• Tidak ada hasil yang ditemukan

430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

S

elamat datang di program peningkatan tata kelola pelayanan publik KINERJA-USAID. Buku ini merupakan salah satu Buku Praktik Baik Tata Kelola Pelayanan Publik yang merupakan sumbangsih program kami terhadap

pemerintah Indonesia. Buku ini berisi kumpulan praktik baik penerapan prinsip-prinsip tata kelola di bidang iklim

usaha di beberapa daerah mitra Kinerja.

Tata kelola merupakan aspek penting dalam peningkatan pelayanan publik karena

tata kelola yang baik dapat meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat

yang pada akhirnya dapat membantu pemerintah menjalankan programnya

secara berkualitas dan sesuai kebutuhan masyarakat.

Kami terus mendorong mitra-mitra kami untuk terus berinovasi menciptakan

pelayanan yang bermutu, mengatasi segala tantangan menggunakan sumber

daya yang ada. Kami juga meminta mereka untuk terus berbagi pengalaman dan

pengetahuan dengan daerah lain, sehingga pelayanan publik yang baik tidak

hanya menjadi milik mitra Kinerja.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada organisasi mitra pelaksana, konsultan dan staff Kinerja yang telah

bekerja keras mendampingi daerah mitra untuk terus berinovasi. Mereka merupakan ujung tombak kami yang

akan siap membantu daerah lain, jika diperlukan.

Semoga buku ini dapat menginspirasi semua pihak untuk melaksanakan tata kelola pelayanan baik, khususnya

sektor perbaikan iklim usaha, demi kemajuan pelayanan publik di Indonesia.

SAMBUTAN:

CHIEF OF PARTY

PROGRAM KINERJA-USAID

Jakarta, Juni 2015

Elke Rapp

(5)

1.1. Pengertian dan Konsep PTSP

1.2. Masalah dalam Pelaksanaan: Satu Pintu Banyak Jendela? 1.3. Sekilas tentang Program KINERJA

1.4. Metode Identifikasi Praktik yang Baik

1

3.1.1. Memilih Orang yang Tepat untuk Memimpin PTSP 3.1.2. Pelimpahan Kewenangan Pelayanan Perizinan 3.1.3. Penyederhanaan Jenis Izin

3.1.4. Izin sebagai Instrumen Pengendalian 3.1.5. Menarik Investor dari Luar Daerah 3.1.6. Forum PTSP Provinsi sebagai Ajang Belajar 3.1.7. Belajar dari “Teman Sebaya”

3.2. Aspek Teknis

3.2.1. Membentuk Tim Teknis yang Efektif

3.2.2. Menyusun SOP dan Standar Pelayanan yang Baik 3.2.3. Mengelola Sumber Daya Manusia di PTSP

3.2.4. Menjalin Hubungan Baik dan Membangun Dukungan dari Luar 3.2.5. Mendorong Masyarakat Mengurus Izin

3.2.6. Melibatkan Masyarakat dalam Pengelolaan PTSP 3.2.7. Mencari Umpan Balik dari Masyarakat

3.2.8. Pemanfaatan TIK untuk Kemudahan dan Kecepatan Pelayanan

(6)

BAB 1:

KONSEP PTSP DAN MASALAH

DALAM PELAKSANAAN

1.1. Pengertian dan Konsep PTSP

Istilah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pertama kali muncul tahun 2006 dalam kebijakan/peraturan pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Permendagri itu sendiri merupakan tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Kebijakan Percepatan Perbaikan Iklim Usaha.

PTSP berbeda dengan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA), model yang dijalankan pemerintah sebelum dikeluarkannya Permendagri No. 24/2006 itu. Kedua-duanya bersifat “terpadu”. Masyarakat hanya perlu mendatangi satu tempat untuk mengurus berbagai izin yang mereka perlukan. Hanya saja, dalam sistem PTSA pemrosesan dokumen perizinan masih dilakukan di masing-masing instansi teknis (sesuai dengan wewenangnya), sehingga dampaknya terhadap percepatan proses pengurusan izin tidak terlalu besar. Berbeda dengan PTSA, PTSP bersifat “paripurna.” Seluruh proses pengurusan izin (pendaftaran, pemrosesan dan penerbitan) dilakukan di instansi penyelenggara PTSP. Oleh karena itu, adanya pelimpahan wewenang pelayanan perizinan dari instansi teknis kepada instansi penyelenggara PTSP merupakan salah satu syarat pokok bagi efektivitas PTSP.

Sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi, PTSP dikembangkan untuk memperbaiki birokrasi perizinan, khususnya di daerah, agar menjadi lebih mudah, lebih murah, lebih cepat, lebih transparan dan lebih akuntabel. Keberhasilan PTSP tidak dapat hanya diukur dari jumlah daerah yang telah membentuk dan menyelenggarakan PTSP, tetapi, lebih dari itu, juga perlu diliat apakah PTSP berhasil mewujudkan tujuan tersebut

(7)

PTSP sendiri lahir karena keprihatinan akan iklim usaha di Indonesia, khususnya hambatan pengurusan izin usaha. Dari sudut pandang yang lain, PTSP dapat dilihat sebagai bagian dari reformasi birokrasi perizinan. Tujuan reformasi birokrasi perizinan itu sendiri adalah adalah mewujudkan pengurusan izin yang murah, mudah, cepat dan transparan tanpa kehilangan fungsi izin sebagai instrumen pengendalian. Oleh karena itu, keberhasilan PTSP harus dilihat dan diukur dari kemampuannya mewujudkan tujuan reformasi birokrasi perizinan tersebut.

1.2. Masalah dalam Pelaksanaan: Satu Pintu Banyak Jendela?

Pada dasarnya PTSP di daerah dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe menurut tingkat perkembangan tersebut, yaitu:

1. PTSP Efektif -- Kelompok ini merupakan PTSP yang benar-benar diselenggarakan dengan prinsip “satu pintu” dan memiliki wewenang menerbitkan banyak jenis izin, khususnya izin yang sangat diperlukan dunia usaha.

2. PTSP Kantor Pos -- Kelompok ini adalah PTSP yang melayani banyak jenis izin, tetapi tidak memiliki wewenang menerbitkan izin. Pemrosesan izin masih dilakukan di instansi teknis, atau dengan kata lain sistem pelayanannya masih bersifat “satu atap”, meskipun mungkin nama instansinya “satu pintu”.

3. PTSP Kecil -- PTSP yang masuk kategori ini adalah PTSP yang sudah bekerja dengan sistem “satu pintu”, tetapi hanya memiliki wewenang penerbitan izin dengan jumlah yang sangat terbatas.

4. PTSP Asal Ada -- Kelompok ini merupakan PTSP yang secara formal sudah didirikan (sudah diterbitkan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah untuk pembentukannya), tetapi belum dapat beroperasi karena satu dan lain hal.

Adanya perbedaan perkembangan antara satu daerah dengan daerah lain ini menyebabkan manfaat PTSP yang dirasakan masyarakat juga berbeda-beda. Secara hipotetis, masyarakat di daerah yang PTSP-nya sudah berjalan efektif akan merasakan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah yang PTSP-nya belum sampai ke tahap itu.

(8)

Dengan latar belakang situasi seperti itu, pertanyaan kritis yang muncul tidak hanya tentang manfaat keberadaan PTSP, tetapi juga pada aspek yang lebih luas dari itu, yaitu manfaat pengurusan izin bagi perkembangan usaha. Masih menjadi pertanyaan, apakah manfaat pengurusan izin usaha terbatas hanya pada berkurangnya hambatan untuk memulai dan/atau menjalankan usaha, ataukah manfaat itu sampai pada terbukanya kesempatan yang lebih luas bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya.

1.3. Sekilas tentang Program KINERJA

KINERJA merupakan program yang bertujuan meningkatkan tata kelola dalam penyediaan layanan publik di Indonesia. Dalam rangka mencapai perubahan dalam penyediaan layanan publik yang berkelanjutan, kerja sama dengan pemerintah daerah dibutuhkan untuk membuat penyediaan layanan publik lebih responsif seraya tetap meningkatkan kapasitas masyarakat sipil dan masyarakat untuk menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik dari pemerintah.

KINERJA bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengatasi kesenjangan penyediaan pelayanan di daerah. Dengan insentif yang lebih baik, inovasi yang lebih luas serta bentuk replikasi yang lebih banyak, pemerintah daerah di Indonesia diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih murah dan lebih baik dan/atau lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan di daerah.

Ada empat sektor utama yang ditangani oleh KINERJA, yaitu iklim usaha yang baik, pendidikan, kesehatan dan tata kelola yang baik. Buku ini merupakan salah satu dokumentasi hasil pendampingan KINERJA untuk sektor Iklim Usaha yang Baik (Business Enabling Environment).

Perbaikan iklim usaha melalui perizinan usaha yang lebih baik dilakukan agar usaha mikro, kecil dan menengah dapat berkembang merupakan salah satu prioritas pemerintah pusat dan menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh daerah melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

1.4. Metode Identifikasi Praktik yang Baik

(9)

Sementara itu, pengumpulan informasi tentang praktik yang baik dalam penyelenggaraan PTSP dimulai dengan penetapan daerah atau lokasi yang dianggap mempunyai PTSP yang bekerja relatif baik. The Asia Foundation menetapkan empat kabupaten yang semuanya merupakan daerah yang mendapatkan bantuan teknis dari program KINERJA, yaitu Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan), Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur), Kabupaten Kubu Raya (Kalimantan Barat) dan Kabupaten Aceh Selatan (Aceh).

Peneliti kemudian dikirim ke lokasi tersebut untuk menggali informasi tentang praktik baik apa saja yang dianggap dapat menjadi contoh atau inspirasi bagi daerah lain. Selain bertemu dan berdiskusi dengan pengelola PTSP, peneliti juga menggali informasi dari kalangan pengusaha dan LSM lokal yang menjadi mitra KINERJA dalam implementasi program.

(10)

BAB 2:

PTSP DI MATA PENGUSAHA

KECIL-MENENGAH

2.1. Motivasi Mengurus Izin

Ada berbagai faktor pendorong yang membuat pengusaha merasa perlu mengurus dan mendapatkan izin usaha. Ada pengusaha yang melihat izin sebagai keharusan belaka, karena diwajibkan oleh negara dan tidak ingin mendapat kesulitan manakala di suatu saat ada pemeriksaan oleh aparat pemerintah. Penelitian ini juga menemukan adanya kesadaran pengusaha bahwa jika hendak mengembangkan usaha, izin adalah syarat yang harus dipenuhi. Berbagai urusan yang harus ditempuh ketika hendak mengembangkan usaha mengharuskan adanya izin tersebut, baik untuk keperluan permohonan pinjaman dana dari bank, maupun untuk mendapatkan dan mengembangkan pasar.

