• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian diharapkan menghasilkan suatu yang bermanfaat secara teoretis dan praktis.

1. Secara Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam kajian semantik , terutama pada kajian disfemisme. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu rujukan dan referensi untuk penulis linguistik yang berminat meneliti penggunaan disfemisme.

2. Secara Praktis

Manfaat secara praktis dalam penelitian ini memberikan informasi kepada masyarakat ataupun pembaca bahwa penggunaan disfemisme dalam berkomunikasi atau menyampaikan tujuan hendaknya sesuai

dengan konteks yang tepat. Untuk institusi manfaat penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu program bidang studi linguistik. Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada bidang ilmu linguistik sehingga orang-orang lebih mudah memahami dan mengerti makna kebahasaan disfemisme terutama yang digunakan oleh netizen pada momen pemilihan Presiden 2019.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang berkaitan dengan gaya bahasa disfemisme bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan. Penelitian sejenis ini pernah diteliti Torina tahun 2012 dengan judul “Disfemisme dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Riau Pos”. Hasil penelitiannya, yaitu bentuk dan fungsi disfemisme dalam tajuk rencana surat kabar Riau Pos. Penelitian yang penulis lakukan mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Torina. Persamaan penelitiannya adalah sama-sama meneliti kebahasaan disfemisme, sedangkan perbedaannya yaitu dari segi objek. Penelitian yang dilakukan Torina yaitu meneliti tajuk rencana Riau Pos, sedangkan penelitian yang penulis lakukan ini lebih kepada penggunaan disfemisme yang dilakukan netizen di media sosial (facebook) pada momen pemilihan Presiden 2019.

Sementara itu, (Ricky Galih Prasetyo, 2018) memfokuskan objek penelitiannya pada “Disfemia dalam Kolom Komentar Warganet di Line Today” yang hasilnya mengungkap bahwa warganet menggunakan komentar berdisfemisme, hal ini bertujuan untuk menguatkan suatu argumen atau pendapat. Kemudian nilai rasa ketabuan dari data yang diperoleh yang sering muncul adalah nilai rasa ketabuan yang mengucapkan hal atau kata-kata tabu yang mencakup organ-organ tubuh

13

berupa fisik maupun kata-kata yang mengarah kepada kehidupan seksual.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu dari segi objek kajian karena Torina menjadikan media sosial Line Today sebagai objek kajian sedangkan penulis menjadikan media sosial Facebook sebagai objek kajiannya.

Penelitian relevan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa disfemisme warganet juga sebelumnya telah dilakukan oleh Titin Samsudin, Nur Aina Ahmad tahun 2018 yang memfokuskan objek penelitiannya pada “Disfemisme Warganet pada Komentar di Media Sosial Facebook dalam Tinjauan Semantik dan Hukum Islam” yang hasilnya mengungkap bahwa fungsi bahasa bagi manusia bukan hanya sebatas alat penyampai pesan semata, namun bahasa juga merupakan alat berpikir, alat bernalar, alat berasa, bahkan alat berbudaya. Makna bahasa sessungguhnya dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana tingkat kecendekiaan dan keberadaban penggunanya.

Fenomena disfemisme atau penggunaan bahasa kasar di media sosial khususnya facebook semakin meningkat, khususnya dalam menanggapi pemberitaan-pemberitaan bertema politik. Sebagai agama yang sempurna, ajaran Islam mengajarkan kepada pemeluknya mengenai kesantunan berbahasa. Ada enam acuan yang seyogyanya dijadikan acuan sebagai muslim dalam berbahasa atau berkomunikasi dengan sesama, yaitu prinsip qaulan sadida (berkata yang benar), qaulan ma’rufa (menyejukkan hati atau tidak menyinggung), qaulan baligha (jelas dan

tepat), qaulan karima (menggunakan kata-kata mulia), qaulan layyina (berkata dengan lemah lembut). Landasan kesantunan berbahasa tersebut cenderung diabaikan dalam penggunaan bahasa netizen khususnya tergambar pada komentar-komentar warganet dalam menanggapi berita-berita politik di facebook.

B. Tinjauan Teori dan Konsep

Teori yang digunakan sebagai landasan penelitian ini meliputi beberapa aspek sebagai berikut.

1. Semantik

Semantik merupakan bidang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya.

