• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Ulkus Lambung

2.3.1 Definisi ulkus lambung

Walaupun terdapat proteksi yang dibentuk oleh mukus, sawar mukosa lambung, dan pertukaran sel yang cepat, proteksi tersebut kadang-kadang rusak, sehingga dinding lambung mengalami cedera akibat isinya yang sangat asam dan enzimatik tersebut. Apabila hal ini terjadi, timbul erosi atau ulkus peptikum dinding lambung (Sherwood, 2001).

Ulkus peptikum ialah suatu istilah untuk menunjuk kepada suatu kelompok penyakit ulseratif saluran makanan bagian atas yang melibatkan terutama bagian proksimal duodenum dan lambung, yang mempunyai patogenesis yang sama-sama melibatkan asam-pepsin. Bentuk utama ulkus peptikum yang umum adalah ulkus duodenum dan ulkus lambung, keduanya merupakan penyakit kronik (Isselbacher, 2000).

Ulkus peptikum atau ulkus peptikumum merupakan keadaan dimana kontiunitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus (Fry, 2005). Menurut defenisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, jejenum, dan setelah tindakan gastroenterostomi. Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan ulkus kronis, hal tersebut menggambarkan tingkat kerusakan pada lapisan mukosa yang terlibat (Aziz, 2008).

Ulkus lambung dan duodenum pada manusia terutama berkaitan dengan rusaknya sawar yang secara normal mencegah iritasi dan autodigesti mukosa oleh sekresi lambung (Ganong, 2008).

Apabila sawar mukosa lambung rusak (baik karena melemah atau rusak atau dikalahkan oleh sekresi yang berlebihan), asam dan pepsin berdifusi ke dalam mukosa dengan konsekuensi patofisiologis serius. Asam memicu pengeluaran histamin, suatu stimulan asam yang kuat yang diproduksi dan disimpan dalam jumlah besar di mukosa (Masih belum diketahui apakah histamin berperan dalam keadaan normal). Histamin yang dikeluarkan tersebut merangsang sekresi lebih banyak asam, yang dapat berdifusi kembali ke mukosa untuk merangsang pengeluaran histamin lebih lanjut, yang memicu pengeluaran lebih banyak asam, dan seterusnya, sehingga tercipta suatu lingkaran setan. Erosi mukosa, atau ulkus, terus membesar di bawah pengaruh asam dan pepsin yang kadarnya meningkat. Dua konsekuensi paling serius adanya ulkus adalah (1) perdarahan akibat kerusakan kapiler submukosa dan (2) perforasi dinding lambung akibat erosi total menembus dinding yang disebabkan oleh kerja HCL dan pepsin, sehingga isi lambung yang berbahaya tersebut masuk ke dalam rongga abdomen (Sherwood, 2001).

2.3.2 Patofisiologi

Beaumont mengamati bahwa aktivitas lambung bervariasi sesuai respons terhadap perubahan keadaan emosi yang tidak berkaitan dengan proses pencernaan__hal ini menjadi dasar gangguan pencernaan selama periode stres emosi (Sherwood, 2001).

Asam dan pepsin berdifusi ke dalam mukosa dengan konsekuensi patofisiologis serius seperti yang terlihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Pembentukan ulkus.

Keterangan : Apabila asam dan pepsin mampu menembus sawar mukosa lambung yang melemah, asam merangsang pengeluaran histamin yang tersimpan di submukosa. Histamin pada gilirannya merangsang sel- sel parietal untuk mengeluarkan lebih banyak asam, yang berdifusi menembus sawar yang rusak untuk memicu pengeluaran lebih banyak histamin, sehingga terjadi lingkaran setan. Terbentuk ulkus yang secara progresif membesar karena asam dan pepsin terus menyebabkan erosi mukosa lambung (Sherwood, 2001).

Syarat untuk terjadinya ulkus peptikum adalah adanya getah lambung yang mengandung asam klorida dan pepsin (tanpa asam tak ada ulkus) (Mutschler, 2010). Penyebab umum dari ulserasi peptikum adalah ketidakseimbangan antara kecepatan sekresi cairan lambung dan derajat perlindungan yang diberikan oleh sawar mukosa gastroduodenal dan netralisasi asam lambung oleh cairan duodenum. Semua daerah yang secara normal terpapar oleh cairan lambung dipasok dengan baik oleh kelenjar mukus, antara lain kelenjar mukus campuran pada esofagus bawah dan meliputi sel mukus penutup pada mukosa lambung; sel mukus pada leher kelenjar lambung; kelenjar pilorik profunda (menyekresi sebagian besar mukus); dan akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum bagian

atas yang menyekresi mukus sangat alkali (Guyton dan Hall, 2007). Ulkus peptikum terjadi jika efek agresif asam-pepsin lebih banyak daripada efek protektif pertahanan mukosa lambung atau mukosa duodenum. Kemampuan/kapasitas normal mukosa lambung atau duodenum bagian proksimal untuk menahan efek-efek korosif asam dan pepsin ialah unik dalam tubuh. Hal itu tidak sama dengan yang dimiliki oleh jaringan lain __ karena itu kerentanan mukosa esofagus terhadap cedera karena getah lambung yang mengalir kembali, ulserasi usus halus yang sering jika dikaitkan secara operatif kepada mukosa lambung yang mensekresi secara aktif, dan korosi kulit dapat diramalkan menyebabkan fistula gastrokutaneus (Isselbacher, 2000).