Mematuhi Peraturan, Agar “Aman”

Kiang Kioe, pemilik toko batik “Teratai Indah” di Yogyakarta adalah pengusaha yang sejak pertama kali berbisnis, melengkapi semua izin yang diperlukan. Kiang mengaku bahwa dia mengurus izin itu karena peraturan menggariskan demikian. “Setiap usaha harus memiliki izin lengkap. Karena aturannya begitu, kami turuti,” katanya. Sebetulnya, seperti yang dia akui, bagi Kiang Kioe kalau bisa, usaha apa pun tidak perlu pakai izin.

Juga dari Yogyakarta, Sidik Arwadi mengemukakan pendapat yang sama dengan Kiang. Pengusaha bahan batik dan kimia ini berkata, “Sudah jadi kewajiban.” Dia sadari bahwa untuk menjalankan usaha harus ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan juga Surat Izin Tempat Usaha (SITU) berdasarkan Undang-undang Gangguan atau Hinderordonnantie (HO).

Berbeda dengan Kiang dan Arwadi, Guntur Anapu, pedagang kelontong di Bitung, Sulawesi Utara berpendapat bahwa setiap usaha selayaknya punya izin. Menurut Guntur, dalam dunia usaha harus ada kejelasan, resmi dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itulah dia mengurus izin usahanya.

(11)

Yulia Mustika Anissawati, pengusaha souvenir, juga dari Yogyakarta, sebetulnya juga berpikir seperti Kiang dan Sidik. Dia menyadari bahwa adanya izin membuat dia merasa aman. Apalagi para pekerjanya kadang-kadang berisik atau melembur sampai tengah malam. Kalau tidak ada Izin Gangguan, Yulia takut akan ada apa-apa. Rasa aman itu pula yang diperoleh pengusaha perikanan di Bitung, Yusuf Senduk. Dia berkata, “Saya merasa aman berusaha karena legalitasnya jelas.”

Bahkan pengusaha warung makan, seperti Naomi Mundung di Bitung melihat izin sebagai sekadar pemberi rasa aman, untuk mencegah timbulnya masalah. “Jika sewaktu-waktu ada yang bertanya,” katanya, “kita siap. Warga negara yang baik, sebaiknya mengikuti aturan yang ada.”

Demi Pengembangan Usaha: Kredit dari Bank dan Akses Pasar

Selain untuk mendapatkan rasa aman, Yulia juga mempunyai tujuan berikutnya yang membuat dia mengurus dan punya izin usaha. “Izin yang lengkap dapat saya pakai untuk mengembangkan usaha suatu saat nanti,” katanya, “Kalau izin lengkap, semuanya jelas. Jika saya ingin usaha ini berkembang, saya harus menunjukkan bahwa ini adalah bisnis yang serius.”

Izin usaha memang berarti penting bagi pengembangan usaha. Peluang mendapatkan pinjaman dana dari bank akan lebih terbuka jika izin ada di tangan. Yusuf Senduk berpendapat demikian. Itu pulalah antara lain yang membuat dia merasa perlu punya izin usaha. “Kalau mau tambah modal dengan pinjaman dari bank, salah satu syaratnya adalah lengkapnya izin usaha,” katanya. Pendapat seperti itu pula yang terdengar dari Guntur Anapu. Selain untuk kejelasan dalam berusaha, Guntur mengurus izin itu karena sadar bahwa izin itu akan berguna jika dia mengajukan permintaan pinjaman ke bank. Dia ingin agar usahanya terdaftar di dinas pemerintahan, terutama di Dinas Koperasi. “Apabila dari pemerintah ada penyaluran kredit mikro bagi usaha menengah, kecil dan mikro, kita punya peluang untuk mendapatkannya,” kata Guntur.

Izin juga disadari sebagai syarat untuk membuka dan mengembangkan pasar. Alfianus Tatambihe, pengusaha barang kerajinan di Bitung menyadari izin sebagai jalan untuk membuka pasar. Produk kerajinannya sering diikut-sertakan dalam berbagai pameran di dalam dan di luar negeri, mewakili Kota Bitung. Juga demikian dengan pengelola homestay “Family” di Yogyakarta, Renato Asteroida. “Izin berguna untuk mempermudah urusan jika suatu saat nanti ingin memperluas hotel,” kata Renato.

(12)

Demikian pula halnya bagi Yusuf Senduk, izin bersifat tidak bisa tidak. Untuk penangkapan ikan, dia harus punya izin kapal, berikut berbagai izin pendukung lainnya. Apalagi dia juga mengekspor ikan hasil tangkapannya. Untuk itu dia harus mendapatkan rekomendasi kelayakan mutu dari Dinas Perikanan. Rekomendasi itu hanya mungkin dia peroleh jika usaha yang dia jalankan punya izin lengkap.

Kontraktor seperti Hj. Hasimawati (CV Karya Bersama) di Palembang juga dalam posisi seperti itu. Kelengkapan izin adalah prasyarat untuk menjadi peserta tender buat mengerjakan proyek pemerintah. Perusahaan kontraktor harus memiliki SIUP, TDP dan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK). Begitu pula dengan Dian Asih Novianty, pengusaha biro perjalanan dan pariwisata “DOM Tour dan Travel”. Bagi perusahaannya izin menjadi syarat pokok untuk dapat menjadi agen dari maskapai penerbangan dan syarat untuk dapat tergabung dalam --menjadi anggota-- The Association of The Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA). Izin sebagai syarat pokok yang sifatnya tidak dapat tidak, juga berlaku bagi Hotel Sukarami milik Antonius di Palembang. Untuk keperluan kategorisasi (kelas: bintang atau melati) hotel harus memiliki izin terlebih dulu dan kemudian mendapat rekomendasi klasifikasi hotel dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).

PTSP didirikan untuk menjalankan ketentuan undang-undang sebaik-baiknya, memberikan pelayanan perizinan semudah, semurah dan secepat mungkin untuk aneka usaha. Namun dapat dimaklumi, jenis usaha yang dijalankan selalu menentukan sikap dan pandangan pengusaha dalam melihat perlu atau tidaknya izin tersebut. Pedagang seperti Kiang Kioe di Yogyakarta dan Naomi di Bitung, mengurus dan mendapatkan izin lebih banyak didorong oleh antisipasi, buat menghindari kesulitan kalau-kalau ada pemeriksaan. Bagi pengusaha kerajinan dan jasa yang sewaktu-waktu harus berhubungan dengan lembaga keuangan dan mitra kerjasama, izin adalah keperluan yang memungkinkan usahanya berjalan lancar dan berkembang.

2.2. Pengalaman Mengurus Izin

Isa Trianda, pengusaha muda pemilik warung internet “Dazki Net” di Palembang bercerita bahwa saat pertama kali membuka usaha tahun 2008, dia tidak tahu kemana harus mengurus izin. Itulah sebabnya dia menggunakan jasa pegawai pemerintah kota sebagai perantara. Belakangan ketika memperbaharui izin itu Isa mengurusnya sendiri ke Kantor PTSP. Pengurusannya lebih transparan, begitu pengakuan Isa. Biaya yang dia keluarkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya ketika dia memakai jasa perantara. Untuk SIUP Rp 150 ribu, sedangkan untuk SITU sekitar Rp 250 ribu.

(13)

Lebih cepat selesainya urusan perizinan di KPPT dan adanya kepastian tentang waktu, juga diakui oleh Isa. Ketika izin usahanya diuruskan perantara pada tahun 2008, diperlukan waktu sampai tiga minggu. Keadaannya sangat berbeda dengan pengalaman dia mengurus sendiri izin itu di KPPT. SITU dan SIUP dia peroleh hanya dalam waktu tujuh hari. Pengalaman Hj. Hasimawati pun seperti itu. Dulu, katanya, urusan belum tentu selesai dalam dua bulan. Di KPPT dia menemukan kenyataan bahwa pengurusan izin itu tidak bertele-tele dan lebih cepat.

Antonius Jimmy, pemilik Hotel Sukarami di Palembang juga mengakui bahwa di KPPT urusaan berjalan cepat. Demikian pula pengakuan, Dian Asih Novianty. “Lima hari selesai,” katanya. Itu berbeda sekali dengan yang dulu dia alami saat mengurus SITU, SIUP dan TDP dengan menggunakan jasa perantara yang memakan waktu sampai satu bulan.

Efisiensi waktu karena datang hanya ke satu tempat sama-sama dirasakan, baik oleh Isa, Antonius, Tutuk Mosrili (pengusaha Nadisa Salon dan Catering), Dian dan juga Ryan pemilik toko alat-alat listrik “Sinar Cemerlang” di Palembang.

Pelayanan yang diberikan di KPPT juga diakui lebih nyaman, baik dalam hal perilaku pegawainya, maupun dalam hal ketersediaan fasilitas. “Ramah,” kata Isa tentang pelayanan itu. Dia tambahkan, “Ruangannya juga nyaman dan terbuka.” Hj. Hasimawati menilai pegawai di KPPT cukup responsif dan bekerja cepat. Dia menyatakan, di situ dia melihat adanya sikap melayani.

Pengalaman masa lampau yang kurang menyenangkan, biasanya tidak mudah hilang dari ingatan publik. Karena itulah upaya mengurus dan mendapatkan izin dalam bayangan Yulia pada mulanya akan menjadi urusan yang sulit. Tapi teman-teman dan tetangganya yang juga berbisnis, menyarankan agar dia mengurus izin tersebut. Dari teman-temannya itu pula dia mendapat informasi bahwa pelayanan di lembaga PTSP tidak lagi seperti pelayanan yang dulu. Urusannya lebih cepat, tanpa perlu membayar ini dan itu. Maka Yulia pun mengurus sendiri izin yang dia perlukan.

(14)

Karena tahu pelayanan perizinan sudah lebih mudah, Kiang mengurus sendiri izin yang dia perlukan. Di PTSP, katanya, tidak ada lagi suap. “Petugasnya cukup jujur,” kata Kiang, “Mungkin karena saya pernah merasakan pelayanan perizinan yang sangat buruk, rasanya pelayanan saat ini telah sangat berbeda. Belum sempurna memang, tapi jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.”

