• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISFEMISME PENGGUNAAN BAHASA NETIZEN PADA MOMEN PEMILIHAN PRESIDEN 2019 BAHTIAR TESIS BAHTIAR. Nomor Induk Mahasiswa :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DISFEMISME PENGGUNAAN BAHASA NETIZEN PADA MOMEN PEMILIHAN PRESIDEN 2019 BAHTIAR TESIS BAHTIAR. Nomor Induk Mahasiswa :"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

BAHTIAR 105041305518

TESIS

BAHTIAR

Nomor Induk Mahasiswa : 105041305518

PROGRAM PASCASARJANA

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

(2)
(3)
(4)
(5)

yang baru.

Karena susungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(Al-Insyirah: 5-6).

Motivasi adalah kekuatan untuk terus maju menerjang semua rintangan yang ada untuk meraih apa yang aku inginkan.

PERSEMBAHAN Kupersembahkan kepada:

Ayah dan ibu, Paman,

Kakak, Adik,

Seluruh keluarga peneliti,

Sang motivator sekaligus inspirasi peneliti,

Teman-teman dan Pascasarjana Unismuh Makassar.

Ungkapan terima kasih tidak akan pernah cukup sebagai wujud

syukur. Semoga kita semua selalu dalam lindungan dan

mendapatkan limpahan rahmat Allah Swt., Aamiin!

(6)

Pemilihan Presiden 2019” Dibimbing oleh A. Rahman Rahim dan Syafruddin.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna dan tujuan penggunaan disfemisme yang dilakukan oleh netizen pada momen pemilihan Presiden 2019 yang terdapat di dalam komentar facebook.

Lebih jauh lagi, melalui penelitian ini, peneliti ingin mengidentifikasi perilaku berbahasa netizen pada momen pemilihan Presiden 2019.

Penelitian ini menggunakan metode deskriftif analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik yang digunakan dalam penelitian inin adalah teknik membaca dan mencatat dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk disfemisme berupa kata, frasa, dan klausa. Tujuan dari disfemisme antara lain; (1) sebagai perantara untuk menyatakan hal yang tabu atau tidak senonoh, (2) sebagai penunjuk rasa tidak suka atau tidak setuju, (3) sebagai penunjuk rasa marah atau jengkel, (4) sebagai penunjuk rasa tidak hormat, (5) sebagai sarana untuk mengolok-olok, mencela, atau menghina, (6) sebagai sarana untuk melebih-lebihkan sesuatu dalam bertutur, (7) sebagai sarana untuk mengkritik lawan politik. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia tidak mencerminkan perilaku berbahasa yang santun dalam bermedia sosial (facebook) pada momen pemilihan Presiden 2019.

Kata Kunci: Semantik, Disfemisme, Pemilihan Presiden 2019

(7)
(8)

نِ

ﺑِ

Dengan penuh kerendahan hati dan segala puji dan syukuri kepada Allah Swt, yang telah memberikan hidayah dan magfirah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Makassar.

Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada sang pemimpin yang patut kita teladani yakni Rasulullah Muhammad Saw., para sahabat dan keluarganya yang patut kita jadikan sebagai uswatun hasanah dalam melaksanakan segala aktivitas demi kesejahteraan dan kemakmuran hidup dunia dan akhirat kelak.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis sangat berhutang budi dan sepatutnya berterima kasih kepada kedua orang tua tercinta Baharuddin dan Saharia yang ikhlas mendoakan, membesarkan, membimbing, dan mendidik serta membiayai penulis hingga seperti sekarang, dan tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ;

1. Prof. Dr. H. Ambo Asse, M. Ag., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Dr. H. Darwis Muhdina, M. Ag. Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

(9)

4. Dr. Syafruddin, M. Pd., selaku pembimbing II, serta teman-teman sejawat khususnya kelas A Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2018 yang tidak sempat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan dukungan dalam proses penyelesaian Tesis ini.

Teruntai permohonan maaf penulis atas segala khilaf dan teriring doa semoga Allah Swt. melimpahkan rida dan magfirah-Nya kepada mereka.

Harapan dan doa penulis, semoga sumbangsih dalam bentuk moril maupun materil dari semua pihak mendapat rida dari Allah Swt. dan semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, serta bernilai ibadah di sisi-Nya insyaallah Aamiin Ya Rabbal Alaamiin dan semoga kesalahan atas kekurangan dalam penyusunan Tesis ini semakin memotivasi penulis dalam belajar dan berguna bagi pembaca yang budiman. Untuk itu sangat diperlukan kritik dan saran untuk memperbaiki tulisan ini.

Makassar, April 2021 Penulis

Bahtiar

(10)

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS MOTO DAN PERSEMBAHAN

ABSTRAK ABSTRACT

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ...1

B. Fokus Penelitian ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Penelitian yang Relevan ... 12

B. Tinjauan Teori dan Konsep…... 15

1. Semantik………15

2. Hakikat Makna………..18

3. Hakikat Disfemisme……….29

4. Netizen………. 37

C. Kerangka Pikir ... 38

(11)

C. Teknik Pengumpulan Data………... 42

D. Teknik Analisis Data…..………..……..……….. 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….……….……..44

A. Hasil Penelitian……….………..……….. 44

B. Pembahasan………...……… 123

1. Makna Disfemime Penggunaan Bahasa Netizen pada Momen Pemilihan Presiden 2019………...……. 124

2. Tujuan Netizen Menggunakan Disfemisme pada Momen Pemilihan Presiden 2019……… 134

BAB V SIMPULAN DAN SARAN………..……….…. 151

A. Simpulan……….….. 151

B. Saran……….………….…...151

DAFTAR PUSTAKA ... 153 LAMPIRAN

1. Hasil Tangkapan Layar (Screenshoot) Komentar Netizen di Facebook pada Momen Pemilihan Presiden 2019.

2. Surat Izin Penelitian.

RIWAYAT HIDUP

(12)

1

A. Latar Belakang Penelitian

Bahasa merupakan alat komunikasi penting dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa manusia dapat berinteraksi antar sesama.

Dalam menyampaikan pendapat atau gagasan manusia dapat melakukannya secara lisan maupun tulisan. Melalui media komunikasi di ruang virtual internet seperti; instagram, facebook, youtube,tweteer, dan sebagainya memudahkan manusia berinteraksi sosial dengan cara tulisan.

Bahasa adalah alat atau media komunikasi masyarakat untuk menyampaikan pesan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Masyarakat lebih mudah menyampaikan suatu pesan dengan adanya bahasa sehingga tujuannya mudah tersampaikan (Jayanti, 2018:78).

Menurut Rahima (Jambi & Semantik 2019:113), berbagai kemungkinan perubahan yang sering terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik itu tidak terlepas dari bahasa. Kosakata baru muncul seiring berjalannya waktu sehingga beberapa kosakata lama terlupakan karena hampir tidak pernah digunakan lagi. Meskipun bahasa memiliki kaidah tertentu, namun bahasa itu juga digunakan oleh setiap orang yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda, sehingga manusia dapat

(13)

menggunakan bahasa secara beragam sehingga struktur bahasa dan keberagaman makna menimbulkan perbedaan.

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat bahasa merupakan hal yang sangat penting terutama dalam melakukan komunikasi. Selain digunakan dalam berkomunikasi bahasa juga digunakan dalam menyampaikan ide dan gagasan. Penyampaian ide dan gagasan dilakukan baik melalui lisan maupun tulisan. Penyampaian secara lisan langsung keluar dari si pembicara sedangkan penyampaian secara tertulis manusia dapat menyampakan ide dan gagasannya melalui media seperti, tulisan di dalam kertas/surat, televisi, radio, dan sebagainya (Samsuddin & Ahmad, 2018).

Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):

وَ

إِ

ذْ

أَ

ﺧَ

ذْ

ﻧَ

ﺎ ﻣِ

َﺎ ﯾﺛ ﺑَﻧ قَ

ِ

إِ ﻲ رَ ﺳْ

اﺋِ

ﯾ لَ

ﻻَ

ﻌْ ﺗَ

ﺑُ

دُ

و إِ نَ

ﱠَ ﻻﱠ وَ

ﺑِﺎ وَ ﻟْ

دَ اﻟِ

نِ ﯾْ

إِ

ﺣْ

ﺳ َﺎ ﻧً

وَ ﺎ ذِ

ي

اﻟْ

رْ ﻘُ

ﻰٰ ﺑَ

وَ

ﯾَﺗ اﻟْ

َﺎ ﻣَ

وَ ﻰٰ

ﻣَ اﻟْ

َﺎ ﺳ ﻛِ

نِ ﯾ وَ

ﻗُ

و ﻟُ

و ا ﻟِﻠ ﻧﱠ سِ ﺎ ﺣُ

ﺳْ

ﻧً

وَ ﺎ أَ

ﻗِ

ﻣُ ﯾ و ا اﻟ ﺻ ﱠ ﻼَ

وَ ةَ

ُو آﺗ ا

اﻟ زﱠ ﻛَ

ﺎ ةَ

مﱠ ﺛُ

وَ ﺗَ

ﻟﱠﯾ

ْﺗُ مْ

إِ

ﻻﱠ ﻗَ

ﻠِﯾ ﻼً

ﻣِ

ﻧْ

مْ ﻛُ

وَ

ْﺗُ أَﻧ مْ

ﻣُ

رِ ﻌْ

ﺿ ُو نَ

Artinya ”Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling” (Al-Baqarah: 83).

Media sosial sudah masuk ke dalam aspek kehidupan masyarakat pada era sekarang. Mulai dari kalangan anak-anak hingga dewasa hampir sacara umum memiliki akun di dalam media sosial seperti twiter, youtube, instagram, facebook dan lain-lain. Namun, pegguna media sosial lebih di dominasi oleh kaum remaja. Hal tesebut pernah dilakukan riset oleh

(14)

Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) yang menunjukan hasil kalangan remaja pada usia 15-19 tahun lebih mendominasi menggunakan internet sejumlah 64% di Indonesia Aspari (dalam Linur & Mubarak 2020:9). Pada akhir 2018 detik.com melaporkan bahwa populasi orang di dunia sebanyak 7,6 miliar, sedangkan jumlah pengguna internet di dunia mencapai 4,1 miliar orang kemudian yang terhitung aktif dalam menggunakan media sosial sejumlah 1,8 miliar Hidayat (dalam Linur &

Mubarak 2020:9).

Dalam kehidupan sosial, etika merupakan suatu istilah yang berkaitan tentang moralitas seseorang (Nugroho, 2018: 29). Seseorang yang memiliki etika tidak baik lebih dipandang tidak bermoral segala sesuatu baik tindakan ataupun lisanya yang dilakukan tidak dapat menyaring baik serta buruknya sesuatu, begitupun dengan netizen dapat dinilai etikanya ketika bertutur. Musibah penggunaan media sosial terjadi akibat tidak adanya suatu penyaringan ataupun pertimbangan yang baik.

Hadits Riwayat Imam Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi sallallahu alaihi wassalam bersabda.

إ ن اﻟ ر ﻓ ﻖ ﻻ ﯾ ﻛ و ن ﻓ ﻲ ﺷ ﻲ ء إ ﻻ ز اﻧ ﮫ

، و ﻻ ﯾﻧ ز ع ﻣ ن ﺷ ﻲ ء إ ﻻ ﺷ ﺎﻧ ﮫ

Artinya : Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek” [HR Muslim]

(15)

Imam Nawawi rahimatullah dalam syarah muslim menjelaskan hadist di atas dengan mengatakan: “Dalam hadis-hadis ini terdapat keutamaan untuk berlemah lembut dan motivasi untuk berahlak baik serta celaan terhadap sikap keras dan kasar dan sikap lemah lembut merupakan sumber segala kebaikan.

Sindang (dalam Linur & Mubarak 2020:9) Berpendapat bahwa ada lima karakteristik dalam media sosial ; (1) Partisipasi, media sosial memiliki partisipasi untuk mendorong suatu kontribusi dan respon baik terhadap orang yang berminat. (2) keterbukaan, media sosial terhadap partisispasi dan umpan balik. Artinya, media sosia sangat terbuka dalam mengakses serta memanfaatkan suatu konten disukai tanpa adanya suatu hambatan.

(3) Percakapan, dalam media sosial lebih efektif dilihat dengan dua arah.

(4) komunitas media sosial membrikan wadah untuk membentuk komunitas sehingga lebih efektif dalam berkomunikasi. (5) keterhubungan beberapa jenis media sosial yang berkembang memiliki keterhubungan dengan cara tautan ke situs lain yang dimanfaatkan, sumber daya serta akun-akun yang ada di dalamnya.

Facebook merupakan media sosial yang sangat populer di kalangan masyarakat. Facebook adalah media sosial yang dicetus oleh Marck Zukerbeck dan merupakan media soasial dengan peminat banyik banyak di dunia. Media sosial facebook memiliki kolom status yang memungkinkan penggunanya untuk mengejawantahkan segala sesuatu

(16)

yang dialami pengguanya dalam bentuk naratif. Pengguna media sosial ini dapat memberikan sumbangsih ide dan gagasan terhadap si pembuat status pada kolom komentar yang terdapat di dalam facebook. Komentar yang diberikan biasanya berupa masukan ataupun evaluasi Maulidiyah (Linur & Mubarak, 2020:10). Dengan demikian peneliti mengambil kesimpulan bahwa kolom komentar yang terdapat di dalam facebook merupakan stimulus yang dapat menarik respon netizen untuk memberikan sumbangsih baik berupa masukan maupun kritikan.

Allan dan Burridge sependapat dengan McArthur (Tanjungpura, 2018:69) yang mendefinisikan bahwa disfemisme adalah “the use a negative or disparamging expression to describe something or someone”.

McArthur berpendapat bahwa disfemisme merupakan ungkapan negatif atau kritikan yang digunakan oleh seseorang. Ungkapan disfemisme memiliki intensi sehingga dapat melukai perasaan lawan tuturnya.

Menurut Zolner (dalam Tanjungpura, 2018:69), penggunaan disfemisme dengan latar belakang yang berbeda-beda, contohnya mengungkapkan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila, menunjukkan rasa tidak senang atau tidak setuju dengan sesuatu, menggambarkan sisi negatif seseorang, marah atau jengkel, memaki sesorang, merendahkan orang lain, mengejek, menghina, melebih-lebihkan, mengkritik natau menghujat. Disfemisme merupkan kebalikan dari eufemisme untuk mengganti kata yang bermakna halus atau biasa terhadap kata yang memiliki makna kasar. Disfemisme adalah suatu ungkapan yang

(17)

berkonotasi kasar, kesat, tidak sopan, dan dapat menyinggung sehingga memunculkan perasaan kurang senang dan menyakitkan hati orang lain yang bertujuan untuk membuat keadaan menjadi buruk. Menurut Allan dan Burridge (dalam Buhari, 2020:159) disfemisme merupakan bahasa kasar yang digunakan dengan tujuan sebagai senjata untuk mengalahkan lawan atau bahasa tidak sopan yang diungkapkan untuk mengekspresikan luapan emosi seperti melepas kemarahan, kebencian, kekecewaaan, kekesalan, dan seagainya. Ungkapan disfemisme juga memiliki fungsi untuk menghujat, menguatkan dan menegaskan makna dalam konteks tertentu sehingga maksud ungkapan terkesan tercapai kepada pendengar maupun pembaca Elisa Nurul Laili (Buhari, 2020:159).

