• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi KPG

4.9 Pelacakan Alumni KPG

Tiga kajian oleh SIL, UNCEN dan UNIPA melakukan studi lacak berdasarkan sampel acak alumni KPG. Hasil-hasil kajian ini dimasukkan dalam laporan lengkap Volume 2.

Nampaknya sama sekali tidak dilakukan monitoring terhadap lulusan KPG baik oleh lembaga itu sendiri maupun oleh kantor dinas kabupaten dan provinsi, serta tidak ada sistem informasi manajemen untuk merekam jejak alumni KPG setelah lulus.

Jelas terdapat kelalaian bagian administrasi KPG dan dinas kabupaten untuk menyampaikan informasi tentang guru-guru lulusan KPG agar bisa dilakukan monitoring terhadap karir mereka dan memastikan bahwa investasi yang dimaksudkan untuk mempersiapkan karir guru di daerah pedesaan dan daerah terpencil berhasil dilaksanakan dan memberikan manfaat kepada anak-anak di pedesaan dan daerah terpencil di provinsi. Selain memastikan adminitrasi pelacakan, rekrutmen dan guru-guru pasca-pelantikan, mekanisme evaluasi juga harus tersedia untuk memberikan umpan-balik kepada UNCEN dan KPG mengenai seberapa efektif guru-guru tersebut di berkarya di sekolah. Informasi ini bisa menjadi umpan-balik yang berharga untuk memperbaiki kurikulum dan metodologi program KPG agar lebih relevan dan efektif.

Kajian UNIPA melacak 35 alumni, 25 diantaranya guru (7 laki-laki dan 18 perempuan) dengan usia rata-rata 23 tahun. Tiga belas diantaranya berasal dari suku Papua dan 12 lainnya bukan suku Papua. Guru-guru ini mengajar di sekolah dasar sampai dengan kelas 3 (1 guru mengajar di PAUD). Sebagian besar dari mereka bekerja di sekitar Kota dan Kabupaten Sorong dan tidak kembali ke kampung halaman mereka. Menurut keterangan dari kantor Dinas Pendidikan kabupaten Sorong dan Direktur KPG, setelah lulus seharusnya setiap siswa melapor kembali ke kantor, akan tetapi tidak ada satupun yang melakukannya. Inilah alasan yang diberikan sehubungan dengan tidak adanya informasi pelacakan alumni KPG, apakah mereka mengajar dan di mana, atau apakah mereka tidak mengajar. Data siswa yang mendaftar dan lulus dari KPG tidak tersedia di kantor dinas kabupaten Sorong dan kabupaten-kabupaten sasaran. Tidak melapornya para alumni ke kantor nampaknya disebabkan tidak adanya insentif yang diberikan untuk memberikan laporan karena bisa jadi mereka ditempatkan di wilayah yang bukan keinginan mereka.

Bab 4 Kolese Pendidian Guru (KPG) di Tanah Papua

Selain itu, terdapat 10 responden (6 laki-laki, 4 perempuan) yang memilih tidak mengajar dan mengambil berbagai macam pekerjaan di Papua (1 di Jawa). Responden berasal dari Papua (9 orang) dan Jawa (1 orang). Menurut direktur KPG dan Kepala UPP PGSD – UNCEN, kebanyakan lulusan KPG Sorong tidak menjadi guru karena mereka melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi seperti UNCEN Jayapura, UPP PGSD UNCEN, STIKIP dan UHAMKA di Sorong. Berdasarkan wawancara dan pengamatan, responden yang bukan guru terbukti sebagian besar tidak bekerja, bekerja di perusahaan swasta atau sebagai tukang ojek. Alasan tidak bekerja sebagai guru adalah karena mereka mengejar kesempatan yang lebih baik dan lebih menjanjikan dan oleh karena guru tidak menjanjikan status yang pasti dengan sedikit atau tidak ada peluang untuk menjadi pegawai negeri. Perlu juga dicatat bahwa ada satu responden yang diangkat menjadi Bendahara Kabupaten meskipun yang bersangkutan sangat ingin menjadi guru.

