• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Bahasa merupakan alat komunikasi penting dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa manusia dapat berinteraksi antar sesama.

Dalam menyampaikan pendapat atau gagasan manusia dapat melakukannya secara lisan maupun tulisan. Melalui media komunikasi di ruang virtual internet seperti; instagram, facebook, youtube,tweteer, dan sebagainya memudahkan manusia berinteraksi sosial dengan cara tulisan.

Bahasa adalah alat atau media komunikasi masyarakat untuk menyampaikan pesan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Masyarakat lebih mudah menyampaikan suatu pesan dengan adanya bahasa sehingga tujuannya mudah tersampaikan (Jayanti, 2018:78).

Menurut Rahima (Jambi & Semantik 2019:113), berbagai kemungkinan perubahan yang sering terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik itu tidak terlepas dari bahasa. Kosakata baru muncul seiring berjalannya waktu sehingga beberapa kosakata lama terlupakan karena hampir tidak pernah digunakan lagi. Meskipun bahasa memiliki kaidah tertentu, namun bahasa itu juga digunakan oleh setiap orang yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda, sehingga manusia dapat

menggunakan bahasa secara beragam sehingga struktur bahasa dan keberagaman makna menimbulkan perbedaan.

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat bahasa merupakan hal yang sangat penting terutama dalam melakukan komunikasi. Selain digunakan dalam berkomunikasi bahasa juga digunakan dalam menyampaikan ide dan gagasan. Penyampaian ide dan gagasan dilakukan baik melalui lisan maupun tulisan. Penyampaian secara lisan langsung keluar dari si pembicara sedangkan penyampaian secara tertulis manusia dapat menyampakan ide dan gagasannya melalui media seperti, tulisan di dalam kertas/surat, televisi, radio, dan sebagainya (Samsuddin & Ahmad, 2018).

Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):

وَ

Artinya ”Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling” (Al-Baqarah: 83).

Media sosial sudah masuk ke dalam aspek kehidupan masyarakat pada era sekarang. Mulai dari kalangan anak-anak hingga dewasa hampir sacara umum memiliki akun di dalam media sosial seperti twiter, youtube, instagram, facebook dan lain-lain. Namun, pegguna media sosial lebih di dominasi oleh kaum remaja. Hal tesebut pernah dilakukan riset oleh

Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) yang menunjukan hasil kalangan remaja pada usia 15-19 tahun lebih mendominasi menggunakan internet sejumlah 64% di Indonesia Aspari (dalam Linur & Mubarak 2020:9). Pada akhir 2018 detik.com melaporkan bahwa populasi orang di dunia sebanyak 7,6 miliar, sedangkan jumlah pengguna internet di dunia mencapai 4,1 miliar orang kemudian yang terhitung aktif dalam menggunakan media sosial sejumlah 1,8 miliar Hidayat (dalam Linur &

Mubarak 2020:9).

Dalam kehidupan sosial, etika merupakan suatu istilah yang berkaitan tentang moralitas seseorang (Nugroho, 2018: 29). Seseorang yang memiliki etika tidak baik lebih dipandang tidak bermoral segala sesuatu baik tindakan ataupun lisanya yang dilakukan tidak dapat menyaring baik serta buruknya sesuatu, begitupun dengan netizen dapat dinilai etikanya ketika bertutur. Musibah penggunaan media sosial terjadi akibat tidak adanya suatu penyaringan ataupun pertimbangan yang baik.

Hadits Riwayat Imam Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi sallallahu alaihi wassalam bersabda.

Artinya : Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek” [HR Muslim]

Imam Nawawi rahimatullah dalam syarah muslim menjelaskan hadist di atas dengan mengatakan: “Dalam hadis-hadis ini terdapat keutamaan untuk berlemah lembut dan motivasi untuk berahlak baik serta celaan terhadap sikap keras dan kasar dan sikap lemah lembut merupakan sumber segala kebaikan.

Sindang (dalam Linur & Mubarak 2020:9) Berpendapat bahwa ada lima karakteristik dalam media sosial ; (1) Partisipasi, media sosial memiliki partisipasi untuk mendorong suatu kontribusi dan respon baik terhadap orang yang berminat. (2) keterbukaan, media sosial terhadap partisispasi dan umpan balik. Artinya, media sosia sangat terbuka dalam mengakses serta memanfaatkan suatu konten disukai tanpa adanya suatu hambatan.

(3) Percakapan, dalam media sosial lebih efektif dilihat dengan dua arah.

