• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENAFSIRKAN MAKNA ZINA (Studi Kasus Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENAFSIRKAN MAKNA ZINA (Studi Kasus Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

MENAFSIRKAN MAKNA ZINA

(Studi Kasus Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016)

SKRIPSI

Disusun Oleh: BASIRIN

NIM. 140105072

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Tata Negara

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH

2020 M/1441 H

(2)

2

BASIRIN

NIM. 140105072

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Tata Negara

(3)
(4)

4

(5)

v

ABSTRAK

Nama/NIM : Basirin/140105072

Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/ Hukum Tata Negara

Judul Skripsi : Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsirkan Makna Zina (Studi Kasus Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016)

Tebal Skripsi : 69 Halaman

Pembimbing I : Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA Pembimbing II : Irwansyah, M.Ag

Kata Kunci : Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Menafsirkan Makna Zina.

Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki wewenang melakukan uji materil judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar(UUD) 1945. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, mengetahui tafsiran makna zina menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, dan untuk mengatahui pertimbangan MK memutus perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 tentang makna zina. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dengan pendekatan deskriptif_analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, kewenangan MK dalam memutus perkara pengujian undang-undang terhadap UUD terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua, Tafsiran makna zina menurut Putusan MK ada empat poin yaitu: (a) Pasal 284 ayat (1) KUHP dimaknai dengan: laki-laki berbuat zina, yang semula: laki-laki yang beristri, (b) Pasal 284 ayat (1) KUHP yaitu: seorang perempuan berbuat zina, yang semula: seorang perempuan yang bersuami, (c) Pasal 284 (2e) KUHP yaitu: laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu yang semula lelaki harus mengetahui apakah perempuan sebagai kawannya berhubungan itu telah bersuami atau tidak, (d) Pasal 284 (2e) huruf b KUHP yaitu perempuan yang turut melakukan perbuatan itu, yang semula perempuan harus mengetahui apakah lelaki kawannya behubungan itu telah beristeri atau tidak. Ketiga,

Pertimbangan MK dalam memutus perkara ada dua bentuk, yaitu: (1) pertimbangan yuridis dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi tidak

berwenang dalam memperluas dan merumuskan norma hukum baru, (2) pertimbangan logis, permohonan pemohon tidak memenuhi aspek penalaran

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, Selanjutnya shalawat beriring salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Muhammad saw, karena berkat perjuangan beliau, ajaran Islam sudah dapat tersebar keseluruh pelosok dunia untuk mengantarkan manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan. sehingga penulis telah dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul: Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsirkan Makna

Zina(Studi Kasus Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016).

Rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Warul Walidin AK, M.A, selaku RektorUIN Ar-Raniry

2. Bapak Dr. Muhammad Siddiq, MH, selakuDekan Fakultas Syariahdan Hukum UIN Ar-Raniry

3. Bapak H. Mutiara Fahmi, Lc., MA, selakuKetua Prodi Hukum Tata Negara 4. Bapak Dr. Mursyid Djawas, S.Ag., M.HI, selakuPenasehat Akademik 5. Bapak Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA, selakuPembimbing pertama 6. Bapak Irwansyah, M.Agselaku pembimbing kedua

7. Seluruh Staf pengajar dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

8. Kepala perpustakaan induk UIN Ar-Raniry dan seluruh karyawannya 9. Teman-teman seperjuangan angkatan tahun 2014

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih tidak terhingga kepada ayahanda dan ibunda yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik secara moril maupun materiil yang telah membantu selama dalam masa perkuliahan yang juga telah memberikan do’a kepada penulis, juga saudara-saudara selama

(7)

vii

ini yang telahmembantu dalam memberikan motifasi dalam berbagai hal demi berhasilnya studi penulis.

Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat banyak kekurangannya. Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.

Banda Aceh 20 Mei 2020 Penulis,

(8)

viii

TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN

Dalam skripsi ini banyak dijumpai istilah yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf latin, oleh karena itu perlu pedoman untuk membacanya dengan benar. Pedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata Arab berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987.AdapunPedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata Arab adalah sebagai berikut:

1. Konsonan

No. Arab Latin Ket No. Arab Latin Ket

1 ا Tidak dilambangkan 61 ط ṭ t dengan titik di bawahnya 2 ب B 61 ظ ẓ z dengan titik di bawahnya 3 ت T 61 ع ‘ 4 ث Ś s dengan titik di atasnya 61 غ gh 5 ج J 02 ف f 6 ح ḥ h dengan titik di bawahnya 06 ق q 7 خ kh 00 ك k 8 د D 02 ل l 9 ذ Ż z dengan 02 م m

(9)

titik di atasnya 10 ر R 02 ن n 11 ز Z 01 و w 12 س S 01 ه h 13 ش sy 01 ء ’ 14 ص Ş s dengan titik di bawahnya 01 ي y 15 ض ḍ d dengan titik di bawahnya 2. Konsonan

Konsonan Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin

َ Fatḥah A

َ Kasrah I

َ Dammah U

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

(10)

x Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf ي َ Fatḥah dan ya Ai

و َ Fatḥah dan wau Au

Contoh:

فيك = kaifa, لوه = haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf

Nama Huruf dan tanda

ي/ ا Fatḥah dan alif atau ya Ā

ي Kasrah dan ya Ī

و Dammah dan wau Ū

Contoh: لا ق= qāla ي م ر= ramā لْي ق = qīla لْوق ي = yaqūlu 4. Ta Marbutah (ة)

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua. a. Ta marbutah ( ة) hidup

(11)

xi

Ta marbutah ( ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrahdan dammah, transliterasinya adalah t.

b. Ta marbutah ( ة) mati

Ta marbutah ( ة) yang mati atau mendapat harkat sukun,transliterasinya adalah h.

c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikutioleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan keduakata itu terpisah maka ta marbutah ( ة) itu ditransliterasikandengan h.

Contoh:

ُ ة َضاوَرالاَفاطَ الْا : rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl

ُ ةَنايِدَمالااةَرَّوَن مالا : al-Madīnah al-Munawwarah/ al-Madīnatul Munawwarah

ُاة َحالَط : Ṭalḥah

Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpatransliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnyaditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.