Selain itu semantik juga merupakan bidang ilmu yang mempelari makna atau arti dalam bahasa. Ilmu bidang semantik mencakup bahasa sebagai alat komuniksai verbal.

. Semantik merupakan subdisiplin ilmu yang membicarakan makna, semantik adalah lambang atau tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, semantik pencangkup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya. Di sisi lain, Kata semantik ini dapat digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan dengan tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang yang ditandainya. Atau dengan kata lain semantik itu adalah bidang studi dalam linguistik yang

mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal, dan semantik Chaer (dalam Jambi & Semantik, 2019).

Tarigan (dalam Jayanti, 2018) menyatakan bahwa semantik adalah menelaah lambang atau tanda yang menyatakan makna, hubungan makna satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Semantik mencakup kata-kata, perkembangan, dan perubahannya.

Muslich (dalam Jayanti, 2018) menyatakan bahwa kata adalah satuan ujaran bebas terkecil yang bermakna. Kata dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap. Selain itu, kata dapat disisipi dengan unsur lain untuk menjadi sebuah kalimat. Contoh kata yaitu: lelaki dan jantan. Dua kata tersebut dapat berdiri sendiri. Namun juga dapat disisipi dengan unsur lain untuk menjadi sebuah kalimat.

Semantik merupakan salah satu cabang ilmu dari ilmu linguistik.

Semantik telah dipahami sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya (Dessiliona & Nur, 2018). Maka darinya, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik Chaer (dalam Nuryadin, 2021:93).

Semantik merupakan bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan suatu makna ungkapan dan juga dengan struktur makna.

Semantik dibagi menjadi empat, yaitu semantik leksikal, semantik gramatikal, semantik sintaksikal, dan semantik maksud;1) Semantik leksikal mempelajari makna yang ada pada leksem atau kata dari sebuah bahasa oleh karena itu, makna-makna yang terdapat pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. 2) Semantik gramatikal mempelajari makna-makna gramatikal dari tataran morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat. 3) Semantik sintaktikal mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan sintaksis. 4) Semantik maksud mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahasa seperti metafora, ironi, litotes, dan lain-lain. Dari beberapa pendapat ahli yang membahas tentang bidang ilmu semantik, dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan cabang linguistik yang mengkaji makna suatu bahasa. Cakupan semantik hanya berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi yang verbal. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari mengenai arti atau makna yang terkandung di suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain. Dengan bahasa lain, semantik merupakan pembelajaran tentang makna. Seringkali semantik dihubungkan dengan dua aspek lain yakni sintaksis yaitu pembentukan simbol kompleks dari simbul yang lebih sederhana, dan pragmatic yaitu pemakaian praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.

Pengertian lain dari semantik adalah pembelajaran tentang arti yang

dipakai untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik meliputi bahasa pemrograman, logika formal dan semiotika.

2. Hakikat Makna

Berdasarkan teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure yang dikenal sebagai bapak linguistik modern, mengungkapkan bahwa makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki tanda-linguistik. Suwandi dan Sarwiji (dalam S, 2020). Setiap tanda linguistik tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu: yang diartikan (Prancis: Signifie’, Inggris: signified) dan yang mengartikan (Prancis: Signifiant, Inggris: Signifier). Herniti, H, dan A (dalam S, 2020) yang diartikan (signifie’, signified) sebenarnya tidak lain daripada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifian atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Misalnya sebuah kata yaitu kursi, terdiri dari unsur lambang bunyi atau yang mengartikan dalam wujud runtunan fonem (k, u, r, s, i) dan unsur makna atau yang diartikan ‘kursi’.

