• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penolakan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pemohon menyangkut perluasan tafsiran makna zina di dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada perkara putusan Nomor46/Puu-Xiv/2016 pada dasarnya diputuskan dengan adanya pertimbangan tersendiri dari hakim-hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi setidaknya menggunakan dua jenis pertimbangan, yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan logis. Pertimbangan yuridis tersebut berkaitan dengan dukungan atas adanya norma-norma hukum yang mengharuskan permohonan itu ditolak. Adapun mengenai pertimbangan logis berhubungan dengan alasan-alasan logis yang diajukan Mahkamah Konstitusi, dengan disertakan teori-teori hukum pidana yang justru berlawanan dengan keinginan para pemohon memperluas arti dan makna perzinaan seperti tersebut dalam Pasal 284 KUHP.

1. Pertimbangan Yuridis

Istilah “yuridis” dalam pembahasan ini merujuk kepada makna regulatif, yaitu peraturan perundang-undangan. Untuk itu, pertimbangan yuridis bermaksud pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menolak perluasan makna zina dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

48 di Indonesia. Sejauh penelusuran penulis,ditemukan 3 (tiga)alasan yuridis yang dipergunakan hakim konstitusi dalam menolak permohonan pemohon, di antaranya Mahkamah Konstitusi merujuk kepada Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 15 dan Lampiran II C.3 angka 117 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian, Mahkamah Konstitusi merujuk kepada Yurisprudensi MK, yaitu pada putusan No. 132/PUU-XII/2015 bertanggal 5 April 2017.82 Ketiga dasar yuridis inilah yang menjadi pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus serta menolah secara keseluruhan permohonan pemohon.

a. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut permasalahan pembatasan hak dan kebebasan, di mana pembatasan hak dan kebebadan seorang subjek hukum hanya dapat ditetapkan melalui undang undang saja. Pasal tersebut juga mengatur kewajiban bagi seorang untuk dapat menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara.Rumusan lengkapPasal 28J tersebut yaitu:

Ayat (1): Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara. Ayat (2): Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orangwajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atashak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Mahkamah Konstitusi menggunakan materi Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebetulnya hendak menegaskan kepada para pemohon, juga kepada masyarakat Indonesia bahwa pembatasan hak seseorang itu hanya dapat dilakukan melalui adanya pengaturan materi hukum dalam undang-undang.

Pada konteks ini, kewenangan membuat undang-undang tersebut hanyalah dibebankan kepada lembaga legislatif saja, dan hal ini artinya menjadi kewenangan lembagalegislatif saja, bukan dibebankan dan bukan pula kewenangan Badan Peradilan yang dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi.

Mengikuti batu pijakan di dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa dalam pengujian atas undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi (seperti dimaksud dalam permohonan pemohon atas pengujian Pasal 284 KUHP tersebut) maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu, maka permohonan semacam ini menurut Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipenuhi, karena permohonan yang membawa pada sifat kriminalisasi maupun dekriminalisasi merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang di mana pembatasan demikian itu menurut asal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hanyalah kewenangan dari pada pembentuk undang-undang, yaitu lembaga legislatif.83

Merujuk pada ulasan di atas, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa posisinya bukanlah lembaga pembentuk undang-undang atau disebut dengan positive legislator, akan tetapi Mahkamah Konstitusi hanya dalam posisi sebagai pihak bukan pembentuk undang-undang atau negative legislator.Term negative legislator di sini bermakna bahwa Mahkamah Konstitusi tidaklah dalam posisi sebagai pembentuk undang-undang, namun hanya sebagai lembaga yang kedudukan dan kewenangannya menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam makna lain, negative legislator merupakan tindakan Mahkamah Konstitusi yang dapat membatalkan suatu norma hukum di dalam judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), ataupun membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif tetap