(4) komunitas media sosial membrikan wadah untuk membentuk komunitas sehingga lebih efektif dalam berkomunikasi. (5) keterhubungan beberapa jenis media sosial yang berkembang memiliki keterhubungan dengan cara tautan ke situs lain yang dimanfaatkan, sumber daya serta akun-akun yang ada di dalamnya.

Facebook merupakan media sosial yang sangat populer di kalangan masyarakat. Facebook adalah media sosial yang dicetus oleh Marck Zukerbeck dan merupakan media soasial dengan peminat banyik banyak di dunia. Media sosial facebook memiliki kolom status yang memungkinkan penggunanya untuk mengejawantahkan segala sesuatu

yang dialami pengguanya dalam bentuk naratif. Pengguna media sosial ini dapat memberikan sumbangsih ide dan gagasan terhadap si pembuat status pada kolom komentar yang terdapat di dalam facebook. Komentar yang diberikan biasanya berupa masukan ataupun evaluasi Maulidiyah (Linur & Mubarak, 2020:10). Dengan demikian peneliti mengambil kesimpulan bahwa kolom komentar yang terdapat di dalam facebook merupakan stimulus yang dapat menarik respon netizen untuk memberikan sumbangsih baik berupa masukan maupun kritikan.

Allan dan Burridge sependapat dengan McArthur (Tanjungpura, 2018:69) yang mendefinisikan bahwa disfemisme adalah “the use a negative or disparamging expression to describe something or someone”.

McArthur berpendapat bahwa disfemisme merupakan ungkapan negatif atau kritikan yang digunakan oleh seseorang. Ungkapan disfemisme memiliki intensi sehingga dapat melukai perasaan lawan tuturnya.

Menurut Zolner (dalam Tanjungpura, 2018:69), penggunaan disfemisme dengan latar belakang yang berbeda-beda, contohnya mengungkapkan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila, menunjukkan rasa tidak senang atau tidak setuju dengan sesuatu, menggambarkan sisi negatif seseorang, marah atau jengkel, memaki sesorang, merendahkan orang lain, mengejek, menghina, melebih-lebihkan, mengkritik natau menghujat. Disfemisme merupkan kebalikan dari eufemisme untuk mengganti kata yang bermakna halus atau biasa terhadap kata yang memiliki makna kasar. Disfemisme adalah suatu ungkapan yang

berkonotasi kasar, kesat, tidak sopan, dan dapat menyinggung sehingga memunculkan perasaan kurang senang dan menyakitkan hati orang lain yang bertujuan untuk membuat keadaan menjadi buruk. Menurut Allan dan Burridge (dalam Buhari, 2020:159) disfemisme merupakan bahasa kasar yang digunakan dengan tujuan sebagai senjata untuk mengalahkan lawan atau bahasa tidak sopan yang diungkapkan untuk mengekspresikan luapan emosi seperti melepas kemarahan, kebencian, kekecewaaan, kekesalan, dan seagainya. Ungkapan disfemisme juga memiliki fungsi untuk menghujat, menguatkan dan menegaskan makna dalam konteks tertentu sehingga maksud ungkapan terkesan tercapai kepada pendengar maupun pembaca Elisa Nurul Laili (Buhari, 2020:159).

Di era sekarang sering ditemukan pemakaian disfemisme di dalam media sosial untuk menyampaikan rasa ketidaksenangan netizen terhadap seseorang. Selain itu pemakaian disfemisme memiliki tujuan untuk menunjukkan rasa tidak suka dan hal yang negatif terhadap tindakan dan suatu peristiwa yang terjadi.

Disfemisme bisa muncul dalam bentuk satuan gramatikal dengan berbeda-beda. Satuan gramatikal disfemisme dianggap penting untuk membantu pembaca untuk memahami teks yang dibaca tersebut. Selain itu, latar belakang penggunaan disfemis memampu membantu pembaca menerapkan, menggunakan, dan menganalisis penggunaan disfemisme tersebut sesuai dengan konteks yang tetap (Pascarina, 2018:3).

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa disfemisme merupakan cara mengungkapkan fakta dan pikiran melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang memiliki makna keras, kasar, tidak ramah, atau memiliki konotasi tidak sopan untuk menggantikan kata atau ungkapan yang memiliki makna halus, biasa, atau yang tidak menyinggung perasaan, lebih singkatnya disfemismeadalah suatu ungkapan yang memiliki konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan hati seseorang.