Makna kata kursi adalah konsep kursi yang tersimpan dalam otak mausia yang kemudian dilambangkan dengan kata k-u-r-s-i. Lalu tanda (kursi) yang terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya ini mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu sebuah kursi sebagai sebuah perabotan yang digunakan untuk duduk. Jadi, kata (kursi) adalah sebagai hal yang menandai (tanda- linguistik), dan sebuah (kursi) sebagai perabotan ini adalah hal yang ditandai. Abdul Chaer mengatakan makna

terbagi menjadi beberapa jenis makna berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, yaitu: (1) Makna leksikal dan makna gramatikal, (2) Makna referensial dan nonreferensial, (3) Makna denotatif dan konotatif, (4) Makna kata dan makna istilah, (5) Makna konseptual dan makna asosiatif, (6) Makna idiom dan peribahasa, dan (7) Makna kias. Chaer (dalam S, 2020). Makna leksikal diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata sehingga makna leksikal diartikan juga sebagai makna yang sesuai dengan referennya. Misalnya “kepala”

bermakna bagian tubuh yang terdapat di atas leher dan merupakan tempat otak. Kata “kepala” dalam kalimat “kepalanya hancur terkena pecahan granat” adalah makna leksikal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan oleh kata tersebut.

Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Makna gramatikal bergantung pada konteks yang membawanya. Contoh kata “terangkat” dalam kalimat “batu seberat itu terangkat juga oleh adik” memiliki kemungkinan makna ‘’dapat”, sedangkan dalam kalimat “ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas” melahirkan makna “tidak sengaja”. Makna referensial dan makna nonreferensial dibedakan berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu sendiri. Apabila kata-kata-kata-kata itu memiliki referen maka kata-kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Begitu pula sebaliknya, jika kata-kata

tersebut tidak memiliki referen maka kata tersebut disebut kata bermakna nonreferensial. Chaer (dalam S, 2020). Makna referensial mengisyaratkan tentang makna yang langsung menunju kepada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses dan dapat diartikan sebagai makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Contohnya kata “meja” dan “kursi” termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya memiliki refreren, yaitu sejenis perabotan rumah tangga yang disebut dengan “meja” dan “kursi” dan keduanya benar-benar ada acuannya dalam dunia nyata. Sedangkan nonreferensial adalah kata-kata yang tidak memiliki referen. Contohnya kata “karena” dan “tetapi”. Adapun makna denotatif dan konotatif dibedakan dari ada atau tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata.

Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata tersebut mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Chaer (dalam S, 2020).

Makna denotatif (referensial) merupakan makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya dan sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Contohnya kata “istri” dan “bini” memiliki makna denotasi yang sama yaitu “wanita yang mempunyai suami”. Adapun makna konotatif adalah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu. Contohnya kata “merah” memiliki makna dasar yaitu warna, sedangkan kata “merah” memiliki makna

konotatif yaitu berani atau sesuatu yang dilarang. Sementara itu, penggunaan makna kata baru menjadi jelas ketika kata tersebut sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Misalnya makna dari kata “air” sesungguhnya belum diketahui sebelum kata tersebut berada pada konteksnya. Apakah air yang berada di sumur, di gelas atau air hujan. Oleh karena itu makna kata masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas. Sedangkan makna istilah memiliki makna yang pasti, jelas dan tidak meragukan meskipun tanpa konteks kalimat dan bersifat khusus. Contohnya kata “telinga” dan “kuping” adalah sinonim.

Namun kedua kata itu berbeda di bidang kedokteran, “telinga” adalah bagian dalam dari alat pendengaran sedangkan “kuping” memiliki makna bagian luar dari alat pendengaran tersebut. Selanjutnya, makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas asosiasi atau hubungan apa pun. Contohnya “rumah” memiliki makna konseptual bangunan tempat manusia tinggal. Sedangkan makna asosiatif disebut juga makna kiasan atau pemakaian kata yang tidak sebenarnya dan makna yang dimiliki sebuah kataberkenaan dengan adanya hubungan kata dengan keadaan diluar bahasa. Chaer (dalam S, 2020). Misalnya kata “bunglon” berasosiasi dengan makna orang yang tidak berpendirian tetap. Makna idiomatik adalah makna sebuah satuan bahasa yang menyimpang dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Adapun yang dimaksud dengan idiom adalah

satuan-satuan bahasa yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Misalnya, membanting tulang artinya bekerja keras dan koran kuning yang artinya koran yang memuat berita sensasi. Sementara itu, peribahasa memiliki makna yang masih dapat diramalkan, ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan makna peribahasa. Contohnya, “Bagai anjing dengan kucing”

yang bermakna dua orang yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang kucing dan anjing dalam sejarah kehidupan merupakan dua ekor binatang yang jika bertemu selalu berkelahi. Adapun semua bentuk bahasa (baik kata, frase atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, konseptual atau denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti “putri malam” memiliki arti “bulan” dan “raja siang” berarti “matahari” memiliki arti kiasan.

a. Aspek-Aspek Makna 1) Aspek Makna Pengertian

Shipley (dalam S, 2020:32) menyatakan “Sense. We use words to direct our hearer's attention upon some state of affairs, to present some items for consideration and to excite some thoughts about these items”.