50 berlaku dengan menggunakan original intent UUD 1945 sebagai tolak ukurnya.84

Meminjam pendapat Hans Kelsen, Saldi Isra dalam salah satu artikelnya mengemukakan bahwa yang memproduk undang-undang parlemen atau lembaga legislatif, sehingga mereka disebut dengan positive legislator, sementara di dalam kasus pengadilan yang menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang (disebut constitutional court disebut dengan negative legislator.85 Atas dasar itulah, hakim konstitusi memandang bahwa merumuskan perluasan makna perzinaan di dalam Pasal 284 KUHP berarti bagian dari membuat norma baru suatu undang-undang, dengan sendirinya Mahkamah Konstitusi diajak untuk membuat kriminalisasi atas subjek hukum dan perbuatan hukum tertentu yang sebetulnya bukanlah menjadi ranah Mahkamah Konstitusi.

Sekali lagi, ditegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi disebut sebagai pihak negative legislator yang hanya bisa memutus suatu norma dalam undang-undang apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak.86 Di mana hasil putusan hakim konstitusi nantinya akan berlaku secara erga omnes, yaitu untuk semua orang.87 Secara sederhana, penamaan negative legislator di sini disebut sebagai penghapus norma, sementara positive legislator disebut pembuat

84Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum di dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 280.

85Saldi Isra, “Negative Legislator”, diakses melalui: https://www.saldiisra.web.id/ index.php/21-makalah/makalah1/302-negative-legislator.html, tanggal 9 Juni 2020.

86Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Tata Reformasi Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish Budi Utama, 2018), hlm. 122.

87Asmaeny Aziz dan Izlindawati,Constitutional Complaint dan Qonstitutional Question dalam Negara Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group dan Republik Isntitute, 2018), hlm. 77-78.

norma.88 Oleh karena itu, kewenangan untuk membuat norma hukum tersebut hanya berada dalam lembaga legislatif, direpresentasikan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tidak berapa dalam lembaga yudikatif, yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh Mahkamah Konstitusi.

b. Pasal 15 dan Lampiran II C.3 angka 117 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Selain merujuk Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Mahkamah Konstitusi juga merujuk Pasal 15 dan Lampiran II C.3 angka 117Undang-Undang No, 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar yuridis hakim konstitusi dalam mempertimbangkan penolakan permohonan perluasan makna zina dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa materi hukum pidana hanya dapat dibuat dan dibentuk dalam undang-undang, perda provinsi dan perda kabupaten. Ulasan materi hukum Pasal 15 serta Lampiran II C.3 angka 117 tersebut, dapat dipahami berikut ini:

Pasal 5 ayat (1): Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanyadapat dimuat dalam:a.Undang-Undang;b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Lampiran II, C.3. Ketentuan Pidana angka 117: Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang, PeraturanDaerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bagi Mahkamah Konstitusi, dua ketentuan di atas bermaksud untuk dapat membatasi kewenangan satu lembaga, di mana undang-undang, peraturan daerah tingkat provinsi dan juga tingkat kabupaten hanya dibentuk melalui lembaga atau dewan legislasi, di dalam hal ini dijabat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rayat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi) dan Dewan Perwakilan Rayat Daerah Kabupaten

88Benny K. Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), hlm. 16.

52 (DPRD Kabupaten). Mengikuti jalan pemikiran semacam ini, maka Mahkamah Konstitusi sebetulnya tidak ada sedikitpun ruang untuk merumuskan satu norma hukum, sebab kedudukannya di dalam hukum tata negara hanya sebagai lembaga yudikatif.

