• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 11 Belajar dari Pengalaman Negara Lain

Bangladesh SD Komite Pemberdayaan Pedesaan Bangladesh (BRAC)

• Bangunan sederhana dan peka-budaya hingga pemerintah dapat membangun sekolah permanen

• Seleksi orang dewasa setempat sebagai guru; dilatih sebelum dan setelah menjadi guru oleh BRAC

• Kurikulum khusus dan bahan-bahan semuanya dalam bahasa lokal, berbasis kegiatan dan bahan-bahan yang berpusat pada murid sesuai budaya lokal dan penduduk asli

• “Pembelajaran yang menyenangkan,” pedagogimenggunakan permainan, nyanyian, dan kegiatan.

Pakistan (Balochistan)

Proyek Pembangunan Pendidikan Dasar Balochistan

• Identifi kasi guru perempuan dengan kualifi kasi Kelas8 atau Kelas 10 menjadi guru

• Lakukan survei desa/kampung

• Pembentukan Komite Pendidikan Kampung (KPK) • Alihkan lahan milik desa untuk membangun sekolah. • Melatih guru-guru

• Komunitas merancang dan membangun sekolah • Unit Keliling untuk Pelatihan Guru Perempuan di PDT • Pusat Sumberdaya Guru dan mentor oleh guru senior/

berpengalaman

• Buku-teks dan buku panduan guru yang dikaitkan dengan budaya lokal dan dalam bahasa lokal.

Ghana, Daerah Utara

Sekolah Desa untuk Kehidupan

• Satu kelas di dalam satu kampung/komunitas tunggal • Jadwal fl eksibel mengikuti kalender komunitas (musim

panen, hari pasar, dll)

• Komunitas mengangkat tenaga sukarela dan fasilitator • “ Uang sabun” diberikan sebagai tunjangan

• Pelatihan fasilitator (pra-guru dan selama menjadi guru) • Kurikulum: bahasa lokal, integrasi hanya pelajaran

matematikadan keterampilan hidup.

• Gunakan bahasa, nyanyian, permainan lokal agar pembelajaran lebih kena ke pribadi anak dan relevan. • Dinas pendidikan membantu dalam pelatihan dan supervisi. • Kontribusi komunitas: lahan, guru, fasilitator, jadwal dan

pemantauan.

• Komite sekolah putuskan tentang bahasa pengantar di sekolah.

Bukti-bukti ini memberikan dasar-dasar yang kuat untuk menggunakan pendekatan yang khususnya sesuai dengan kebutuhan komunitas dalam penyediaan layanan pendidikan. Menumbuhkan rasa-memiliki dan permintaan sungguh kritis menentukan sebelum menyediakan sarana-prasarana, guru dan sumberdaya belajar. Jelaslah bahwa permintaan akan pendidikan dan penyediaan layanannya perlu melibatkan komunitas. Contoh-contoh dari negara lain di atas-dengan kondisi yang serupa-membuktikan besarnya potensi untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu pembelajaran melalui pendidikan non-formal dan berhasil dengan biaya yang terjangkau. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa meski guru yang kurang memenuhi kualifi kasi tapi dibantu dengan tambahan pelatihan dan dukungan profesi dengan mentor, pelatih dan bahan ajar, seringkali amat efektif untuk anak-anak cerdas.

Keterlibatan komunitas adalah kunci keberhasilan pada kasus-kasus di atas. Partisipasi komunitas terjadi jauh sebelum pemerintah mengangkat guru, bangun sekolah, kirim buku dan bahan ajar, jadwal sekolah, dan kepala sekolah. Partisipasi masyarakat terjadi pada tahap amat awal yakni ketika membahas gagasan tentang peran pendidikan dalam perbaikan kehidupan komunitas; ketika pemetaan sekolah; bangunan sekolah; bahasa pengantar yang akan digunakan; jadwal sekolah yang sesuai dengan jadwal komunitas; seleksi guru; tunjangan guru (tunai atau dalam bentuk non-tunai seperti perumahan); dan kurikulum serta pendekatan pembelajaran, yang terintegrasi dengan cerita-cerita rakyat, dongeng, permainan, kearifan lokal dan keterampilan.

Singkatnya, pengalaman-pengalaman ini membuktikan tentang pendekatan penyediaan layanan pendidikan dasar di PDT di komunitas adat/kampung. Menumbuhkan rasa-memilik/permintaan sungguh kritis menentukan jauh sebelum penyediaan layanan. Baik permintaan maupun penyediaan layanan memerlukan partisipasi yang sungguh-sungguh di pihak komunitas adat.