2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, sepertiMesir, bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat keputusan penunjukkan pembimbing. 2. Daftar Riwayat Penulis

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBARAN JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SIDANG ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB SATU PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D.Penjelasan Istilah ... 6

E. Kajian Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 11

G.Sistematika Pembahasan ... 13

BAB DUA KEWENANGANMAHKAMAHKONSTITUSI DI INDONESIA ... 15

A.Mahkamah Konstitusi ... 15

1. Sejarah MK ... 17

2. Kedudukan MK dalam Sistem Peradilan di Indonesia.... 20

3. Beberapa Contoh Putusan MK Berkaitan dengan Penafsiran Norma Hukum ... 25

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsirkan Norma Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 30

C.Perzinaan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif ... 32

1. Terminologi Perzinaan ... 32

2. Dasar Hukum Zina dan Macam-Macamnya ... 37

BAB TIGA KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PUTUSAN NOMOR 46/PUU-XIV/2016 ... 41

A.Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutuskan Perkara pada Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 ... 41

(14)

xiv

B. Tafsiran Makna Zina Menurut Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 ... 44

C.Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Tentang Makna Zina ... 48

BAB EMPAT PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan... 61

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN ... 70

(15)

1

BAB SATU PENDAHULUAN A.Latar Balakang Masalah

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang memiliki fungsi menguji kejelasan konstitusional sebuah undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.1 MK dijadikan sebagai alat bantu negara dalam menyempurnakan kembali konstitusi, tepatnya undang-undang yang dibentuk dan dibuat oleh lembaga legislatif. MK memiliki wewenang tertentu, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, salah satunya berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tahun 2016, MK telah menerima dan memutus perkara permohonan uji materil undang-undang terhadap UUD 1945, dengan Nomor 46/PUU-XIV/2016, putusan ini berisi beberapa masalah hukum yang diuji. Salah satunya pengujian ketentuan perzinaan (overspel) yang terdapat dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam perkara ini, pemohon berjumlah 12 orang, masing-masing yaitu Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti., M.Si, Rita Hendrawaty Soebagio, Sp.Psi., M.Si, Dr. Dinar Dewi Kania, Dr. Sitaresmi Sulistyawati Soekanto, Nurul Hidayati Kusumahastuti Ubaya, S.S., M.A, Dr. Sabriaty Aziz, Fithra Faisal Hastiadi, S.E., M.A. M.Sc., Ph.D, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum, Sri Vira Chandra D, S.S., MA, Qurrata Ayuni, S.H, Akmal, S.T., M.Pd.I, dan Dhona El Furqon, S.H.I., M.H.

Inti permohonan pemohon dalam mengajukan uji materil Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 tersebut ada dua, yaitu ketahanan hubungan di dalam sebuah keluarga dan perlindungan nilai-nilai agama.2 Menurut para pemohon, Pasal 284 KUHP hanya membatasi pelaku zina dari orang-orang yang telah menikah saja, sementara pelaku yang belum menikah tidak dilarang. Hal tersebut tentu berbahaya bagi kultur dan ketahanan keluarga. Dari sudut nilai-nilai agama, para pemohon menegaskan bahwa agama-agama di Indonesia juga melarang hubungan seks orang yang

1Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 42: Asri Muhammad Saleh dan Wira Atma Hajri, Perihal Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm. 5.

2Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, (halaman 21-26).

(16)

2 belum menikah, dan termasuk perbuatan zina (hubungan senggama yang tidak sah).3

Singkatnya, pemohon memandang ketentuan Pasal 284 KUHP bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, baik mengatur masalah keluarga ataupun nilai-nilai agama yang dianut masayarakat Indonesia.4 Menurut para pemohon, agama-agama di Indonesia pada dasarnya melarang perzinaan di luar perkawinan (Pasal 284 KUHP). Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan lain untuk mempertahankan pasal tersebut yang merupakan produk kolonial dari zaman kolonial yang sudah lama berlalu. Harus ditegaskan kembali nilai-nilai agama sebagai salah satu pedoman hidup bermasyarakat yang tertuang dalam hukum positif negara, salah satunya dengan memperluas makna pasal tersebut yang semula hanya belaku bagi pasangan yang menikah, menjadi berlaku bagi orang yang belum menikah.

Pemohon juga beraganggapan bahwa secara sosiologis, Pasal 284 KUHP tidak mampu mencakupi seluruh pengertian arti dari kata zina, karena zina dalam konstruksi pasal 284 KUHP hanya terbatas bila salah satu pasangan atau kedua-duanya terikat dalam hubungan pernikahan, sedangkan dalam konteks sosiologis konstruksi zina jauh lebih luas selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 KUHP juga termasuk hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan. Pasal 284 KUHP yang hanya membatasi zina sebagai tindak pidana selama salah satu pelaku terikat dalam perkawinan secara a contrario memiliki makna bahwa persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan merupakan tindak pidana. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan banyak kerancuan mengenai pelacuran yang terjadi di Indonesia dan juga menimbulkan sejumlah penyakit seperti HIV/AIDS bagi pelakunya.

Terhadap permohonan tersebut, hakim Mahkamah Konstitusi menolak dengan menyatakan bahwa pokok permohonan uji materil khusus Pasal 284 KUHP tidak beralasan menurut hukum. MK memandang bahwa jika permohonan tersebut dikabulkan, maka secara hukum akan merubah konstruksi hukum pidana khusus perzinaan, merubah asas-asasnya, serta akan merubah sifat mewalan hukum yang ditentukan oleh KUHP, sementara perubahan dan perluasan makna materi undang-undang hanya bisa dilakukan melalui proses legislasi oleh anggota pembentuk undang-undang.5 Intinya, hakim konstitusi memandang tidak memiliki kewenangan untuk memberikan perluasan hukum atas pasal yang dimohonkan karena perubahan dan perluasan makna undang-undang hanya bisa dilakukan melalui proses legislasi.

3Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid,(Terj: Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun), Cet. 2, Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 34.

4Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, (halaman 21-26).

(17)

MK juga memandang bahwa apabila Pasal 284 KUHP diperluas yang semula hanya mengatur perzinaan antara laki-laki dan perempuan yang menikah menjadi setiap orang yang belum menikah, maka menjadikan Mahkamah sebagai “Pembuat Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Maker)”, sementara Mahkamah Konstitusi hanya berkedudukan sebagai negatif legislator, yaitu Mahkamah Konstitusi hanya dapat membatalkan undang-undang dan tidak bisa mengambil alih peran dan kewenangan parlemen.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa penolakan MK tersebut menunjukkan inkonsistensi pertimbangan hukum, bahkan MK seolah tidak menggunakan wewenangnya untuk memperluas Pasal 284 sebagaimana keinginan pemohon. Dilihat dari kewenangan MK untuk menguji undang terhadap UUD 1945 berlaku ketika salah satu produk hukum undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. MK pada dasarnya memiliki peran dan berwenang untuk memperluas materi satu pasal. Melihat beberapa produk putusan MK yang ada, kewenangan yang diberikan negara kepada lembaga ini cukup besar, yaitu MK bisa mengubah bunyi pasal yang diuji, menambah, menghilangkan, bahkan memberi perluasan makna pasal sehingga dapat mencakup masalah yang dipandang perlu dimasukkan dalam materi pasal yang diujikan. Salah satunya adalah putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010tentang hak keperdataan anak luar nikah yang semula hanya kepada ibu, kemudian diubah dan diperluas sehingga anak juga berhak atas keperdataan dari laki-laki yang menyebabkan ia lahir. Hal ini tentu tidak sesuai dengan penolakan memperluas Pasal 284 KUHP tersebut.

