• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Teori dan Konsep…

3. Hakikat Disfemisme

Disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme, untuk menggantikan kata yang bermakna halus atau biasa kepada kata yang bermakna kasar.

Disfemisme merupakan satu ungkapan dengan konotasi kasar, kesat,

tidak sopan, menyinggung dan menimbulkan perasaan kurang senang dan menyakitkan hati orang lain dengan tujuan menjadikan situasi tidak santun dan memburukkan keadaan. Menurut Allan dan Burridge (dalam Buhari, 2020) disfemisme adalah penggunaan bahasa kasar dengan tujuan sebagai senjata untuk berlawan atau menaklukkan lawan, atau bahasa kasar yang diucapkan untuk mengekspresikan perasaan dan emosi seperti melepaskan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, kebencian dan sebagainya. Ungkapan dan unsur disfemisme juga berfungsi untuk menghujah, menguatkan dan menegaskan makna dalam konteks tertentu Elisa Nurul Laili (dalam Buhari, 2020) agar kesan dan maksud ungkapan tercapai kepada pendengar maupun pembaca.

Disfemisme merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, menyakitkan hati mengenai sesuatu, seseorang atau keduanya, dan merupakan pengganti untuk ungkapan netral (biasa) atau eufemisme karena alasan-alasan tertentu. Disfemisme menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih jelek. Disfemisme merupakan suatu pernyataan yang berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada kenyataannya dan kebalikan dari eufemisme.

Selain itu, disfemisme memiliki fungsi dalam penggunaannya.

Disfemisme dapat berfungsi untuk menunjukan kejengkelan dan memberikan tekanan tanpa terasa kekasarannya pada sebuah kata yang sebenarnya kasar. Chaer (dalam Fiiarum & Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, FBS, 2018) juga menambahkan bahwa disfemia sengaja dilakukan untuk memberikan kesan tegas.

Berdasarkan definisi yang diberikan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa disfemisme merupakan cara mengungkapkan pikiran dan fakta melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang bermakna keras, kasar, tidak ramah atau berkonotasi tidak sopan karena alasan-alasan tertentu (misalnya untuk melepaskan kekesalan hati, kemarahan, kekecewaan, frustrasi, dan rasa benci atau tidak suka), juga untuk menggantikan kata atau ungkapan yang maknanya halus, biasa atau yang tidak menyinggung perasaan.

Pemakaian disfemisme dapat menyebabkan suatu kata, frasa, atau klausa memiliki makna yang berbeda dari sesungguhnya. Pemakaian disfemisme dapat diketahui dari konteks peristiwa atau kalimat yang melatarbelakanginya.

Allan dan Burridge dalam Saifullah (2019:77) mengatakan bahwa disfemisme memiliki berbagai latar belakang, yaitu; (1) menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila, (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau sesuatu, (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu, (4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan, (5) mengumpat atau memaki, (6) menunjukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang, (7) mengolok-olok, mencela, atau menghina, (8) melebih-lebihkan sesuatu, (9) menghujat atau mengkritik, dan (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah.

a. Bentuk Kebahasaan Disfemisme

Pada prinsipnya, bahasa terdiri dari dua lapisan, yaitu lapis bentuk dan lapis makna yang dinyatakan oleh bentuk itu. Bentuk bahasa terdiri atas bentuk-bentuk gramatikal yang berupa wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, morfem.

Sementara disfemisme ini sendiri bisa mengandung dua macam makna, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal.

Makna leksikal adalah makna secara inheren dimiliki oleh setiap leksem (sebagai satuan leksikon). Makna leksikal ini adalah makna yang secara inheren nada di dalam kata itu terlepas dari konteks apa pun.

Misalnya, kata pensil memiliki makna ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’. Makna leksikal ini adalah makna yang apa adanya, makna yang sesuai dengan hasil observasi kita, makna yang sesuai rujukkannya, makna yang sesuai dengan konsepnya.

Disfemisme atau pengasaran bahasa tidak jauh dari kata-kata makian, hinaan, ejekan dan tuturan sejenisnya. Disfemisme bahasa Indonesia sebagai pengganti kata-kata yang bernilai rasa baik ternyata dapat berwujud sebagai berikut:

(1) Pengasaran atau makian berbentuk kata, dalam hal ini, bentuk pengasaran yang digunakan yaitu berupa kata dan digantikan bentuk gramatikal yang memiliki nilai rasa lebih halus.

(2) Pengasaran atau makian berbentuk frasa, dalam hal ini, bentuk pengasaran yang digunakan yaitu berupa frasa dan digantikan bentuk lain yang memiliki nilai rasa lebih halus.