Bahwa ketika seseorang mengatakan sesuatu yaitu untuk mengarahkan perhatian pendengar pada suatu hal, agar adanya pemahaman serta beberapa pemikiran tentang hal tersebut.

2). Aspek Makna Perasaan

Nilai rasa (feeling) merupakan aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan Palmer (dalam S, 2020).

3) Aspek Makna Nada

Aspek makna nada merupakan sikap seorang pembicara terhadap pendengar, atau sikap penulis terhadap pembaca. Aspek makna ini mempunyai hubungan dengan aspek makna perasaan, dengan kata lain hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.

4) Aspek Makna Tujuan

Aspek makna tujuan (intention) yaitu untuk menjelaskan maksud atau tujuan agar saat seseorang berbicara terdapat pemahaman bahwa adanya sesuatu yang dilaksanakan atau bermaksud kepada suatu hal.

b. Faktor Perubahan Makna

Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna sebuah kata bisa berubah. Antara lain sebagai berikut:

1) Perkembangan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi

Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata.

Kata ‘sastra’ dan makna ‘tulisan’ sampai pada makna ‘karya imaginatif’

adalah salah satu contoh perkembangan bidang keilmuan. Kata manuskrip yang pada mulanya berarti ‘tulisan tangan’. Kini kata tersebut

masih digunakan untuk menyebut naskah yang akan dicetak, walaupun hampir tidak ada lagi naskah yang ditulis tangan karena sudah ada mesin tulis adalah salah satu contoh perubahan karena perkembangan teknologi.

2) Perkembangan Sosial Budaya

Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Sama dengan perkembangan teknologi dari kata yang bermula mempunyai makna “A” bisa berubah bermakna ‘B’ ataupun “C”. contoh dalam kata saudara pada mulanya berarti ‘seperut’, atau ‘satu kandungan’. Kini kata ‘saudara’ digunakan juga untuk menyebut atau menyapa siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama. Misal ‘surat saudara sudah saya terima’.

Dalam bidang kegiatan tertentu selalu mempunyai kosakata tersendiri yang hanya dikenal dalam bidang yang dimaksud. Contohnya dalam bidang pertanian ada kata-kata benih, pupuk, menggarap, membajak, menabur, menanam, dan yang lainnya. Tetapi kini kata yang hanya di dalam bidang tertentu kini digunakan dalam bidang lain. Contohnya kata menggarap dulu hanya dikenal dalam bidang pertanian menggarap sawah, tapi kini kata menggarap dipakai dalam bidang pendidikan contohnya kalimat menggarap skripsi dalam konteks kalimat menggarap di sini mempunyai makna mengerjakan.

3) Perbedaan Bidang Pemakaian

Setiap bidang kehidupan memiliki kosakata tersendiri yang hanya digunakan di bidang tertentu dan hanya dikenal dalam bidang tertentu tersebut. Kata-kata yang menjadi kosakata dalam bidang tertentu tersebut dapat membantu dalam pemakaiannya sehari-hari dan juga digunakan dalam bidang lain menjadi kosakata umum sehingga memiiliki makna yang baru (makna yang berlaku dalam bidangnya). Contohnya kata menggarap dalam bidang pertanian yang terlihat dar frasa “menggarap sawah”. Kini kata menggarap mempunyai arti lain yang digunakan di bidang lain membentuk makna “mengerjakan” terlihat dari frasa

“menggarap skripsi”, “menggarap usul para anggota”, “menggarap generasi muda”.

4) Adanya Asosiasi

Asosiasi di sini merupakan perubahan makna yang berbeda dari perubahan yang lainnya. Perubahan makna muncul berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan peristiwa tersebut. Contoh kita masuk ke rumah makan dan menghabiskan secangkir kopi, lalu meminta secangkir kopi lagi maka pemilik atau pelayan rumah makan sudah mengerti apa yang dimaksud. Dia tak akan memberikan secangkir kosong tanpa isi kopi.