Konsep kewenangan MK dalam konteks ini terbaca jelas di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang telah dirubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.6 Dinyatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Istilah menguji undang-undang atau disebut juga dengan judicial review pada ayat di atas menurut Jimly adalah memandang, menilai, dan menguji kembali materi hukum undang-undang. Lebih lanjut, Jimly menyebutkan bahwa dalam beberapa putusan, bahwa satu pasal undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD, MK dapat menghilangkan kata yang merupakan bagian kalimat dalam pasal yang diuji. MK juga berwenang dalam menafsirkan pasal yang diajukan.7 Demikian juga disebutkan oleh Sirait, bahwa MK dapat memperluas makna satu pasal. Di antaranya adalah Putusan MK Nomor

6Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019), hlm. 263-264.

7Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 4 dan 211.

(18)

4 21/PUU-XII/2014 yang memperluas cakupan makna Pasal 77 KUHAP dengan masuknya tindakan penetapan tersangka menjadi satu objek kewenangan yang dapat diperiksa dan diputus secara Pra-pradilan.8 Dengan begitu, kewenangan “menguji Undang-undang” seperti tersebut di atas menjadikan MK dapat saja memperluas makna satu pasal dalam undang-undang.

Sejauh analisa penulis, alasan MK menolak gugatan pemohon adalah bahwa dalam konteks materi hukum pidana, MK tidak memiliki kewenangan untuk memperluas makna semua pasal, hal tersebut atas dasar materi pasal pidana tidak dapat diinterpretasi (ditafsirkan) begitu jauh. Jikapun ingin memperluas makna zina dari orang sudah menikah kepada orang yang belum menikah, maka hal tersebut menurut MK sepenuhnya menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia sebagai pihak legislator. Alasan MK ini cenderung tidak linier dengan teori kewenangan yang dimiliki oleh MK sebelumnya.

Berdasarkan masalah ini, hendak menjelaskan dan meneliti lebih jauh terkait kajian yuridis tentang kewenangan MK. Secara khusus, permasalahan ini akan diteliti dengan judul: “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsirkan Makna Zina (Studi Kasus Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat penulis rumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara pada putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016?

2. Bagaimana tafsiran makna zina menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016?

3. Apa pertimbangan MK dalam memutus perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 tentang makna zina

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusidi dalam memutuskan perkarapada putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016.

8TimboMangaranap Sirait, Hukum Pidana Pajak di Indonesia: Materiil dan Formil, (Yogyakarta: Budi Utama, 2019), hlm. 82.

(19)

2. Untuk mengetahui tafsiran makna zina menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016

3. Untuk mengetahui pertimbangan MK dalam memutus perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 tentang makna zina.

D. Penjelasan Istilah

Sub bahasan ini bertujuan untuk memperjelas beberapa istilah yang dimuat dalam judul penelitian. Di antara istilah-istilah tersebut yaitu kajian yuridis, kewenangan dan Mahkamah Konstitusi.

1. Kewenangan

Istilah “kewenangan” secara bahasa bentuk derivatif dari kata wenang, artinya mempunyai (mendapat) hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Kata wenang kemudian membentuk beberapa bentuk kata lain seperti wewenang (hak dan kekuasaan yang dimiliki), kewenangan (hak berwenang, hak atau kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan suatu tindakan yang ada hubungannya dengan ketentuan hukum), sewenang-wenang (tindakan semena-mena), kesewenang-wenangan (perbuatan sewenang-wenang, kezaliman dan sebagainya), dan pewenang (pihak yang berwenang atau memiliki wewenang tersendiri).9 Dengan begitu,term yang digunakan dalam pembahasan ini yaitu kewenangan, yakni hal yang menunjukkan adanya hak atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks penelitian ini, hak yang dimaksud berupa hak kekuasaan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji materil (yudisial review) atas undang-undang.

2. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan yang fungsi utamanya adalah untuk menguji apakah satu produk hukum itu konstitusional atau tidak.10 Menurut Pasal 2 Undang-Undang 24 Tahun 2003 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jadi, istilah kewenangan Mahkamah Konsitusi berarti hak dan kekuasaan yang diberikan oleh negara kepada Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam melakukan uji materil konstitusional tidaknya satu materi undang-undang

9Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), hlm. 1621.

10Junedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam

(20)

6 terhadap UUD. Dalam penelitian ini, dikhususkan kewenangan dalam memperluas makna perzinaan dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka atau kajian penelitian terdahulu dimaksudkan untuk melihat sejauh mana fokus masalah skripsi ini telah dikaji dan diteliti. Dengan demikian, akan tergambar perbedaan-perbedaan mendasar skripsi ini dengan penelitian-penelitian terdahulu. Sejauh amatan penulis, belum diperoleh data tentang penelitian putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, khususnya melihat ada tidaknya kewenangan MK dalam memperluas makna perzinaan. Meski demikian, tidak menutup adanya kajian yang relevan dengan skripsi ini.

Di antaranya jurnal yang ditulis oleh Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Universitas Andalas, Padang, dengan judul: “Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi”, dimuat dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. IV, No. 1, Maret 2015. Hasil penelitiannya yaitu MA dan MK sama-sama memiliki wewenang pengujian peraturan perundang-undangan. Namun, dengan berbedanya jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diuji, maka penafsiran peraturan perundang-undangan meski tunduk pada sistem hierarki peraturan yang berlaku.

Skripsi yang ditulis oleh M.Yunus, mahasiswa pada Universitas Hasanuddin, Fakultas Hukum Departemen Hukum Tata Negara Makassar tahun 2017 dengan judul: “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Rancangan Undang-Undang Yang Telah Disetujui Bersama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perkara Nomor: 97/Puu-Xii/2014)”. Hasil penelitiannya adalah Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Nomor 97/PUU-XII/2014 terkait kewenangan MK dalam mengadili permohonan pengujian undang-undang yang telah disetujui bersama, MK mengangap berwenang mengadili rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden terhadap UUD NRI 1945, pertimbangan Hukum MK memandang RUU yang telah disetujui bersama adalah UU tanpa nomor, sehingga MK menganggap UU tanpa nomor sama dengan UU pada umumnya, jadi tafsir RUU yang telah disetujui bersama-sama dengan UU tanpa nomor atau UU yang belum diundangkan.

Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama dapat dijadikan sebagai objek pengujian terhadap Undang-Undang Dasar 1945, merujuk pada konklusi putusan MK yang menyatakan berwenang mengadili, mengingat rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dapat dikatakan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi yang menyebabkan kerugian hak konstitusional, hal ini juga didasari pada Putusan MK Nomor

(21)

138/PUU-VII/2009 terkait pengujian Perpu yang pada dasarnya tidak diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU MK secara eksplisit terkait kewenangan menguji Perpu. Sehingga penulis berpendapat MK sebagai Pengawal Tegaknya Konstitusi, Penjaga Konstitusi (the guardian of constitusionaI), guna mewujudkan cita negara hukum, maka MK berwenang mengadili RUU yang telah disetujui bersama atau Perpu dengan syarat pemohon sebagaimana dimaksud putusan MK No. 006/PUUIII/2005.

