• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Hasil

2. Bentuk Coping Stres Subjek 2

Secara umum subjek 2 menggunakan enam bentuk coping stres, yang dapat dibagi menjadi 3 bentuk coping stres berdasarkan klasifikasi strategi

problem focused coping atau coping yang berfokus pada masalah dan 3 bentuk coping stres berdasarkan klasifikasi strategi emotional focused coping atau coping yang berfokus pada emosi. Berikut adalah gambaran bentuk coping stres yang digunakan oleh subjek 2 yang diurutkan berdasarkan yang paling sering digunakannnya.

a.Problem Focused Coping a.1. Active Coping

Bentuk coping stres yang sering subjek gunakan adalah active coping atau pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan tekanan, menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya (Carver, dkk, 1989). Bentuk coping stres ini sering kali digunakan dalam situasi harus segera mengambil langkah untuk mengusahakan

pemenuhan kebutuhan ASI anaknya. Sebagai contoh , ketika stok ASI beku yang disimpang subjek tidak dapat digunakan karena kandungan enzim lipase-nya tinggi, sehingga berbau zat besi dan anak subjek menolaknya. Subjek harus segera mengambil langkah mengejar stok ASI dengan cara mengejar stok harian. Subjek memerah hari ini untuk diminum keesokan harinya. Seperti terdapat dalam kutipan wawancara berikut:

“Cuman eee ternyata pas waktunya saya kerja lagi, anak saya gak mau minum ASI beku saya. Setelah saya cium-cium emang baunya bau zat besi. Setelah saya cari tahu ternyata enzim lipase nya tinggi. Cuman waktu itu kan saya gak tau mesti diapain. Wah itu dah panik. Lumaya stok nya udah ada sekitar 60 an. Tapi anaknya gak mau minum sama sekali kan panik juga. Jadi ya udah… akhirnya dari saya masuk, 3,5 bulan anak saya sampai 2 tahun itu kerja tayang. Jadi saya pompa hari ini ya buat besok. Jadi ASI bekunya gak kepake sama sekali.”

WS2 B 37

Selain itu, bentuk active coping juga terlihat dalam usaha subjek mendistibusikan ASI perahannya setiap hari. Subjek memilih untuk membawa langsung ASI perahannya tanpa mengunakan jasa kurir ASI. Seperti terlihat dalam kutipan wawancara berikut:

“Oh gak gak… karena kan deket… tempat kerjanya dan yang saya pumping hasilnya cukup. Untuk besok dia minum. Jadi gak gak… ya tinggal dibawa pulang aja. Jadi, saya pumping siangnya, sorenya tinggal saya bawa pulang buat besok anak saya minum.”

WS2 B 70

Dengan jarak tempuh yang relatiif dekat dari rumah subjek yang hanya berkisar 30-60 menit waktu tempuh perjalanan, memudahkan subjek juga untuk dapat mengantar sendiri ASI perahnya tanpa khawatir ASI perahnya akan rusak karena terlalu lama di jalan atau anaknya segera membutuhkan ASI perahannya.

a.2. Suppression of Competting

Ketika subjek berada dalam situasi penuh tekanan, sehingga ketenangan dan motivasi sangat dibutuhkan untuk dapat memproduksi ASI bentuk coping suppression of competing juga digunakan oleh subjek. Suppression of competing adalah coping stres dengan berkonsentrasi penuh pada usaha yang lebih mendekati pemecahan masalah dan mengesampingkan hal-hal yang dianggap tidak perlu (Carver, dkk, 1989).

Sebagai contoh ketika subjek sedang berjuang memberi ASI eksklusif kepada anaknya namun subjek harus tetap bekerja dan di sisi lain, ibu mertua subjek yang turut mengasuh anak subjek tidak mendukung usaha pemberian ASI eksklusif subjek. Maka yang dapat dilakukan subjek agar dirinya dapat tetap bertahan adalah menanamkan dalam dirinya bahwa ASI adalah investasi masa depan anak. Hambatan-hambatan apapun hanya sementara. Subjek membangkitkan kembali kerelaan hatinya untuk melakukan yang terbaik bagi anaknya sambil terus berusaha. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut:

“Dan saya pikir dengan ngasih ASI tuh apa yang saya punya bisa saya kasih buat anak saya. Saya mungkin gak bisa kasih… gedenya nanti mungkin saya gak bisa… ya amit-amit sih ya… mungkin saya gak bisa kasih harta yang belebih. Tapi, saya bisa kasih dia satu fondasi yang kuat. Badannya sehat, psikologisnya baik, dia punya ikatan yang kuat dengan saya. Itu aja. Saya pikir kasih ASI nya untuk anak saya. Gitu loh. Saya pikir hambatan-hambatan itu hanya sementara kok. Tapi masa depan anak saya itu kalau gak saya investasi dari sekarang tuh kapan lagi. Gitu. Itu aja sih

dasarnya. Saya pikir apa aja sih buat anak, mau kepala di kaki, kaki-nya di kepala, ya mestinya sih bisa lewat. Gitu…”