Di era sekarang sering ditemukan pemakaian disfemisme di dalam media sosial untuk menyampaikan rasa ketidaksenangan netizen terhadap seseorang. Selain itu pemakaian disfemisme memiliki tujuan untuk menunjukkan rasa tidak suka dan hal yang negatif terhadap tindakan dan suatu peristiwa yang terjadi.

Disfemisme bisa muncul dalam bentuk satuan gramatikal dengan berbeda-beda. Satuan gramatikal disfemisme dianggap penting untuk membantu pembaca untuk memahami teks yang dibaca tersebut. Selain itu, latar belakang penggunaan disfemis memampu membantu pembaca menerapkan, menggunakan, dan menganalisis penggunaan disfemisme tersebut sesuai dengan konteks yang tetap (Pascarina, 2018:3).

(18)

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa disfemisme merupakan cara mengungkapkan fakta dan pikiran melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang memiliki makna keras, kasar, tidak ramah, atau memiliki konotasi tidak sopan untuk menggantikan kata atau ungkapan yang memiliki makna halus, biasa, atau yang tidak menyinggung perasaan, lebih singkatnya disfemismeadalah suatu ungkapan yang memiliki konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan hati seseorang.

Sopan santun merupakan adab yang seharusnya dimiliki dan dipraktik kan oleh seorang Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, karena inilah yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya, sebagaimana dalam Al- Quran Surat Al Qolam Ayat 4 yang menceritakan tentang akhlak mulia Nabi Muhammad.

وَإِ

ﻧﱠ كَ

ﻌَﻠ ﻟَ

ﻰ ﺧُ

ﻖٍ ﻠُ

ﻋَ

ظِ

مٍ ﯾ

Artinya: “Sungguh, kamu (Muhammad) mempunyai akhlak yang agung” [QS Al-Qalam : 4]

Contoh kata yang mengandung bahasa disfemisme pada momen Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yaitu munculnya istilah “cebong dan kampret”. Istilah Cebong digunakan oleh para pendukung panatik calon Presiden Prabowo Subianto untuk mengolok-olok para pendukung calon Presiden Joko Widodo, padahal cebong berasal dari kata kecebong yang merupakan anak katak. Sementara pendukung fanatik calon Presiden Joko Widodo menggunakan istilah Kampret untuk mengolok-olok

(19)

pendukung Capres Prabowo Subianto, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kampret adalah kelelawar kecil pemakan serangga.

Penyebab maraknya disfemisme netizen di media sosial khusunya facebook disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keterbatan akses identitas netizen, rendahnya kesadaran netizen terhadap risiko hukum dalam media sosial, terlalu fanatik terhadap tokoh atau kelompok, memilih judul berita yang cenderung provokatif, dan penerapan belajar agama yang rendah sehingga berdampak kepada kesantunan berbahasa. Jika ditelusuri secara hukum syariat, menghina sesama muslim dengan kata- kata kasar itu adalah tindakan yang masuk kategori dosa besar. Al-Kaba- ir. Allah, Azza wa Jalla berfirman,

اﻟﱠ و ذِ

ﯾْ

نَ

ﯾُ

ؤْ

وْ ذُ

نَ

ﻣُ اﻟْ

ؤْ

ﻣِ

ﻧِﯾْ

وَا نَ

ﻣُ ﻟْ

ؤْ

ﻣِ

ﻧٰ

ت ِ ﺑِ

ﻐَ

رِ ﯾْ

ﻣَﺎ ا ﻛْ

ﺳَ ﺗَ

وْ ﺑُ

ا ﻓَﻘَ

دِ

ا ﺣْ

ﻣَﻠُ ﺗَ

وْ

ا ﮭْ ﺑُ

ﺗَﺎ وﱠ ﻧًﺎ ﻣً اِﺛْ

ﻣﱡ ﺎ ﺑِﯾْ

نً

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa da kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (QS. Al-Ahzab:58).

Rasululla shallahu alaihi wa sallam juga menegaskan dalam hadis yang diriwayatkan,

ﻋَ

ﻋَ نْ

ﺑْ

ﱠِ دِ

ﻗَﺎ لَ

ﺑَﺎ ﺳِ

ب ُ ﻣُ اﻟْ

ﻠِمِ ﺳْ

ﺳُ ﻓُ

و وَ قٌ

ﻗِﺗَ

ﺎﻟُ

ﮫُ

ﻛُ

رٌ ﻔْ

Dari Abdullah ia berkata, “Mencela/menghina seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Al- Bukhari & Muslim. An-Nasa-i no. 4036).

(20)

Sibab adalah asy-Syatmu. Artinya mengutuk. Sibab itu celaan atau kutukan yang lebih parah dari Sabb. Kalau sabb itu mencela sekadarnya tanpa unsur kedustaan, sedangkan sibab adalah mencela dan mengutuk dengan unsur kebohongan (sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri yang dicela) dan aib orang yang dicela. Sabb dan sibab sama-sama perbuatan yang dilarang dan berdosa. Imam an-Nawawi menjelaskan,

“Fasik itu secara etimologi artinya keluar. Keluar dari ketaatan. Maksud hadits di atas, menghina seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan hukumnya haram berdasarkan Ijma‟. Pelakunya dihukumi sebagai fasik, sebagaimana keterangan dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam di atas.” Syaikh asy-Syinqiti mendetailkan, “Itu menunjukkan bahwa kedua tindakan tersebut adalah bagian dari dosa besar.” Gaya mencela dan menghina mungkin berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain.

Namun, penghinaan, celaan, kutukan, dan semisalanya yang menggunakan ujaran binatang atau nama binatang itu termasuk kategori Sibab sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Menghina dengan sebutan „Wahai anak anjing‟, „Kamu anak lutung‟, „Dasar kampret‟

(Kampret: bahasa jawa: anak kelelawar), „Mereka itu sekumpulan binatang‟, dan masih banyak lagi hinaan dan celaan yang sering terdengar di masyarakat. Model-model hinaan seperti itu termasuk kategori Sibab yang hukumnya haram dilemparkan kepada sesama muslim. Itu adalah dosa besar. Menghina dengan sebutan binatang kepada sesama muslim, selain itu termasuk dosa besar, perbuatan itu

(21)

juga tentu berakibat negatif pada muslim yang dihina atau dicela. Hinaan dan celaan itu tentu akan menyakiti hati dan perasaan. Ketika hati seorangmuslim tersakiti oleh kezaliman berupa celaan dan hinaan dengan ujaran kalimat binatang, rasa sakit itu sangat mungkin akan membekas kuat dalam hatinya. Jika muslim yang dihina tidak memiliki kesabaran dan sifat lapang dada yang lebih, hinaan yang membekas dalam hatinya akan berubah menjadi rasa benci. Bahkan, bisa jadi akan ia wujudkan dalam aksi balasan.

Berdasarkan latar belakang di atas, alasan peneliti memilih momen Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 untuk digunakan sebagai objek dalam penelitian ini karena banyaknya indikasi penggunaan disfemisme netizen pada momen pemilihan Presiden 2019 yang saling serang menyerang pribadi ataupun menjelek-jelekkan kedua kandidat calon Presiden.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka fokus penelitian ini sebagai berikut.

1. Makna disfemisme yang digunakan netizen dalam kolom komentar facebook pada momen pemilihan Presiden 2019.

2. Tujuan netizen menggunakan komentar disfemisme dalam kolom komentar facebook pada momen pemilihan Presiden 2019.

C. Tujuan Penelitian

(22)

Kajian penelitian ini adalah tentang disfemisme netizen pada momen pemilihan Presiden 2019. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan disfemisme netizen pada momen pemilihan Presiden 2019.

Berdasarkan fokus penelitian maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan makna disfemisme yang digunakan netizen pada momen pemilihan Presiden 2019.

2. Untuk mengidentifikasi tujuan netizen menggunakan bahasa yang mengandung disfemisme dalam kolom komentar facebook pada momen pemilihan Presiden 2019.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian diharapkan menghasilkan suatu yang bermanfaat secara teoretis dan praktis.

1. Secara Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam kajian semantik , terutama pada kajian disfemisme. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu rujukan dan referensi untuk penulis linguistik yang berminat meneliti penggunaan disfemisme.

2. Secara Praktis

Manfaat secara praktis dalam penelitian ini memberikan informasi kepada masyarakat ataupun pembaca bahwa penggunaan disfemisme dalam berkomunikasi atau menyampaikan tujuan hendaknya sesuai

(23)

dengan konteks yang tepat. Untuk institusi manfaat penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu program bidang studi linguistik. Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada bidang ilmu linguistik sehingga orang-orang lebih mudah memahami dan mengerti makna kebahasaan disfemisme terutama yang digunakan oleh netizen pada momen pemilihan Presiden 2019.

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang berkaitan dengan gaya bahasa disfemisme bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan. Penelitian sejenis ini pernah diteliti Torina tahun 2012 dengan judul “Disfemisme dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Riau Pos”. Hasil penelitiannya, yaitu bentuk dan fungsi disfemisme dalam tajuk rencana surat kabar Riau Pos. Penelitian yang penulis lakukan mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Torina. Persamaan penelitiannya adalah sama-sama meneliti kebahasaan disfemisme, sedangkan perbedaannya yaitu dari segi objek. Penelitian yang dilakukan Torina yaitu meneliti tajuk rencana Riau Pos, sedangkan penelitian yang penulis lakukan ini lebih kepada penggunaan disfemisme yang dilakukan netizen di media sosial (facebook) pada momen pemilihan Presiden 2019.

Sementara itu, (Ricky Galih Prasetyo, 2018) memfokuskan objek penelitiannya pada “Disfemia dalam Kolom Komentar Warganet di Line Today” yang hasilnya mengungkap bahwa warganet menggunakan komentar berdisfemisme, hal ini bertujuan untuk menguatkan suatu argumen atau pendapat. Kemudian nilai rasa ketabuan dari data yang diperoleh yang sering muncul adalah nilai rasa ketabuan yang mengucapkan hal atau kata-kata tabu yang mencakup organ-organ tubuh

13

(25)

berupa fisik maupun kata-kata yang mengarah kepada kehidupan seksual.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu dari segi objek kajian karena Torina menjadikan media sosial Line Today sebagai objek kajian sedangkan penulis menjadikan media sosial Facebook sebagai objek kajiannya.

Penelitian relevan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa disfemisme warganet juga sebelumnya telah dilakukan oleh Titin Samsudin, Nur Aina Ahmad tahun 2018 yang memfokuskan objek penelitiannya pada “Disfemisme Warganet pada Komentar di Media Sosial Facebook dalam Tinjauan Semantik dan Hukum Islam” yang hasilnya mengungkap bahwa fungsi bahasa bagi manusia bukan hanya sebatas alat penyampai pesan semata, namun bahasa juga merupakan alat berpikir, alat bernalar, alat berasa, bahkan alat berbudaya. Makna bahasa sessungguhnya dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana tingkat kecendekiaan dan keberadaban penggunanya.

Fenomena disfemisme atau penggunaan bahasa kasar di media sosial khususnya facebook semakin meningkat, khususnya dalam menanggapi pemberitaan-pemberitaan bertema politik. Sebagai agama yang sempurna, ajaran Islam mengajarkan kepada pemeluknya mengenai kesantunan berbahasa. Ada enam acuan yang seyogyanya dijadikan acuan sebagai muslim dalam berbahasa atau berkomunikasi dengan sesama, yaitu prinsip qaulan sadida (berkata yang benar), qaulan ma’rufa (menyejukkan hati atau tidak menyinggung), qaulan baligha (jelas dan

(26)

tepat), qaulan karima (menggunakan kata-kata mulia), qaulan layyina (berkata dengan lemah lembut). Landasan kesantunan berbahasa tersebut cenderung diabaikan dalam penggunaan bahasa netizen khususnya tergambar pada komentar-komentar warganet dalam menanggapi berita-berita politik di facebook.

B. Tinjauan Teori dan Konsep

Teori yang digunakan sebagai landasan penelitian ini meliputi beberapa aspek sebagai berikut.

1. Semantik

Semantik merupakan bidang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya.

Selain itu semantik juga merupakan bidang ilmu yang mempelari makna atau arti dalam bahasa. Ilmu bidang semantik mencakup bahasa sebagai alat komuniksai verbal.

. Semantik merupakan subdisiplin ilmu yang membicarakan makna, semantik adalah lambang atau tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, semantik pencangkup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya. Di sisi lain, Kata semantik ini dapat digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan dengan tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang yang ditandainya. Atau dengan kata lain semantik itu adalah bidang studi dalam linguistik yang

(27)

mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal, dan semantik Chaer (dalam Jambi & Semantik, 2019).

Tarigan (dalam Jayanti, 2018) menyatakan bahwa semantik adalah menelaah lambang atau tanda yang menyatakan makna, hubungan makna satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Semantik mencakup kata-kata, perkembangan, dan perubahannya.

Muslich (dalam Jayanti, 2018) menyatakan bahwa kata adalah satuan ujaran bebas terkecil yang bermakna. Kata dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap. Selain itu, kata dapat disisipi dengan unsur lain untuk menjadi sebuah kalimat. Contoh kata yaitu: lelaki dan jantan. Dua kata tersebut dapat berdiri sendiri. Namun juga dapat disisipi dengan unsur lain untuk menjadi sebuah kalimat.

Semantik merupakan salah satu cabang ilmu dari ilmu linguistik.

Semantik telah dipahami sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya (Dessiliona & Nur, 2018). Maka darinya, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik Chaer (dalam Nuryadin, 2021:93).

(28)

Semantik merupakan bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan suatu makna ungkapan dan juga dengan struktur makna.

Semantik dibagi menjadi empat, yaitu semantik leksikal, semantik gramatikal, semantik sintaksikal, dan semantik maksud;1) Semantik leksikal mempelajari makna yang ada pada leksem atau kata dari sebuah bahasa oleh karena itu, makna-makna yang terdapat pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. 2) Semantik gramatikal mempelajari makna- makna gramatikal dari tataran morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat. 3) Semantik sintaktikal mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan sintaksis. 4) Semantik maksud mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahasa seperti metafora, ironi, litotes, dan lain-lain. Dari beberapa pendapat ahli yang membahas tentang bidang ilmu semantik, dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan cabang linguistik yang mengkaji makna suatu bahasa. Cakupan semantik hanya berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi yang verbal. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari mengenai arti atau makna yang terkandung di suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain. Dengan bahasa lain, semantik merupakan pembelajaran tentang makna. Seringkali semantik dihubungkan dengan dua aspek lain yakni sintaksis yaitu pembentukan simbol kompleks dari simbul yang lebih sederhana, dan pragmatic yaitu pemakaian praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.

Pengertian lain dari semantik adalah pembelajaran tentang arti yang

(29)

dipakai untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik meliputi bahasa pemrograman, logika formal dan semiotika.

2. Hakikat Makna

Berdasarkan teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure yang dikenal sebagai bapak linguistik modern, mengungkapkan bahwa makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki tanda-linguistik. Suwandi dan Sarwiji (dalam S, 2020). Setiap tanda linguistik tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu: yang diartikan (Prancis: Signifie’, Inggris: signified) dan yang mengartikan (Prancis: Signifiant, Inggris: Signifier). Herniti, H, dan A (dalam S, 2020) yang diartikan (signifie’, signified) sebenarnya tidak lain daripada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifian atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Misalnya sebuah kata yaitu kursi, terdiri dari unsur lambang bunyi atau yang mengartikan dalam wujud runtunan fonem (k, u, r, s, i) dan unsur makna atau yang diartikan ‘kursi’.