Skripsi yang ditulis oleh Andi Adiyat Mirdin, mahasiswa Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2014, dengan judul: “Tinjauan Yuridis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Hasil penelitiannya adalah Dasar kewenangan MK dalam memutus perkara pengujian Perpu terhadap UUD 1945 adalah seperti yang tercantum dalam pertimbangan hukum mahkamah dalam putusan nomor 138/PUU-VII/2009. Putusan a quo sebagai yurisprudensi kewenangan MK dalam menguji suatu perpu.

Terdapat beberapa pendapat para pakar yang menguatkan yurisprudensi kewenangan MK ini. Selain itu, terdapat pula beberapa pendapat para pakar dan hipotesis potensi digunakan sebagai perbandingan atas kewenangan MK dalam pengujian perpu. Sehingga, ditinjau dari aspek teoritis dan aspek praktis, MK berwenang menguji materi muatan suatu Perpu. Berangkat dari realitas pengujian perpu terhadap UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MK, tidak satupun pemohon yang dapat membuktikan kerugian konstitusional yang dideritanya. Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa pengujian Perpu oleh MK ini tidaklah urgen. Hal ini juga didasari oleh amar putusan MK dalam enam pengujian perpu yang kesemuanya menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijkverklaard).

Skripsi yang ditulis oleh Indra Mahawijaya, mahasiswa Universitas Brawijaya Fakultas Hukum Malang tahun 2015, dengan judul:“Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Melakukan Pengujian Terhadap Undang-Undang Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional Terhadap UUD NRI 45 Berdasarkan Putusan No.33/Puu-Ix/2011”. Hasil penelitiannya yaitu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan judicialreview Undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional pasca putusan MKNo.33/PUU-IX/2011 kurang tepat, sehingga adapun gagasan model pengujian konstitusionalitas terhadap perjanjian internasional yang diberikan wadah dalam bentuk Undang-undang. Adapun gagasan pengujian pra perjanjian internasional diratifikasi melalui mekanisme judicial preview adalah suatu model pengujian sebelum perjanjian internasional yang akan diberikan wadah dalam bentuk undang-undang diratifikasi, dengan model pengujian yang dilakukan pada pembentukan perjanjian internasional dalam fase negosiasi hingga fase perumusan naskah, adapun legal standing terhadap pengujian judicial previewini diberikan kepada Presiden dan Mentri Luar Negeri selaku aktor utama dalam pembentukan suatu perjanjian internasional yang akan diberikan wadah dalam bentuk undang-undang.

(22)

8 Gagasan pengujian terhadap perjanjian internasional yang telah telanjur diratifikasi dengan model constitutionalcomplaint hasil perjanjian internasional oleh Mahkmah Konstitusi, gagasan ini bersudut pandangkan terhadap perlindungan hak-hak konstitusional warga Negara terhadap perjanjian internasional yang telah disahkan, adapun dasar penggunaan pengujian ini didasarkan atas alasan-alasan yang dapat membatalkan suatu perjanjian internasional dalam aspek hukum internasional yaitu salah satunya adalah pelanggaran asas ius cogens, dimana salah satu bagian dari asas ini adalah Hak Asasi Manusia dan hak konstitusional negara indonesia secara keseluruhan merupakan bagian dari HAM, sehingga alasan pelanggaran hak kosntitusional relevan dengan pelanggaran asasIus cogens dalam perjanjian internasional, sehingga penggunaan pengujian cosntitutional complaint terhadap hasil perjanjian internasional yang telah diratifikasi dapat diterima dalam konteks hukum internasional dan tidak melanggar asas pacta sunt servanda.

Empat penelitian di atas setidaknya menjadi gambaran tentang kajian-kajian yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, kajian yang menfokuskan tentang berwenang tidaknya Mahkamah Konstitusi dalam memperluas makna perzinaan yang mengacu pada putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah karya ilmiah. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan objek penelitian secara terstruktur serta untuk mendapatkan informasi secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan.

1. Jenis Penelitian

Tiap-tiap penelitian selalu memerlukan data yang lengkap, objektif, memerlukan metode tersendiri saat menggarap data yang diperlulan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono, kualitatif yaitu penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah.11 Adapun jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu analisis-deksriptif. Dalam konteks ini, peneliti menggarap data melalui beberapa sumber yang relevan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu penelitian kepustakaan (library research), yaitu bentuk penelitian dengan menitik beratkan pada penemuan data melalui bahan-bahan kepustakaan yang sifatnya tertulis, seperti

(23)

buku-buku atau kitab fikih, dan referensi lainnya yang dianggap cukup relevan dengan penelitian ini.Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan merujuk bahan-bahan kepustakaan.

3. Sumber Data

Data-data penelitian ini secara keseluruhan diperoleh dari data putsaka, dengan kategori sebagai berikut:

a. Bahan data primer, yaitu bahan yang bersifat otoritatif. Dalam penelitian ini, data primer yaitu Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, KUHP, dan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar.

b. Bahan data sekunder, yaitu bahan data yang memberi penjelasan terhadap bahan primer. Dalam konteks ini, bahan-bahan yang diperlukan mengacu pada tiga kategori referensi hukum. (1) referensi tentang Mahkamah Konsitusi seperti buku: “Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature” karangan Martitah, buku: “Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi” karangan Munafrizal Manan, buku: “Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi” karangan Abdul Latif. (2) referensi berkaitan dengan hukum perzinaan menurut hukum positif, seperti buku: “Tindak Pidana Khusus”, karangan Aziz Syamsuddin, buku: “Hukum Pidana Khusus”, karangan Rodliyah dan Salim HS, buku: “Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus”, karangan Lilik Mulyadi. (3) referensi yang memuat hukum zina menurut Islam, seperti kitab: “al-Tasrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqarran bi al-Qānūn al-Waḍ’ī”, karya Abdul Qadir Audah, kitab: “al-Ḥāwī al-Kabīr”, Imām al-Māwardī, kitab: Mughnī Syarḥ al-Kabīr”, karya Ibn Qudāmah al-Maqdisī, kitab: “Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh”dan“Al-Mu’tamad fī al-“Al-Fiqh al-Syāfi’ī”, karya Wahbah al-Zuḥailī, buku:“Hukum Pidana Islam”, karya Ahmad Wardi Muchlis, serta referensi lainnya yang relevan.

(24)

10 c. Bahan data tersier, yaitu bahan yang digunakan sebagai pelengkap, kegunaannya untuk memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder sebelumnya. Bahan data tersier di sini diperoleh dari kamus-kamus (hukum dan bahasa), ensiklopedia, majalah, jurnal, artikel ilmiah dan bahan lainnya yang dapat memperkaya data penelitian. 4. Analisa Data

Data-data yang telah terkumpul dianalisa secara kualitatif melalui pemeriksaan makna dan penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 terkait perzinaan. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk dapat diketahui sejauh mana alasan-asalan hakim, serta kewenangannya dalam memutus pasal-pasal yang diajukan. Metode analisis yang digunakan yaitu deskriptif analisis.

