• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Ketika menyusun standar untuk IMB, kami bersama-sama menelusuri pekerjaan tim teknis dalam mengurus IMB Kami dipimpin sekda Beliau kebetulan mantan

Dalam dokumen 430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b (Halaman 45-48)

Syamsir, kepala PTSP Barru, mengatakan komitmen dari pimpinan daerah sangat diperlukan dalam proses ini. Penunjukan sekda untuk memimpin tim membuat semuanya lebih mudah. “Kalau sesama SKPD yang rapat, bertengkarnya bisa 10 jam,” tukas dia. Menurutnya, keterlibatan unsur di luar pemerintah sebagai pengawas dan penekan juga memberi kontribusi. Dalam pengalamannya, unsur non pemerintah dapat membantu menjaga agar pemerintah tetap berjalan di koridor pelayanan publik. Karena itu, keterlibatan unsur non pemerintah secara nyata perlu selalu dimungkinkan, bahkan disyaratkan dalam proses pembahasan serupa.

Secara konkrit, adanya SOP dan standar pelayanan juga membantu kelancaran pelaksanaan tupoksi PTSP maupun instansi teknis. Bagi PTSP, SOP membuat sistem dapat berjalan, pun ketika terjadi pergeseran staf atau pejabat. “Secara umum pergantian staf tidak menjadi masalah karena SOP sudah memberikan kepastian dan kejelasan prosedur dan mekanisme. Sudah diatur siapa mengerjakan apa dan lain-lain,” jelas seorang pengelola PTSP. Dengan SOP dan standar pelayanan, siapapun yang melayani atau mengerjakan tugas hasilnya diharapkan sama. “Sekarang kalau saya meninggalkan kantor untuk urusan di luar, sistem sudah jalan. Kebijakan dari atas sudah berjalan,” kata seorang kepala PTSP tentang manfaat SOP dan standar pelayanan. SOP di beberapa daerah telah disahkan dengan SK kepala daerah. Sementara itu, ada daerah yang menggunakan SK kepala PTSP. Dasar hukum yang lebih kuat dengan SK kepala daerah memberi daya paksa yang lebih besar pula kepada pihak terkait untuk menjalankannya. Meski demikian, sekali lagi, pembelajaran di lapangan menunjukkan proses ini sebaiknya tidak dipaksakan. PTSP selalu dapat memulai dari apa yang memungkinkan, untuk ditingkatkan saat ada kesempatan. “Kalau mau sekalian, resistensi akan besar. Semua ada resistensi termasuk dari SKPD. Tidak bisa langsung,” papar seorang pengelola PTSP.

3.2.3. Mengelola Sumber Daya Manusia di PTSP

PTSP yang baru dibentuk pada umumnya menerima suplai tenaga kerja dari instansi pemerintah lainnya. Dalam perjalanannya pun, model transfer pegawai ini tetap dilakukan, terutama ketika belum ada jatah untuk merekrut PNS sendiri. Cara tersebut cukup ampuh mengisi kekurangan jumlah SDM. Masalahnya, yang kerapkali terjadi adalah instansi lain hanya memberikan orang yang tidak mereka inginkan di tempat mereka, entah karena yang bersangkutan dinilai kurang mampu bekerja atau tidak lagi dibutuhkan. Dengan profil SDM yang tidak ideal tersebut, upaya perbaikan pelayanan perizinan pun menemui tembok tinggi.

Sejumlah PTSP mengalami bahwa orang yang dipindahkan dari instansi lain tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dalam pelayanan perizinan. Ada juga orang yang membawa serta etos kerja di tempat lama ke PTSP, sehingga menghambat perubahan. Dengan demikian di samping problem pola pikir, PTSP menghadapi SDM yang tidak kapabel secara teknis. Maka, tantangan besar yang perlu diatasi adalah

Praktik baik dari sejumlah PTSP menunjukkan bahwa problem pola pikir diatasi dengan mendorong staf mematuhi SOP dan standar pelayanan yang ditetapkan. Secara berkala, PTSP melakukan pertemuan internal untuk membahas persoalan yang muncul serta mengevaluasi pencapaian. Diciptakan situasi di mana staf PTSP bersikap terbuka. Ini dimulai dengan sikap terbuka dari pucuk pimpinan. Pertemuan tidak untuk mencari kesalahan, tetapi semua diajak melihat ke depan, dalam hal ini, bagaimana memperbaiki kekurangan. Pada awalnya, keterbukaan belum muncul. Namun, seiring dengan waktu dan contoh yang diberikan, staf menjadi lebih terbuka satu sama lain. Pemimpin memberikan contoh kepada staf. Ketika ada staf yang kurang optimal dalam bekerja, pemimpin mencoba mendekati dan menanyakan apa penyebabnya. Sebagian orang yang ‘dibuang’ dari instansi asalnya diketahui bukan karena malas atau tidak mampu. Ada juga yang tidak diberi peran yang sesuai dengan kemampuan mereka. Pemimpin mencoba menggali potensi dan minat masing-masing orang dan sedapat mungkin memberikan pekerjaan yang sesuai, kecuali jika sama sekali tidak memungkinkan karena semua peran yang ada telah terisi. “Kami coba memanusiakan mereka,” tutur seorang kepala PTSP.