Perihal pengurusan yang lebih cepat dan tepat waktu, juga diakui Sidik Arwadi. “Biaya juga jelas. Dulu, biayanya lebih besar karena harus memberi uang ke banyak pihak agar izin cepat selesai. Sekarang sudah bagus,” kata pengusaha bahan batik dan kimia ini. Sidik bercerita, perpanjangan Izin HO yang dia urus berjalan cepat. Petugas tidak minta uang pelicin. Hanya untuk IMB dia merasakan agak lama karena petugas harus datang untuk mengukur tanah dan bangunan. “Sepertinya petugas perizinan sekarang takut meminta uang. Mereka juga menolak kalau dikasih. Saat petugas IMB datang ke rumah saya untuk meninjau, saya menawarkan sedikit uang sebagai bentuk terima kasih, tapi ditolak,” kata Sidik.

Pengakuan yang terdengar di Palembang dan Yogyakarta, juga terdengar di Lamongan. Dody, pemilik usaha R&D Natural Exclusive Product (barang kerajinan dari enceng gondok), berkata, “Saya sendiri yang mengurus izin usaha saya.” Sama dengan Yulia, dulu dia berpikir bahwa mengurus izin itu sulit. Ternyata, kalau syaratnya lengkap, kata Dody, semuanya mudah. “Menurut pengalaman saya selama saya mengurus sendiri izin usaha, tidak ada calo.” Pada tahun 2004 pengurusan izin usaha yang dia lakukan semuanya gratis. Sampai sekarang gratis, kecuali IMB. Orang yang menggambar denah bangunan harus dibayar,” kata Dody.

Ratih, pengusaha barang kerajinan, pemilik Gandhis Craft di Lamongan, mengaku bahwa dia dan suaminya langsung mengurus izin usahanya. “Jika semua syarat usaha lengkap pasti dilayani dan tepat waktu,” katanya.

Hal yang terpokok dalam mengurus izin usaha adalah lengkapnya data dan berkas yang diperlukan. “Persyaratan saya lengkap. Saya hanya diminta membayar sesuai dengan ketentuan, di bank yang ada di sana. Kemudian saya diminta menunggu. Pelayanannya sudah lumayan bagus dan lebih cepat,” kata Guntur Anapu menceritakan pengalaman di PTSP Bitung.

(15)

Pada tahun 2009 Alfianus Tatambihe, pengusaha barang kerajinan dari Bitung, mengurus sendiri izin yang dia perlukan ke PTSP dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Ada empat izin sekaligus yang dia urus yaitu HO, SIUP, TDP dan SITU. Untuk itu, menurut pengakuan Alfianus, dia tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Waktunya juga jauh lebih cepat. “Hanya menunggu beberapa saat, izin-izin itu sudah bisa langsung diambil,” katanya.

Mudah dan cepat, kesan itu pula yang dirasakan Yusuf Senduk. Pengusaha perikanan dari Bitung ini berkata, “Pengurusan izin saat ini jauh lebih mudah dari yang dulu.” Saat ini misalnya, dia mengurus Izin HO, SIUP, SITU, TDP dan juga Fiskal. Dia hanya harus datang ke satu tempat, PTSP/PMD. Kalau semua syarat sudah lengkap, katanya, prosesnya cepat. “Tidak sampai satu jam, izin sudah selesai dan bisa langsung saya ambil,” kata Yusuf. Biaya yang jauh lebih murah dan transparan, juga diakui oleh Yusuf.

Apakah kemudahan dalam pengurusan itu sudah diketahui dan dimanfaatkan oleh siapa saja yang harus mengurus perizinan? Sayangnya, seperti yang dituturkan Kepala Dinas PSPT Yogyakarta, Heri Karyawan, masih tetap ada pemohon yang mempergunakan dan membayar jasa calo dalam mengurus izin dengan memberikan surat kuasa. “Mungkin karena si pemohon sibuk,” kata Heri. Dia tidak dapat menolak calo yang datang menguruskan izin orang lain, karena dalam ketentuan memang dibuka kemungkinan bagi pengurusan yang mempergunakan jasa orang lain.

2.3. Manfaat Memiliki Izin

Selain dari terpenuhinya syarat usaha, izin yang mereka punyai, dirasakan sebagai pemberi kemudahan seandainya mereka memerlukan tambahan modal berupa pinjaman dari bank. Izin juga bermanfaat bagi pengembangan pasar, baik untuk jasa maupun barang produksi yang dihasilkan. Selain itu, izin juga bermanfaat buat menghilangkan rintangan usaha. Keamanan berusaha pun dirasakan kalau izin dimiliki.

Terpenuhinya Prasyarat Usaha

(16)

Adanya Ketenangan dan Kepastian Berusaha

Walau begitu, bagi usaha toko alat-alat listrik seperti yang dijalankan Ryan di Palembang, manfaat izin hanya sebatas menghindari pungutan liar oleh oknum birokrasi pemerintah. ”Dengan adanya izin, kami akan lebih tenang terutama bila ada pemeriksaan, misalnya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Toko kami tidak akan terkena razia karena sudah memiliki dokumen legal,” kata Ryan. Apabila tidak ada izin, seperti yang dia ceritakan, ada kemungkinan barang-barangnya diangkut dan disita.

Demikian pula halnya bagi Isa pengusaha warung internet di Palembang. SITU, SIUP dan TDP untuk usaha yang dia jalankan itu, dia rasakan memberikan ketenangan dan keamanan dalam menjalankan usaha, terutama apabila ada pemeriksaan oleh aparat pemerintah. “Saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk jaminan keamanan,” katanya.

Manfaat izin sebagai jaminan ketenangan dan kepastian usaha diakui pula oleh Yulia, Kiang Kioe dan demikian pula dengan pengelola homestay “Family” di Yogyakarta, Renato Asteroida. Pengakuan yang sama juga diutarakan oleh Anwardi A. Mamonto dan Alfianus Tatambihe. “Dari sisi keamanan usaha lebih terjamin,” kata Alfianus. Sedangkan Naomi Mundung menyatakan merasa lebih leluasa menjalankan usaha jika mempunyai izin.

Ada aspek berikutnya yang merupakan manfaat penting dari izin usaha. Pengalaman Cicik, pengusaha kerajinan tikar tenun “Elresas” dari Lamongan adalah contohnya. Beberapa bulan yang lalu, karyawan dia –salesman-- menemukan tikar tenun yang meniru merek Elresas di sebuah toko. “Walau ada perbedaan dalam motif tenunannya,” kata Cicik, “peniruan itu dapat membuat konsumen salah pilih, atau tertipu.”

Sebetulnya, izin dan merek dia yang terdaftar punya kedudukan hukum yang kuat jika dia menjadikan kasus tersebut sebagai perkara. “Tapi saya mendiamkan kasus ini, karena pengurusan kasus jiplak merek itu bisa rumit,” kata Cicik. Dia abaikan kasus itu, karena dia yakin, konsumen yang kenal produk “Elresas” akan dapat membedakan mana yang asli dan mana produk tiruan.

Kredit dari Bank

Hampir setiap kali mendapatkan proyek yang akan dia kerjakan, Hj. Hasimawati, kontraktor di Palembang, membutuhkan dana pinjaman dari bank. Contoh terakhir adalah pinjaman yang dia dapat dari Bank Sumatera Selatan. Nilainya Rp 700 juta. Pinjaman itu dia peroleh dengan mudah. Dananya dapat dicairkan empat hari setelah permohonan diajukan. Itu hanya mungkin terjadi, seperti yang dia akui, karena legalitas usahanya pasti, dengan izin yang lengkap.

(17)

Usaha tikar tenun Siti Na’imah (Nisaz-Kerajinan Tikar Tenun “H. Ashari”) mendapat bantuan berupa pinjaman lunak dari Pemerintah Kabupaten Lamongan sebesar Rp 200 juta. Dia tidak mungkin mendapatkan kredit lunak itu jika izin usahanya tidak lengkap.

Ratih, pemilik Gandhis Craft, di Lamongan juga demikian. Selepas dia mengurus dan mendapatkan izin usaha, dia memperoleh pinjaman lunak seperti yang diperoleh Siti Na’imah, dengan bunga enam persen per tahun. “Pinjaman lunak itu sebesar Rp 35 juta. Sebenarnya dana pinjaman itu dari Bank Pasar yang bekerjasama dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindakop) Kabupaten Lamongan,” katanya. Dia tambahkan, “Yang penting, pinjaman itu dilunasi dan pasti tahun depan kita dapat lagi.” Pemerintah Kabupaten Lamongan juga memberikan pembinaan administratif bagi usahanya. Saat ini omzet barang kerajinan berbahan tempurung kelapa yang dia kelola berkisar antara Rp 20 juta dan Rp 25 juta per bulan.

Izin yang lengkap juga membuka jalan bagi Lilik Charita, pengusaha Chin Craft, kerajinan ukiran kayu di Lamongan. Dia mengatakan, dengan izin itu dia mendapatkan pinjaman untuk tambahan modal dari Bank BRI dengan angsuran selama dua tahun.

Begitu pula dengan pengakuan Alfianus Tatambihe, pengusaha barang kerajinan dari Bitung. “Izin-izin itu,” katanya, “memiliki manfaat yang besar bagi usaha kami, terutama untuk mengajukan tambahan modal ke bank. Prosesnya mudah dan cepat.” Nalti Tatambihe, anak Alfianus, mengaku bahwa belum lama ini dia mengajukan permohonan Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke bank untuk tambahan modal usaha. Sebelumnya, Nalti pernah mendapat pinjaman modal dari Bank BRI senilai Rp 50 juta.

Manfaat seperti itu pulalah yang dirasakan Siti, pengrajin meubel di Bitung. Dia menyatakan, “Jika ingin mengajukan pinjaman untuk tambahan modal ke bank, lebih mudah.” Suaminya, Nurdin mengatakan, mereka sudah dua kali mendapat pinjaman modal dari Bank BRI. Pertama, Rp 5 juta. Setelah lunas, mereka kini mendapat pinjaman lagi Rp 10 juta. Setelah yang ini lunas, menurut pengakuan Nurdin, dia akan mengajukan permohonan kredit lagi.

Menjalin Hubungan dengan Mitra Usaha

(18)

Antonius Jimmy, pemilik Hotel Sukarami di Palembang menyatakan bahwa dokumen izin menjadi salah satu jaminan kepercayaan ketika dia harus melakukan kerjasama dengan pihak lain. Hotel Sukarami (bintang satu) baru operasional sejak Mei 2011. Tingkat huniannya sudah mencapai 70 persen pada bulan Juli 2011. Antonius mengakui, itu karena dia melakukan kerjasama dan memiliki rekanan kerja tetap, yakni perusahaan yang membutuhkan jasa akomodasi hotel. Kerjasama dengan rekan usaha itu dia dapat karena izin usahanya terpenuhi dengan lengkap.