Menurut Burhan Bungin, penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi sehingga menjadi satu kesatuan data yang utuh.12 Kaitan dengan penelitian ini, metode deskriptif diarahkan pada analisis data dengan langkah menggambarkan beberapa maksud dan pengertian perzinaan baik dalam hukum positif dan hukum Islam. Upaya ini tidak dapat dilepaskan dari temuan beberapa penafsiran dari kalangan ahli hukum. Selanjutnya, akan digambarkan putusan MK serta menelaah berwenang tidaknya MK dalam memperluas makna perzinaan.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini, ditentukan sistematika penulisan ke dalam empat bab dengan uraian sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian kepustakaan, metode penelitian serta sub bab terakhir berisi sistematika pembahasan.

Bab dua menerangkan tentang tinjauan umum Mahkamah Konstitus dan perzinaan. Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu Mahkamah Konstitusi yang berisi penjelasan pengertian Mahkamah Konstitusi, sejarah Mahkamah Konstitusi, kedudukan Mahkamah Konstitus dalam sistem peradilan di Indonesia, kewenangan Mahkamah Konstitusi, beberapa contoh putusan Mahkamah Konstitusi, perzinaan dalam hukum Islam dan hukum positif, terminologi perzinaan, dasar hukum zina dan macam-macamnya.

12M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

(25)

Bab tiga menjelaskan permasalahan yang menjadi objek penelitian, didalamnya berisi penjelasan mengenai kewenangan MK memperluas makna pasal perzinaan dalam putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016. Bab ini berisi penjelasan tentang kewenangan MK dalam memperluas makna pezinaan dilihat dari yuridis hukum Indonesia, alasan MK tidak memiliki kewenangan memberi perluasan makna perzinaan dalam putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, dan analisis penulis.

Bab empat yaitu penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan poin-poin penjelasan mengenai jawaban dari rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian. Sementara saran merupakan beberapa ulasan tentang saran terhadap pihak-pihak terkait yang berhubungan kajian penelitian

(26)

12

BAB DUA

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

A.Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang kedudukannya sama dengan badan peradilan lain seperti Mahkamah Agung dan turunnya seperti Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri dan lainnya. Dikatakan sama sebab posisinya begitu penting dalam menangani masalah yang terjadi di tengah masyarakat, dan sebagai locus bagi masyarakat Indonesia agar dapat mempertahankan hak-haknya sebagai warga negara. Dengan begitu, posisi Mahkamah Konstitusi cukup penting dalam tinjauan negara hukum.

Sebelum menjelaskan lebih juah mengenai sejarah, kedudukan Mahkamah Konstitusi, dan materi terkait lainnya, pada bagian ini penting untuk mengulas arti Mahkamah Konstitusi dari sudut bahasa maupun istilah. Mahkamah Konstitusi tersusun atas dua kata, yaitu Mahkamah dan Konstitusi. Kata Mahkamah, asalnya berasal dari bahasa Arab, ة م كْح م. Istilah tersebut merupakan bentuk derivatif dari istilah م ك ح, secara lughah berarti hukum, aturan, ketetapan, putusan, atau nilai dan norma hukum.13 Kata م ك ح tersebut membentuk ragam derivasi kata lainnnya seperti م كا ح (pembuat hukum, pemutus, wasit, atau hakim),14 م ك ْح م,15 atau ayat-ayat yang tegas dan jelas maknanya),16 مَّك ح م (yaitu

13Achmad W. Munawwir & M. Fairuz, Kamus Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2007), hlm. 952.

14Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqih, (Terj: M. Zuhri dan A. Qarib), (Semarang: Dina Utama, 2014), hlm. 165.

15Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang

Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Quran, Cet. 3, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), hlm. 209.

16Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Alquran, (Terj: Aunur Rafiq El-Mazni), Cet. 19, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2019), hlm. 263-266.

(27)

wali nikah yang diangkat sepihak oleh wanita),17 ة مْك ح (hikmah), مْو ك ْح م (orang yang dibebani hukum atau mengenai perbuatan yang menjadi sorotan hukum),18 dan bisa juga membentuk kata ة م كْح م (badan peradilan atau mahkamah).19 Istilah yang terakhir ( ة م كْح م) inilah yang digunakan dalam fokus pembahasan ini.

Menurut Abdul Manan, Mahkamah berarti pengadilan atau suatu kegiatan lembaga yang membuat putusan di peradilan. Dalam makna relatif lebih luas, Manan menyebutkan bahwa mahkamah adalah sebagai tempat berlangsungnya lembaga kehakiman.20 Dengan begitu, diketahui bahwa mahkamah diarahkan pada makna tempat yang fungsinya sebagai tempat memutus hukum di tengah-tengah masyarakat. Istilah konstitusi sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu konstituo atau constitutum (constituerre dari Prancis, constitutie dari Belanda, constitution dari Inggris), maknanya undang-undang dasar.21

Memperhatikan pemaknaan di atas, secara sederhana dapat dipahami arti Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan menyangkut penyelesaian kasus hukum yang berhubungan dengan pelanggaran Undang-Undang Dasar. Istilah Mahkamah Konstitusi yang sering digunakan dalam konteks negara modern ialah Constitutional Court, yaitu sebagai lembaga peradilan yang mewadahi pengujian konstitusional suatu peraturan perundang-undangan di bawahnya. Secara eksplisit makna Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi:

17A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2010), hlm. 75.

18Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu..., hlm. 222 dan 236. 19Achmad W. Munawwir & M. Fairuz, Kamus..., hlm. 953.

20Abdul Manan, Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 1.

21P.N.H. Simanjuntak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, tt), hlm. 34.

(28)

14 “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti (PPP) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.

Berdasarkan beberapa rumusan ahli dan peratuan perundang-undangan di atas, dapat diulas kembali dalam satu rumusan baru bahwa Mahkamah Konstitusi adalah satu lembaga atau badan peradilan yang secara fungsional menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman, merdeka untuk menyeleng-garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berupa fungsi pengujian materi hukum yang dimuat di dalam Undang-Undang untuk kemudian diuji berdasarkan Undang-Undang Dasar.