Bab 11 Belajar dari Pengalaman Negara Lain

Telaahan pengalaman internasional dalam rancangan dan implementasi program pendidikan di PDT, menawarkan 7 Prinsip Pokok yang dapat diterapkan ketika menyusun rencana strategis dan rencana aksi untuk Tanah Papua.

Kotak 6. Tujuh Prinsip Pokok untuk Perencanaan Strategis Pendidikan di Tanah Papua 1. Bangun berdasarkan pada inisiatif dan praktik-praktik teruji di Tanah Papua.

2. Jangkau komunitas adat/kampung di PDT melalui pendekatan-pendekatan yang non-konvensional.

3. Galakkan manajemen kemitraan yang setara dengan pemerintah, LSM, sekolah atau komite/majelis pendidikan di kampung.

4. Gunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar untuk anak-anak di kelas awal.

5. Libatkan komunitas dalam membangun sekolah yang sesuai dengan konteks supaya ada rasa-memiliki .

6. Fokus pada hasil pembelajaran terutama literasi dan numerasi, dan metode mengajar yang teruji lalu pantau dan evaluasi hasil-belajar apakah sudah tercapai.

Banyak program pendidikan kembali mengingatkan bahwa pendekatan-pendekatan yang berhasil karena bergerak di atas prinsip-prinsip yang telah teruji ini. Adalah penting untuk disadari bahwa takada pendekatan tunggal yang dapat memecahkan atau mengatasi semua lokasi yang budaya dan geografi snya amat beragam di dua provinsi ini. Pokok pemikiran untuk selalu bekerja berdasarkan permintaan atau kebutuhan atas pendidikan oleh komunitas kampung/adat dan dirancang sesuai kehendak, manfaat dan cara-cara yang peka-budaya dan bahasa ibu adalah bahwa solusinya tidaklah tunggal tapi bermacam-macam.

Sejumlah praktik-baik teruji pun ada dan tumbuh-kembang di Tanah Papua. Meski ini bukanlah satu-satunya contoh, tapi amat berguna untuk mengacu pada karya-karya lokal yang telah teruji dan taat-prinsip.

12.1 Pembelajaran Multi-kelas

12.1.1 Latar Belakang Multi-kelas

Multi-kelas dapat diartikan satu guru yang mempunyai tanggungjawab mengajaratas murid pada dua kelas atau lebih sekaligus atau pada waktu yang sama. Istilah serupa sering digunakan adalah kelas kombinasi, kelas multi-usia, dan kelas keluarga. Dalam konteks banyak negara sedang berkembang121, termasuk Peru, Sri Lanka, Vietnam dan Indonesia, istilah “multi-kelas” atau ”kelas ganda” hampir selalu mengacu pada kelas-kelas di mana murid dari kelas berbeda digabung karena keterpaksaan ketimbang pilihan pedagogis, hingga ada salah kaprah istilah kelas kombinasi sebagai pilihankarena terpaksa untuk multi-kelas. 122

Mengajar dan belajar multi-kelas karenanya menjadi praktik lumrah di PDTdi antero dunia karena jumlah murid sedikit serta guru pun kurang. Amat banyak guru SD di banyak negara mengajar multi-kelas atau kelas kombinasi. Contohnya di Finlandia di mana 70% murid mendaftar di sekolah yang gurunya kurang dari tiga orang. Portugis mempunyai 80% murid bersekolah di sekolah yang kelasnya tidak lebih dari dua. Di Pilipina mempunayi 8% sekolah menerapkan multi-kelas, Meksiko di mana 22% SD hanya mempunyai satu guru, India 77% SD menggunakan sistem multi-kelas, Irlandia di mana 42% sekolah mempunyai dua kelas-gabung dan 16% sekolah mempunyai tiga kelas atau lebih yang digabung; juga di PDT di Austalia, Inggris dan AS. 123Di negara sedang berkembang, seperti di Afrika, kelas-gabung SD ada di Botswana, Malawi, Uganda dan Zambia, dan jugadi Belize, Dominica, Guyana, Jamaica, Trinidad, Tobago, Turki dan Caicos Islands.

121 E. Hargreaves dkk., Multigrade Teaching in Peru, Sri Lanka and Vietnam: an overview

122 Lihat Angela Little, Education for All and Multigrade Teaching: Challenges and Opportunities, Institute of Education, University of London, U.K., Springer, 2006.

123 Commonwealth Secretariat, A Multi-grade Teaching Programme, London, 2005

Bab 12