Tutuk Mosrilin yang menjalankan usaha salon dan catering di Palembang pun mengakui bahwa untuk mencari dan melaksanakan usahanya kepemilikan SITU, SIUP dan TDP sangatlah penting. Dia mencontohkan, untuk menyewa gedung tempat acara, pemilik gedung selalu menanyakan ada tidaknya izin usaha. Pemilik usaha tour dan travel, Dian, menyatakan, ”Usaha tour dan travel dapat berkembang karena adanya kerjasama dengan berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta.” Izin yang dia punyai dia rasakan bermanfaat untuk menjalin kerjasama itu.

Akses untuk Pengembangan Pasar

Yulia Mustika Anissawati berkeyakinan bahwa izin sangat penting untuk membuka akses dalam pemasaran jasa maupun barang produksi, seperti souvenir buatannya. Dia menyatakan, klien dan konsumen yang berbelanja

online akan lebih yakin terhadap suatu usaha jika mereka tahu bahwa dia memiliki izin usaha.

Dody, dari Lamongan, pemilik R&D Natural Exclusive Product juga merasakan manfaat izin yang dia miliki dalam hal meluaskan pasar. Pada tahun 2004 atas dorongan Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Lamongan, Dody mendaftarkan usaha kerajinan enceng gondoknya ke Kantor Perizinan Kabupaten Lamongan. “Ada orang dari Dinas Perindustrian dan Koperasi yang mengatakan kepada saya, bahwa jika ada izin usaha, pokoknya enak,” katanya. Dia mengakui, setelah mendapat izin usaha banyak kemudahan yang dia peroleh. Pemerintah Kabupaten Lamongan menyediakan showroom untuk aneka produk dari daerahnya dan produk Dody dapat dipamerkan di situ. “Paling tidak merek R&D dikenal banyak orang,” katanya.

Kini produk kerajinan dari enceng gondok Dody, berupa tas, sandal dan dompet sudah menyebar ke berbagai pelosok di Indonesia. Bahkan ada yang diekspor ke Timur Tengah. “Dalam tahun terakhir ini usaha yang saya kelola

alhamdulillah meningkat. Karena itulah Dody harus menambah pegawai. “Dulu di awal usaha saya punya lima pegawai. Sekarang sebelas orang,” ujarnya. Sekarang dia sudah punya showroom sendiri. “Izin usaha itu kayak kartu tanda penduduk,” katanya, “Orang akan tanya, ini produk siapa.”

(19)

Dengan izin di tangan itu pulalah antara lain pengusaha barang kerajinan di Bitung, Alfianus Tatambihe mendapat bantuan pemasaran, dengan mengikutkan produknya dalam pameran industri kecil di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di luar negeri. “Jika saya memasukkan produk saya ke toko-toko besar, salah satu syaratnya adalah adanya izin usaha,” kata Alfianus.

(20)

BAB 3:

BEBERAPA

PRAKTIK YANG BAIK

3.1. Aspek Strategis

3.1.1. Memilih Orang yang Tepat untuk Memimpin PTSP

Sejak diperkenalkan sebagai bentuk reformasi perizinan pada tahun 2006, pengelolaan PTSP merupakan hal baru bagi banyak daerah di Indonesia. Lebih dari sekadar mendirikan instansi atau membuat struktur kelembagaan tambahan, kebaruan PTSP membawa implikasi yang jauh terhadap cara pandang dan esensi pelayanan publik. Publik dalam PTSP adalah ukuran kinerja yang diwujudkan dalam pelayanan yang lebih mudah, cepat, murah, transparan dan akuntabel. Keberhasilannya dengan demikian bergantung kepada sejauh mana birokrasi perizinan bersedia mengubah tata kelola perizinan yang belum baik.

Memimpin perubahan. Persis disinilah tugas utama mereka yang ditunjuk mengelola PTSP, sekaligus tantangannya yang terbesar. Berubah berarti melucuti segala praksis lama yang mungkin terlanjur memberikan kenyamanan kepada para pelakunya. Sebaliknya, berubah juga berarti menyambut praksis asing yang dalam prosesnya dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Berubah adalah mengoreksi status quo dengan semua potensi perlawanannya. Maka, berubah tidak pernah merupakan perkara sederhana, apalagi mudah. Tentu saja, lebih sulit lagi daripada itu adalah memimpin perubahan itu sendiri.

(21)

Di tengah banyaknya kesulitan dan besarnya tuntutan perubahan itu, PTSP yang sukses adalah yang memiliki pemimpin yang baik dan mampu. Seorang pelaku mengemukakan pandangannya berdasarkan pengalamannya memimpin PTSP demikian:

“Mereka (pemimpin PTSP) harus dekat dengan masyarakat, (mengetahui) apa

yang diharapkan warga. Pemimpin juga perlu punya kemampuan manajemen SDM.

Mereka tidak harus orang teknis, tetapi harus punya komitmen melayani. Melayani

adalah seni. Di sini perlu inovasi karena terkadang kita terbentur dengan aturan.

Dalam memimpin, mengkoordinasi saja tidak cukup, tetapi harus menjiwai.”

Dalam ungkapan yang lebih padat, pemimpin PTSP harus mampu menggerakkan timnya untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dalam menggerakkan tim, pemimpin menyiasati kekurangan kualitas maupun kuantitas SDM yang ada serta berupaya menggalang dukungan pihak luar yang strategis. Tim diarahkan kepada perbaikan terus-menerus sambil menjadikan suara masyarakat sebagai indikator pencapaian. Ketika tim mengalami kesulitan atau penurunan semangat, pemimpin membangkitkan. Seorang pelaku PTSP mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut:

“Saya kumpulkan staf. Saya bilang, ‘Masih semangat tidak? Kalau tidak punya

satu visi, semangat, tidak akan jadi nih. Karena ini institusi baru. Kalau tidak kuat,

mundur.”

(22)

Bupati menunjuk Maria Agustina, orang yang relatif muda, perempuan yang belum berusia 40 tahun sebagai plt kepala PTSP. Ketika terpilih, sang bupati juga baru berusia 38 tahun. Maria menjalankan jabatan plt kepala hingga bulan Mei 2014. Sebelumnya, yang bersangkutan bekerja sebagai kepala bagian keuangan di Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Kalbar. Ia berpengalaman di bidang perencanaan, pemerintahan, hukum dan keuangan. Ada yang mengatakan pemilihan ini disebabkan bupati dan orang-orang di sekitarnya melihat besarnya semangat kerja Maria di unit sebelumnya.

Bupati Kubu Raya pernah mengunjungi PTSP Sragen di Jawa Tengah. Dalam kunjungan itu, bupati memperoleh gambaran dan masukan mengenai pengelolaan PTSP. Kedua pemerintah, Kubu Raya dan Sragen, bersepakat untuk melaksanakan pendampingan pengembangan BPMPT di Kubu Raya. Meskipun tidak spesifik tentang PTSP, dalam kampanye pilkada tahun 2009, calon bupati telah menjanjikan perbaikan pelayanan publik. Semua latar belakang ini dapat dikatakan berkontribusi kepada keputusan bupati untuk membentuk PTSP dan menunjuk pemimpin dengan semangat tinggi dan rekam jejak karir yang memadai.

Pada bulan-bulan pertama kepemimpinannya, Maria dan empat kabid segera dihadapkan pada minimnya informasi yang tersedia mengenai PTSP di tingkat provinsi maupun kabupaten. BKPMD Kalbar baru menjalankan fungsi penanaman modal, belum pelayanan terpadu. Atas saran provinsi, tim Kubu Raya lantas mendatangi kantor BKPM dan Ditjen Pembangunan Daerah Kemendagri di Jakarta untuk mencari informasi. Maria menceritakan pengalamannya saat itu di bawah ini:

“Kami bermodalkan nekat, niat dan semangat. Tidak tahu mesti ketemu siapa.

Di BKPM, kami menerima penjelasan mengenai fungsi penanaman modal dan

peraturannya, tetapi PTSP belum. Akhirnya kami disarankan ke Sragen.”

(23)

agar cukup untuk lima orang. Maria ingin agar semua personelnya bisa ikut belajar mengingat merekalah yang akan menjadi tulang punggung pengembangan PTSP. Anggaran sisa hanya cukup untuk membiayai kunjungan Maria ke Kemendagri.

Minimnya informasi diperparah oleh kurangnya penguasaan SKPD teknis di Kubu Raya tentang perizinan di lingkup kewenangan mereka sendiri. Mereka tidak memahami dasar hukum sebagian izin, formulirnya, hingga persyaratan. Dengan jumlah personel sembilan orang pada Mei 2010, tim Kubu Raya melakukan pendalaman untuk menyisir lika-liku perizinan di daerah itu dan bagaimana PTSP dapat berperan. Proses ini berlangsung selama seminggu, seringkali sampai larut malam. Bupati sempat datang meninjau.

Dalam perjalanan itu, ternyata pengelola beberapa instansi teknis tidak menunjukkan kesediaan untuk sepenuhnya bekerjasama dengan PTSP. Ada saja staf yang terpaksa kembali dengan tangan hampa karena instansi teknis menolak memberikan data. Keengganan ini disertai tudingan sejumlah orang bahwa PTSP telah melangkah terlalu jauh. Ada juga staf PTSP yang dipindahkan dari SKPD mulai merasa bekerja sangat keras, tidak seperti di tempat asalnya. Seorang pejabat SKPD mengatakan kepada pejabat PTSP, “Kamu jangan terlalu revolusioner. Tidak semua stafmu punya jiwa yang sama. Mereka ditempatkan di PTSP tidak membayangkan akan bekerja seperti itu.”

Menghadapi kendala internal maupun eksternal seperti itu, PTSP mencoba merapatkan barisan. Pejabat PTSP menyemangati staf sambil meminta mereka berkomitmen. Mereka yang benar-benar tidak kuat bekerja keras dan berada di bawah tekanan dipersilakan meminta untuk dipindahkan. Bersamaan dengan itu, PTSP terus mengkomunikasikan seluruh perkembangan kepada bupati. Dalam beberapa kesempatan, pejabat PTSP berhasil membujuk bupati agar meminta instansi teknis yang sulit supaya mau bekerjasama.

(24)

Pentingnya memilih orang-orang yang tepat untuk memimpin PTSP juga dialami Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (KP3M) Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. PTSP Barru juga merupakan salah satu PTSP rujukan dalam beberapa tahun terakhir. Kemampuan membangun relasi yang cair dengan bupati membuat kepala PTSP Barru, Syamsir, memperoleh dukungan yang dibutuhkan pada periode awal pembentukan kantor tersebut serta di masa-masa yang sulit, termasuk saat perlu bernegosiasi dengan SKPD. Keinginannya untuk selalu memperbarui pengetahuan mengenai pelayanan perizinan juga memungkinkan dia untuk secara rutin mengkomunikasikan hal-hal baru yang diperolehnya kepada bupati. Kepala daerah pun melihat senantiasa ada perkembangan yang menguntungkan citra pemda di mata publik.