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi hadir sebagai respon dari pentingnya upaya untuk menguji kembali ketentuan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif atas konstitusi sebuah negara. Menurut catatan Bachtiar, gagasan pembentukan badan peradilan Mahkamah Konsitusi ini dipelopori oleh Hans Kelsen, yang hidup di dalam rentang tahun 1881 sampai dengan 1973 M. Ia merupakan ahli hukum dan salah satu yang menganut positivistik hukum. Hans termasuk “Kaum

(29)

Neokantian” karena Hans menggunakan pemikiran Kant dalam masalah hukum.22

Pertama kali berhasil mengadopsi Mahkamah Konsitusi di dalam sistem kekuasaan kehakiman adalah Australia pada tahun 1919 sampai tahun 1920. Bagi Hans Kelsen, aturan konstitusional mengenai legislasi secara efektif dapat dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak konstitusional, dan tidak memberlakukannya jika inkonstitusional. Organ yang dimaksud ialah Mahkamah Konstitusi.23 Menurut Jimly, gagasan Mahkamah Konstitusi awalnya dilakukan di tahun 1920-an. Gagasan tersebut mempunyai pengaruh yang relatif sangat luas atas perkembangan teori dan praktik dalam hukum tata negara di seluruh dunia. Salah satu ide pelembagaan peradilan konstitusi ini menurut Jimly bagian dari lanjutan yang telah dirintis oleh Katua Mahkamah Agung Amerika Serikat, John Marshall, dengan ide pengujian konstitusionalitas undang-undang yang ia putuskan saat itu di dalam kasus sangat terkenal, yaitu Marbury versus Madison pada 1803. Fungsi di dalam pengujian itulah kemudian disebut dengan judicial review.24

Menurut catatan Tholib, ada 78 Negara memakai Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Misalnya di Inggris dan Prancis dikenal dengan kelembagaan Mahkamah Konstitusi didalam wilayah pengujian undang-undang sering disebut judicial review.25 Model Mahkamah Konstitusi di Indonesia juga mengikuti model Mahkamah Konstitusi di Inggris,

22Sukarno Aburaera dkk., Filsafat Hukum: Teori dan Praktik, Cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017) hlm. 109.

23Bachtiar, Mahkamah Konstitusi pada Pengujian Undang Terhadap

Undang-Undang Dasar, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hlm. 75.

24Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet 9, (Depok: Raja Grafindo Presada, 2017), hlm. 258-259.

(30)

16 karena fungsi dan tugas utama Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak lain gagasan reformasi yang telah didengungkan di tahun 1998. Pada tahun tersebut, keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi memang belum dibentuk, tetapi reformasi yang terjadi di tahun 1999 mengantarkan pada perubahan besar dalam sistem hukum Indonesia. Salah satu hasil dari reformasi tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945 telah empat kali dirubah (amandemen) sejak tahun 1999 hingga tahun 2002. Perubahan tersebut telah menghasilkan beberapa perubahan dalam konstitusi. Di antaranya adalah fungsi ajudikasi hukum yang awalnya hanya dibebankan kepada lembaga Mahkamah Agung saja, kemudian beralih kepada Mahkamah Agung dan juga Mahkamah Konstitusi.26 Meskipun demikian, spesifikasi tugas dan wewenang di dalam menguji peraturan perundang-undangan memiliki perbedaan satu dengan yang lain.

Menurut Jurdi, lahirnya ide pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan suatu ide penting dalam amandemen UUD 1945. Pada amandemen tahun 2001, adopsi ide pembentukan Mahkamah Konstitusi tersebut mendapat respon positif yang kemudian dituangkan dalam norma kontitusi.27 Terbentuknya kelembagaan MK dalam wilayah tata laksana tugas-tugas pemerintah Indonesia baru setelah amandemen ke III Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut, MK berkedudukan sebagai sistem kekuasaan kehakiman.28

26Kristian, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Terhadap Constitutional Complain, (Banten: An One Mage, 2017), hlm. 3.

27Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019), hlm. 261.

28Heru Setiawan, Rekonseptualisasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Upaya

Memaksimalkan Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai The Guardian of Constitution.“Tesis” (Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2017), hlm. 43.

(31)

Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, namun secara umum adalah berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan yang otoriter menuju demokratis, sedangkan keberadaan Mahkamah Konstitusi lebih untuk menyelesaikan konflik antar lembaga negara karena dalam proses perubahan menuju negara yang demokratis tidak bisa dihindari pertentangan antar lembaga negara. Secara hukum lahirnya MK dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia akibat adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.29

Berdasarkan uraian singkat sejarah Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan gagasan negara Barat sebagai bentuk respon terhadap keperluan pengujian undang-undang terhadap konstitusi negara tersebut. Negara Australia, Inggris, Jerman, Prancis beserta negara-negara Barat lainnya yang merupakan awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi tampak memikat negara berkembang, termasuk Indonesia. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ini baru dapat dilaksanakan pada tahun 2003 dengan dasar legalitasnya dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen. Atas dasar itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi Indonesia tidak dilepaskan dari praktik peradilan yang lebih dahulu diberlakukan di negara-negara maju.

2. Kedudukan MK dalam Sistem Peradilan di Indonesia

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kehakiman di Indonesia termasuk dalam lingkup lembaga yudikatif. Mengikuti teori ketatanegaraan yang dipelopori oleh Montesquieu, yang banyak dianut negara-negara modern bahwa lembaga kekuasaan negara-negara dipisah menjadi tiga bentuk, yaitu legislatif, memiliki fungsi legislasi, lembaga eksekutif yaitu pemerintah, dan lembaga yudikatif, yaitu lembaga yang ditugasi fungsi kekuasaan

(32)

18 kehakiman.30 Istilah yudikatif menurut Budiardjo berarti fungsi kekuasaan yang terkait ajudikadi,31 atau dalam bahasa Abdul Manan disebutkan sebagai rule adjudication function.32

Menurut Jimly, sebagaimana dikutip Syah, menegaskan bahwa lembaga yudikatif merupakan lembaga pengadilan yang berfungsi menilai suatu konflik atas pelaksanaan suatu aturan hukum, menerapkan aturan untuk menyelesaikan konflik tersebut.33 Demikian juga dikemukakan oleh Raghib al-Sirjani, pada saat mengomentari perbedaan sistem musyawarah dengan demokrasi Barat, mengulas sedikitnya tentang kelembagaan yudikatif, bahwa lembaga tersebut menurutnya memiliki kewenangan menentukan hukum antara sesama manusia dengan adanya penerapan undang-undang.34 Dengan begitu, Mahkamah Konstitusi menjalankan tupoksi dan wewenang di bidang peradilan dengan sendirinya menempatkannya pada posisi berada dalam jajaran kelembagaan yudikatif.

Mahkamah Konstitusi di Indonesia berkedudukan di pusat, posisinya sama dengan Mahkamah Agung yang juga berada di tingkat pusat, meskipun keduanya memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang diperbarui kembali dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas

30Teuku Saiful Bahri Johan, Perkembangan Ilmu Negara dalam Peradaban Globalisasi

Dunia, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm. 167.

31Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 158.

32Abdul Manan, Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 110.

33Sakti Ramdhon Syah, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Pengantar

Hukum Tata Negara dalam Perspektif Teoritis-Filosofis, (Makassar: Social Politic Genius, 2019), hlm. 101.

34Raghib al-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, (Terj: Sonif,Malik Supar dan Masturi Irham), Cet. 7, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2019), hlm. 488.

(33)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 2 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya, pada Pasal 3 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia. Dari ketentuan tersebut, kedudukan Mahkamah Konstitusi hanya di ibu kota negara dan tidak bisa dibentuk di tingkat daerah.

