• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Begitu ada daerah bilang mau punya sistem layanan seperti di kami, mereka bilang sudah kami ikut kalian saja, kami bilang kalau begitu pakai saja Akhirnya

Dalam dokumen 430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b (Halaman 41-45)

syarat dan sistemnya sama. Tidak ada imbalan apa-apa untuk kami. Perangkat

mereka sediakan sendiri. Mereka hanya beri uang lelah untuk staf teknis (tim IT).”

PTSP Kubu Raya merupakan salah satu PTSP yang menjadi teman belajar bagi PTSP lain. Belakangan ini, mereka memfungsikan situs web untuk menyampaikan informasi terbaru mengenai PTSP yang tidak saja dapat dibaca oleh pihak luar, tetapi juga sesama PTSP. Situs web tersebut diperbarui secara rutin. Selain situs web, Kubu Raya menggunakan media sosial Facebook, juga situs blog. “Kami sampaikan kepada teman-teman PTSP kabupaten/ kota bahwa mereka bisa mengakses website kami untuk memperoleh informasi. Kalau ada hal tertentu yang belum dimengerti, kami persilakan mengontak kami,” kata seorang pengelola PTSP Kubu Raya. Kubu Raya bersedia memberikan contoh dokumen bila diminta.

Forum PTSP yang baik mampu bertahan karena ada kesediaan untuk saling berbagi. Ada keterbukaan dan kerendahan hati untuk mendengarkan dan membantu. Forum menjadi tempat bagi PTSP untuk mencari tahu bagaimana mereka dapat mencapai kinerja yang lebih baik, pun ketika dukungan dari pemda masing-masing dirasakan kurang memadai. Mereka bisa saja mencari informasi ke BKPM atau Kemendagri, atau pihak lain dengan kewenangan dan pengetahuan yang melampaui mereka. Namun, yang dialami oleh PTSP yang saling belajar dengan sesama PTSP sejenis berbeda. Dengan bertanya kepada yang konteksnya kurang lebih sama dan telah menjalani sendiri, PTSP bisa berharap mendapatkan informasi yang lebih sesuai dengan masalah spesifik yang

3.2. Aspek Teknis

3.2.1. Membentuk Tim Teknis yang Efektif

Sebagaimana disampaikan di bagian awal buku ini, salah satu ciri utama PTSP adalah keberadaan Tim Teknis yang terdiri dari unsur-unsur SKPD Teknis tetapi bekerja di bawah koordinasi Kepala PTSP. Dengan adanya Tim Teknis, koordinasi kelembagaan antara PTSP dengan SKPD dalam pemrosesan izin tidak perlu lagi secara langsung, cukup melalui Tim Teknis.

Dalam praktik, tidak mudah membentuk Tim Teknis yang efektif. Dalam beberapa kasus, SKPD Teknis enggan mengirim orangnya untuk bertugas sebagai anggota Tim Teknis dengan berbagai alasan. Dalam beberapa kasus lain, Tim Teknis ada, tetapi tidak diberi kewenangan yang cukup, sehingga dalam pemrosesan izin masih diperlukan rekomendasi teknis yang harus ditandatangani oleh Kepala SKPD. Hal seperti itu tentu saja menyebabkan pemrosesan izin memakan waktu labih lama, karena meskipun sudah ada PTSP, tetapi pemrosesan izin lebih mirip dengan sistem pelayanan satu atap.

Kabupaten Aceh Selatan adalah contoh daerah yang mampu membentuk Tim Teknis yang efektif untuk PTSP-nya. Tim Teknis dibentuk melalui SK Bupati dan beranggotaan unsur-unsur dari dinas. Orang yang terlibat dalam Tim Teknis adalah mereka yang mendapat mandat dan penugasan dari Kepala SKPD untuk bertindak untuk dan atas nama SKPD dalam pemrosesan izin.

Jika ada permohonan izin yang membutuhkan survei lapangan, Kepala PTSP mengundang Kepala SKPD yang relevan untuk memutuskan apakah benar diperlukan survei lapangan atau tidak. Jika dalam pertemuan tersebut disimpulkan bahwa memang diperlukan tinjauan/survei lapangan, maka Kepala PTSP akan menugasi Tim Teknis dari unsur SKPD terkait untuk melaksanaan survei lapangan tersebut. Setelah survei lapangan dilakukan, Tim Teknis membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang pada intinya berisi kesimpulan apakah permohonan izin tersebut layak diproses lebih lanjut atau tidak.

Mekanisme kerja Tim Teknis tersebut di atas memperlihatan bahwa rekomendasi teknis dari Kepala SKPD tidak diperlukan lagi, cukup dari Tim Teknis. Hanya saja, perlu dicatat bahwa khusus untuk izin-izin bidang kesehatan masih membutuhkan rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan, karena ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mensyaratkan rekomendasi hal itu.

Sejak tahun 2014, anggaran untuk Tim Teknis berasal dari KPPT. Total anggaran untuk pelaksanaan tinjauan lapangan per tahun adalah sekitar Rp 80 juta. Dalam satu minggu Tim Teknis melakukan satu hingga dua kali survei lapangan dengan model pendekatan per wilayah (untuk beberapa izin yang sedang diproses). Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efesiensi waktu dan biaya, terutama untuk lokasi izin yang relatif jauh. Tim Teknis yang melakukan survei ke lapangan biasanya eselon berasal dari pejabat eselon IV (bahkan kadang-kadang eselon III) didampingi sejumlah staf.

Hambatan dalam pelaksanaan tim teknis secara umum adalah keterbatasan sarana dan prasarana untuk melakukan kunjungan ke lapangan. Kendaraan operasional yang digunakan untuk survei lapangan terbatas, yaitu satu unit mobil dan empat unit sepeda motor. Hal itu pula yang menjadi pendorong dilakukannya tinjauan lapangan dengan sistem wilayah (bukan satu izin satu tinjauan), karena dengan demikian penggunaan kendaraan menjadi lebih efisien.

Masalah dukungan SKPD Teknis yang menjadi kendala di banyak daerah tidak dihadapi oleh PTSP Aceh Selatan. Ada beberapa faktor yang menjadi menyebabkan tidak ada masalah dalam hal koordinasi dengan SKPD di Aceh Selatan, yaitu:

• SKPD Teknis dilibatkan dalam penyusunan SOP, sehingga tercapai kesamaan pemahaman dan persepsi serta kesepakatan bersama terkait standar waktu, persyaratan dan prosedur pelayanan, termasuk di dalamnya tugas, peran dan fungsi Tim Teknis.

• Pendekatan persuasif dan kekeluargaan dengan cara mendatangi/mengunjungi SKPD Teknis oleh kepala KPPT sehingga mereka merasa dihargai dan diakui eksistensinya

• Dukungan dan komitmen yang kuat dari pimpinan (bupati) terhadap PTSP

KPPT Aceh Selatan yakin bahwa SKPD memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap izin yang diterbitkannya. Tanggung jawab muncul karena itu sesuai dengan tupoksinya, bahwa pengawasan, pembinaan dan pengendalian masih menjadi kewenangan SKPD. SKPD merasa bahwa PTSP (beserta Tim Teknis sebagai salah satu perangkatnya) saling mendukung dengan SKPD. Selain itu, adanya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara menjadi motivasi bagi pegawai. Semakin bagus kinerja seseorang, maka akan semakin banyak tugas dan pekerjaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

Empat daerah yang menjadi studi kasus dalam identifikasi praktik yang baik (Barru, Kubu Raya, Banyuwangi dan Aceh Selatan) semua mencoba menyelesaikan persoalan ketidakpastian tersebut dengan menyusun SOP dan standar pelayanan minimal. SOP dan standar layanan disahkan sebagai rujukan bagi SKPD teknis maupun PTSP sendiri. Sebagian PTSP mempublikasikan SOP dan standar layanan ini kepada masyarakat. Dengan begitu, masyarakat dapat memiliki ekspektasi terhadap pelayanan yang diterima, bahkan mempersoalkan apabila tidak dipenuhi. Atas dasar itu, dapat dikatakan langkah penyusunan SOP dan standar layanan serta mengumumkannya kepada publik merupakan sesuatu yang amat berani dan progresif.

