicabut dan berlaku berhubung dengan kematian seseorang.61 Bagi ketetapan kehendak yang memiliki dua ciri itu maka bentuk testament adalah syarat mutlak.
Menurut Kamus Hukum, wasiat (testament) merupakan surat yang mengandung penetapan-penetapan kehendak si pembuat wasiat atau pesan-pesan yang baru akan berlaku pada saat si pembuatnya meninggal.62
Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.63
Kehendak terakhir adalah suatu pernyataan kehendak yang sepihak dan suatu perbuatan hukum yang mengandung suatu “beschikkingshandeling” (perbuatan pemindahan hak milik) mengenai harta kekayaan si pewaris yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang khusus, yang setiap waktu dapat dicabut dan berlaku dengan meninggalnya si pewaris serta tidak perlu diberitahukan kepada orang yang tersangkut.64
Kehendak terakhir memang tidak secara langsung tertuju pada orang-orang tertentu. Orang yang diuntungkan karena suatu surat wasiat mungkin baru mengetahui adanya kehendak terakhir si pewaris beberapa lama setelah si pewaris meninggal dunia (dari seorang notaris). Oleh karena itu, daya kerja suatu kehendak
61Hartono Soerjopratiknjo, Op.cit, hal. iv
62R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, Cetakan ke-12,1996), hal. 106
63 Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
64 Hartono Soerjopratiknjo, Op. cit., hal. 18
terakhir tidak tergantung pemberitahuannya kepada pihak lainnya. Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa kehendak terakhir merupakan kehendak yang benar-benar sepihak. Dalam kehendak terakhir tersebut, si pewaris benar-benar berkehendak dan harus ternyata tentang apa yang telah dikehendaki sebenarnya.
Menurut J. Satrio, unsur-unsur wasiat (testament) ada 4 (empat), antara lain sebagai berikut :65
1. Suatu wasiat (testament) adalah suatu “akta”. Akta menunjuk pada syarat bahwa wasiat (testament) harus berbentuk suatu tulisan atau sesuatu yang tertulis. Surat wasiat (testament) dapat dibuat baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Namun, mengingat bahwa suatu wasiat (testament) mempunyai akibat yang luas dan baru berlaku setelah si pewaris meninggal, maka suatu wasiat (testament) terikat pada syarat-syarat yang ketat.
2. Suatu wasiat (testament) berisi “pernyataan kehendak”, yang berarti merupakan suatu tindakan hukum yang sepihak. Tindakan hukum sepihak adalah pernyataan kehendak satu orang yang sudah cukup menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki. Jadi, wasiat (testament) bukan merupakan suatu perjanjian karena dalam suatu perjanjian mensyaratkan adanya kesepakatan antara dua pihak, yang berarti harus ada paling sedikitnya dua kehendak yang saling sepakat. Namun wasiat (testament) menimbulkan suatu perikatan, dan karenanya
ketentuan-65J.Satrio, Hukum Waris, Op.Cit, hal.16.
ketentuan mengenai perikatan berlaku terhadap testament, sepanjang tidak secara khusus ditentukan lain.
3. Suatu wasiat (testament) berisi mengenai “apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia.” Artinya wasiat (testament) baru berlaku kalau si pembuat wasiat (testament) telah meninggal dunia. Itulah sebabnya seringkali suatu wasiat (testament) disebut kehendak terakhir karena setelah meninggalnya si pembuat wasiat (testament) maka wasiatnya tidak dapat diubah lagi.
4. Suatu wasiat (testament) “dapat dicabut kembali.”Unsur ini merupakan unsur terpenting karena syarat inilah yang pada umumnya dipakai untuk menetapkan apakah suatu tindakan hukum harus dibuat dalam bentuk akta wasiat (testament acte) atau cukup dalam bentuk lain.
Isi ketentuan dari yang diwasiatkan harus lebih didahulukan pelaksanaannya daripada menyampaikan hak ahli waris menurut ketentuan Undang-Undang. Hal tersebut dengan tegas dinyatakan di dalam Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli waris menurut Undang-Undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketentuan yang sah. Dapat dijelaskan maksud Pasal tersebut adalah bahwa aturan yang tetap mula-mula sekali, isi maksud dari wasiat pewaris dilaksanakan, sesudah itu diadakan pembagian harta untuk para ahli waris. Dari ketentuan demikian akan mungkin sekali kalau misalnya pelaksanaan
wasiat diselenggarakan sehingga mereka yang menurut Undang-Undang yang ditentukan sebagai ahli waris sekalipun tidak mendapatkan apa-apa.66
Satu-satunya alat bukti berupa petunjuk tertulis yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seorang pewaris memang ada atau tidak ada meninggalkan surat wasiat yang dibuatnya semasa hayatnya menurut sistem hukum yang berlaku di Indonesia, adalah Surat Keterangan dari Kepala Seksi Daftar Pusat Wasiat Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta. Keterangan tertulis berupa jawaban itu diterima oleh yang menanyakannya ke Daftar Pusat wasiat dalam bentuk Surat Resmi yag diterbitkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pihak yang menanyakan dapat ahli waris sendiri (dengan melampirkan bukti bahwa yang bersangkutan memang benar ahli waris peninggal harta) maupun Notaris yang jasanya diminta untuk melaksanakan akta penyelesaian warisan dengan melampirkan akta kematian yang relevan.67
Keterangan tertulis dari Kepala Seksi Daftar Pusat wasiat ini berisi substansi atau menerangkan bahwa mendiang yang disebutkan ada atau tidak-ada meninggalkan wasiat. Bila dinyatakan ada meninggalkan surat wasiat, sekaligus diterangkan disana wasiat itu dibuat dihadapan Notaris mana, dengan akta tanggal berapa dan nomor berapa sekaligus nomor repertorium dari akta Notaris yang berkenaan untuk memudahkan pencarian minuta akta untuk urusan selanjutnya.