Posisi Mahkamah Konstitusi sejajar dengan posisi Mahkamah Agung di dalam struktur lembaga negara Indonesia. Jurdi menyebutkan Mahkamah Agung sejajar kedudukannya dengan Mahkamah Konstitusi dan keduanya bersama-sama memegang kekuasaan kehakiman.35 Secara sederhana, susunan lembaga negara Indonesia pasca amandemen UUD 1945 berikut ini:

Meski antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki posisi yang sejajar sebagai lebaga yudikatif menjalankan fungsi kehakiman,

(34)

20 tetapi keduanya berbeda dalam hal kewenangan yang dimiliki, khususnya dalam hal melakukan pengujian materi hukum di dalam regulasi di Indonesia, atau yang disebut dengan judicial review. Menurut catatan Jimly, karena telah diterapkan pemisahan lembaga kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagai lembaga yang mandiri, maka kewenangan pengujian (judicial review) diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk, kewenangan tersebut dapat dijalankan oleh Mahkamah Agung.36 Namun, setelah Mahkamah Konstitusi dibentuk, antara keduanya memiliki kewenangan menguji. Mahkamah Agung menguji peraturan di bawah undang-undang, sementara itu Mahkamah Konstitusi menguji materi hukum yang ada dalam undang-undang terhadap UUD 1945, kedua pengujian itu disebut atas nama judicial review.

Istilah judisial review berarti penilaian dan peninjauan kembali. Menurut Jimly, judicial review adalah upaya untuk melakukan review, penilaian kembali atau peninjauan kembali, dan pengujian kembali atas norma hukum yang tertuang baik dalam bentuk produk pengaturan (regeling), penetapan atau beschikking, ataupun produk pengadilan (vonnis). Dalam makna lain, judicial review adalah mekanisme untuk pengendalian dan kontrol norma hukum oleh lembaga peradilan (norms control mechanism).37 Istilah judicial review pada dasarnya istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang merujuk wewenang pengadilan untuk membatalkan setiap perbuatan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi.38 Jadi, istilah judicial review masih bersifat umum, baik dalam bentuk pengujian undang-undang terhadap konstitusi (di

36Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi Serpihan

Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Cet. 2, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 95.

37Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2010), hlm. 42.

38Abdul Manan, Dinamika Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 222.

(35)

Indonesia disebut UUD 1945) yang kewenangannya diambil oleh lembaga Mahkamah Konstitusi, dan pengujian peraturan daerah terhadap undang-undang yang kewenangannya diambil lembaga Mahkamah Agung.

Dalam hukum Indonesia, jika yang diuji adalah undang-undang terhadap UUD 1945, maka yang mengujinya ialah Mahkamah Konstitusi. Basisnya adalah constitutional review (pengujian konstitusional), sebab yang diuji adalah berupa konstitusional undang-undang (judicial review on the constitutionality of law). Namun, hal itu berbeda dengan judicial review suatu peraturan daerah terhadap undang-undang, maka pengujinya ialah Mahkamah Agung, basisnya di sini ialah judicial review of regulation atau pengujian terbatas pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sebab yang diuji itu adalah legalitas suatu peraturan (judicial review on the legality of regulation).39 Dengan begitu, posisi Mahkamah Konstitusi cenderung sama dengan Mahkamah Agung, meskipun di dalam wilayah kekuasaan dan tupoksinya berbeda.

Menurut Yusa dan kawan-kawan, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan di tingkat pertama dan terakhir, dan putusannya bersifat final.40 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur secara tegas dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD1945 yakni mengadili di tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran Partai Politik, memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, serta wajib

39Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 158.

40I Gede Yusa, dkk, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD NRI 1945, (Malang: Setara Press 2016), hlm. 22 dan 142.

(36)

22 memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.41

Berdasarkan uraian di atas, dapat diulas kembali bahwa posisi Mahkamah Konstitusi di dalam sistem negara hukum Indonesia menempati posisi yang sama dan sejajar dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di tingkat pusat. Mahkamah Konstitusi termasuk lembaga yudikatif yang bertugas di dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman, berupa menerima dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Namun begitu, Mahkamah Konstitusi di sini lebih diarahkan pada penyelesaian hukum di dalam pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, bahkan bisa memutuskan tentang pemberhentian presiden dan wakilnya apabila ada dugaan dan terbukti melakukan pelanggaran hukum. Wewenang Mahkamah Konstitusi lain yang tidak kalah pentingnya ialah dapat menguji konstituionalitas satu produk undang-undang terhadap UUD 1945, dan wewenang terakhir inilah yang akan disoroti pada pembahasan-pembahasan berikutnya.

3. Beberapa Contoh Putusan MK Berkaitan dengan Penafsiran Norma Hukum

Sebagai sebuah lembaga peradilan yang lahir relatif sudah cukup lama di Indonesia, Mahkamah Konstitusi tentu sudah cukup banyak memutuskan perkara sepanjang berdirinya lembaga tersebut hingga saat ini. Putusan-putusan yang ada secara umum berhubungan dengan masalah perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, tidak kalang penting adalah memutus permasalahan pengujian undang-undang yang oleh pemohon merasa

41Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, Kewenangan dan

(37)

bertentangan dengan nilai dan kaidah konstitusi (UUD 1945) Indonesia (judicial review).

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review tersebut barangkali menempati posisi yang paling banyak dibandingkan dengan jenis putusan lainnya. Dari 2003 hingga Januari 2020, jumlah perkara yang telah diregistrasi mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang tercatat di dalam laman web resmi Mahkamah Konstitusi RI yaitu berjumlah 1327 kasus, sementara itu perkara yang sudah diputus dalam rentang waktu tersebut berjumlah 1296 kasus.42 Data-data kasus tersebut cukup menempatkan posisi lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang sangat penting di Indonesia dalam menegakkan hukum atas amanat dan idelanya sesuai dengan konstitusi. Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie dalam beberapa bukunya menyatakan begitu pentingnya posisi MK, maka ia bisa disebut sebagai lembaga pengawal demokrasi dan konstitusi atau the guardian of democracy and the constitution sekaligus.43

Namun demikian, posisi Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang menguji konstitusionalitas materi hukum dalam pasal undang-undang, justru tidak selalu menjadikan putusannya dapat diterima di dalam masyarakat. Kenyataannya justru banyak putusan-putusan yang berhubungan dengan pengujian satu undang-undang kontroversial di tengah masyarakat. Dalam catatan Hamdan Zoelva, sejak dibentuk pada tahun 2003, Mahkamah

42Diaskes melalui: https://mkri.id/index.php?page=web.RekapPUU, tanggal 19 Januari 2020.

43Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Ngera Indonesia Pasca

Reformasi(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 604: Jimly Asshiddiqie, Pengantar..., hlm. 266: Jimly Asshiddiqie, Perkembangan..., hlm. 152.