(3) Pengasaran dan makian berbentuk klausa, dalam hal ini, bentuk pengasaran yang digunakan yaitu berupa klausa dan digantikan bentuk lain yang memiliki nilai rasa yang lebih halus.

b. Tujuan Penggunaan Disfemisme

Disfemisme bertujuan untuk memberikan gambaran negatif tentang suatu tindakan atau seseorang. Berkaitan dengan kata-kata yang tabu, menyatakan bahwa penggunaan kata-kata yang tabu antara lain untuk menarik perhatian kepada seseorang, menunjukkan rasa tidak hormat, menunjukkan sifat agresif atau provokatif, mengolok-olok penguasa, atau pembujukan yang bersifat verbal.

Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai sebuah praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi dari realita yang ada. Kedua, implikasi adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial Eriyanto (dalam Siswanto & Febriana, 2018).

Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough, pada dasarnya berusaha membangun sebuah model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya. Fairclough dan Wodak (dalam

Saraswati & Sartini, 2017) menegaskan bahwa analisis wacana kritis melihat wacana (pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan) sebagai bentuk praktik sosial sehingga bisa jadi menampilkan efek ideologi, memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki, perempuan, maupun kelompok mayoritas dan minoritas. Oleh karena itu, unsur tekstual yang selalu melibatkan bahasa dalam ruang tertutup dikombinasikan dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Inti analisis wacana Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.

Analisis wacana kritis Fairclough berusaha untuk mengintegrasikan linguistik dengan perubahan sosial sehingga wacana ini disebut sebagai model perubahan sosial (Dialectical-Relational Approach/DRA). Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa karena pemakaian bahasa digunakan untuk merefleksikan sesuatu. Pertama, wacana adalah bentuk tindakan, bahasa digunakan sebagai bentuk representasi dalam melihat realitas sehingga bahasa bukan hanya diamati secara tradisional atau linguistik mikro, melainkan secara makro yang lebih luas dan tidak lepas dari konteksnya. Kedua, mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial.

Fairclough (dalam Sarawati & Sartini, 2017) membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural practice. (1) Teks digunakan sebagai bentuk representasi sesuatu yang mengandung ideologi tertentu sehingga teks dibongkar secara linguistis

karena ingin melihat bagaimana seuatu realitas itu ditampilkan atau dibentuk dalam teks yang bisa jadi membawa pada ideologis tertentu, bagaimana penulis mengonstruksi hubungannya dengan pembaca (baik secara formal atau informal, tertutup atau terbuka), dan bagaimana suatu identitas itu hendak ditampilkan (identitas penulis dan pembaca), artinya dalam analisis teks ini meliputi representasi, relasi, dan identitas. (2) Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Proses produksi teks lebih mengarah pada si pembuat teks tersebut. Proses ini melekat dengan pengalaman, pengetahuan, kebiasaan, lingkungan sosial, kondisi, keadaan, konteks, dan sebagainya yang dekat pada diri atau dalam si pembuat teks.

Sementara itu, untuk konsumsi teks bergantung pada pengalaman, pengetahuan, konteks sosial yang berbeda dari pembuat teks atau bergantung pada diri pembaca/penikmat. Bagaimana cara seseorang dapat menerima teks yang telah dihadirkan oleh pembuat teks. Sementara kaitannya dalam distribusi teks, yaitu sebagai modal dan usaha pembuat teks agar hasil karyanya dapat diterima oleh masyarakat. (3) Socio-cultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Seperti konteks situasi. Konteks yang berhubungan dengan masyarakat, atau budaya, dan politik tertentu yang berpengaruh terhadap kehadiran teks.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara

mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan keterpaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks;

serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.

Menurut Faiclough dan Wodak (dalam Annas & Fitriawan, 2018), analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik produksi teks bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran atau alamiah, dan memang seperti itu kenyataannya. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik yang dibicarakan. Dengan

pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat.

Pendekatan Norman Fairclough dalam menganalisis teks dianggap lengkap karena berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu;

1.Dimensi Tekstual (Mikrostruktural), meliputi: representasi, relasi, dan identitas.

2. Dimensi Praktik Produksi Teks (Meso-struktural), meliputi: produksi teks, penyebaran teks dan konsumsi teks.

3. Dimensi Praktik Sosial Budaya (Makrostruktural), meliputi: situasional, institusional dan sosial.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disfemisme adalah penggantian suatu ujaran yang bernuansa makna netral atau halus dengan ujaran lain yang mempunyai makna sama tetapi dianggap mempunyai nilai rasa lebih kasar makna ujarannya tetap sama, hanya saja diungkapkan dengan kata yang bernilai rasa lebih kasar. Bentuk disfemisme bisa berupa kata, frasa, ataupun klausa. Sementara ada beberapa tujuan penggunaan disfemisme ini tetapi penggunaannya bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, melainkan sekarang juga digunakan dalam media massa semacam berita.

Dokumen terkait