Awal mula PTSP Barru juga tidak mudah. Selama kurang lebih dua tahun, konsep PTSP tidak berkembang di daerah itu. Bupati lama tidak memandang PTSP sesuatu yang strategis. Setelah pergantian bupati, Syamsir ditunjuk menjadi kepala PTSP pada tahun 2011. Bupati baru menyampaikan komitmen politik untuk memperbaiki pelayanan publik. Namun, komitmen bupati saja tidak cukup sebab tanpa komitmen dan kemampuan dari pejabat instansi teknis, perubahan mendasar tidak akan terjadi. Ini juga menjelaskan mengapa kinerja sebagian SKPD tetap buruk kendati daerah bersangkutan memiliki pemimpin yang reformatif.

PTSP Barru juga menghadapi persoalan seperti keengganan SKPD untuk melimpahkan kewenangan. Sejumlah sumber yang mengetahui perjalanan PTSP Barru mengatakan Syamsir melakukan audiensi-audiensi resmi dengan bupati disertai komunikasi personal pada kesempatan berbeda untuk menyampaikan persoalan PTSP dan usulan jalan keluarnya. Apa yang akan disampaikan kepada bupati digodok dulu secara internal di PTSP maupun dengan pihak lain yang membantu sebelum diteruskan ke bupati. Bupati biasanya tidak menghambat upaya perbaikan. Selain dengan bupati, komunikasi yang baik juga dibangun dengan pejabat SKPD. Relasi dan komunikasi tersebut disadari merupakan modalitas sosial yang amat berguna bagi upaya perbaikan pelayanan perizinan di Barru.

(25)

Pada tahun 2012, kewenangan PTSP diperluas menjadi sembilan izin. Di tahun yang sama bupati menginstruksikan dilakukannya pemetaan perizinan yang menghasilkan penyederhanaan dari 129 izin menjadi tinggal 22 jenis izin. Bupati kemudian memutuskan untuk menyerahkan seluruh pengurusan perizinan ini kepada PTSP pada tahun 2013. PTSP Barru pun tak pernah lagi sepi dari penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional. “Dengan perbaikan pelayanan dan inovasi yang dilakukan, bupati memberikan kepercayaan (yang semakin besar) kepada KP3M. Hal ini tentunya setelah bupati mendapatkan informasi-informasi dari customer,” kata Syamsir merefleksikan perkembangan PTSP di bawah kepemimpinannya.

Dalam komunikasi PTSP dengan para pemimpin daerah, pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa peningkatan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik memiliki korelasi positif dengan kepercayaan kepada pemda yang juga bernilai dalam konteks politik. Setelah kemajuan dikomunikasikan, PTSP juga menjadi lebih mudah mendorong penerbitan regulasi yang mendukung kinerjanya, baik dalam kaitan dengan program PTSP maupun anggaran untuk mengeksekusi.

Syamsir mengatakan ia dan para pejabat PTSP Barru pernah merasakan susahnya mengurus izin saat masih menjadi anggota masyarakat biasa. Bahkan sesama PNS pun kerapkali dipersulit dalam mengurus izin. “Setelah izin dilimpahkan, kami merasa cukup kami yang merasakan sulitnya. Bagaimana kami bisa memberikan kemudahan, sebab kami pernah menjadi masyarakat. Prinsip pelayanan kami adalah bahwa kami juga bagian dari masyarakat di Barru.” Dengan kesadaran seperti itu, maka kemajuan atau kemunduran Barru menjadi tanggung jawab bersama. Pengelola PTSP merasa dapat berkontribusi bagi kemajuan Barru dengan memberikan pelayanan terbaik dalam perizinan.

Mereka yang mengenal Syamsir mengatakan bahwa yang bersangkutan memang dikenal cukup dekat dengan masyarakat. Ketika menjadi lurah dan camat, hampir tidak ada cerita miring mengenai dirinya. Latar belakang pendidikan di bidang ilmu pemerintahan serta pengalaman bekerja di lembaga swadaya masyarakat diakuinya turut membentuk pola pikirnya.

3.1.2. Pelimpahan Kewenangan Pelayanan Perizinan

(26)

pelayanan perizinan. Masalah minimnya kewenangan tersebut dihadapi oleh banyak PTSP di Indonesia. Sebagian besar daerah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi, tidak ada pilihan lain. PTSP hanya mungkin bermanfaat sejauh kewenangan yang diberikan memadai.

Praktik baik dari sejumlah PTSP menunjukkan bahwa proses pelimpahan kewenangan membutuhkan adanya kemampuan untuk meraih kepercayaan dari pihak terkait, dalam hal ini terutama kepala daerah dan pejabat SKPD. Kepercayaan dibangun melalui relasi yang baik dan pembuktian kinerja secara terus-menerus. Kinerja dimaksud bukan hanya PTSP saja, tetapi bagaimana kinerja PTSP itu berdampak baik terhadap kinerja pemerintah di mata publik secara keseluruhan. Singkat kata, PTSP harus mampu menyodorkan fakta manfaat positif bagi pihak terkait dengan adanya perbaikan pelayanan perizinan. Seorang pengelola PTSP menceritakan pengalamannya demikian:

“Pendekatan kami di awal adalah menyamakan persepsi dengan menunjukkan

asas manfaat. Kami tidak langsung katakan tidak boleh. Samakan persepsi.

Buka satu per satu izin. Ada pendekatan formal dan informal. Seri workshop. Di

warung kopi.”

Penyamaan persepsi dilakukan dengan semua pihak terkait. Di internal pemerintah, pengelola PTSP melakukan pertemuan-pertemuan dengan bidang terkait di kantor bupati, terutama bidang hukum dan organisasi. Dua bidang tersebut strategis sebab ketika maju ke meja sekretaris daerah, hampir pasti sekda akan meminta pendapat atau kajian dari bidang hukum dan organisasi. Setelah dari sekda, barulah usulan dan rekomendasi diteruskan kepada bupati. Meskipun proses ini tidak selalu terencana seperti itu, namun komunikasi dengan pihak-pihak yang disebut itu dinilai merupakan kunci bagi keberhasilan pelimpahan kewenangan. Begitu sekda dan bupati setuju, maka langkah berikutnya relatif lebih mudah.

(27)

PTSP dengan membuat database dan laporan pengurusan izin yang baik yang pada gilirannya membantu memperlancar pekerjaan instansi teknis terkait. PTSP juga terus berkoordinasi dengan SKPD, melibatkan mereka dalam rencana-rencana perbaikan. “Akhirnya jumlah izin yang dilimpahkan terus bertambah. SKPD malah bertanya kapan izin mereka ditarik,” kisah seorang pengelola PTSP.

Sebelum berargumentasi dengan para pihak tersebut, PTSP mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh memahami regulasi yang ada. Pada titik tertentu, ketika situasi diperkirakan lebih sulit, beberapa PTSP memanfaatkan pihak luar untuk menjadi semacam juru bicara. Ini dilakukan melalui pelaksanaan workshop

dan pertemuan teknis. Kehadiran pihak luar ini, terutama dari pemerintah pusat, dirasakan cukup efektif sebab bagaimanapun posisi pengelola PTSP berada di bawah kewenangan bupati maupun sekda, serta tidak lebih tinggi dari Kepala SKPD. Para pejabat dapat dikondisikan untuk lebih bersedia mendengarkan ketika yang berbicara memiliki posisi yang setara atau lebih tinggi.

Dalam kasus Kubu Raya, pengelola PTSP meminta waktu kepada bupati untuk berbicara dalam forum pertemuan Kepala SKPD. PTSP mengatakan kepada bupati bahwa keengganan SKPD untuk melimpahkan kewenangan sama artinya dengan membiarkan fungsi PTSP tidak berjalan. Bupati setuju. Dalam forum itu, PTSP mempresentasikan perkembangan terkini dan secara terbuka menyampaikan kendala yang ada. Di akhir presentasi itu, bupati berbicara dan memerintahkan agar izin dimaksud dilimpahkan kepada PTSP. Meskipun dalam pelaksanaan tetap tidak benar-benar mulus, momen ini dianggap menentukan proses pelimpahan kewenangan di Kubu Raya. Dalam hal ini, ada komunikasi untuk memperoleh dukungan kepala daerah, serta proses penyiapan argumentasi yang sungguh-sungguh untuk meyakinkan instansi teknis.

Pelimpahan kewenangan membuat pelayanan perizinan terpusat di PTSP. Tergantung pada gradasi pelimpahannya, kepala PTSP di sejumlah daerah dapat menetapkan mekanisme perizinan, kelengkapan persyaratan, hingga menandatangani izin atas nama kepala daerah. Ini memperbesar kewenangan dan, pada gilirannya, kewibawaan kelembagaan PTSP. Di sisi lain, masyarakat menjadi hanya harus berurusan dengan satu pihak sehingga proses perizinan relatif lebih pasti, mudah dan cepat. Dengan kewenangan lebih besar, PTSP juga memiliki ruang kreasi lebih luas untuk memperbaiki pelayanan perizinan.

(28)

3.1.3. Penyederhanaan Jenis Izin

Praktik baik berikutnya yang ditemukan pada PTSP sejauh ini adalah penyederhanaan jenis izin. Untuk melakukan hal itu, pada dasarnya PTSP menempuh dua jalan yang berbeda. Jalan pertama adalah menghimpun terlebih dahulu jenis izin yang ada ke dalam PTSP untuk selanjutnya dilakukan penyederhanaan. Jalan kedua berlangsung sebaliknya, yaitu PTSP bersama instansi teknis menyederhanakan izin baru kemudian diserahkan kepada PTSP. Jalan mana yang diambil sangat tergantung kepada situasi dan konteks masing-masing PTSP.

Berdasarkan pengalaman yang ada, PTSP yang melakukan cara pertama relatif lebih mudah melakukan penyederhanaan sebab izin telah berada dalam kewenangan mereka. Meski demikian, persoalan yang muncul tidak berbeda dengan jika menempuh cara kedua, yaitu bagaimana meyakinkan para pihak mengenai penting dan perlunya melakukan penyederhanaan jenis izin. Ini karena kendati pun sebagian kewenangan telah berada di tangan PTSP, instansi teknis tetap dibutuhkan untuk memberikan rekomendasi sesuai hasil penilaian mereka.