(38)

24 Konstitusi sering menghasilkan berbagai putusan yang mengagetkan bahkan kontroversial dan dianggap melebihi tupoksi serta wewenangnya.44

Tidak sedikit dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tentang judicial review mengundang kontroversi, baik kontroversi putusannya dengan pemohon karena tidak dikabulkan atau justru dikabulkan namun tidak sesuai dengan cita-cita dan harapan, maupun kontroversi karena penafsiran norma hukum yang ada justru dipandang bertentangan dengan norma hukum agama (Islam). Untuk itu, di sesi ini penulis hendak mengulas beberapa contoh putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan penafsiran norma hukum. Pada bagian ini, akan dikemukakan pula mengenai sejauah mana Mahkamah Konstitusi dapat memberikan penafsiran terhadap undang-undang yang dimohon untuk diuji-materilkan. Namun demikian, tidak semua putusan yang dapat penulis ulas, tetapi hanya 2 putusan yang dapat mewakili putusan-putusan lainnya.

a. Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang cukup kontroversial di tengah masyarakat, berhubungan dengan penetapan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan inkonstitusional, intinya anak dinasabkan kepada ibu dan bapaknya berikut dengan keluarga ibu dan bapaknya.

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha dengan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan berkaitan dengan kedudukan keperdataan anak (Muhammad Iqbal Ramadhan) dari hubungan di luar nikah (nikah

44Hamdan Zoelva, “Mahkamah Konstitusi dan Masa Depan Negara Hukum Demokrasi Indonesia”, dalam, Muhammad Tahir Azhari, dkk, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 47.

(39)

sirri) terhadap ayah biologisnya (Moerdiono).45 Pada intinya, pemohon menguji konstitusionalitas ketentuan Pasal 43 UU Perkawinan mengenai status anak yang dilahirkan di luar nikah.Bunyi Pasal 43 yaitu: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Ketentuan pasal tersebut menurut pemohon bertentangan dengan UUD 1945, tepatnya pada Pasal 28B ayat (2):“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tunbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.Mahkamah Konstitusi pada pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa anak tidak harus menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang tuanya.Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama tidak mengenal anak harus menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.46

Komentar hakim konstitusi pada waktu itu bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah di antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.

45Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia: Pro-Kontra

Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 192.

(40)

26 Pada intinya, tafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 43 dan UUD 1945 membawa pada pengubahan pasal yang dimohonkan tersebut akhirnyaberubah: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dinyatakan inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945) sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya”.47

b. Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014

Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 ini berangkat dari permohonan para pemohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Putusan tersebut berkenaan dengan permohonan agar perkawinan anak laki-laki 19 tahun dan anak perempuan dari sebelumnya 16 tahun harus diakui menjadi 18 tahun.

Pemohon menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sepanjang frasa “enam belas tahun”, maka Undang-Undang Perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, karena di dalam UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “delapan belas tahun”, sehingga Pasal 7 ayat (1) UUP seharusnya dibaca menjadi “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

Pada akhir putusannya, Mahkamah Konstitusi menerima pemohon dan permohonannya, namun menolak isi permohonan secara

47Untuk lebih jelasnya, tafsiran Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 dan UUD 1945 dapat dirujuk langsung di dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010.

(41)

keseluruhan. Di dalam salah satu komentar Hakim Konstitusi, disebutkan bahwa batas usia nikah sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) UUP tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hanya saja, di dalam salah satu pertimbangan hakim pada dissenting opinion (pendapat berbeda), yaitu dari Hakim Maria Farida Indrati. Menurutnya, permohonan pemohon bisa diterima dan dikabulkan, sebab usia nikah ideal bagi perempuan tidak lagi harus mengikuti 16 tahun, tetapi bisa ditetapkan 18 tahun sebagaimana permohonan para pemohon.48

Berdasarkan gambaran dua putusan Mahkamah Konstitusi di atas, dapat diketahui adanya penafsiran terhadap norma hukum yang dilakukan hakim-hakim konstitusi. Pada putusan pertama, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dan mengabulkan muatan permohonan pemohon. Dalam konteks tersebut, hakim konstitusi cenderung memberikan penafsiran yang relatif cukup jauh, di mana dari sebelumnya Pasal 43 UUP menyatakan bahwa anak luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, dipandang bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi mengubahnya menjadi anak lahir di luar nikah juga memiliki hak hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya sepanjang dapat diteliti dan dibuktikan dengan teknologi.

Pada putusan kedua sebelumnya, berbeda dengan putusan pertama, bahwa Hakim Konstitusi menerima permohonan pemohon untuk kemudian diperiksa dan diuji, hanya saja pada tahapan akhir, Mahkamah Konstitusi menolak atau tidak mengabulkan permohonan pemohon. Artinya, batasan usia nikah yang ada dalam Pasal 7 ayat 1 UUP (19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk wanita) menurut Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pada bab selanjutnya, penulis juga akan mengkaji secara lebih spesifik

48Secara lebih lengkap, penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang batasa usia pernikahan dapat dirujuk secara langsung di dalam Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014.

(42)

28 terkait putusan MK tentang judicial review pasal-pasal perzinaan (overspel) di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dengan putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016. Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya, akan diulas pula tentang perzinaan dalam hukum Islam dan hukum positif, sebab tema tersebut berkait erat dengan putusan yang akan dikaji pada bab 3.

B.Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsirkan Norma Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Istilah kewenangan dimaknai sebagai kekuasaan.49 Menurut Thalib, istilah kewenangan sering disejajarkan dengan bevoegheid dan rechtmacht dalam bahasa Belanda, dan authority dalam bahasa Inggris. Dengan begitu, kewenangan ialah kekuasaan formal, merupakan kekuasaan diberikan undang-undang, atau disebut juga kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat.50 Menurut Webar, seperti dikutip Damsar, bahwa kewenangan atau otoritas adalah suatu legitimasi (hak) atas dasar kepecayaan untuk memengaruhi orang lain melakukan sesuatu. Kewenangan adalah suatu bentuk kekuasaan yang sah atau memiliki legitimasi.51

Wewenang merupakan kekuasan yang mempunyai landasan untuk dapat mengambil tindakan ataupun perbuatan hukum supaya tidak timbul akibat hukum berupa kesewenang-wenangan (onwetmatig).52 Hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, wewenang Mahkamah Konstitusi berarti kekuasaan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi di dalam melakukan tindakan, khususnya di

49Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, tt), hlm. 108.

50Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 210. 51Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Edisi Revisi, Cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 66.

52Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 82.

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari orang yang membuat keputusan,euthanasia dibagi menjadi: 1 Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary

Pengujian hipotesis perbedaan proporsi dua populasi dilakukan untuk mengetahui apakah secara statistik terdapat perbedaan proporsi cakupan penduduk yang melaporkan

Bersedia untuk dilakukan peninjauan terhadap sarana dan alat yang akan digunakan dalam proses Pemeriksaan Kesehatan Berkala oleh pihak PT PJB UP Gresik

perbandingan yang mungkin dan menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk merubah pertimbangan. Untuk mengisi matrik perbandingan berpasang anyaitu dengan

 &endapatkan keputusan dari Kepala Puskesmas <anti serta :inas Kesehatan untuk dapat melaksanakan mengadakan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan #$!

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi perubahan situs metilasi antara ortet normal dan ES kotiledon abnormal.. Hasil analisis RP-HPLC menunjukkan bahwa

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU