• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Saat ini, tukak lambung menjadi suatu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat dan dalam kondisi yang parah dapat menjadi penyebab kematian. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan rusaknya lapisan mukosa muskularis (Bandyopadhyay, dkk., 2004). Menurut Aziz (2002) ulkus peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, sub mukosa sampai lapisan otot saluran cerna. Ketidakseimbangan antara faktor agresif dan protektif merupakan awal terjadinya tukak lambung. Hipersekresi asam lambung dan pepsin sebagai faktor agresif adalah kondisi patologis yang terjadi akibat sekresi HCL yang tidak terkontrol dari sel-sel parietal mukosa lambung melalui pompa proton H+ / K+ - ATPase yang juga dapat merangsang pelepasan pepsin oleh adanya makanan berupa protein, sedangkan kerusakan lapisan mukus yang berfungsi sebagai faktor protektif pada permukaan mukosa lambung dapat memperparah keadaan diatas (Bandyopadhyay, dkk., 2004; Aziz, 2002).

Banyak kondisi yang menyebabkan ketidakseimbangan kedua faktor tersebut. Adanya reaksi yang berlebihan terhadap makanan tertentu, minuman yang mengandung kafein dan alkohol, rangsangan parasimpatis dan histamin dapat merangsang sel-sel parietal untuk menghasilkan HCl. Penggunaan obat-obatan seperti antiinflamasi non steroid (AINS) berkaitan erat dengan terjadinya perdarahan lambung melalui iritasi sel-sel secara langsung dan inhibisi sistemik sintesis prostaglandin mukosa saluran pencernaan. Keberadaan Helicobacter

pylori dapat mengganggu pertahanan mukosa melalui elaborasi toksin dan enzim serta meningkatkan pelepasan gastrin (Wells, dkk., 2003).

Klasifikasi ulkus peptikum yang sering digunakan dibuat oleh Schuster dan Gross (1963) yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder. Ulkus peptikum primer adalah ulkus yang terjadinya terutama dipengaruhi langsung oleh sekresi asam lambung dan pepsin berlebihan. Ulkus peptikum primer dapat bersifat akut dan kronis, dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi. Ulkus peptikum primer akut menunjukkan gambaran proses erosi dengan tepi tajam, tidak ada kongesti, hanya dijumpai tanda inflamasi minimal sekitar ulkus dan dalam penyembuhannya tidak disertai fibrosis. Pada ulkus peptikum primer kronis ditemukan jaringan nekrotik dengan dasar eksudat fibropurulen dan jaringan granulasi vaskular dengan pembentukan fibrosis. Pada permukaan jaringan nekrotik tersebut sering ditemukan Helicobacter pylori. Ulkus peptikum sekunder didasarkan adanya gangguan ketahanan mukosa saluran cerna, yang dapat terjadi setelah mengalami penyakit/trauma berat (stress ulcer), luka bakar (Curling’s ulcer), penyakit intrakranial (Rokitansky-Cushing’s ulcer), minum aspirin atau kortikosteroid, dan penyakit hati kronis (Aziz, 2002).

Pada awalnya patogenesis ulkus peptikum dikaitkan dengan faktor stres dan makanan, sehingga pengobatan diutamakan pada istirahat di rumah sakit dan pemberian makanan lunak. Kemudian konsep ulkus peptikum didasarkan pada sekresi asam lambung yang berlebihan (Aziz, 2002). Saputri dkk menyatakan bahwa alkohol dan aspirin memiliki daya induksi yang tinggi terhadap ulkus lambung. Berdasarkan hasil analisis terhadap histologi dinding lambung tikus putih jantan galur Sprague-dawley, terlihat bahwa kelompok yang diinduksi

dengan etanol 80 %, etanol 96 % dan aspirin-HCl menunjukkan abnormalitas sel-sel mukosa lambung, dimana terjadi hipertropi dan tampak adanya neutrofil yang terinfiltrasi ke dalam sel-sel epitel yang menandakan terjadinya inflamasi. Menurut Cook, dkk., (1986); Price dan Wilson (1995), etanol diketahui merusak barrier (sawar) mukosa lambung; dan bila aspirin dan alkohol diminum dalam kombinasi, seperti yang sering terjadi; resiko iritasi lambung bertambah. Oleh karena itu, efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang akan merusak lambung. Dalam jumlah sedikit alkohol merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang dan mual, sedangkan dalam jumlah banyak alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung, memperburuk gejala tukak lambung dan mengganggu penyembuhan tukak lambung.

Stres dapat menginduksi perdarahan gastrointestinal dan memperparah ulkus lambung. Kerusakan pertahanan dan perbaikan mukosa dapat terjadi akibat stres, dan berdasarkan hasil penelitian, meningkatnya produksi asam pada lumen lambung menyebabkan kerusakan mukosa dan perdarahan yang nyata sekali. Perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh ulser adalah komplikasi pada pasien, yang menuju kepada tingginya angka kematian, morbiditas, dan jumlah pasien yang membutuhkan penanganan serius (Solouki, dkk., 2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solouki dkk, pencegahan perdarahan gastrointestinal dan pengobatan ulkus dilakukan dengan menetralkan asam lambung dan mengurangi sekresi asam dengan antagonis reseptor histamin H2. Penghambat pompa proton (PPI) lebih kuat dan mempunyai efek yang lebih lama dalam menghambat sekresi asam lambung, dan juga mempunyai interaksi yang lebih sedikit dengan obat-obat lain daripada antagonis reseptor histamin H2.

Penghambat pompa proton seperti omeprazol, terbukti manjur pada perdarahan lambung yang disebabkan oleh stres.

Banyak bahan alam yang digunakan untuk pengobatan karena aman dan relatif murah (Mahattanadul, 1996). Salah satu bahan alam tersebut adalah alginat. Alginat diperoleh dari alga coklat (Phaeophyceae). Alginat merupakan biopolimer yang memiliki banyak kegunaan. Alginat bersifat non-toksik, biodegradable, dan bersifat mukoadesif. Sifat mukoadhesif dari alginat diperkirakan dapat memberikan sifat protektif (sifat melindungi) mukosa lambung dari zat-zat iritan seperti aspirin, asam lambung berlebihan, dan alkohol. Alginat biasanya digunakan sebagai bahan tambahan pada produk obat tergantung pada sifatnya sebagai pengental, pembentuk gel, dan penstabil. Hidrokoloid seperti alginat berperan penting dalam mendesain produk obat pelepasan terkontrol. Pada pH rendah, hidrasi asam alginat membentuk jel asam dengan viskositas tinggi. Alginat dengan mudah membentuk jel dengan adanya kation divalen seperti ion kalsium. Kemampuan alginat membentuk dua jenis jel tergantung pada pH, jel asam dan jel ionotropik, menghasilkan sifat unik polimer dibandingkan dengan makromolekul murni. Sejauh ini telah diproduksi lebih dari 200 kelas alginat dan sejumlah garam alginat (Tonnesen dan Jan, 2002). Alginat digunakan di bidang biomedis, antara lain sebagai bahan baku pembalut luka primer (yang kontak langsung dengan luka) karena selain bersifat non-toksik,

biodegradable, dan biocompatible, juga dapat mempercepat pertumbuhan jaringan baru (Mutia dan Rafaida, 2012). Manfaat alginat terhadap aplikasi biomedis berpotensial meregenerasi jaringan. Alginat telah banyak digunakan pada sejumlah pembalut luka (wound dressing). Beberapa produk pembalut luka

berbahan dasar alginat diketahui dapat mempercepat penyembuhan luka dengan menstimulasi monosit untuk meningkatkan produksi sitokin seperti interleukin-6 dan tumor nekrosis faktor-α. Produksi sitokin pada daerah luka menghasilkan faktor pro-inflamasi yang menguntungkan bagi penyembuhan luka (Sun dan Huaping, 2013).

Pada penelitian ini penulis menggunakan alginat untuk penyembuhan ulkus lambung yang diinduksi oleh aspirin. Untuk tujuan pembentukan ulkus, pemberian aspirin dilakukan secara oral karena mudah dan penetrasinya cepat ke dalam mukosa lambung (Daniel, dkk., 1997). Pada penelitian ini juga diformulasikan alginat ke dalam bentuk sediaan sirup. Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa penambahan bahan pewangi dan zat obat. Sirup merupakan sediaan yang menyenangkan untuk pemberian cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak, sirup efektif dalam pemberian obat untuk anak-anak, karena rasanya yang enak biasanya menghilangkan keengganan pada anak-anak untuk meminum obat (Ansel, 1989).

Beberapa penelitian telah menggunakan alginat untuk mencegah ulkus diantaranya (Meilani, 2010) larutan alginat 1% sebanyak 10 ml yang diberikan 1 jam sebelum pemberian asetosal terbukti secara makroskopis dan mikroskopis dapat mencegah ulkus saluran cerna kelinci yang disebabkan asetosal. Dimana, asetosal ini bersifat asam. Pada pH lambung, asetosal tidak dibebaskan, akibatnya mudah menembus sel mukosa dan asetosal mengalami ionisasi (menjadi bermuatan negatif) dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel secara langsung (Mycek, dkk., 1995).

Fransiska (2013), menginformasikan bahwa sirup alginat lebih stabil pada penyimpanan di dalam kulkas (15°C) dibandingkan penyimpanan pada suhu kamar, dimana hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan viskositas, pH dan berat jenis lebih besar daripada sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar. Pemberian sirup alginat r.p. maupun sirup alginat penyimpanan pada suhu kamar sebanyak 2,5 ml yang diberikan 30 menit sebelum pemberian HCL 0,6 N dapat mencegah terjadinya ulkus lambung pada tikus. Pemberian sirup alginat akan meningkatkan efek pertahanan mukosa lambung terhadap asam sehingga asam tidak akan menembus ke dalam mukosa lambung. Menurut Sianipar (2015), pada hari ketujuh sudah tidak terlihat adanya ulkus pada kelompok pemberian suspensi kombinasi alginat dengan antasida. Menurut Manik (2014), pada hari ketujuh sudah tidak terlihat adanya ulkus pada kelompok pemberian sirup alginat. Berdasarkan data-data tersebut penulis ingin lebih lanjut membuktikan secara makroskopik dan mikroskopik apakah sirup alginat dapat menyembuhkan ulkus lambung yang diinduksi oleh zat iritan lainnya seperti aspirin serta membandingkannya dengan kombinasi alginat dengan omeprazol dengan tikus sebagai hewan percobaan.

Dokumen terkait