Komentar Mahkamah Konstitusi tentang hal ini dapat dipahami di dalam ulasan singkat berikut ini:

Materi muatan tentang ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam produk perundang-undangan yang harus mendapatkan persetujuan wakil rakyat di lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi mengujikan apakah pembatasan yang dilakukan dengan undang undang itu telah sesuai dengan konstitusi atau justru melampau batas-batas yang telah ditentukan dalam konstitusi.89

Melalui kutipan di atas, cukup jelas bahwa Mahkamah Konstitusi di dalam konteks penggunaan Pasal 15 dan Lampiran II C.3 angka 117 Undang-Undang No, 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara prinsip ingin menegaskan posisinya bukan sebagai positive legislatir, akan tetapi hanya sebatas negative legislator. Bahkan, penggunaan Pasal 15 ini sebenarnya ingin memperkuat argumentasinya menyangkut penggunaan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang notabene dijadikan MK sebagai dasar yuridis terkait pertimbangan penolakan permohonan pemohon untuk memperluas makna zina dalam Pasal 284 KUHP.

c. Yurisprudensi MK,putusan Nomor 132/PUU-XII/2015, tanggal 5 April 2017. Selain kedua pasal seperti tersbut sebelumnya, Mahkamah Konstitusi juga menggunakan Yurisprudensi MK, putusan Nomor 132/PUU-XII/2015, tanggal 5 April 2017 sebagai dasar pertimbangan yuridis. Keinginan untuk memperluas isi Pasal 284 KUHP tentang perzinaan ini telah lebih dulu diputus di dalam putusan Nomor 132/PUU-XII/2015, yang keputusannya baru dapat

ditetapkan di tanggal 5 April 2017.Pada putusan tersebut, MK menyebutkan sebagai berikut:

Namun demikian, bila hal yang diminta oleh Pemohon kepada Mahkamah yaitu memasukkan perzinahan yang sudah tercantum dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP dan memasukkan perbuatan perzinahan antara laki-laki dewasa yang tidak terikat pernikahan dengan perempuan dewasa yang tidak terikat pernikahan atas dasar suka sama suka menjadi bagian dari Pasal 296dan juga Pasal 506 KUHP maka hal tersebut menjadikan Mahkamah sebagai pembuat kebijakan kriminal (criminal policy maker). Padahal, pembuat kebijakan kriminal ialah negara dalam hal ini Pembentuk Undang-Undang (DPR bersama Pemerintah). Permohonan Pemohon yang meminta supaya Mahkamahmenafsirkan Pasal 296 dan juga Pasal 506 KUHP tidak dapat dilepaskan dari sejarah dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Secara doktrin pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk memiliki kewe-nangan sebagai Negative Legislator. Artinya Mahkamah Konstitusi hanya dapat membatalkan materi isi undang-undang dan tidak dapat mengambil kewenangan parlemen dalam membuat undang-undang ataupun peraturan. Doktrin tersebut dimaksudkan untuk membedakan di antara kewenangan DPR dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Doktrin demikian pada sekarang ini telah diterima oleh para juris sebagai pandangan yang berlaku sebagai hukum (opinio jurist sive necessitatis). Dengan demikian, jelas bahwa pada dasarnya Mahkamah Konstitusi di dalam pengujian undang- undang atas Undang-Undang Dasar ialah sebagai negative legislator.90

Doktrin yang senada dengan Negative Legislator adalah doktrin judicial restraint. Doktrin tersebut sudah berkembang di Negara Amerika yang merupakan implementasi dari penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power).Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan atau pengendalian diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah miniparliament. Salah satu bentuk tindakan pengadilan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan parlemenadalah membentuk norma hukum baru ketika memutus sebuah perkara judicial review. Dari dua doktrin di atas, pengadilan khususnya Mahkamah Kontitusi di dalam memutus sesuatu perkara judicial review, maka terdapat batasan yang

54 juga harus diperhatikan yaitu pembatasan agar tidak menjadi miniparliament atau mengambil kewenangan dari legislatif (DPR).91

Uraian di atas dimuat dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi di dalam putusannyaNomor 132/PUU-XII/2015. Putusan tersebut sebetulnya menyangkut perkara pengujian Pasal 296 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atas Undang-Undang Dasar 1945. Pengujian tersebut berkait erat dengan masalah mucikari pencabulan dan menarik keuntungan dari perbuatan cabul itu.92Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi juga tidak merasa berhak untuk membuat norma baru atau sekurang-kurangnya mengurangi maksud hukum yang ada dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Merujuk pada putusan di atas, Mahkamah Konstitusi berada di posisi yang konsisten, di mana di dalam putusan Nomor 132/PUU-XII/2015, pemohon pada intinya memohon agar Mahkamah Konstitusimembuat atau merumuskan norma hukum baru atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hanya saja, basis perkara yang diajukan pemohon dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PUU-XII/2015 tidak sama persis sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016.

