• Tidak ada hasil yang ditemukan

97Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 33-34.

98Agus Kasiyanto, Teori & Praktik Sistem Peradilan Tipikor Terpadu Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 93.

undang tidak lengkap, atau tidak sepenuhnya mampu mengakomodasikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat tidaklah dengan sendirinya berarti norma undang undang itu (di dalam konteks ini Pasal 284 KUHP) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, lebih-lebih dalam bidang hukum pidana.100 Ini mempertegas lagi bahwa Mahkamah Konstitusi memandang permohonan judicial review atas Pasal 284 agar makna perzinaan itu diperluas sebetulnya bukan menunjukkan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 akan tetapi Pasal 284 hanya sebatas tidak lengkap saja, atau belum mengakomodasi harapan dan keinginan masyarakat. Dengan begitu, belum lengkapnya Pasal 284 tidak berarti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kekuranglengkapan suatu isi dan materi pasal dalam undang-undang berbeda dan tidak berarti inkonstitusional. Melalui pandangan inilah menjadi salah satu alasan mengapa hakim Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.

Pertimbangan logis yang digunakan hakim konstitusi dalam meng-counterpermohonan pemohon adalah dengan pandangan di mana Mahkamah Konstitusi tidak boleh terlalu jauh,atau dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah politik hukum pidana atau kebijakan pidana (criminal policy). Mahkamah Konstitusi di dalam konteks ini mengakui bahwa melalui putusannya telah berkali menyatakan suatu norma undang-undang sebagai konstitusional bersyarat atau conditionally constitutional, ataupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional, yang artinya jika persyaratan itu tidak dapat dipenuhi maka norma undang-undang dimaksud adalah inkonstitusional.101

100Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, pada halaman 439.

60 Keterangan di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri di dalam hal ini mengakui telah beberapa kali memutus suatu pasal yang seolah oleh pandangan awam memberikan perluasan makna pasal tersebut. Ini sebagaimana terbaca dalam beberapa putusan yang telah diulas dalam Bab II penelitian ini, di antaranya adalah Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 yang semula anak luar nikah tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya menjadi memiliki hubungan dengan mereka.

Merujuk pada uraian di atas, bisa diulas dalam satu keterangan baru bahwa pertimbangan Mahkamah Konstitusi di dalam memutus perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 ada dua, yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan logis. Di dalam pertimbangan yuridis, Mahkamah Konstitusi setidaknya merujuk kepada 3 (tiga) ketentuan, yaitu Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, kemudian Pasal 15 dan Lampiran II C.3 angka 117 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan merujuk kepada Yurisprudensi MK, yaitu pada putusan No. 132/PUU-XII/2015 bertanggal 5 April 2017. Adapun pertimbangan logis hakim konstitusi di antaranya permohonan pemohon tidak memenuhi aspek penalaran hukum pidana yang benar, di mana satu hukum yang dianggap bertentang dan ada upaya untuk merubahnya, maka harus dirubah secara total, artinya tidak setengah-setengah. Kemudian, menurut MK, permohonan pemohon bertentangan dengan asas legalitas, di mana suatu perbuatan tidak bisa dimasukkan sebagai satu tindak pidana sebelum ada aturan tertulis yang tegas mengaturnya. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memberikan pertimbangan bahwa dalam masalah hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah politik hukum pidana atau kebijakan pidana (criminal policy) yang berimbas pada upaya merumuskan hukum baru yang sama sekali bukan menjadi kewenangannya.

61 BAB EMPAT

PENUTUP

Bab empat, merupakan bab penutup, yakni hasil analisa dari pembahasan sebelumnya. Bab ini disusun dengan poin kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud yaitu beberapa poin penting terkait jawaban singkat atas temuan penelitian, khususnya mengacu pada pertanyaan yang telah diajukan sebelumya. Adapun saran dikemukakan dalam kaitan dengan masukan-masukan diharapkan untuk perbaikan kedepan. Masing-masing uraiannya dapat dikemukakan dalam poin-poin berikut ini:

A. Kesimpulan

Mencermati dan menganalisa pokok penelitian, maka dapat disarikan beberapa kesimpulan dalam poin berikut:

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara pada putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 diakui legalitasnya berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketiga pasal tersebut mengakui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pengujian undang-undang terhadap UUD.

2. Tafsiran makna perzinaan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 mengacu pada empat poin. Pertama, Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf a KUHP harus dimaknai yaitu: laki-laki berbuat zina, yang semula: laki-laki yang beristri. Kedua, Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf b KUHP harus dimaknai yaitu: seorang perempuan berbuat zina, yang semula: seorang perempuan yg bersuami.Ketiga, Pasal 284 ayat (1) angka 2e huruf a KUHP harus dimaknai yaitu: laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, yang semula diharuskan bagi laki-laki mengetahui apakah perempuan sebagai

62 kawannya berhubungan (sex) itu telah bersuami atau tidak. Keempat, Pasal 284 ayat (1) angka 2e huruf b KUHP dimaknai yaitu: perempuan yang turut melakukan perbuatan itu, yang semula diharuskan bagi seorang perempuan mengetahui apakah laki-laki kawannya berhubungan itu telah beristri atau tidak.

3. Pertimbangan mahkamah konstitusi dalam memutus perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 ada dua bentuk, yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan logis. Pertimbangan yuridis Mahkamah Konstitusi mengacu pada 3 (tiga) ketentuan, yaitu Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, kemudian Pasal 15 dan Lampiran II C.3 angka 117 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan merujuk kepada Yurisprudensi MK, yaitu pada putusan No. 132/PUU-XII/2015 bertanggal 5 April 2017. Ketiga ketentuan ini intinya menyebutkan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang di dalam memperluas dan merumuskan norma hukum baru. Sebab, Mahkamah Konstitusi hanya sebatas negative legislator (pembatal norma hukum), bukan positive legislator (pembuat norma hukum). Adapun pertimbangan logis dari hakim konstitusi di antaranya bahwa permohonan pemohon tidak memenuhi aspek penalaran hukum pidana. Hukum yang ingin dirubah sebab tidak sesuai dengan UUD harus secara total tidak setengah-setengah. Artinya permohonan para pemohon di samping menuntut agar merubah kualifikasi tindakan hukum dan subjek hukum, juga harus menyertakan kemungkinan ancaman pidana di dalamnya. Selain alasan logis tersebut, MK juga berpandangan, permohonan pemohon bertentangan dengan asas legalitas, di mana suatu perbuatan tidak bisa dimasukkan sebagai satu tindak pidana sebelum ada aturan tertulis yang tegas mengaturnya. Mahkamah konstitusi juga memberi pertimbangan bahwa dalam masalah hukum pidana, Mahkamah Konstitusi dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah politik hukum pidana atau disebut kebijakan pidana (criminal policy), yang berimbas pada upaya merumuskan hukum baru yang sama sekali bukan menjadi kewenangannya.

Dokumen terkait