Penyederhanaan jenis izin menentukan sejauh mana PTSP mampu memberikan pelayanan perizinan yang lebih mudah, cepat dan murah. Dengan penyederhanaan, tumpang tindih perizinan yang merugikan publik diharapkan dapat teratasi. Hal-hal seperti itu juga disampaikan oleh PTSP kepada instansi teknis maupun kepala daerah saat mencoba meyakinkan tentang perlunya penyederhanaan. Namun, prosesnya tidak selalu berlangsung mulus. Ada langkah-langkah komunikatif dan strategis yang dilakukan untuk memperoleh persetujuan maupun dukungan pihak terkait.

Praktik baik yang ada menunjukkan bahwa kemajuan dicapai secara bertahap. PTSP perlu menjalankan dulu kewenangan yang diberikan, sekecil apapun, sambil memperlihatkan hasil yang baik sebagai bahan tambahan untuk berargumentasi dengan pihak terkait. Upaya meyakinkan tidak dilakukan dengan konfrontatif, tetapi mengakomodasi pendapat maupun keberatan yang lain. Dalam sejumlah kasus, PTSP bahkan membiarkan instansi teknis memutuskan solusi yang terbaik menurut mereka. Dalam memberikan kewenangan memutuskan tersebut, PTSP mempertimbangkan segala kemungkinan dengan menyiapkan argumentasi terbaik yang mungkin.

(29)

Sebelum disampaikan kepada pihak terkait, PTSP akan mengidentifikasi seluruh jenis izin yang ada di daerah bersangkutan. “Kami selama satu tahun bekerja untuk mengidentifikasi izin, termasuk bolak-balik berargumentasi dengan instansi teknis,” demikian seorang pengelola menceritakan pengalaman PTSP di wilayahnya. Sebagian PTSP sejak awal hanya fokus pada jenis izin yang terkait dengan penanaman modal dan kegiatan usaha. Sebagian lainnya sampai mencakup izin kependudukan dan catatan sipil. Dari hasil identifikasi, PTSP membuat analisis terhadap izin bersangkutan dengan mengacu antara lain kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, program kerja kepala daerah dan yang tidak kalah penting kebutuhan dan harapan pelaku usaha dan masyarakat. Setelah itu, dibuat skenario-skenario kemungkinan penyederhanaan dalam bentuk penyatuan atau penghapusan izin.

Di PTSP Kubu Raya, identifikasi dan pembuatan skenario penyederhanaan jenis izin pada tahap awal dilakukan bersama unit terkait di lingkup pemerintah kabupaten, yakni inspektorat, bagian hukum, bagian ekonomi, Bappeda dan biro organisasi. Ada 215 jenis izin yang teridentifikasi, termasuk izin kependudukan, catatan sipil dan izin non usaha lainnya. Hasil analisis kemudian dikomunikasikan kepada bupati dan pejabat instansi teknis dalam rapat muspika. PTSP juga menyampaikan perkembangan setiap saat melalui komunikasi informal dengan SKPD.

Sementara itu di Barru, izin disederhanakan terlebih dahulu baru dilimpahkan ke PTSP. Menurut pengelola PTSP, hal itu lebih efektif karena setelah berulang kali berkomunikasi dan telah menghasilkan penyederhanaan izin, SKPD tampak merasa lebih gampang melimpahkan. Jumlah izin dan karena itu juga kewenangan yang menyertainya, yang tadinya terlihat banyak kini lebih sedikit. Ini dapat terlihat absurd sebab pada dasarnya instansi teknis tetap melepaskan kewenangannya, tetapi itulah yang dirasakan terjadi di lapangan. Selain itu, intensitas pertemuan antara PTSP, instansi teknis dan pihak terkait lainnya juga berpengaruh terhadap kerelaan yang kelihatannya lebih besar untuk melimpahkan kewenangan dan menyederhanakan jenis izin.

(30)

Salah satu kebijakan perizinan yang berbeda di Barru dibanding banyak daerah lain adalah bahwa tidak semua tempat usaha diwajibkan mempunyai Izin Gangguan (HO), kendati tetap wajib memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Kebijakan itu mengurangi pendapatan retribusi pemda dari Izin HO. Tetapi, PTSP berargumen bahwa pemerintah berpeluang memperoleh pendapatan dari sumber lain dengan bergeraknya roda ekonomi. Kebijakan itu membantu usaha mikro yang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk Izin HO.

Undang-undang otonomi daerah memberi kesempatan kepada daerah untuk membuat jenis izin sendiri. Dalam praktiknya, tidak sedikit daerah yang dapat dikatakan kebablasan dengan membuat sangat banyak izin. Sebagian izin tersebut dibuat dengan alasan menaikkan pendapatan retribusi pemda. Pembuatan jenis izin daerah ini merupakan kewenangan bupati, termasuk apakah dilimpahkan ke SKPD teknis atau lembaga instansi perizinan. Atas dasar itu, PTSP dengan praktik baik selalu berupaya memperoleh dukungan bupati. Langkah ini dilakukan dengan cermat sebab memperoleh dukungan bupati juga dapat berarti dimusuhi oleh SKPD yang menganggap PTSP berlindung di balik otoritas bupati untuk menggerogoti kewenangan instansi teknis.

Dalam banyak hal, PTSP meyakinkan instansi teknis bahwa kendati jumlahnya dikurangi, substansi sebagian besar izin tak dihilangkan. Bentuk-bentuk komunikasi yang mengakomodasi kepentingan dan cara pikir instansi teknis dan pihak terkait kerapkali diperlukan dalam rangka mengantongi persetujuan mereka. PTSP juga mengandalkan fakta adanya tuntutan pelaku usaha dan masyarakat untuk penyederhanaan izin dalam berkomunikasi dengan instansi teknis dan pihak terkait. Seorang pelaku mengatakan demikian:

“Ada tuntutan pelaku usaha. Hasil seminar, workshop. Salah satu keluhan bahwa

pelaku usaha harus mendatangi banyak tempat dengan aneka ragam izin, tanpa

SOP dan standar. Kami lalu berpikir, kalau bisa disederhanakan, mengapa tidak?

Kesimpulan workshop dan diskusi, sangat layak dilakukan pengurangan.”

(31)

3.1.4. Izin sebagai Instrumen Pengendalian

Salah satu fungsi (birokrasi) perizinan sebenarnya adalah sebagai instrumen pengendalian. Sayangnya, semangat yang berlebihan untuk melakukan pengendalian seringkali berujung pada proses pengurusan izin yang menyulitkan dan memberatkan pengusaha. Sebaliknya, jika terlalu ‘bersemangat’ dalam mempermudah –antara lain didorong oleh motivasi ekonomi, yaitu memperoleh pendapatan-- fungsi izin sebagai instrumen pengendalian dapat hilang.

Izin Reklame dapat menjadi ilustrasi menarik bagi kasus tersebut. Semua orang sepakat, bahwa kegiatan usaha membutuhkan promosi, di antaranya melalui pemasangan papan reklame. Akan tetapi papan reklame yang berlebihan akan merusak keindahan kota. Salah satu yang dianggap sebagai berlebihan atau paling mengganggu keindahan adalah papan reklame berukuran besar dan/atau yang dipasang melintang di atas jalan yang sering disebut sebagai “bando jalan”

Melalui ketentuan tentang Izin Reklame, pemerintah daerah sebenarnya mempunyai alat dan kesempatan untuk mengatur itu semua. Di satu sisi pengusaha tetap dapat mempromosikan produknya melalui papan reklame, tetapi di sisi lain keindahan dan kerapihan kota tidak terabaikan.

Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu contoh bagaimana instrumen tersebut digunakan dengan baik dan efektif. Untuk itu disusun Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 6 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Keberadaan Perbup seperti itu sebenarnya tidak istimewa, karena banyak daerah lain yang juga memilikinya. Yang membuat Banyuwangi berbeda adalah karena pemerintah daerah setempat melaksanakannya secara konsisten (sejauh ini).

Dalam Perbup tersebut secara eksplisit disebutkan apa saja yang tidak diperbolehkan dalam pemasangan reklame, yaitu: (1) Reklame yang menyatu dengan papan nama instansi pemerintah, sekolah dan tempat ibadah, (2) Penempatan reklame di jarak kurang dari 25 meter dari tempat pendidikan atau tempat ibadah, (3) Reklame permanen di berbagai fasilitas umum seperti trotoar jalan, tiang penerangan, tiang telepon, pagar pembatas jalan dan sebagainya, (4) Reklame di Ruang Terbuka Hijau (RTH), kecuali media informasi milik Pemda, (5) Penempatan penyangga reklame di dua sisi pembatas jembatan, (6) Reklame yang melintang di atas jalan arteri atau kolektor, serta (7) Reklame di beberapa jalan protokol. Berbagai larangan tersebut ditegakkan secara konsisten.

(32)

Selain berbagai larangan tersebut, Pemda Kabupaten Banyuwangi juga mempunyai kebijakan khusus terkait izin dan pajak reklame. Pajak reklame berlaku untuk 12 bulan, tetapi izin reklame hanya berlaku untuk 10 bulan. Dengan kata lain, Pemda menerapkan tarif pajak reklame yang secara efektif lebih mahal dibandingkan daerah lain.

Pada masa awal penerapan kebijakan tersebut ada keberatan dari kalangan pengusaha, tetapi Pemda tetap memberlakukan peraturan tersebut sambil terus mencoba menjelaskan latar belakang dan tujuan peraturan. Karena Pemda konsisten, mau tidak mau kalangan pengusaha mengikuti ketentuan tersebut.

Hasilnya, tidak ada lagi bando jalan di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Papan reklame tetap ada, tetapi tidak ada yang berukuran sangat besar. Kalau pun ada, reklame dalam ukuran besar tersebut adalah milik Pemda yang sedang mempromosikan berbagai kegiatan untuk menarik investor atau reklame Pemda yang berisi seruan atau ajakan tertentu. Suasana kota menjadi lebih tertata dan tidak terlalu ramai oleh kehadiran papan reklame. Terkait dengan tingginya tarif pajak reklame, ternyata pendapatan Pemda dari pajak tersebut tidak berkurang.

(33)

3.1.5. Menarik Investor dari Luar Daerah

Investasi atau kegiatan usaha sangat penting peranannya dalam pembangunan ekonomi. Selain memproduksi barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, dengan adanya kegiatan usaha orang dapat bekerja dan memperoleh penghasilan.

Hal penting lain yang tidak dapat diabaikan adalah adanya multiplier efect. Suatu investasi dapat mendorong munculnya kegiatan usaha lain yang terkait. Dalam beberapa kasus, investasi juga dapat mendorong perbaikan infrastruktur melalui pembangunan berbagai fasilitas yang sebenarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan usaha, tetapi pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat luas.