Berdasarkan tiga pertimbangan yuridis Mahkamah Konstitusi di atas maka bisa dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi secara prinsip memberikan landasan pertimbangannya hanya bertolak pada permasalahan kedudukannya dalam sistem tata pemerintahan Indonesia, yaitu Mahkamah Konstitusihanya sebagai lembaga negative legislator, dan bukan dalam kedudukan sebagai positive legislator. Jika diperhatikan secara jauh, baik menggunakan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi yang telah dipaparkan sebelumnya, secara keseluruhan bertolak pada upaya Mahkamah dalam memberikan argumentasi bahwa

91Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, pada halaman 445.

Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga pembentuk norma hukum, akan tetapi lembaga yang diberi kewenangan di dalam menguji konstitusional sebauh undang-undang. Karenanya, apabila para pemohon menginginkan Mahkamah Konstitusi membuat norma hukum baru, maka hal itu tidak pernah mungkin terjadi.

2. Pertimbangan Logis

Istilah logis dalam pembahasan ini digunakan untuk membedakan makna istilah yuridis yang sebelumnya ditujukan kepada dasar hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Istilah “pertimbangan logis” dipakai untuk menunjukkan makna alasan-alasan hukum beserta teori-teori hukum yang dipakai Mahkamah Konstitusi dalam menganulir permohonan para pemohon memperluas makna zina didalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pertimbangan logis hakim Mahkamah Konstitusi ini berkaitan erat dengan upaya Mahkamah didalam menguatkan pertimbangan yuridis sebelumnya. Ada beberapa pertimbangan logis yang muncul pada waktu Mahkamah meng-counter permohonan pemohon. Diantaranya mengenai penalaran hukum yang digunakan pemohon yang keliru serta tidak terpenuhinya esensial permohonan pemohon atas teori-teori hukum yang ada dalam ilmu hukum pidana.

Menyangkut penalaran hukum, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa permohonan para pemohon cenderung tidak memperhatikan penalaran hukum di dalam pembentukan undang-undang. Dalam permohonannya para pemohon tidak memuat konstruksi hukum yang sempurna. Pemohon hanya memohonkan kepada Mahkamah agar makna zina yang terdapat dalam Pasal 284 KUHP dirumuskan ulang, di mana sebelumnya zina hanya dikenakan terhadap para pihak yang telah menikah menjadi siapa saja yang melakukan hubungan seksual di luar nikah. Para pemohon justru tidak menyertakan dan

56 tidak pula menyesuaikan ancaman pidana atas permohonan tersebut. Menurut Mahkamah, cara penalaran hukum semacam ini kurang tepat. Komentar hakim konstitusi dalam konteks ini dapat dimengerti di dalam ulasan berikut:

Lagi pula, menghilangkan frasa tertentu dan/atau menambahkan pemaknaan baru terhadap suatu norma hukum pidana yang berarti mengubah pula sifat melawan hukum (wederrechtelijkhed) perbuatan itu tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam ancaman pidana (strafmaat) nya dan bentuk pengenaan pidana (stafmodus) nya tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam merancang suatu norma hukum pidana karena hal itu melekat pada jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana (strafbaarfeit) yang bersangkutan.