Makna kata kursi adalah konsep kursi yang tersimpan dalam otak mausia yang kemudian dilambangkan dengan kata k-u-r-s-i. Lalu tanda (kursi) yang terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya ini mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu sebuah kursi sebagai sebuah perabotan yang digunakan untuk duduk. Jadi, kata (kursi) adalah sebagai hal yang menandai (tanda- linguistik), dan sebuah (kursi) sebagai perabotan ini adalah hal yang ditandai. Abdul Chaer mengatakan makna

(30)

terbagi menjadi beberapa jenis makna berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, yaitu: (1) Makna leksikal dan makna gramatikal, (2) Makna referensial dan nonreferensial, (3) Makna denotatif dan konotatif, (4) Makna kata dan makna istilah, (5) Makna konseptual dan makna asosiatif, (6) Makna idiom dan peribahasa, dan (7) Makna kias. Chaer (dalam S, 2020). Makna leksikal diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata sehingga makna leksikal diartikan juga sebagai makna yang sesuai dengan referennya. Misalnya “kepala”

bermakna bagian tubuh yang terdapat di atas leher dan merupakan tempat otak. Kata “kepala” dalam kalimat “kepalanya hancur terkena pecahan granat” adalah makna leksikal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan oleh kata tersebut.

Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Makna gramatikal bergantung pada konteks yang membawanya. Contoh kata “terangkat” dalam kalimat “batu seberat itu terangkat juga oleh adik” memiliki kemungkinan makna ‘’dapat”, sedangkan dalam kalimat “ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas” melahirkan makna “tidak sengaja”. Makna referensial dan makna nonreferensial dibedakan berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata- kata itu sendiri. Apabila kata-kata itu memiliki referen maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Begitu pula sebaliknya, jika kata-kata

(31)

tersebut tidak memiliki referen maka kata tersebut disebut kata bermakna nonreferensial. Chaer (dalam S, 2020). Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yang langsung menunju kepada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses dan dapat diartikan sebagai makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Contohnya kata “meja” dan “kursi” termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya memiliki refreren, yaitu sejenis perabotan rumah tangga yang disebut dengan “meja” dan “kursi” dan keduanya benar-benar ada acuannya dalam dunia nyata. Sedangkan nonreferensial adalah kata-kata yang tidak memiliki referen. Contohnya kata “karena” dan “tetapi”. Adapun makna denotatif dan konotatif dibedakan dari ada atau tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata.

Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata tersebut mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Chaer (dalam S, 2020).

Makna denotatif (referensial) merupakan makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya dan sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Contohnya kata “istri” dan “bini” memiliki makna denotasi yang sama yaitu “wanita yang mempunyai suami”. Adapun makna konotatif adalah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu. Contohnya kata “merah” memiliki makna dasar yaitu warna, sedangkan kata “merah” memiliki makna

(32)

konotatif yaitu berani atau sesuatu yang dilarang. Sementara itu, penggunaan makna kata baru menjadi jelas ketika kata tersebut sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Misalnya makna dari kata “air” sesungguhnya belum diketahui sebelum kata tersebut berada pada konteksnya. Apakah air yang berada di sumur, di gelas atau air hujan. Oleh karena itu makna kata masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas. Sedangkan makna istilah memiliki makna yang pasti, jelas dan tidak meragukan meskipun tanpa konteks kalimat dan bersifat khusus. Contohnya kata “telinga” dan “kuping” adalah sinonim.

Namun kedua kata itu berbeda di bidang kedokteran, “telinga” adalah bagian dalam dari alat pendengaran sedangkan “kuping” memiliki makna bagian luar dari alat pendengaran tersebut. Selanjutnya, makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas asosiasi atau hubungan apa pun. Contohnya “rumah” memiliki makna konseptual bangunan tempat manusia tinggal. Sedangkan makna asosiatif disebut juga makna kiasan atau pemakaian kata yang tidak sebenarnya dan makna yang dimiliki sebuah kataberkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan diluar bahasa. Chaer (dalam S, 2020). Misalnya kata “bunglon” berasosiasi dengan makna orang yang tidak berpendirian tetap. Makna idiomatik adalah makna sebuah satuan bahasa yang menyimpang dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Adapun yang dimaksud dengan idiom adalah satuan-

(33)

satuan bahasa yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Misalnya, membanting tulang artinya bekerja keras dan koran kuning yang artinya koran yang memuat berita sensasi. Sementara itu, peribahasa memiliki makna yang masih dapat diramalkan, ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan makna peribahasa. Contohnya, “Bagai anjing dengan kucing”

yang bermakna dua orang yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang kucing dan anjing dalam sejarah kehidupan merupakan dua ekor binatang yang jika bertemu selalu berkelahi. Adapun semua bentuk bahasa (baik kata, frase atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, konseptual atau denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti “putri malam” memiliki arti “bulan” dan “raja siang” berarti “matahari” memiliki arti kiasan.

a. Aspek-Aspek Makna 1) Aspek Makna Pengertian

Shipley (dalam S, 2020:32) menyatakan “Sense. We use words to direct our hearer's attention upon some state of affairs, to present some items for consideration and to excite some thoughts about these items”.

Bahwa ketika seseorang mengatakan sesuatu yaitu untuk mengarahkan perhatian pendengar pada suatu hal, agar adanya pemahaman serta beberapa pemikiran tentang hal tersebut.

2). Aspek Makna Perasaan

(34)

Nilai rasa (feeling) merupakan aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan Palmer (dalam S, 2020).

3) Aspek Makna Nada

Aspek makna nada merupakan sikap seorang pembicara terhadap pendengar, atau sikap penulis terhadap pembaca. Aspek makna ini mempunyai hubungan dengan aspek makna perasaan, dengan kata lain hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.

4) Aspek Makna Tujuan

Aspek makna tujuan (intention) yaitu untuk menjelaskan maksud atau tujuan agar saat seseorang berbicara terdapat pemahaman bahwa adanya sesuatu yang dilaksanakan atau bermaksud kepada suatu hal.

b. Faktor Perubahan Makna

Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna sebuah kata bisa berubah. Antara lain sebagai berikut:

1) Perkembangan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi

Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata.

Kata ‘sastra’ dan makna ‘tulisan’ sampai pada makna ‘karya imaginatif’

adalah salah satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Kata manuskrip yang pada mulanya berarti ‘tulisan tangan’. Kini kata tersebut

(35)

masih digunakan untuk menyebut naskah yang akan dicetak, walaupun hampir tidak ada lagi naskah yang ditulis tangan karena sudah ada mesin tulis adalah salah satu contoh perubahan karena perkembangan teknologi.

2) Perkembangan Sosial Budaya

Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Sama dengan perkembangan teknologi dari kata yang bermula mempunyai makna “A” bisa berubah bermakna ‘B’ ataupun “C”. contoh dalam kata saudara pada mulanya berarti ‘seperut’, atau ‘satu kandungan’. Kini kata ‘saudara’ digunakan juga untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama. Misal ‘surat saudara sudah saya terima’.

Dalam bidang kegiatan tertentu selalu mempunyai kosakata tersendiri yang hanya dikenal dalam bidang yang dimaksud. Contohnya dalam bidang pertanian ada kata-kata benih, pupuk, menggarap, membajak, menabur, menanam, dan yang lainnya. Tetapi kini kata yang hanya di dalam bidang tertentu kini digunakan dalam bidang lain. Contohnya kata menggarap dulu hanya dikenal dalam bidang pertanian menggarap sawah, tapi kini kata menggarap dipakai dalam bidang pendidikan contohnya kalimat menggarap skripsi dalam konteks kalimat menggarap di sini mempunyai makna mengerjakan.

3) Perbedaan Bidang Pemakaian

(36)

Setiap bidang kehidupan memiliki kosakata tersendiri yang hanya digunakan di bidang tertentu dan hanya dikenal dalam bidang tertentu tersebut. Kata-kata yang menjadi kosakata dalam bidang tertentu tersebut dapat membantu dalam pemakaiannya sehari-hari dan juga digunakan dalam bidang lain menjadi kosakata umum sehingga memiiliki makna yang baru (makna yang berlaku dalam bidangnya). Contohnya kata menggarap dalam bidang pertanian yang terlihat dar frasa “menggarap sawah”. Kini kata menggarap mempunyai arti lain yang digunakan di bidang lain membentuk makna “mengerjakan” terlihat dari frasa

“menggarap skripsi”, “menggarap usul para anggota”, “menggarap generasi muda”.

4) Adanya Asosiasi

Asosiasi di sini merupakan perubahan makna yang berbeda dari perubahan yang lainnya. Perubahan makna muncul berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan peristiwa tersebut. Contoh kita masuk ke rumah makan dan menghabiskan secangkir kopi, lalu meminta secangkir kopi lagi maka pemilik atau pelayan rumah makan sudah mengerti apa yang dimaksud. Dia tak akan memberikan secangkir kosong tanpa isi kopi.

5) Perbedaan Tanggapan

Karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang memiliki nilai rasa yang

“rendah” dan nilai rasa yang “tinggi”. Kata-kata yang nilainya merosot

(37)

menjadi rendah ini lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi disebut peyoratif. Kata bini dewasa ini dianggap peyoratif, sedangkan kata istri dianggap amelioratif.

6) Adanya Penyingkatan

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang sering digunakan maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti. Misal kata yang disingkat seperti dok, maksudnya ‘dokter’, tilang untuk ‘bukti pelanggaran’, satpam untuk ‘satuan pengamanan’, dan mendikbud untuk ‘menteri pendidikan dan kebudayaan’.

7) Pengembangan Istilah

Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru. Misalnya kata ‘papan’ yang semula bermakna lempengan kayu (besi dan sebagainya) tipis, kini diangkat menjadi istilah untuk makna ‘perumahan.

c. Perubahan Makna

Setelah membicarakan tentang sebab-sebab atau faktor-faktor terjadinya perubahan makna maka dapat dilihat ada perubahan yang sifatnya menghalus, ada perubahan yang sifatnya meluas, ada perubahan yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan yang sifatnya yang halus, ada perubahan yang sifatnya mengajar, dan ada pula

(38)

perubahan yang sifatnya total. Maksudnya, berubah sama sekali dari makna semula.

1) Meluas

Perubahan makna meluas di sini maksudnya adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang awalnya hanya memiliki satu makna, kemudian dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga memilik makna-makna yang lain. Umpamanya kata saudara yang bermakna

‘seperut’ atau ‘seperkandungan’. Kemudian maknanya berkembang menjadi ‘siapa saja yang sepertalian darah’. Contoh lain kata mencetak pada mulanya hanya digunakan pada bidang penerbitan buku, majalah, dan koran. Tetapi kemudian maknanya menjadi meluas seperti pada kalimat berikut.

- Timnas U-16 tidak berhasil mencetak satu gol pun.

- Pak Agus setiap hari mencetak puluhan ribu batu bata.

Pada kalimat pertama kata mencetak berarti menghasilkan, pada kalimat kedua berarti membuat.

2) Menyempit

Berbanding terbalik dengan perubahan meluas, yang dimaksud dengan perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi hanya sebuah makna saja. Misalnya kata sarjana yang pada mulanya berarti orang pandai atau cendekiawan, kemudian hanya berarti orang yang lulus dari perguruan tinggi’.

(39)

3) Perubahan

Perubahan total adalah berubahnya makna yang dari suatu kata dari makna asalnya. Walaupun terkadang makna yang baru masih ada kaitannya dengan makna asal. Misalnya pada kata ceramah pada mulanya berarti cerewet atau banyak cakap, tetapi kini berarti pidato atau uraian mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak.

Contoh lain kata canggih dengan makna seperti yang digunakan sekarang merupakan contoh lain dari kata-kata yang maknanya telah berubah secara total. Kata canggih adalah bermakna banyak cakap. Tidak ada makna seperti yang kita dapati dalam frasa peralatan canggih, teknologi canggih, dan mesin-mesin canggih dengan makna seperti pada frasa tersebut telah dimuat.

4) Penghalusan (Eufemisme)

Eufemisme digunakan dalam ranah kehidupan sosial, politik, agama, dan budaya. Beberapaahli linguistik telah mengklasifikasikan fungsi dari eufemisme berdasarkan fenomena kebahasaan. Menurut Wardaugh (dalam Tanjungpura, 2018- 69). Penggunaan eufemisme bermaksud jika suatu kata yang tidak dapat dinyatakan, maka pengguna bahasa akan menggantinya dengan cara lain. Secara umum fungsi eufemisme adalah untuk menjadikan sebuah makna yang pada awalnya bersifat kasar atau tabu menjadi makna yang lebih halus. Contoh eufemisme misalnya kata buta diganti dengan kata/ungkapan yang lebih halus seperti tuna netra;

(40)

kata kencing diganti buang air kecil; kata ditangkap diganti dengan kata diamankan.

5) Pengasaran (Disfemisme)

Disfemisme adalah ungkapan yang berkonotasi kasar tentang suatu hal atau tentang seseorang, atau juga keduanya, dan merupakan substitusi untuk ungkapan netral (ortofemisme) dan ungkapan eufemisme karena alasan tertentu. Konotasi ini sendiri sebagai efek semantik (nuansa makna) yang timbul karena adanya pengetahuan ensiklopedik tentang makna denotasi kata serta pengalaman, kepercayaan dan konteks digunakannya ungkapan itu. Dengan kata lain, disfemisme dipilih penutur untuk menunjukkan penilaian negatifnya mengenai sesuatu atau seseorang serta menimbulkan nuansa negatif melalui bahasa yang digunakannya (Samsuddin & Ahmad, 2018-261).

Misalnya kata dipecat dipakai untuk mengganti diberhentikan seperti dalam kalimat berikut, sebanyak enam kader partai demokrat yang terlibat gerakan kudeta kepemimpinan Ketua Umum Agus Harimurti Yudoyono (AHY) dipecat; kata mendepak dipakai untuk mengganti kata mengeluarkan seperti dalam kalimat “managemen PSM Makassar mendepak beberapa pemain asingnya”.

3. Hakikat Disfemisme

Disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme, untuk menggantikan kata yang bermakna halus atau biasa kepada kata yang bermakna kasar.

Disfemisme merupakan satu ungkapan dengan konotasi kasar, kesat,

(41)

tidak sopan, menyinggung dan menimbulkan perasaan kurang senang dan menyakitkan hati orang lain dengan tujuan menjadikan situasi tidak santun dan memburukkan keadaan. Menurut Allan dan Burridge (dalam Buhari, 2020) disfemisme adalah penggunaan bahasa kasar dengan tujuan sebagai senjata untuk berlawan atau menaklukkan lawan, atau bahasa kasar yang diucapkan untuk mengekspresikan perasaan dan emosi seperti melepaskan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, kebencian dan sebagainya. Ungkapan dan unsur disfemisme juga berfungsi untuk menghujah, menguatkan dan menegaskan makna dalam konteks tertentu Elisa Nurul Laili (dalam Buhari, 2020) agar kesan dan maksud ungkapan tercapai kepada pendengar maupun pembaca.

Disfemisme merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, menyakitkan hati mengenai sesuatu, seseorang atau keduanya, dan merupakan pengganti untuk ungkapan netral (biasa) atau eufemisme karena alasan-alasan tertentu. Disfemisme menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih jelek. Disfemisme merupakan suatu pernyataan yang berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada kenyataannya dan kebalikan dari eufemisme.