Selanjutnya dengan menggunakan wasiat yang ada itu dapat ditelusuri apa yang
66Ahmad Kuzari, Sistem Asabah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 19). hal. 52.
67 Hasbalah Thaib dan Syahril Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan Menurut hukum waris Islam di Indonesia, (Bandung:Ciptapustaka Media, 2014),hal.48.
dikehendaki pewaris dalam rangka upaya mencari cara penyelesaian atas warisan yang ditinggalkannya.68
Testamen atau surat wasiat itu hanya berisi janji yang baru dilaksanakan setelah pembuat surat wasiat wafat, maka testament dapat didefenisikan sebagai pemberian atau penunjukan atau pemecatan atau pencabutan hak sebagai ahli waris yang dilakukan semasa pewaris masih hidup dan baru bisa berlaku efektif setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia. Oleh karena testament itu hanya berisi janji, maka tidak otomatis bisa dilaksanakan setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia.
Penyebab tidak bisa dilaksanakannya janji dalam surat wasiat bisa bersumber dari pembuat surat wasiat itu sendiri dan bisa bersumber dari ketentuan Undang-Undang yang melarang dipenuhi atau dilaksanakannya isi atau janji yang tercantum dalam testamen.69
Penyebab-penyebab tidak bisa dilaksanakannya janji atau isi dalam testamen yang bersumber dari pembuat testamen sendiri meliputi:70
1. Testamen yang telah dibuat sebelumnya dicabut kembali oleh pembuat testamen berdasarkan testamen atau akta notaris yang dibuat kemudian (Pasal 992);
2. Harta kekayaan yang diberikan kepada orang lain berdasarkan penunjukan surat wasiat kemudian dialihkan hak miliknya oleh pembuat surat wasiat kepada orang lain (Pasal 996). Namun kalau harta kekayaan yang telah ditunjuk dalam testamen itu suatu saat kembali lagi menjadi milik pembuat testamen karena dibeli kembali misalnya, maka isi testamen masih bisa dilaksanakan sepanjang tidak ada halangan lain berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
68Ibid
69AnisitusAmanat, op.cit, hal.82
70Ibid,hal.83
3. Testamen yang telah dibuat sebelumnya bertentangan isinya dengan testamen yang dibuat kemudian (Pasal 994).
Penyebab-penyebab tidak bisa dilaksanakan testamen karena ketentuan Undang-Undang meliputi :71
1. Penerima testamen telah menolak harta warisan pemberi testamen secara resmi (Pasal 1001).
2. Wasiat yang diberikan kepada teman hidup bersama tanpa ikatan perkawinan sah (Pasal 901).
3. Penerima wasiat meninggal lebih dulu dari pemberi wasiat (Pasal 899).
4. Penerima wasiat adalah anak luar kawin yang telah diakui secara sah oleh pemberi wasiat (pewaris).
5. Penerima wasiat telah dihukum karena membunuh si pembuat wasiat, telah membinasakan atau memalsukan surat wasiat atau penerima wasiat telah memaksa dengan kekerasan mencegah si pembuat wasiat mencabut atau mengubah wasiat.
6. Penerima wasiat adalah kawan zina (Pasal 909).
7. Penerima dan pemberi wasiat meninggal dunia bersama dengan tidak diketahui siapa diantara keduanya yang meninggal dunia terlebih dahulu (Pasal 894).
8. Wasiat dari anak yang belum dewasa (Pasal 330).
9. Wasiat kepada anak yang belum dewasa kepada guru yang seasrama atau serumah dengannya (Pasal 905 ayat 2).
10. Wasiat yang diberikan pewaris ketika ia dirawat menjelang kematiannya kepada siapa saja yang merawatnya selama sakit (Pasal 906).
11. Pembuat akta wasiat dan saksinya (Pasal 907).
12. Pemberian wasiat yang merugikan legiteme portie (Pasal 920).
13. Wasiat kepada anak tiri .
14. Wasiat kepada orang perantara dengan tidak terdapat penyebab-penyebab diatas, baik bersumber dari pewaris sendiri maupun karena ketentuan Undang-Undang maka ahli waris dengan wasiat berhak akan harta warisan sebagaimana ahli warisnya secara Undang-Undang.
Menurut Pasal 931 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu wasiat
Menurut Pasal 931 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu wasiat