Sebagian besar lulusan KPG Sorong tidak direkrut sebagai guru honorer atau sebagai PNS. Sebanyak 71,4% responden yang menjadi guru belum diangkat sebagai PNS menjadi guru honorer daerah. Guru-guru tersebut menerima honor dari sekolah tempat mereka mengajar70(guru honorer). Di Kabupaten Sorong, tidak ada satupun lulusan KPG yang diwawancara dalam kajian ini yang sudah menjadi PNS. Di Teluk Mondana, ada 4 alumni KPG Sorong yang menjadi PNS. Meskipun meraka tidak diangkat sebagai guru PNS, mereka telah diangkat menjadi pegawai kantor dinas pendidikan, kantor kabupaten, kantor arsip dan perpustakaan. Tak ada satupun lulusan KPG Sorong berhasil ditemui di kabupaten Manokwari selama kunjungan ke sekolah di pedesaan dan daerah terpencil di Manokwari. Secara umum, status kepegawaian guru-guru lulusan KPG adalah sebagai guru honorer sekolah, dan bukan sebagai guru honorer daerah. Ketidakpastian status dan kecilnya peluang untuk menjadi PNS merupakan alasan-alasan utama yang dikemukakan lulusan KPG memutuskan untuk tidak menjadi guru dan memilih mencari pekerjaan lain. Berdasarkan laporan UNIPA, alumni KPG merasa bahwa pemerintah daerah tidak memenuhi janji mereka untuk merekrut lulusan KPG sebagai guru tetap. Surat edaran MenPAN mengenai rekrutmen guru menyatakan bahwa tidak ada alokasi untuk lulusan D2 (PGSD) dan KPG, dan hanya untuk lulusan S1. Sekali lagi, terlihat bahwa kerangka perundangan yang ada bertentangan dengan tujuan awal pendirian KPG untuk mengirimkan guru-guru yang telah dilatih khusus untuk melayani daerah-pedesaan dan daerah terpencil.

Gambar 10. Status Kepegawaian Guru-guru Alumni KPG (Provinsi Papua)

70 Guru honorarium sekolah diminta oleh kepala sekolah dan komite sekolah untuk mengajar di sekolah bersangkutan, dan biasanya karena kekurangan guru. Honor untuk guru-guru ini diambil dari dana BOS atau sumber dana lainnya. Honorarium untuk guru honorarium daerah dibayar oleh Dinas Pendidikan berdasarkan Surat Keputusan Bupati.

Bab 4 Kolese Pendidian Guru (KPG) di Tanah Papua

Kajian UNIPA juga melaporkan bahwa sebagian besar responden yang diwawancara (84%) melanjutkan pendidikan mereka setelah lulus dari KPG. Guru-guru ini menyatakan keinginan mereka untuk meningkatkan kompetensi dan kualifi kasi mereka dengan mengejar gelar S1 melalui pembelajaran jarak jauh sambil mengajar di sekolah.

UNCEN menemukan bahwa sejalan dengan tujuan KPG, di provinsi Papua alumni KPG telah menjadi guru (93,3%) dan memiliki jenjang karir yang pasti. Di luar yang menjadi guru, 17% telah menjadi pegawai negeri (dengan 19% diantaranya mendaftarkan diri sebagai calon guru PNS). Akan tetapi, sebagian besar diantaranya (lebih dari 45%) tetap menjadi guru honorer dan hampir 18% menjadi guru-kontrak. Alumni yang tidak menjadi guru di Provinsi Papua hanya ditemukan di Kota Merauke. Alasan yang dikemukakan adalah sudah tercukupinya pasokan guru dan terbatasnya permintaan. Juga ada satu alumni di kabupaten Memberamo Tengah yang tidak menjadi guru akan tetapi direkrut sebagai staf di kantor Dinas Pendidikan.

4.10 Rekomendasi

Berikut beberapa rekomendasi dari hasil pembahasan masalah KPG dari seluruh bab ini dan juga berdasarkan temuan-temuan dari 3 kajian yang dilaksanakan oleh SIL,UNCEN dan UNIPA terhadap lembaga ini. Selain itu, rekomendasi lebih lengkap dapat ditemukan di Laporan Kajian mereka masing-masing, yang disajikan dalam Volume 2. Pilihan-pilihan kebijakan secara lengkap juga bisa ditemukan di berbagai bab laporan ini, terutama yang berkaitan dengan masalah bahasa (MTB-MLE), ICT, praktik local yang menjanjikan (Promising Local Practice) termasuk pilihan-pilihan strategis yang lebih umum di bab terakhir.

1. Masalah Kinerja

Ada masalah inkonsistensi kerangka kebijakan yang mengatur KPG dan ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah tidak adanya kesesuaian antara UU, keputusan dan peraturan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten yang melemahkan keberadaan KPG dan menurunkan nilai guru-guru alumni KPG. Dikeluarkannya 2 SK, yaitu, SK Mendiknas tahun 2006 tentang pengembangan UPP PS D2 PGSD dan SK Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga tentang pembentukan sekolah satu atap KPG, telah menyebabkan ketidak-pastian syarat-syarat dan manajemen KPG antara kantor dinas

Bab 4 Kolese Pendidian Guru (KPG) di Tanah Papua

pendidikan dan FKIP UNCEN. Sebagai akibatnya, manajemen KPG mengalami kebingungan mengenai kepada siapa mereka harus bertanggung jawab. Kepada Dinas Pendidikan atau kepada FKIP UNCEN? PILIHAN KEBIJAKAN

1.1 Mengatasi inkonsistensi: Diperlukan solusi untuk menangani banyaknya ketidaksesuaian dalam kerangka regulasi, khususnya yang terkait dengan pembentukan KPG, dan integrasi kurikulum SMA dengan kurikulum UPP PS D2 PGSD. “Revitalisasi FKIP” yang sedang dilakukan oleh UNCEN membuka kesempatan yang besar untuk mengatasi ketidaksesuaian hukum tersebut yang telah sangat mempengaruhi kinerja KPG, dan telah menimbulkan kebingungan tentang peranan KPG dan manajemen KPG, apakah oleh UNCEN atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua.