Selain sebagai bagian dari pelayanan publik, PTSP sebenarnya juga merupakan salah satu upaya untuk menarik investor. Seperti telah disampaikan sebelumnya, kelahiran PTSP sendiri dimulai oleh terbitnya Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijaan Percepatan Perbaikan Iklim Usaha. Jelas bahwa secara historis PTSP lahir karena adanya kesadaran akan pentingnya memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha.

(34)

Promosi dimulai oleh pucuk pimpinan daerah, yaitu Bupati Abdullah Azwar Anas yang memangku jabatan sejak 2010. Sebagai mantan anggota DPR, Bupati banyak memiliki koneksi dengan kalangan pengusaha dari luar Banyuwangi, khususnya dari Jakarta dan sekitarnya. Banyuwangi juga mendapatkan momentum terbaik dengan mulai dapat dioperasikannya lapangan terbang Belimbingsari, sehingga akses masuk dan keluar Banyuwangi menjadi lebih baik, tidak lagi hanya mengandalkan jalur darat dan laut.

Tapi di luar itu semua, yang terpenting adalah semangat dan strategi yang tepat dalam mewujudkannya. Pemda menganalisis bahwa “pergi keluar” untuk berpromosi (melalui kegiatan pameran dan sejenisnya) tidak terlalu efektif. Waktu yang disediakan dalam pameran terbatas, sehingga informasi yang diperoleh oleh calon investor juga terbatas. Berbagai keterbatasan itu menyebabkan potensi besar yang dimiliki oleh Banyuwangi tidak dapat termafaatkan secara optimal.

(35)

Bagaimana pemerintah daerah membiayai semua kegiatan tersebut? Ada alokasi APBD untuk berbagai kegiatan promosi investasi, tetapi diakui sangat kecil nilainya. Bagian terbesar pengeluaran untuk berbagai kegiatan tersebut dibiayai melalui kerjasama dengan sektor swasta, baik dalam bentuk kerjasama sebagai sponsor komersial maupun kerjasama dalam konteks “partisipasi” atau bantuan.

Untuk calon investor, PTSP menyediakan ruang presentasi yang sangat nyaman dan dilengkapi dengan sarana yang sangat memadai. Di situ calon investor dapat diberi penjelasan tentang potensi ekonomi, arah kebijakan pemerintah daerah, tata guna lahan, proses perizinan dan informasi lain yang biasanya sangat diperlukan sebelum mereka mengambil keputusan untuk membuka usaha di suatu daerah.

Demikian juga sebaliknya. Dalam pertemuan di ruang presentasi itu pemerintah daerah juga bisa menanyakan berbagai hal terkait rencana investasi yang akan dilakukan oleh calon investor. Langkah itu diperlukan untuk meyakinkan bahwa rencana tersebut masih sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Itu menjadi hal yang sangat penting, karena pemerintah daerah bersikap selektif terhadap berbagai rencana investasi. Sebagai contoh, Kabupaten Banyuwangi memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan izin (baru) untuk pembukaan minimarket, supermarket/hipermarket dan tempat penginapan berkelas melati.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah berusaha melayani calon investor semaksimal mungkin. Selain fasilitas pengurusan izin usaha melalui PTSP, pemerintah daerah juga melayani calon investor dengan berbagai fasilitas lain termasuk antar-jemput dan transportasi selama mereka berada di Bayuwangi. Menurut istilah Kepala PTSP: “Pokoknya mereka hanya kami tinggal pas tidur saja.”

Pemerintah daerah tahu, bahwa salah satu hal yang menjadi ‘hantu’ bagi investor dari luar adalah pengurusan persetujuan tetangga (sebagai salah satu syarat Izin Mendirikan Bangunan). Di banyak daerah, persetujuan tetangga harus diurus sendiri oleh investor. Hal itu sangat menyulitkan investor, karena sebagai orang luar mereka tidak kenal dengan masyarakat yang akan dimintai persetujuan. Ditambah dengan ketidakjelasan peraturan dan prosedur pengurusannya, tidak jarang investor mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk mengurus persetujuan tetangga itu. Seorang pengusaha hotel menyampaikan bahwa dia sudah mengeluarkan uang sampai Rp1,5 milyar tetapi tetap tidak dapat memperoleh persetujuan tetangga untuk rencana pembangunan hotel berbintang di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Menyadari hal itu, pemerintah daerah membuat kebijakan untuk memfasilitasi pengurusan berbagai izin yang diperlukan oleh investor, termasuk di dalamnya pengurusan persetujuan tetangga.

(36)

Angka penanaman modal asing (PMA) juga memperlihatkan perkembangan menarik. Pada tahun 2010 nilai PMA di Banyuwangi adalah Rp9,5 milyar. Peningkatan luar biasa terjadi pada tahun 2011, yaitu menjadi Rp959 milyar. Sebagaimana untuk PMDN, nilai PMA juga menurun pada tahun 2012 (menjadi Rp62 milyar), tetapi tetap jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2010.

Perkembangan nilai PMA dan PMDN tersebut menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah sangat efektif. Kuncinya adalah komitmen pemerintah daerah, pemilihan strategi yang tepat (yaitu bukan dengan pergi ke luar, tetapi membuat orang datang), kerjasama yang saling menguntungkan dengan sektor swasta, serta fasilitasi pengurusan izin usaha oleh pemerintah daerah. Dengan kemauan yang kuat, langkah dan strategi yang diterapkan oleh Kabupaten Banyuwangi sebenarnya tidak terlalu sulit untuk ditiru oleh daerah lain.

3.1.6. Forum PTSP Provinsi sebagai Ajang Belajar

Di era otonomi daerah, dimana urusan pemerintahan lebih banyak ditangani oleh kabupaten/kota, pemerintah provinsi sebenarnya masih dapat memainkan fungsi penting. Dalam penyelenggaraan PTSP, selain menyelenggarakan layanan perizinan yang menjadi kewenangan provinsi, PTSP Provinsi juga dapat berfungsi sebagai simpul informasi bagi PTSP kabupaten/kota.

Ide sederhana itulah yang menjadi dasar pembentukan Forum PTSP di tingkat provinsi. Secara kelembagaan, Forum PTSP bersifat non-struktural dan tidak berpretensi untuk menjadi koordinator bagi PTSP Kabupaten/Kota. Forum PTSP lebih berfungsi sebagai ajang saling tukar informasi dan saling belajar antar penyelenggara PTSP Kabupaten/Kota.

Untuk mencapai tujuan tersebut, PTSP Provinsi dapat memainkan peran sebagai inisiator, terutama dalam mengundang PTSP Kabupaten/Kota dan menyusun agenda diskusi. Agenda diskusi dapat berjalan secara vertikal (dari provinsi ke kabupaten/kota) maupun secara horisontal (antar kabupaten/kota).

(37)

Hal itu dimungkinkan karena PTSP Provinsi memiliki akses informasi yang baik terhadap berbagai kebijakan pusat. Akses itu bisa merupakan hasil inisiatif mereka sendiri, melalui kontak langsung dengan Kementerian Dalam Negeri, maupun melalui LSM yang menjadi mitra kerja mereka (baik yang ada di daerah maupun di pusat).

Secara alamiah, sebagai ‘perpanjangan tangan’ pemerintah pusat, memang sudah seharusnya provinsi mempunyai akses informasi yang lebih baik daripada kabupaten/kota. Contoh: Sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dilakukan oleh pemerintah pusat kepada semua provinsi. Dalam kasus Jatim, PTSP Provinsi kemudian meneruskan hasil sosialisasi (khususnya yang terkait dengan perizinan) kepada PTSP Kabupaten/Kota melalui Forum PTSP Provinsi.

PTSP Provinsi tidak harus menjadi narasumber. Mereka juga dapat bertindak sebagai fasilitator forum dan mendatangkan narasumber yang relevan. Oleh karena itu, sebaiknya PTSP Provinsi juga mengalokasian anggaran untuk keperluan Forum PTSP Provinsi sebagai bagian dari anggaran operasional PTSP.

Adanya Forum PTSP Provinsi juga penting bagi para pejabat penyelenggara PTSP yang baru saja ditunjuk. Dalam beberapa kasus, pejabat baru tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang PTSP. Dalam kondisi demikian, para pejabat tersebut dapat menggunakan Forum PTSP Provinsi sebagai kesempatan belajar tentang apa, mengapa dan bagaimana PTSP diselenggarakan.

3.1.7. Belajar dari “Teman Sebaya”

(38)

Terdapat dua tingkatan formal forum PTSP. Tingkat pertama adalah tingkat nasional, di mana anggotanya adalah PTSP provinsi dan kabupaten/kota. Dua lembaga, yaitu Kemendagri dan BKPM masing-masing memiliki corak forumnya sendiri. PTSP provinsi dan kabupaten/kota dapat bergabung dengan kedua-duanya atau memilih salah satu tergantung kebutuhannya sebab ada PTSP yang hanya fokus kepada aspek penanaman modal.

Tingkat kedua adalah PTSP provinsi. Anggotanya adalah PTSP kabupaten/kota. Oleh karena lingkupnya provinsi, biasanya PTSP provinsi ditunjuk sebagai ketua atau pengarah forum. Dengan kata lain, tanggung jawab pengelolaan dan keberlangsungan forum berada di tangan provinsi. Ini termasuk melakukan agenda setting dan penganggaran. Di lapangan ada juga variasi seperti PTSP provinsi menjadi pengarah, sedangkan salah satu PTSP kabupaten/kota ditetapkan sebagai ketua. Tanggung jawab pengelolaan dan keberlangsungan kemudian dibagi di antara provinsi dan kabupaten/kota.

Ada persoalan mendasar yang lazim mengemuka dalam forum PTSP tingkat provinsi, yaitu apabila pemerintah provinsi sendiri belum memiliki PTSP atau telah memiliki namun belum berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut biasanya disiasati dengan memberi peran lebih besar kepada PTSP kabupaten/kota yang lebih maju, sedangkan provinsi mengambil peran mendukung. Siasat ini tentu saja tidak solutif ketika provinsi pada dasarnya tidak memberikan dukungan kepada forum maupun pengembangan PTSP itu sendiri.

Terlepas dari berbagai keragaman situasi itu, Forum PTSP seperti apakah yang terbukti berhasil? Berhasil di sini tidak dimaknai sebagai hanya berupa pertemuan seremonial, tetapi sungguh-sungguh bermanfaat bagi PTSP. Dalam kerangka cara pandang tersebut, pemahaman tentang forum kemudian menjadi melampaui formalisme forum, tetapi bergerak menuju intensitas relasi dan kesediaan untuk saling berbagi di antara PTSP.