Sopan santun merupakan adab yang seharusnya dimiliki dan dipraktik kan oleh seorang Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, karena inilah yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya, sebagaimana dalam Al- Quran Surat Al Qolam Ayat 4 yang menceritakan tentang akhlak mulia Nabi Muhammad.

Artinya: “Sungguh, kamu (Muhammad) mempunyai akhlak yang agung” [QS Al-Qalam : 4]

Contoh kata yang mengandung bahasa disfemisme pada momen Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yaitu munculnya istilah “cebong dan kampret”. Istilah Cebong digunakan oleh para pendukung panatik calon Presiden Prabowo Subianto untuk mengolok-olok para pendukung calon Presiden Joko Widodo, padahal cebong berasal dari kata kecebong yang merupakan anak katak. Sementara pendukung fanatik calon Presiden Joko Widodo menggunakan istilah Kampret untuk mengolok-olok

pendukung Capres Prabowo Subianto, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kampret adalah kelelawar kecil pemakan serangga.

Penyebab maraknya disfemisme netizen di media sosial khusunya facebook disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keterbatan akses identitas netizen, rendahnya kesadaran netizen terhadap risiko hukum dalam media sosial, terlalu fanatik terhadap tokoh atau kelompok, memilih judul berita yang cenderung provokatif, dan penerapan belajar agama yang rendah sehingga berdampak kepada kesantunan berbahasa. Jika ditelusuri secara hukum syariat, menghina sesama muslim dengan kata-kata kasar itu adalah tindakan yang masuk kategori dosa besar. Al-Kaba-ir. Allah, Azza wa Jalla berfirman,

اﻟﱠ و

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa da kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (QS. Al-Ahzab:58).

Rasululla shallahu alaihi wa sallam juga menegaskan dalam hadis yang diriwayatkan,

Dari Abdullah ia berkata, “Mencela/menghina seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. An-Nasa-i no. 4036).

Sibab adalah asy-Syatmu. Artinya mengutuk. Sibab itu celaan atau kutukan yang lebih parah dari Sabb. Kalau sabb itu mencela sekadarnya tanpa unsur kedustaan, sedangkan sibab adalah mencela dan mengutuk dengan unsur kebohongan (sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri yang dicela) dan aib orang yang dicela. Sabb dan sibab sama-sama perbuatan yang dilarang dan berdosa. Imam an-Nawawi menjelaskan,

“Fasik itu secara etimologi artinya keluar. Keluar dari ketaatan. Maksud hadits di atas, menghina seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan hukumnya haram berdasarkan Ijma‟. Pelakunya dihukumi sebagai fasik, sebagaimana keterangan dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam di atas.” Syaikh asy-Syinqiti mendetailkan, “Itu menunjukkan bahwa kedua tindakan tersebut adalah bagian dari dosa besar.” Gaya mencela dan menghina mungkin berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain.

Namun, penghinaan, celaan, kutukan, dan semisalanya yang menggunakan ujaran binatang atau nama binatang itu termasuk kategori Sibab sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Menghina dengan sebutan „Wahai anak anjing‟, „Kamu anak lutung‟, „Dasar kampret‟

(Kampret: bahasa jawa: anak kelelawar), „Mereka itu sekumpulan binatang‟, dan masih banyak lagi hinaan dan celaan yang sering terdengar di masyarakat. Model-model hinaan seperti itu termasuk kategori Sibab yang hukumnya haram dilemparkan kepada sesama muslim. Itu adalah dosa besar. Menghina dengan sebutan binatang kepada sesama muslim, selain itu termasuk dosa besar, perbuatan itu

juga tentu berakibat negatif pada muslim yang dihina atau dicela. Hinaan dan celaan itu tentu akan menyakiti hati dan perasaan. Ketika hati seorangmuslim tersakiti oleh kezaliman berupa celaan dan hinaan dengan ujaran kalimat binatang, rasa sakit itu sangat mungkin akan membekas kuat dalam hatinya. Jika muslim yang dihina tidak memiliki kesabaran dan sifat lapang dada yang lebih, hinaan yang membekas dalam hatinya akan berubah menjadi rasa benci. Bahkan, bisa jadi akan ia wujudkan dalam aksi balasan.

Berdasarkan latar belakang di atas, alasan peneliti memilih momen Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 untuk digunakan sebagai objek dalam penelitian ini karena banyaknya indikasi penggunaan disfemisme netizen pada momen pemilihan Presiden 2019 yang saling serang menyerang pribadi ataupun menjelek-jelekkan kedua kandidat calon Presiden.

Dokumen terkait