Selain itu, disfemisme memiliki fungsi dalam penggunaannya.

Disfemisme dapat berfungsi untuk menunjukan kejengkelan dan memberikan tekanan tanpa terasa kekasarannya pada sebuah kata yang sebenarnya kasar. Chaer (dalam Fiiarum & Pendidikan Bahasa dan

(42)

Sastra Indonesia, FBS, 2018) juga menambahkan bahwa disfemia sengaja dilakukan untuk memberikan kesan tegas.

Berdasarkan definisi yang diberikan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa disfemisme merupakan cara mengungkapkan pikiran dan fakta melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang bermakna keras, kasar, tidak ramah atau berkonotasi tidak sopan karena alasan-alasan tertentu (misalnya untuk melepaskan kekesalan hati, kemarahan, kekecewaan, frustrasi, dan rasa benci atau tidak suka), juga untuk menggantikan kata atau ungkapan yang maknanya halus, biasa atau yang tidak menyinggung perasaan.

Pemakaian disfemisme dapat menyebabkan suatu kata, frasa, atau klausa memiliki makna yang berbeda dari sesungguhnya. Pemakaian disfemisme dapat diketahui dari konteks peristiwa atau kalimat yang melatarbelakanginya.

Allan dan Burridge dalam Saifullah (2019:77) mengatakan bahwa disfemisme memiliki berbagai latar belakang, yaitu; (1) menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila, (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau sesuatu, (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu, (4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan, (5) mengumpat atau memaki, (6) menunjukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang, (7) mengolok-olok, mencela, atau menghina, (8) melebih-lebihkan sesuatu, (9) menghujat atau mengkritik, dan (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah.

(43)

a. Bentuk Kebahasaan Disfemisme

Pada prinsipnya, bahasa terdiri dari dua lapisan, yaitu lapis bentuk dan lapis makna yang dinyatakan oleh bentuk itu. Bentuk bahasa terdiri atas bentuk-bentuk gramatikal yang berupa wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, morfem.

Sementara disfemisme ini sendiri bisa mengandung dua macam makna, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal.

Makna leksikal adalah makna secara inheren dimiliki oleh setiap leksem (sebagai satuan leksikon). Makna leksikal ini adalah makna yang secara inheren nada di dalam kata itu terlepas dari konteks apa pun.

Misalnya, kata pensil memiliki makna ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’. Makna leksikal ini adalah makna yang apa adanya, makna yang sesuai dengan hasil observasi kita, makna yang sesuai rujukkannya, makna yang sesuai dengan konsepnya.

Disfemisme atau pengasaran bahasa tidak jauh dari kata-kata makian, hinaan, ejekan dan tuturan sejenisnya. Disfemisme bahasa Indonesia sebagai pengganti kata-kata yang bernilai rasa baik ternyata dapat berwujud sebagai berikut:

(1) Pengasaran atau makian berbentuk kata, dalam hal ini, bentuk pengasaran yang digunakan yaitu berupa kata dan digantikan bentuk gramatikal yang memiliki nilai rasa lebih halus.

(44)

(2) Pengasaran atau makian berbentuk frasa, dalam hal ini, bentuk pengasaran yang digunakan yaitu berupa frasa dan digantikan bentuk lain yang memiliki nilai rasa lebih halus.

(3) Pengasaran dan makian berbentuk klausa, dalam hal ini, bentuk pengasaran yang digunakan yaitu berupa klausa dan digantikan bentuk lain yang memiliki nilai rasa yang lebih halus.

b. Tujuan Penggunaan Disfemisme

Disfemisme bertujuan untuk memberikan gambaran negatif tentang suatu tindakan atau seseorang. Berkaitan dengan kata-kata yang tabu, menyatakan bahwa penggunaan kata-kata yang tabu antara lain untuk menarik perhatian kepada seseorang, menunjukkan rasa tidak hormat, menunjukkan sifat agresif atau provokatif, mengolok-olok penguasa, atau pembujukan yang bersifat verbal.

Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai sebuah praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi dari realita yang ada. Kedua, implikasi adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial Eriyanto (dalam Siswanto & Febriana, 2018).

Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough, pada dasarnya berusaha membangun sebuah model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya. Fairclough dan Wodak (dalam

(45)

Saraswati & Sartini, 2017) menegaskan bahwa analisis wacana kritis melihat wacana (pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan) sebagai bentuk praktik sosial sehingga bisa jadi menampilkan efek ideologi, memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki, perempuan, maupun kelompok mayoritas dan minoritas. Oleh karena itu, unsur tekstual yang selalu melibatkan bahasa dalam ruang tertutup dikombinasikan dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Inti analisis wacana Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.

Analisis wacana kritis Fairclough berusaha untuk mengintegrasikan linguistik dengan perubahan sosial sehingga wacana ini disebut sebagai model perubahan sosial (Dialectical-Relational Approach/DRA). Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa karena pemakaian bahasa digunakan untuk merefleksikan sesuatu. Pertama, wacana adalah bentuk tindakan, bahasa digunakan sebagai bentuk representasi dalam melihat realitas sehingga bahasa bukan hanya diamati secara tradisional atau linguistik mikro, melainkan secara makro yang lebih luas dan tidak lepas dari konteksnya. Kedua, mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial.

Fairclough (dalam Sarawati & Sartini, 2017) membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural practice. (1) Teks digunakan sebagai bentuk representasi sesuatu yang mengandung ideologi tertentu sehingga teks dibongkar secara linguistis

(46)

karena ingin melihat bagaimana seuatu realitas itu ditampilkan atau dibentuk dalam teks yang bisa jadi membawa pada ideologis tertentu, bagaimana penulis mengonstruksi hubungannya dengan pembaca (baik secara formal atau informal, tertutup atau terbuka), dan bagaimana suatu identitas itu hendak ditampilkan (identitas penulis dan pembaca), artinya dalam analisis teks ini meliputi representasi, relasi, dan identitas. (2) Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Proses produksi teks lebih mengarah pada si pembuat teks tersebut. Proses ini melekat dengan pengalaman, pengetahuan, kebiasaan, lingkungan sosial, kondisi, keadaan, konteks, dan sebagainya yang dekat pada diri atau dalam si pembuat teks.

Sementara itu, untuk konsumsi teks bergantung pada pengalaman, pengetahuan, konteks sosial yang berbeda dari pembuat teks atau bergantung pada diri pembaca/penikmat. Bagaimana cara seseorang dapat menerima teks yang telah dihadirkan oleh pembuat teks. Sementara kaitannya dalam distribusi teks, yaitu sebagai modal dan usaha pembuat teks agar hasil karyanya dapat diterima oleh masyarakat. (3) Socio- cultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Seperti konteks situasi. Konteks yang berhubungan dengan masyarakat, atau budaya, dan politik tertentu yang berpengaruh terhadap kehadiran teks.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara

(47)

mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan keterpaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks;

serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.

Menurut Faiclough dan Wodak (dalam Annas & Fitriawan, 2018), analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik produksi teks bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran atau alamiah, dan memang seperti itu kenyataannya. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik yang dibicarakan. Dengan

(48)

pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat.

Pendekatan Norman Fairclough dalam menganalisis teks dianggap lengkap karena berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu;

1.Dimensi Tekstual (Mikrostruktural), meliputi: representasi, relasi, dan identitas.