Temuan di lapangan dari praktik baik forum PTSP menunjukkan terdapat dua macam forum PTSP yang berhasil. Pertama adalah forum PTSP formal yang berjalan dengan dukungan penuh pemerintah provinsi. Kedua adalah forum yang lebih dekat kepada relasi informal yang berlangsung relatif tanpa keterlibatan maksimal dari provinsi.

(39)

Bagi petinggi PTSP, forum formal tersebut juga merekatkan hubungan dengan sesama pejabat di daerah lain. Ada banyak kisah di mana hubungan yang cair lewat pertemuan-pertemuan memungkinkan para pejabat PTSP untuk bekerjasama maupun saling berkomunikasi di luar forum. Ada saja kepala PTSP yang memanfaatkan jaringan di forum untuk menanyakan kalau-kalau PTSP lain dapat membantu menemukan solusi atas masalah yang dihadapi instansinya. Forum PTSP pun menciptakan komunitas komunikatif yang sehari-hari bergulat dengan isu yang sama.

Temuan di lapangan menunjukkan

efektivitas forum semacam itu cukup baik, sejauh

dilakukan dengan agenda setting yang t e p a t .

Sejumlah PTSP kemudian menginisiasi perubahan d i

daerahnya setelah mengikuti forum. Daerah

yang mengikuti forum tetapi b e l u m

sepenuhnya mengoperasionalisasikan PTSP a k a n

didorong untuk mulai mengambil langkah berbeda. Hal terakhir ini dialami antara lain

oleh Pemkab Toraja Utara yang setelah hampir d u a

tahun memiliki perda tentang perizinan akhirnya melengkapi kelembagaan dan SDM PTSP.

Meski demikian, forum formal seperti ini umumnya membutuhkan dukungan pihak luar untuk melakukan agenda setting. Ini dikarenakan PTSP provinsi sendiri kadangkala masih belajar mengenai pengelolaan PTSP. Sejumlah PTSP menggandeng Kemendagri atau BKPM untuk membantu, sebagian lainnya bekerjasama dengan lembaga konsultan. Forum PTSP bisa saja tidak merancang sendiri agendanya, tetapi pembelajaran dari praktik baik di lapangan memperlihatkan bahwa forum perlu selalu membuka dan menjalin komunikasi dengan sumber informasi maupun pengetahuan tentang PTSP. Sumber ini bisa apa atau siapa saja sejauh memungkinkan forum memenuhi fungsinya untuk tempat belajar dan berdiskusi.

(40)

Pengalaman menunjukkan PTSP kabupaten/kota yang bertanya kepada provinsi kerapkali tidak memperoleh solusi karena provinsi juga tidak memiliki informasi maupun pengalaman yang relevan. PTSP provinsi umumnya lebih difokuskan pada perizinan di bidang penanaman modal, sedangkan PTSP kabupaten/kota malah cenderung tidak banyak menggeluti bidang tersebut. Sebaliknya, provinsi tidak terlalu memahami perizinan ‘kecil,’ seperti SIUP, IMB dan lain-lain, yakni makanan sehari-hari PTSP kabupaten/kota. Dalam hal ini, proses belajar memang lebih cocok antara sesama PTSP kabupaten/kota.

Dalam forum semacam ini yang berelasi akhirnya adalah satu PTSP dengan PTSP lain secara langsung. Mereka mengikat kerjasama, entah tertulis resmi maupun lisan untuk saling belajar. Karena sama-sama di tingkat kabupaten yang menangani persoalan teknis, pembelajaran yang terjadi juga menjadi terasa lebih mengena.

Praktik di lapangan memperlihatkan cara berelasi dan belajar yang beragam. Ada PTSP yang mengirimkan stafnya untuk menjalani magang di PTSP yang sudah baik. Ada pula PTSP yang meminta PTSP yang sudah baik untuk mendampingi upaya pengembangan di tempatnya. Apapun model kerjasama yang dipilih, dipersyaratkan adanya PTSP yang sudah baik di wilayah bersangkutan. Tanpa itu, model ini menjadi sulit dilakukan. Di sini sudah baik tidak berarti PTSP berhenti belajar. Seorang pengelola PTSP mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut:

“Kami mengambil paparan praktik baik dari daerah-daerah. Bagus di kami belum

tentu di daerah lain. Begitu juga bagus di daerah lain belum tentu di kami. Selalu

masih dapat sesuatu.”

Saling belajar ternyata tidak terbatas di antara PTSP dalam satu provinsi. Tidak jarang ada PTSP yang belajar ke luar provinsinya karena di wilayahnya belum ada PTSP yang dapat dijadikan rujukan. Namun, hal ini dapat dikatakan telah di luar lingkup ‘forum’ provinsi.

PTSP yang saling belajar dengan PTSP di provinsi yang sama akan tetap mengikuti forum formal di wilayahnya apabila sudah ada. Namun, karena berbagai keterbatasan yang ada, keikutsertaan dalam forum formal tersebut lebih untuk menjaga relasi dengan sesama PTSP di tingkat provinsi. Guna meningkatkan mutu forum, PTSP akan mengundang pihak luar sebagai narasumber. Kehadiran pihak luar, apalagi jika dari pemerintah pusat, juga diharapkan memotivasi anggota forum untuk menjalankan agenda perubahan.

(41)

Relasi yang langsung dan cair semacam itu membuat setiap PTSP juga berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari. PTSP yang sudah baik dijadikan tempat bertanya tentang bermacam hal, termasuk informasi terbaru mengenai PTSP. Ada daerah di mana antar PTSP tidak terdapat kesepakatan kerjasama, tetapi komunikasi tetap dilakukan pada berbagai kesempatan. Pengelola PTSP membagikan pandangan pihaknya mengenai bantuan bagi PTSP yang belum baik melalui wadah forum demikian:

“Kami mau karena kami ingin menciptakan satu visi PTSP, yaitu orang masuk

provinsi ini bisa dilayani dengan satu sistem. Bisa online sama. Ini semestinya

provinsi yang memikirkan. Ini perasaan yang sama di kabupaten/kota. Investor

masuk, syaratnya sama semua, tapi inikan tidak mudah.”

“Begitu ada daerah bilang mau punya sistem layanan seperti di kami, mereka

bilang sudah kami ikut kalian saja, kami bilang kalau begitu pakai saja. Akhirnya

syarat dan sistemnya sama. Tidak ada imbalan apa-apa untuk kami. Perangkat

mereka sediakan sendiri. Mereka hanya beri uang lelah untuk staf teknis (tim IT).”

PTSP Kubu Raya merupakan salah satu PTSP yang menjadi teman belajar bagi PTSP lain. Belakangan ini, mereka memfungsikan situs web untuk menyampaikan informasi terbaru mengenai PTSP yang tidak saja dapat dibaca oleh pihak luar, tetapi juga sesama PTSP. Situs web tersebut diperbarui secara rutin. Selain situs web, Kubu Raya menggunakan media sosial Facebook, juga situs blog. “Kami sampaikan kepada teman-teman PTSP kabupaten/ kota bahwa mereka bisa mengakses website kami untuk memperoleh informasi. Kalau ada hal tertentu yang belum dimengerti, kami persilakan mengontak kami,” kata seorang pengelola PTSP Kubu Raya. Kubu Raya bersedia memberikan contoh dokumen bila diminta.

(42)

3.2. Aspek Teknis

3.2.1. Membentuk Tim Teknis yang Efektif

Sebagaimana disampaikan di bagian awal buku ini, salah satu ciri utama PTSP adalah keberadaan Tim Teknis yang terdiri dari unsur-unsur SKPD Teknis tetapi bekerja di bawah koordinasi Kepala PTSP. Dengan adanya Tim Teknis, koordinasi kelembagaan antara PTSP dengan SKPD dalam pemrosesan izin tidak perlu lagi secara langsung, cukup melalui Tim Teknis.

Dalam praktik, tidak mudah membentuk Tim Teknis yang efektif. Dalam beberapa kasus, SKPD Teknis enggan mengirim orangnya untuk bertugas sebagai anggota Tim Teknis dengan berbagai alasan. Dalam beberapa kasus lain, Tim Teknis ada, tetapi tidak diberi kewenangan yang cukup, sehingga dalam pemrosesan izin masih diperlukan rekomendasi teknis yang harus ditandatangani oleh Kepala SKPD. Hal seperti itu tentu saja menyebabkan pemrosesan izin memakan waktu labih lama, karena meskipun sudah ada PTSP, tetapi pemrosesan izin lebih mirip dengan sistem pelayanan satu atap.

Kabupaten Aceh Selatan adalah contoh daerah yang mampu membentuk Tim Teknis yang efektif untuk PTSP-nya. Tim Teknis dibentuk melalui SK Bupati dan beranggotaan unsur-unsur dari dinas. Orang yang terlibat dalam Tim Teknis adalah mereka yang mendapat mandat dan penugasan dari Kepala SKPD untuk bertindak untuk dan atas nama SKPD dalam pemrosesan izin.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dikemukakan meliputi data perbe- daan skor total tes pemahaman awal konsep genetika, data kelompok konsep genetika yang banyak tidak dapat dijawab

Nakon što smo naučili liniju na kojoj će se izvršavati manipuliranje predmetima rada u pokretu, potrebno je uskladiti kameru se radnim područjem, te naučiti

Hasil perencanaan ini telah memberikan layanan yang sangat baik untuk user dan pelanggan.Setelah diketahui jumlah antena pRRU yang digunakan, panjang kabel, tata

Kegiatan seminar, kuliah umum (tamu) dan ketersediaan sarana dan sarana PBM diantaranya adanya gazebo untuk tempat belajar mahasiswa, kemudahan mahasiswa dan dosen dalam akses

Untuk mengatur property teks, seperti ukuran, warna, jenis dan sebagainya, kita dapat melakukannya dengan cara memilih (block) terhadap teks yang akan diatur dan

Pihak PMK hanya bertindak sebagai pemudahcara (orang tengah) sahaja dan tidak akan melayan sebarang aduan berhubung hutang sewa dan yang berkaitan dengannya. - Semua

Parameter pertumbuhan tanaman di atas menunjukan bahwa pertumbuhan bibit jeruk meningkat nyata akibat pemberian CaCO 3 7,31 g/kg dan CaCO 3 14,62 g/kg1 jika disertai

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada keyboard di Unit Pelayanan Penunjang Medik Rumah Sakit Ratu ditemukan Staphylococcus aureus sebanyak 68,75% Disarankan