Banyak yang telah dipelajari mengenai mekanisme yang mengatur sekresi asam lambung dan faktor yang tampaknya penting dalam perkembangan ulkus peptikum. Perhatian fisiologi lambung memberikan suatu pengertian mengenai beberapa elemen etiologik dan juga suatu dasar yang rasional untuk pengobatan dan pencegahan ulkus peptikum (Isselbacher, 2000).

Sebagai tambahan terhadap perlindungan mukus dari mukosa, duodenum dilindungi oleh sifat alkali dari sekresi usus halus, terutama adalah sekresi pankreas-yang mengandung sejumlah besar natrium bikarbonat, berfungsi menetralisir asam klorida cairan lambung – sehingga menginaktifkan pepsin untuk mencegah pencernaan mukosa (Lewis, 2000).

Ulkus peptikum dapat disebabkan oleh (1) sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2) berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam – pepsin ( Muttaqin dan Kumala, 2013).

2.3.2.1 Penyebab khusus 1. Infeksi bakteri H. Pylori.

Penyebab pasti ulkus, sampai beberapa waktu yang lalu belum diketahui, tetapi dalam suatu temuan baru yang mengejutkan, bakteri Helicobacter pylori

diperkirakan merupakan penyebab pada hampir 90% kasus ulkus peptikum. Infeksi oleh mikroorganisme ini tampaknya memperlemah sawar mukosa lambung (Sherwood, 2001).

Dalam lima tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien ulkus peptikum menderita infeksi kronis pada bagian akhir mukosa lambung, dan bagian mukosa duodenum oleh bakteri H. Pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi dapat belangsung seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan pengobatan antibakterial. Lebih lanjut lagi, bakteri mampu melakukan penetrasi sawar maupun dengan melapaskan enzim-enzim pencernaan yang mencairkan sawar. Akibatnya cairan asam kuat pencernaan yang disekresi oleh lambung dapat berpenetrasi ke dalam jaringan epitelium dan mencernakan epitel, bahkan juga jaringan-jaringan di sekitarnya. Keadaan ini menuju kepada kondisi ulkus peptikum (Muttaqin dan Kumala, 2013).

2. Peningkatan sekresi asam

Pada kebanyakan pasien yang menderita ulkus peptikum di bagian awal duodenum, jumlah sekresi asam lambungnya lebih besar dari normal, bahkan sering dua kali lipat dari normal.

Sekresi asam hidroklorida lambung dapat dilihat pada Gambar 2.4 di bawah ini.

Gambar 2.4 Mekanisme sekresi HCl.

Keterangan: Sel-sel parietal lambung secara aktif mengeluarkan H+ dan Cl- melalui kerja dua pompa yang berbeda. Ion H+ yang disekresikan berasal dari H2CO3 yang dibentuk di dalam sel dari CO2 yang dihasilkan dari proses metabolisme di dalam sel atau berdifusi masuk dari plasma. Ion Cl- yang disekresikan diangkut ke sel parietal dari plasma. Ion HCO3- yang dihasilkan dari penguraian H2CO3 dipindahkan ke dalam plasma sebagai penukar Cl- yang disekresikan (Sherwood, 2001).

Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya perangsangan berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia yang menderita ulkus peptikum mengarah kepada sekresi cairan lambung yang berlebihan (Guyton dan Hall, 2007). Predisposisi peningkatan sekresi asam diantaranya adalah faktor psikogenik seperti pada saat mengalami depresi atau kecemasan dan merokok (Muttaqin dan Kumala, 2013).

3. Konsumsi obat-obatan

Obat-obatan seperti OAINS/obat anti-inflamasi nonsteroid seperti indometasin, ibuprofen, asam salisilat mempunyai efek penghambatan siklo-oksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat secara sistemik, termasuk pada epitel lambung dan duodenum. Pada sisi lain, hal ini juga menurunkan sekresi HCO3- sehingga memperlemah perlindungan mukosa (Muttaqin dan Kumala, 20013). Aspirin dan NSAIDs lain diketahui dengan jelas mengakibatkan peptik ulser dan obat ini lebih sering dihubungkan dengan lesi pada ulkus lambung daripada ulkus duodenum (Chung dan Byung-Wook, 2012). Efek lain dari obat ini adalah merusak mukosa lokal melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Obat ini juga berdampak terhadap agregasi trombosit sehingga akan meningkatkan bahaya perdarahan ulkus (Kee dan Evelyn, 1995).

4. Stres fisik

Stres fisik yang disebabkan oleh syok, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan saraf pusat (Lewis, 2000). Bila kondisi stres fisik ini berlanjut, maka kerusakan epitel akan meluas dan kondisi ulkus peptikum menjadi lebih parah (Muttaqin dan Kumala, 2013).

5. Refluks usus-lambung

Refluks usus-lambung dengan materi garam empedu dan enzim pankreas yang berlimpah dan memenuhi permukaan mukosa dapat menjadi predisposisi kerusakan epitel mukosa (Muttaqin dan Kumala, 2013).

Faktor-faktor di atas menyebabkan kerusakan epitel mulai dari erosi yang berlanjut pada ulkus akut, kemudian ulkus kronis, dan terbentuknya jaringan parut; maka akan terjadi penetrasi dari seluruh dinding lambung (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Ilustrasi ulkus peptikum.

Keterangan: Ilustrasi ulkus peptikum meliputi gambaran erosi, ulkus akut dan ulkus kronis pada dinding lambung (Lewis, 2000).

Dokumen terkait