Di PTSP Kubu Raya, staf diminta agar rajin membaca dan mencari pengetahuan baru dengan melakukan browsing

di internet menggunakan fasilitas kantor. Sesekali kepala PTSP mengecek berapa kali dalam sehari staf juga membuka situs web PTSP. Pemimpin terus memberikan semangat kepada staf agar selalu mau berkembang menjadi lebih baik setiap hari.

Perubahan pola pikir juga pada akhirnya berkaitan dengan sejauh mana staf bersedia melayani masyarakat tanpa mengharapkan imbal balik. Harus diakui, PTSP, kendati hanya di tingkat kabupaten, merupakan lahan yang basah bagi peluang terjadinya pungutan liar. PTSP Barru mencoba menangani persoalan pungli dengan penerbitan peraturan bupati tentang tunjangan kesejahteraan pegawai. Sebelumnya, ada semacam biaya tidak resmi untuk setiap permohonan pengajuan izin sebesar Rp 50.000. Sejauh ini, peraturan bupati tersebut belum diimplementasikan tanpa alasan yang jelas. Bersamaan dengan itu, PTSP berupaya mengatasi dengan menerbitkan ketentuan mengenai biaya pengurusan izin yang ditampilkan pada tempat-tempat yang mudah dilihat pemohon di kantor PTSP. Di samping itu, besaran biaya pengurusan untuk sebagian besar izin juga dicantumkan pada blanko pendaftaran.

Sementara itu, PTSP Kubu Raya juga menetapkan sejumlah langkah untuk menekan kemungkinan pungli. Selain membuat Perda Retribusi Perizinan dan Peraturan Bupati tentang Standar Operasional Prosedur sebagai payung hukum. PTSP juga bekerjasama dengan BPD Kalbar untuk

Seiring dengan upaya mengubah pola pikir, sejumlah PTSP juga menyiasati relatif rendahnya kemampuan teknis SDM dengan beberapa cara. Salah satu yang paling sering dilakukan adalah mengikutkan staf dalam pelatihan- pelatihan, baik yang diadakan secara internal (in-house training) secara mandiri atau bersama lembaga konsultan maupun yang diselenggarakan pihak luar, seperti BKPM dan Kemendagri. Diklat-diklat semacam ini dianggap cukup bermanfaat bagi staf sebab memperkaya pengetahuan dan pengalaman mereka. Hanya saja, kekurangan dari pelatihan semacam ini adalah singkatnya waktu dengan agenda pelatihan yang tak jarang juga meleset dari kebutuhan karena tidak dirancang khusus (customized) bagi setiap PTSP dengan konteks dan permasalahan yang berbeda-beda.

Kelemahan dari sisi kualitas dalam sejumlah kasus juga ditambah dengan kekurangan secara kuantitas. Untuk menyiasati kekurangan tenaga, PTSP menambah pekerjaan dari staf yang dianggap memiliki kemampuan lebih. Karena sistem remunerasi staf PTSP belum banyak memungkinkan staf yang rajin atau memiliki beban kerja lebih besar juga memperoleh imbalan yang lebih tinggi, maka beberapa PTSP menyiasati dengan sengaja memberikan lebih banyak kesempatan tugas keluar kepada staf tersebut. Dengan banyak tugas keluar, staf akan menerima uang perjalanan dinas lebih besar. Ini semacam penghargaan kepada staf yang rajin dan pandai.

Mengingat pelayanan perizinan pada dasarnya bersifat jasa, maka staf PTSP diminta untuk meneladani bagaimana pegawai di sektor jasa, seperti perbankan dan asuransi, melayani nasabahnya. Kepuasan nasabah diutamakan dengan perhatian kepada detail kecil saat memberikan pelayanan, seperti tidak lupa untuk selalu tersenyum. Staf selalu diingatkan tentang hal ini dalam pertemuan berkala maupun langsung secara personal dalam waktu kerja sehari-hari. Seorang pengelola PTSP menyampaikan pengalamannya demikian:

“Yang harus kami lakukan adalah bagaimana mengubah mindset dari mental

Dalam dokumen 430f4525 49ad 4be1 9342 2f86669f887b (Halaman 45-48)