• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar dari “Teman Sebaya”

Dalam dokumen 430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b (Halaman 37-40)

“Ada tuntutan pelaku usaha Hasil seminar, workshop Salah satu keluhan bahwa pelaku usaha harus mendatangi banyak tempat dengan aneka ragam izin, tanpa

3.1.7. Belajar dari “Teman Sebaya”

Sebagian daerah di Indonesia telah membentuk forum PTSP. Ada keragaman alasan pembentukan forum. Namun, secara umum, dapat dikatakan keberadaan forum dimaksudkan sebagai wadah pertemuan antara pejabat PTSP untuk membahas persoalan-persoalan yang muncul, di mana PTSP dapat saling belajar dari satu sama lain. Dalam perjalanannya, sebagian forum mampu bertahan, bahkan terus eksis menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh anggotanya. Sementara itu, ada pula forum yang gagal berlanjut karena berbagai sebab.

Terdapat dua tingkatan formal forum PTSP. Tingkat pertama adalah tingkat nasional, di mana anggotanya adalah PTSP provinsi dan kabupaten/kota. Dua lembaga, yaitu Kemendagri dan BKPM masing-masing memiliki corak forumnya sendiri. PTSP provinsi dan kabupaten/kota dapat bergabung dengan kedua-duanya atau memilih salah satu tergantung kebutuhannya sebab ada PTSP yang hanya fokus kepada aspek penanaman modal.

Tingkat kedua adalah PTSP provinsi. Anggotanya adalah PTSP kabupaten/kota. Oleh karena lingkupnya provinsi, biasanya PTSP provinsi ditunjuk sebagai ketua atau pengarah forum. Dengan kata lain, tanggung jawab pengelolaan dan keberlangsungan forum berada di tangan provinsi. Ini termasuk melakukan agenda setting dan penganggaran. Di lapangan ada juga variasi seperti PTSP provinsi menjadi pengarah, sedangkan salah satu PTSP kabupaten/kota ditetapkan sebagai ketua. Tanggung jawab pengelolaan dan keberlangsungan kemudian dibagi di antara provinsi dan kabupaten/kota.

Ada persoalan mendasar yang lazim mengemuka dalam forum PTSP tingkat provinsi, yaitu apabila pemerintah provinsi sendiri belum memiliki PTSP atau telah memiliki namun belum berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut biasanya disiasati dengan memberi peran lebih besar kepada PTSP kabupaten/kota yang lebih maju, sedangkan provinsi mengambil peran mendukung. Siasat ini tentu saja tidak solutif ketika provinsi pada dasarnya tidak memberikan dukungan kepada forum maupun pengembangan PTSP itu sendiri.

Terlepas dari berbagai keragaman situasi itu, Forum PTSP seperti apakah yang terbukti berhasil? Berhasil di sini tidak dimaknai sebagai hanya berupa pertemuan seremonial, tetapi sungguh-sungguh bermanfaat bagi PTSP. Dalam kerangka cara pandang tersebut, pemahaman tentang forum kemudian menjadi melampaui formalisme forum, tetapi bergerak menuju intensitas relasi dan kesediaan untuk saling berbagi di antara PTSP.

Temuan di lapangan dari praktik baik forum PTSP menunjukkan terdapat dua macam forum PTSP yang berhasil. Pertama adalah forum PTSP formal yang berjalan dengan dukungan penuh pemerintah provinsi. Kedua adalah forum yang lebih dekat kepada relasi informal yang berlangsung relatif tanpa keterlibatan maksimal dari provinsi. Pada forum jenis pertama, forum formal digunakan sebagai ajang untuk mewacanakan perkembangan terbaru yang terkait dengan PTSP, baik mengenai regulasi, mekanisme kerja, kelembagaan, sumber daya manusia dan sebagainya. Forum semacam ini diisi dengan pertemuan seluruh anggota, termasuk dengan mengundang pihak terkait. Dalam pertemuan, semua pihak saling berdiskusi sambil masing-masing menjajaki kemungkinan penerapan gagasan atau wacana yang muncul dalam forum di tempatnya. Daerah yang telah menjalankan akan menceritakan pengalamannya, sedangkan daerah yang belum akan bertanya untuk mencari tahu. Forum semacam ini memberi kesempatan kepada semua untuk belajar.

