• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Mahkamah Konstitusi

3. Beberapa Contoh Putusan MK Berkaitan dengan

Sebagai sebuah lembaga peradilan yang lahir relatif sudah cukup lama di Indonesia, Mahkamah Konstitusi tentu sudah cukup banyak memutuskan perkara sepanjang berdirinya lembaga tersebut hingga saat ini. Putusan-putusan yang ada secara umum berhubungan dengan masalah perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, tidak kalang penting adalah memutus permasalahan pengujian undang-undang yang oleh pemohon merasa

41Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, Kewenangan dan Perbandingan dengan Negara Lain (Jakarta: Konstitusi Press 2018), hlm. 106:

bertentangan dengan nilai dan kaidah konstitusi (UUD 1945) Indonesia (judicial review).

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review tersebut barangkali menempati posisi yang paling banyak dibandingkan dengan jenis putusan lainnya. Dari 2003 hingga Januari 2020, jumlah perkara yang telah diregistrasi mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang tercatat di dalam laman web resmi Mahkamah Konstitusi RI yaitu berjumlah 1327 kasus, sementara itu perkara yang sudah diputus dalam rentang waktu tersebut berjumlah 1296 kasus.42 Data-data kasus tersebut cukup menempatkan posisi lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang sangat penting di Indonesia dalam menegakkan hukum atas amanat dan idelanya sesuai dengan konstitusi. Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie dalam beberapa bukunya menyatakan begitu pentingnya posisi MK, maka ia bisa disebut sebagai lembaga pengawal demokrasi dan konstitusi atau the guardian of democracy and the constitution sekaligus.43

Namun demikian, posisi Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang menguji konstitusionalitas materi hukum dalam pasal undang-undang, justru tidak selalu menjadikan putusannya dapat diterima di dalam masyarakat. Kenyataannya justru banyak putusan-putusan yang berhubungan dengan pengujian satu undang-undang kontroversial di tengah masyarakat. Dalam catatan Hamdan Zoelva, sejak dibentuk pada tahun 2003, Mahkamah

42Diaskes melalui: https://mkri.id/index.php?page=web.RekapPUU, tanggal 19 Januari 2020.

43Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Ngera Indonesia Pasca Reformasi(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 604: Jimly Asshiddiqie, Pengantar..., hlm. 266: Jimly Asshiddiqie, Perkembangan..., hlm. 152.

24 Konstitusi sering menghasilkan berbagai putusan yang mengagetkan bahkan kontroversial dan dianggap melebihi tupoksi serta wewenangnya.44

Tidak sedikit dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tentang judicial review mengundang kontroversi, baik kontroversi putusannya dengan pemohon karena tidak dikabulkan atau justru dikabulkan namun tidak sesuai dengan cita-cita dan harapan, maupun kontroversi karena penafsiran norma hukum yang ada justru dipandang bertentangan dengan norma hukum agama (Islam). Untuk itu, di sesi ini penulis hendak mengulas beberapa contoh putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan penafsiran norma hukum. Pada bagian ini, akan dikemukakan pula mengenai sejauah mana Mahkamah Konstitusi dapat memberikan penafsiran terhadap undang-undang yang dimohon untuk diuji-materilkan. Namun demikian, tidak semua putusan yang dapat penulis ulas, tetapi hanya 2 putusan yang dapat mewakili putusan-putusan lainnya.

a. Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang cukup kontroversial di tengah masyarakat, berhubungan dengan penetapan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan inkonstitusional, intinya anak dinasabkan kepada ibu dan bapaknya berikut dengan keluarga ibu dan bapaknya.

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha dengan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan berkaitan dengan kedudukan keperdataan anak (Muhammad Iqbal Ramadhan) dari hubungan di luar nikah (nikah

44Hamdan Zoelva, “Mahkamah Konstitusi dan Masa Depan Negara Hukum Demokrasi Indonesia”, dalam, Muhammad Tahir Azhari, dkk, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 47.

sirri) terhadap ayah biologisnya (Moerdiono).45 Pada intinya, pemohon menguji konstitusionalitas ketentuan Pasal 43 UU Perkawinan mengenai status anak yang dilahirkan di luar nikah.Bunyi Pasal 43 yaitu: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Ketentuan pasal tersebut menurut pemohon bertentangan dengan UUD 1945, tepatnya pada Pasal 28B ayat (2):“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tunbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.Mahkamah Konstitusi pada pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa anak tidak harus menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang tuanya.Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama tidak mengenal anak harus menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.46

Komentar hakim konstitusi pada waktu itu bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah di antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.

45Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 192.

26 Pada intinya, tafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 43 dan UUD 1945 membawa pada pengubahan pasal yang dimohonkan tersebut akhirnyaberubah: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dinyatakan inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945) sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya”.47

b. Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014

Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 ini berangkat dari permohonan para pemohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Putusan tersebut berkenaan dengan permohonan agar perkawinan anak laki-laki 19 tahun dan anak perempuan dari sebelumnya 16 tahun harus diakui menjadi 18 tahun.

Pemohon menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sepanjang frasa “enam belas tahun”, maka Undang-Undang Perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, karena di dalam UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “delapan belas tahun”, sehingga Pasal 7 ayat (1) UUP seharusnya dibaca menjadi “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

Pada akhir putusannya, Mahkamah Konstitusi menerima pemohon dan permohonannya, namun menolak isi permohonan secara

47Untuk lebih jelasnya, tafsiran Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 dan UUD 1945 dapat dirujuk langsung di dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010.

keseluruhan. Di dalam salah satu komentar Hakim Konstitusi, disebutkan bahwa batas usia nikah sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) UUP tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hanya saja, di dalam salah satu pertimbangan hakim pada dissenting opinion (pendapat berbeda), yaitu dari Hakim Maria Farida Indrati. Menurutnya, permohonan pemohon bisa diterima dan dikabulkan, sebab usia nikah ideal bagi perempuan tidak lagi harus mengikuti 16 tahun, tetapi bisa ditetapkan 18 tahun sebagaimana permohonan para pemohon.48

Berdasarkan gambaran dua putusan Mahkamah Konstitusi di atas, dapat diketahui adanya penafsiran terhadap norma hukum yang dilakukan hakim-hakim konstitusi. Pada putusan pertama, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dan mengabulkan muatan permohonan pemohon. Dalam konteks tersebut, hakim konstitusi cenderung memberikan penafsiran yang relatif cukup jauh, di mana dari sebelumnya Pasal 43 UUP menyatakan bahwa anak luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, dipandang bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi mengubahnya menjadi anak lahir di luar nikah juga memiliki hak hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya sepanjang dapat diteliti dan dibuktikan dengan teknologi.

Pada putusan kedua sebelumnya, berbeda dengan putusan pertama, bahwa Hakim Konstitusi menerima permohonan pemohon untuk kemudian diperiksa dan diuji, hanya saja pada tahapan akhir, Mahkamah Konstitusi menolak atau tidak mengabulkan permohonan pemohon. Artinya, batasan usia nikah yang ada dalam Pasal 7 ayat 1 UUP (19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk wanita) menurut Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pada bab selanjutnya, penulis juga akan mengkaji secara lebih spesifik

48Secara lebih lengkap, penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang batasa usia pernikahan dapat dirujuk secara langsung di dalam Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014.

28 terkait putusan MK tentang judicial review pasal-pasal perzinaan (overspel) di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dengan putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016. Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya, akan diulas pula tentang perzinaan dalam hukum Islam dan hukum positif, sebab tema tersebut berkait erat dengan putusan yang akan dikaji pada bab 3.

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsirkan Norma Hukum

Dokumen terkait