Keterangan di atas sebetulnya hanya berbentuk penegasan, di mana materi permohonan para pemohon masih belum lengkap secara hukum. Meskipun begitu Mahkamah Konstitusi sebetulnya akan tetap menolak permohonan pemohon jika ternyata materi permohonan itu telah lengkap. Sebab, Mahkamah Konstitusi tetap berpijak pada kedudukannya sebagai negative legislator yaitu bukan satu lembaga yang berkedudukan sebagai pembuat norma (positive legislator) seperti tersebut terdahulu.

Pertimbangan logis lainnya yaitu menurut MK permohonan para pemohon bertentangan dengan asas legalitas. Di mana, teori hukum asas legalitas di dalam hukum pidana haruslah diberlakukan secara ketat.93 Artinya bahwa perbuatan dan tindakan seseorang belum dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana apabila belum ada aturannya secara tegas di dalam hukum positif, atau sekurang-kurang belum ada materi hukumnya, baik dalam bentuk undang-undang, perda provinsi maupun perda kabupaten tentang dianggapnya satu perbuatan sebagai satu tindak pidana. Hal ini selaras dengan keterangan Moh. Mahfud MD bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dijatuhi hukuman

pidana sebelum perbuatan itu diatur dan dinyatakan dilarang di dalam undang-undang.94

Penerapan asas legalitas dalam hukum pidana secara doktriner diturunkan terhadap adagium nulla poena sinne lege nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali yang perkembangannya kemudian diringkas menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali, di mana adagium dari pada asas legalitas mengandung empat makna sebagai suatu kebulatan, oleh Achmad Ali menyederhanakanya menjadi lex scripta (dituangkan secara tertulis), lex certa (harus jelas unsur-unsurnya), non-retroactive (tidak berlaku surut), non-analogi (dilarang menggunakan analogi).95 Mahkamah Konstitusi menjelaskan 4 (empat) rumusan asas legalitas hukum tersebut dalam ulasan berikut:96

a. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada undang-undang yang telah mengaturnya sebelumnya (nullum crimen nulla poena sine lege praevia). Di dalam pernyataan ini terkandung pengerian bahwa norma hukum pidana tidak boleh berlaku surut atau retroaktif.

b. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada norma hukum tertulis atau undang-undang (nulum crimen nulla poena sine lege scripta). Di dalam pernyataan ini terjandung pengertian bahwa norma hukum pidana harus tertulis, demikian pula pidana. Artinya baik perbuatan yang dilarang maupun pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang itu harus tegas dituliskan dalam undang-undang.

94Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 217.

95Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom & Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 244.

58 c. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada aturan tertulisa atau undang-undang yang jelas rumusannya (nulum crimen nulla poena sine lege certa). Dalam pernyataan ini terkandung pengertian bukan hanya larangan untuk memberlakukan hukum tidak tertulis dalam hukum pidana dan dalam menjatuhkan pidana tetapi juga larangan untuk menjatuhkan pidana jika rumusan norma hukum tertulis (undang-undang) itu tidak jelas.97

d. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada hukum tertulis yang sifatnya ketat (atau nulum crimen nulla poena sine lege stricta).98 Dalam pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa ketentuan yang ada dalam undang-undang pidana harus ditafsirkan secara ketat. Dari sini pula lahir pemahaman yang telah diterima di kalangan hukum bahwa di dalam hukum pidana dilarang menggunakan analogi.99

Merujuk pada asas legalitas di atas, Mahkamah Konstitusi mengemuka-kan bahwa permohonan para pemohon untuk memperluas makna zina sebagimana di dalam Pasal 284 KUHP tidaklah tepat, sebab menyatakan suatu tindakan sebagai satu tindak pidana sebelum ada aturannya secara tegas di dalam undang-undang justru bersalahan dengan asas legalitas tersebut. Oleh sebab itu, bagi Mahkamah Konstitusi, permohonan untuk memperluas makna zina dalam pasal tersebut tidak sesuai dengan teori hukum pidana atau sekurang-kurangnya dapat dikatakan tidak tepat.

Pada kesimpulannya, Mahkamah Konstitusi mengemukakan bahwa tidak

Dokumen terkait