2. Masalah Kinerja

Terdapat ketidakpastian terkait status serah-terima KPG Sorong dari Pemerintah Provinsi Papua kepada Pemerintah Propvinsi Papua Barat pasca pemekaran tahun 2007. Hal ini telah menghasilkan kebingungan mengenai kepemilikan, manajemen aset dan pendanaan KPG. Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya stagnasi kelembagaan KPG Sorong dalam hal rekrutmen dan kinerja dan jika keadaan ini dibiarkan berlanjut, maka kemungkinan lembaga ini akan tutup dalam waktu dekat. Risiko ini disebabkan karena ambiguitas kepemimpinan yang diperburuk dengan persaingan antar berbagai lembaga pelatihan guru yang ada di provinsi seperti STIKIP Muhammadiyah, UPP PS PGSD UNCEN dan UHAMKA di Kota Sorong. PILIHAN KEBIJAKAN

2.1 Klarifi kasi tanggung jawab: tanggung jawab manajemen KPG Sorong harus diperjelas. KPG bisa dikelola oleh UNIPA (karena UNIPA berlokasi di Papua Barat dan dalam waktu dekat akan memiliki FKIP sendiri)71.

2.2. Memperbaiki koordinasi dan kerjasama: koordinasi dan kerjasama harus diperbaiki antara Dinas Pendidian Provinsi Papua Barat, Dinas Pendidikan kabupaten Sorong dan KPG Sorong dalam menjalankan KPG.

2.3. Menangani masalah kepemilikan KPG Sorong:Memastikan/menetapkan kepastian tentang status kepemilikan dan serah terima aset KPG Sorong dari Provinsi Papua ke Papua Barat, termasuk memastikan penuntasan serah terima aset pendidikan dari Papua ke Papua Barat setelah pemekaran pada tahun 1999.

2.4. Mengakui peranan dan pentingnya Keberadaan KPG dalam Perdasi: Perdasi Papua Barat masih bersifat rancangan dan saat ini masih terbuka untuk masukan dan saran. KPG Sorong adalah satu-satunya KPG di Papua Barat, dan dengan memberikan perhatian dan kepemimpinan yang cukup bagi KPG tersebut akan mengakibatkan perlunya disebutkan keberadaan KPG tersebut dalam Perdasi. Perdasi yang tidak menyebutkan KPG di dalamnya tidak mencerminkan situasi yang dijabarkan dalam Renstra Pendidikan Provinsi Papua, yang menyebutkan KPG dan sekaligus mendukung dibentuknya KPG baru di daerah pegunungan sekaligus mendukung lulusan KPG untuk melanjutkan pendidikannya sampai jenjang S1. Prakarsa yang disebutkan dalam Renstra sudah sejalan dengan rencana kebijakan FKIP UNCEN yang hendak merevitalisasi kurikulum dan juga memperbaiki mutu KPG yang ada (lihat Masalah Kinerja 8).

2.5. Menetapkan Petunjuk Teknis yang Jelas:guna memperjelas manajemen dan menguatkan kepemimpinan, maka diperlukan petunjuk teknis yang jelas yang mengatur standar mekanisme akuntabilitas KPG, baik terhadap pemerintah daerah sebagai penyandang dana dan pengguna utama, dan terhadap UNCEN sebagai lembaga pendidikan yang memberikan program studi D2.

3. Masalah Kinerja

Kurikulum yang sedang digunakan oleh KPG adalah kurikulum yang dibuat oleh FKIP UNCEN. Visi dan misi KPG belum memenuhi kebutuhan masyarakat pedesaan, terpencil dan tradisional/adat, terutama terkait dengan pengajaran keterampilan hidup dan pendidikan multi-bahasa berbasis bahasa daerah, khususnya pada kelas-kelas awal di sekolah dasar – semuanya akan membantu membekali guru-guru alumni KPG untuk mempersiapkan diri bagi penempatan di pedesaan dan daerah terpencil dan mempersiapkan mereka untuk memberdayakan masyarakat adat menggunakan keterampilan-keterampilan yang diperoleh selama belajar di KPG.

Bab 4 Kolese Pendidian Guru (KPG) di Tanah Papua