Karena keberanian dan progresifitas itulah, penyusunan SOP dan standar pelayanan sungguh bukan hal yang mudah. Berdasarkan pengalaman PTSP di beberapa daerah, kegiatan ini membutuhkan waktu untuk dibahas bersama pihak terkait. Pihak terkait, terutama instansi teknis dilibatkan, sebab SOP dan standar pelayanan juga akan mengikat kinerja mereka. Ini menjadi indikator pencapaian bersama. Tanpa keterlibatan instansi teknis, SOP dan standar menjadi serupa macan ompong, hanya mengaum di atas kertas, tetapi tumpul dalam implementasi.

Beberapa PTSP mengalami bahwa keinginan menyusun SOP dan standar pelayanan juga perlu dibawa dalam forum multipihak, selain dengan membangun komunikasi formal antara PTSP dengan SKPD. Ini karena forum multipihak memungkinkan perihal SOP dan standar pelayanan dibicarakan secara terbuka sehingga ada semacam tekanan publik yang didengarkan oleh semua. Proses ini juga menjadi lebih berhasil karena PTSP melibatkan bupati dan sekda. Di beberapa tempat, sekda yang memimpin langsung proses penyusunan. Posisi yang lebih tinggi membuat suara sekda memiliki otoritas yang mau tidak mau harus didengarkan oleh SKPD.

Meski demikian, PTSP belajar bahwa perubahan semacam ini tidak dapat dilakukan dengan tangan besi. Bagaimanapun, SKPD juga yang akan melaksanakan SOP dan standar pelayanan itu. Selalu terbuka kemungkinan mereka tidak sepenuh hati menjalankannya jika sejak awal merasa diabaikan, bahkan dipaksa.

Penetapan SOP dan standar pelayanan memiliki implikasi terhadap mekanisme kerja maupun hasil yang dianggap baik bagi pihak terkait. Dalam hal mekanisme kerja, misalnya, pihak terkait dituntut mempercepat dan mempermudah proses pengurusan izin. Waktu penerbitan IMB yang ambil contoh semula 14 hari jika ditetapkan menjadi maksimal enam hari dengan sendirinya membuat SKPD harus bekerja lebih cepat. Standar kinerja yang lebih tinggi menuntut kerja yang lebih keras.

Perubahan SOP dan standar pelayanan juga dimungkinkan tidak hanya berlangsung sekali. Apabila jumlah izin yang dilimpahkan kepada PTSP bertambah, SOP dan standar pelayanan biasanya akan disesuaikan. Setelah SOP dan standar pelayanan jadi pun, masih ada kebutuhan untuk memastikan ketentuan tersebut ditaati. Menjadi wajar bila dalam prosesnya, ada keengganan dari pihak-pihak yang merasa terganggu atau terbebani oleh perubahan itu.

Berdasarkan pengalaman PTSP yang baik, proses penyusunan SOP dan standar pelayanan dimulai dengan mewacanakan hal itu dalam pertemuan dengan instansi teknis, sekda dan akhirnya kepala daerah. Pewacanaan dilakukan pada beberapa kesempatan, baik melalui pertemuan formal dalam bentuk workshop multipihak dan forum PTSP maupun informal lewat komunikasi antar pimpinan instansi. PTSP sengaja mengundang pihak luar yang berkompeten sebagai narasumber untuk memperkuat wacana.

Dari hasil pewacanaan, PTSP mulai mengkomunikasikan implementasinya dengan instansi teknis. PTSP mendorong agar kepala daerah menunjuk sekda sebagai pemimpin kelompok kerja. Sejumlah pertemuan bertukar pikiran dilakukan. Setelah itu, sekda meminta instansi teknis bersama-sama menelusuri kemungkinan penetapan standar kinerja dan mekanisme kerja. Seorang pengelola PTSP yang terlibat penuh dalam proses penyusunan membagikan pengalamannya di bawah ini:

“Ketika menyusun standar untuk IMB, kami bersama-sama menelusuri pekerjaan

Dalam dokumen 430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b (Halaman 41-45)