• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.2 Belanja Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintahan pada PSAP 02, dikemukakan bahwa klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) adalah terdiri dari :

1. Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek.Belanja operasi antara lain me liputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial.

2. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.

3. Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.

Dalam pada itu kewajiban pemerintah daerah untuk menyajikan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) juga menyesuaikan dan berpedoman dengan PSAP meliputi juga belanja operasi, belanja modal dan belanja lain-lain/tak terduga. Dengan demikian diharapkan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang bertujuan untuk memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LKPD, senantiasa tetap berdasarkan pada: (a) kesesuaian dengan SAP dan atau prinsip-prinsip akuntansi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan; (b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure); (c) kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Merujuk klasifikasi belanja dalam teori yang dikemukakan Salvatore

20

“Managing Government Expenditure” (1991) mengungkapkan pentingnya klasifikasi belanja. Dalam buku tersebut diungkapkan bahwa klasifikasi belanja sangat penting dalam :

1. memformulasikan kebijakan dan mengidentifikasi alokasi sumber daya sektor-sektor;

2. mengidentifikasi tingkatan kegiatan pemerintah melalui penilaian kinerja pemerintah; dan

3. membangun akuntabilitas atas ketaatan pelaksanaan dengan otorisasi yang diberikan oleh legislatif.

Dengan demikian, sistem klasifikasi belanja dimaksudkan untuk memberikan kerangka dasar baik untuk pengambilankeputusan maupun untuk akuntabilitas. Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006 pada pasal 36 menegaskan bahwa belanja diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja sebagai belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya pada pasal 37 peraturan menteri tersebut menyebutkan bahwa kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

1. belanja pegawai;

2. belanja bunga;

3. belanja subsidi;

4. belanja hibah;

5. belanja bantuan sosial;

6. belanja bagi basil;

7. bantuan keuangan; dan 8. belanja tidak terduga.

Sedangkan Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan menurut pasal 50 peraturan menteri dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

1. belanja pegawai;

2. belanja barang dan jasa; dan 3. belanja modal.

Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Belanja jenis ini antara lain untuk menampung honorarium panitia pengadaan dan administrasi pembelian/pembangunan untuk memperoleh setiap aset yang dianggarkan pada belanja modal sebagaimana dianggarkan pada belanja pegawai dan/atau belanja barang dan jasa. Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Belanja barang dan jasa ini mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas, dan pemulangan pegawai.

Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset.

Berdasarkan penegasan Pasal 1 angka 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan bahwa belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai.

Belanja daerah (basis akural) merupakan kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Halim (2007 : 322) mengemukakan

22

bersih. Hal ini juga ditegaskan oleh Yuwono (2005 : 108) yang menyatakan bahwa belanja daerah adalah sarana pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai pengurang kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Singkatnya belanja daerah dipergunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi otoritas daerah otonom.

Karakteristik belanja langsung adalah bahwa input (alokasi belanja) yang ditetapkan dapat diukur dan diperbandingkan dengan output yang dihasilkan.

Sedangkan belanja tidak langsung, pada dasarya merupakan belanja yang digunakan secara bersama-sama (common cost) untuk melaksanakan seluruh program atau kegiatan unit kerja.

Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, pemerintahan daerah memiliki peranan penting dalam pemberian pelayanan publik. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa permintaan terhadap pelayanan publik dapat berbeda-beda antar daerah. Sementara itu, Pemerintah Daerah juga memiliki yang paling dekat dengan publik untuk mengetahui dan mengatasi perbedaan-perbedaan dalam permintaan dan kebutuhan pelayanan publik tersebut. Satu hal yang sangat penting adalah bagaimana memutuskan untuk mendelegasikan tanggung jawab pelayanan publik atau fungsi belanja pada berbagai tingkat pemerintahan.

Secara teoritis, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam pendelegasian fungsi belanja, yaitu pendekatan “pengeluaran” dan pendekatan “pendapatan”.

Menurut pendekatan “pengeluaran”, kewenangan sebagai tanggung jawab antar tingkat pemerintahan dirancang sedemikian rupa agar tidak saling timpang tindih.

Pendelegasian ditentukan berdasarkan kriteria yang bersifat obyektif, seperti tingkat lokalitas dampak dari fungsi tertentu, pertimbangan keseragaman kebijakan dan penyelenggaraan, kemampuan teknik dan manajerial pada umumnya, pertimbangan faktor-faktor luar yang berkaitan dengan kewilayahan, efiensi dan skala ekonomi, sedangkan menurut pendekatan “pendapatan”, sumber pendapatan publik dialokasikan antar berbagai tingkat pemerintah yang merupakan hasil dari tawar-menawar politik. Pertukaran iklim politik sangat mempengaruhi dalam pengalokasian sumber dana antar tingkat pemerintahan.

Selanjutnya, meskipun pertimbangan prinsip diatas relevan, namun kemampuan daerah menajadi pertimbangan yang utama.

Dokumen terkait