5) Perbedaan Tanggapan

Karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang memiliki nilai rasa yang

“rendah” dan nilai rasa yang “tinggi”. Kata-kata yang nilainya merosot

menjadi rendah ini lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi disebut peyoratif. Kata bini dewasa ini dianggap peyoratif, sedangkan kata istri dianggap amelioratif.

6) Adanya Penyingkatan

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang sering digunakan maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti. Misal kata yang disingkat seperti dok, maksudnya ‘dokter’, tilang untuk ‘bukti pelanggaran’, satpam untuk ‘satuan pengamanan’, dan mendikbud untuk ‘menteri pendidikan dan kebudayaan’.

7) Pengembangan Istilah

Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru. Misalnya kata ‘papan’ yang semula bermakna lempengan kayu (besi dan sebagainya) tipis, kini diangkat menjadi istilah untuk makna ‘perumahan.

c. Perubahan Makna

Setelah membicarakan tentang sebab-sebab atau faktor-faktor terjadinya perubahan makna maka dapat dilihat ada perubahan yang sifatnya menghalus, ada perubahan yang sifatnya meluas, ada perubahan yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan yang sifatnya yang halus, ada perubahan yang sifatnya mengajar, dan ada pula

perubahan yang sifatnya total. Maksudnya, berubah sama sekali dari makna semula.

1) Meluas

Perubahan makna meluas di sini maksudnya adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang awalnya hanya memiliki satu makna, kemudian dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga memilik makna-makna yang lain. Umpamanya kata saudara yang bermakna

‘seperut’ atau ‘seperkandungan’. Kemudian maknanya berkembang menjadi ‘siapa saja yang sepertalian darah’. Contoh lain kata mencetak pada mulanya hanya digunakan pada bidang penerbitan buku, majalah, dan koran. Tetapi kemudian maknanya menjadi meluas seperti pada kalimat berikut.

- Timnas U-16 tidak berhasil mencetak satu gol pun.

- Pak Agus setiap hari mencetak puluhan ribu batu bata.

Pada kalimat pertama kata mencetak berarti menghasilkan, pada kalimat kedua berarti membuat.

2) Menyempit

Berbanding terbalik dengan perubahan meluas, yang dimaksud dengan perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi hanya sebuah makna saja. Misalnya kata sarjana yang pada mulanya berarti orang pandai atau cendekiawan, kemudian hanya berarti orang yang lulus dari perguruan tinggi’.

3) Perubahan

Perubahan total adalah berubahnya makna yang dari suatu kata dari makna asalnya. Walaupun terkadang makna yang baru masih ada kaitannya dengan makna asal. Misalnya pada kata ceramah pada mulanya berarti cerewet atau banyak cakap, tetapi kini berarti pidato atau uraian mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak.

Contoh lain kata canggih dengan makna seperti yang digunakan sekarang merupakan contoh lain dari kata-kata yang maknanya telah berubah secara total. Kata canggih adalah bermakna banyak cakap. Tidak ada makna seperti yang kita dapati dalam frasa peralatan canggih, teknologi canggih, dan mesin-mesin canggih dengan makna seperti pada frasa tersebut telah dimuat.

4) Penghalusan (Eufemisme)

Eufemisme digunakan dalam ranah kehidupan sosial, politik, agama, dan budaya. Beberapaahli linguistik telah mengklasifikasikan fungsi dari eufemisme berdasarkan fenomena kebahasaan. Menurut Wardaugh (dalam Tanjungpura, 2018- 69). Penggunaan eufemisme bermaksud jika suatu kata yang tidak dapat dinyatakan, maka pengguna bahasa akan menggantinya dengan cara lain. Secara umum fungsi eufemisme adalah untuk menjadikan sebuah makna yang pada awalnya bersifat kasar atau tabu menjadi makna yang lebih halus. Contoh eufemisme misalnya kata buta diganti dengan kata/ungkapan yang lebih halus seperti tuna netra;

kata kencing diganti buang air kecil; kata ditangkap diganti dengan kata diamankan.

5) Pengasaran (Disfemisme)

Disfemisme adalah ungkapan yang berkonotasi kasar tentang suatu

Disfemisme adalah ungkapan yang berkonotasi kasar tentang suatu

Dokumen terkait