2. Dimensi Praktik Produksi Teks (Meso-struktural), meliputi: produksi teks, penyebaran teks dan konsumsi teks.

3. Dimensi Praktik Sosial Budaya (Makrostruktural), meliputi: situasional, institusional dan sosial.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disfemisme adalah penggantian suatu ujaran yang bernuansa makna netral atau halus dengan ujaran lain yang mempunyai makna sama tetapi dianggap mempunyai nilai rasa lebih kasar makna ujarannya tetap sama, hanya saja diungkapkan dengan kata yang bernilai rasa lebih kasar. Bentuk disfemisme bisa berupa kata, frasa, ataupun klausa. Sementara ada beberapa tujuan penggunaan disfemisme ini tetapi penggunaannya bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, melainkan sekarang juga digunakan dalam media massa semacam berita.

4. Netizen

Pengertian Netizen secara harfiah adalah "warga internet". Istilah netizen dibentuk dari dua kata: internet dan citizen (warga). Jadi, bisa

(49)

disimpulkan bahwa netizen adalah pengguna internet aktif dalam berkomunikasi, mengeluarkan pendapat, berkolaborasi, di media internet Facebook aktif, blogger, pengguna twitter (tweeps), dan "aktivis" media sosial lainnya termasuk dalam kategori netizen. Jika seorang pengguna hanya sesekali membuka internet, misalnya untuk mengirim dan menerima/membaca email, belum bisa disebut Netizen. Muncul juga istilah lain dari Netizen ini, yakni Netizen Journalism (Jurnalitik Warga Internet), yaitu aktivitas penulisan dan penyebarluasan berita atau informasi aktual melalui internet blog, media sosial, dan sebagainya.

Namun, saat ini Netizen Journalism baru sebatas "share and comments"

terhadap berita-berita yang sudah ada, misalnya koreksi, kritik, pujian, rekomendasi ke teman. Netizen Journalism bahkan bisa berperan sebagai

"Watchdog Journalism" mengawasi dan mengkritisi apa saja, bahkan mengkritisi berita yang dibuat oleh para wartawan profesional. Dari definisi ini, kita mengetahui bahwa di Indonesia masih terdapat tantangan yang besar terhadap hal-hal tersebut kita melihat terkadang banyak terjadi komentar dan sebagainya yang masih mungkin beberapa kalangan menyebutnya kurang etis yang dapat menyinggung perasaan orang lain (Gamayanto, 2017).

C. Kerangka Pikir

Semantik adalah subdisplin ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna dalam suatu bahasa atau penyelidikan makna suatu bahasa pada umumnya. Makna adalah arti yang terkandung dalam suatu kata, kalimat

(50)

ataupun ujaran yang belum pasti. Satuan bahasa baik kata, frasa, atau klausa. Perubahan makna adalah proses berubahnya makna yang disebabkanoleh beberapa faktor. Makna mempunyai jenis-jenis perubahan, salah satu jenis perubahan itu adalah pengasaran atau disfemisme.

Disfemisme merupakan usaha penggunaan ungkapan yang bermakna kasar, ada sejumlah kriteria yang membuat sebuah ungkapan termasuk dalam kategori disfemisme antara lain adalah ungkapan yang mempunyai nilai rasa kasar atau negatif, ungkapan yang menimbulkan efek pembicaraan menjadi tegas, ungkapan yang tidak ramah atau menunjukkan kejengkelan, ungkapan yang melebih-lebihkan dan ungkapan yang tidak sopan atau bahkan cenderung bersifat anarkis.

Penggunaan bentuk-bentuk ini dimaksudkan untuk penegasan atau ungkapan kemarahan atau kejengkelan. Bentuk-bentuk kebahasaan disfemisme terdiri dari kata, frasa, dan klausa. Dari rangkaian penjelasan di atas maka penulis dapat menghipotesiskan banyaknya kemungkinan netizen yang berkomentar menggunakan bahasa yang mempunyai makna kasar.

(51)

Bagan Kerangka Pikir

Makna Semantik

Disfemisme

Makna Tujuan

Temuan

Analisis

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada fenomena atau gejala yang bersifat alami.

Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang lehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.

Menurut Satori dan Komariah (Gamayanto, 2017) penelitian kualitatif adalah suatu bentuk penelitian yang mengungkapkan situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini bersifat kepustakaan, tidak terikat oleh tempat. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November-Desember 2020 dengan menganalisis penggunaan bahasa netizen di facebook pada momen

41

(53)

pemilihan Presiden 2019 lalu yang termasuk bahasa mengandung disfemisme.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan hal penting dalam memeroleh data penelitian dari objek yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik membaca dan mencatat. Teknik ini digunakan karena sumber data penelitian ini adalah berupa dokumen yaitu komentar netizen dalam media sosial facebook. Dalam penelitian ini, beberapa langkah yang digunakan dalam mengumpulkan data; (1) membaca komentar netizen di facebook, (2) menentukan komentar netizen yang memiliki unsur disfemisme sesuai kriteria yang sudah ditentukan, (3) mengambil tangkapan layar (screenshoot) dari komentar netizen yang memiliki unsur disfemisme, dan (4) menandai bentuk disfemisme dengan huruf tebal, dimiringkan, dan digarisbawahi agar memudahkan peneliti dalam melakukan analisis.

Peneliti mengumpulkan data dengan tangkapan layar dokumen yang memiliki unsur disfemisme. Peneliti membaca dengan seksama komentar para penanggap di kolom komentar facebook untuk menganalisis makna leksikal pada komentar netizen. Data dikumpulkan beserta konteksnya.

Hal tersebut dilakukan untuk melihat latar belakang tujuan penggunaan disfemisme itu sendiri. Adapun langkah-langkah dalam analisis adalah sebagai berikut;

(54)

1) mengelompokkan kata-kata yang berupa disfemisme, 2) menandai dan mencatat kata, frasa, dan klausa yang berupa disfemisme, 3) menganalisis makna dan tujuan disfemisme berdasarkan teori yang digunakan sebagai acuan penelitian.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan bagian utama dalam penelitian ini.

karena dari analisis data dapat diperoleh hasil penelitian dan kesimpulan.

Beberapa langkah yang digunakan peneliti dalam melakukan analisis data. Langkah-langkah yang dilakukan untuk rumusan masalah pertama adalah sebagai berikut;

1. Membaca komentar netizen yang terdapat dalam facebook.

2. Pengelompokkan bentuk disfemisme sesuai satuan kebahsaan yaitu kata, frasa, dan klausa.

3. Hasil pengelompokan dianalisis sesuai kriteria disfemisme yang terkandung dalam disfemisme tersebut.

Langkah-langkah yang digunakan untuk rumusan masalah kedua adalah sebagai berikut;

1. Menganalisis dimensi sosial (Mikrostruktural)

2. Menganalisis dimensi kewacanaan (Mesostruktural)

3. Menganalisis dimensi praktik sosial-budaya (Makrostruktural).

Referensi

Dokumen terkait

Dari berbagai pengertian diare diatas dapat disimpulkan bahwa, diare merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali

Hasil kegiatan tri out sangat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang akan diujikan pada ujian nasional selain itu dapat mendorong

Hasil uji ANOVA menunjukkan nilai F hitung sebesar 12,656 dengan probabilitas signifikansi sebesar 0,000. Hal ini berarti bahwa model regresi dapat digunakan untuk

Didirikan pada tahun 1993, RAJA berdiri dari kegiatan usaha properti dan jasa pelabuhan logistik menjadi perusahaan perdagangan dan penyaluran gas bumi melalui akuisisi PT Panji

Det vi ønsker med denne bacheloroppgaven er å belyse hvor viktig det er for en sykepleier å være bevist sin egen kommunikasjon for dermed å skape en god relasjon i møte med

Uji statistik menggunakan Uji Mc Nemar menunjukan terdapat pengaruh pada ibu hamil trimester 3 yang melakukan pijat perineum terhadap penurunan tingkat kecemasan, ibu yang

Setiap tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi standar profesi ,standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional... 38 Tahun 2014

lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Indonesia sebanyak 26,1 juta dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 5,5 ribu dikelola oleh perusahaan pertanian