Bagi petinggi PTSP, forum formal tersebut juga merekatkan hubungan dengan sesama pejabat di daerah lain. Ada banyak kisah di mana hubungan yang cair lewat pertemuan-pertemuan memungkinkan para pejabat PTSP untuk bekerjasama maupun saling berkomunikasi di luar forum. Ada saja kepala PTSP yang memanfaatkan jaringan di forum untuk menanyakan kalau-kalau PTSP lain dapat membantu menemukan solusi atas masalah yang dihadapi instansinya. Forum PTSP pun menciptakan komunitas komunikatif yang sehari-hari bergulat dengan isu yang sama.

Temuan di lapangan menunjukkan

efektivitas forum semacam itu cukup baik, sejauh

dilakukan dengan agenda setting yang t e p a t .

Sejumlah PTSP kemudian menginisiasi perubahan d i

daerahnya setelah mengikuti forum. Daerah

yang mengikuti forum tetapi b e l u m

sepenuhnya mengoperasionalisasikan PTSP a k a n

didorong untuk mulai mengambil langkah berbeda. Hal terakhir ini dialami antara lain

oleh Pemkab Toraja Utara yang setelah hampir d u a

tahun memiliki perda tentang perizinan akhirnya melengkapi kelembagaan dan SDM PTSP.

Meski demikian, forum formal seperti ini umumnya membutuhkan dukungan pihak luar untuk melakukan agenda setting. Ini dikarenakan PTSP provinsi sendiri kadangkala masih belajar mengenai pengelolaan PTSP. Sejumlah PTSP menggandeng Kemendagri atau BKPM untuk membantu, sebagian lainnya bekerjasama dengan lembaga konsultan. Forum PTSP bisa saja tidak merancang sendiri agendanya, tetapi pembelajaran dari praktik baik di lapangan memperlihatkan bahwa forum perlu selalu membuka dan menjalin komunikasi dengan sumber informasi maupun pengetahuan tentang PTSP. Sumber ini bisa apa atau siapa saja sejauh memungkinkan forum memenuhi fungsinya untuk tempat belajar dan berdiskusi.

Tanpa suplai informasi dan pengetahuan dari ‘pihak yang lebih tahu,’ forum PTSP formal menjadi rentan terjatuh kepada formalisme kegiatan. Forum kemudian menjadi sekadar pertemuan seremonial dengan agenda pembahasan yang tak jarang basi atau ketinggalan. Ketika ini terus berlanjut, pejabat PTSP pun kehilangan alasan untuk rutin mengikuti forum. Sebagai ganti, mereka hanya mengutus stafnya untuk menghadiri forum. Dengan demikian, fungsi ideal forum sebagai tempat berkomunikasi melemah.

Pengalaman menunjukkan PTSP kabupaten/kota yang bertanya kepada provinsi kerapkali tidak memperoleh solusi karena provinsi juga tidak memiliki informasi maupun pengalaman yang relevan. PTSP provinsi umumnya lebih difokuskan pada perizinan di bidang penanaman modal, sedangkan PTSP kabupaten/kota malah cenderung tidak banyak menggeluti bidang tersebut. Sebaliknya, provinsi tidak terlalu memahami perizinan ‘kecil,’ seperti SIUP, IMB dan lain-lain, yakni makanan sehari-hari PTSP kabupaten/kota. Dalam hal ini, proses belajar memang lebih cocok antara sesama PTSP kabupaten/kota.

Dalam forum semacam ini yang berelasi akhirnya adalah satu PTSP dengan PTSP lain secara langsung. Mereka mengikat kerjasama, entah tertulis resmi maupun lisan untuk saling belajar. Karena sama-sama di tingkat kabupaten yang menangani persoalan teknis, pembelajaran yang terjadi juga menjadi terasa lebih mengena. Praktik di lapangan memperlihatkan cara berelasi dan belajar yang beragam. Ada PTSP yang mengirimkan stafnya untuk menjalani magang di PTSP yang sudah baik. Ada pula PTSP yang meminta PTSP yang sudah baik untuk mendampingi upaya pengembangan di tempatnya. Apapun model kerjasama yang dipilih, dipersyaratkan adanya PTSP yang sudah baik di wilayah bersangkutan. Tanpa itu, model ini menjadi sulit dilakukan. Di sini sudah baik tidak berarti PTSP berhenti belajar. Seorang pengelola PTSP mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut:

“Kami mengambil paparan praktik baik dari daerah-daerah. Bagus di kami belum

Dalam dokumen 430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b (Halaman 37-40)