WS2 B 76

a.3. Seeking Social Support for Instrumental Action

Bentuk coping lain yang digunakan oleh subjek adalah seeking social support for instrumental action atau upaya mencari dukungan sosial (dari orang lain), berupa bimbingan, nasehat, dan informasi (Carver, dkk, 1989). Bentuk coping stres ini digunakan subjek ketika berada dalam situasi ketidaktahuan terhadap suatu masalah yang dihadapinya dan informasi yang dimilikinya dirasa tidak cukup, sehingga subjek merasa membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang lain. Sebagai contoh ketika anak subjek menolak menyusu langsung dari payudara subjek. Penolakkan dari anak subjek ini tidak diketahui penyebabnya dan terjadi secara tiba-tiba. Hal ini bahkan berakibat pada terlukanya puting payudara subjek akibat ditarik oleh anaknya (nipple pore). Dalam situasi seperti ini, subjek akhirnya memutuskan untuk pergi ke klinik laktasi dan berkonsultasi langsung dengan dokter. Seperti dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:

“Akhirnya saya ke klinik laktasi, eee… di sana dibilang iya.. ini karena di tarik… gitu kan dan mungkin dah kena dot… yaudah akhirnya disitu saya sama suami saya dibilangin sama dokternya “ini jangan dikasih dot lagi ya… dikasih sendok aja, diajarin pelan-pelan bayi pasti bisa asal yang ngasihnya ikhlas bayi pasti mau. Kalau yang ngasihnya gak tenang, pasti bayinya bisa merasa.”’

WS2 B 52

Selain itu, bentuk coping stres ini juga digunakan oleh subjek ketika ia harus mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai ASI

dan harus mengatasi tekanan-tekanan terutama dari keluarga yang dirasa kurang mendukung usaha subjek memberikan ASI eksklusif. Karena dalam keluarga subjek tidak ada tradisi menyusui eksklusif, maka terpaksa subjek harus mencari dukungan dari cerita orang lain dalam milis. Seperti dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut:

“Karena soal ASI ini susah lah… di lingkungan keluarga baru saya yang full ASI sampai 2 tahun… gitu. Di lingkungan teman-teman juga baru saya. Malah kadang mereka yang banyak tanya sama saya… jadi saya… ya… gue kemana ya… (hehehe) paling di milis baca-baca sharing orang… cuman kalau saya sharing ya bingung juga mau sharing sama siapa.”

WS2 B 86

b.Emotional Focused Coping

b.1.Positive Reinterpretation and Growth

Positive reinterpretation and growth atau memandang ulang masalah secara positif dan mencari manfaat positif dari masalah yang dihadapi (Carver,dkk, 1989) juga merupakan salah satu bentuk coping

stres yang digunakan oleh subjek. Sebagai contoh adalah ketika subjek mengingat kembali perjuangannya memberikan ASI eksklusif untuk anaknya dan bagaimana dukungan dari suami yang dirasa subjek kurang jika dibandingkan oleh ayah ASI lainnya. Seperti dalam kutipan wawancara beikut:

“Eee… Jujur masih ada sedikit sreeet… gitu… (hehehe) kalau diinget-inget ya…. Cuma kalau saya pikir, yaudahlah, masih banyak kelebihan suami saya, kalau saya Cuma inget masalah itu terus ya bisa stres nanti saya sampai saya tua nanti kan. Ya semua manusia punya plus minus nya… ya itu Cuma bagian kecil dari minusnya… ya… jujur masih tetep ngerasa gimana… gitu dihati. Kalau nginget. Cuma ya udahlah… ya udah…”

Bentuk coping stres ini digunakan subjek ketika dirinya berada dalam situasi masih tidak dapat menerima keadaaan dengan kesulitan-kesulitan, tekanan, dan kurangnya dukungan yang dirasa olehnya.

b.2.Acceptance

Acceptance atau menerima stressor, dalam arti mengakomodasinya, karena mungkin keadaan permasalahan tersebut sulit diubah (Carver, dkk, 1989) juga merupakan bentuk coping yang digunakan subjek ketika berada dalam situasi berusaha berdamai dengan kesulitan-kesulitan, tekanan, dan kurangnya dukungan yang dirasa olehnya. Sebagai contoh adalah ketika subjek merasa suaminya kurang mendukung dirinya dalam usaha pemberian ASI eksklusif. subjek berusaha mendukung dan menyemangati dirinya sendiri. Meski demikian subjek berusaha menerima suaminya apa adanya dengan tetap bersyukur dengan keberadaan suaminya. Seperti dalam kutipan wawancara berikut:

“(hehehe) susah jawabnya… (hehehe) ya saya sih mungkin lebih banyak support diri saya sendiri sih… kalau support dari keluarga sih… dari suami… ya… saya sih bersyukur ada dia… ya kalau saya mau bandingin sama suami orang lain di milis, yang katanya aduh kalau lagi pumping subuh-subuh suaminya mau pijitin punggungnya. Suami saya kok gak ya?(hehehe)… suaminya mau bela-belain ambil ASI-nya… hm… kok suami saya gak ya… (hehehehe…) tapi ya buat saya, ya… dengan dia gak nyediain susu formula di rumah ya itu sudah dukungan lah… dengan dia mau beliin saya cooler bag, mau beliin botol susu kaca itu sudah dukungan. Kalau gak stres sendiri banding-bandingin sama suami orang kan… (hehehe)”

b.3.Turning to Religion

Dalam situasi tertekan dan tidak tahu harus berbagi kepada siapa, subjek menggunakan bentuk coping turning to religion atau kembali pada ajaran agama untuk mendapatkan kekuatan dan pikiran positif (Carver, dkk, 1989). Sebagai contoh adalah ketika subjek merasa tidak dapat berbagi kepada siapapun mengenai masalahnya karena ia merasa semua orang disekitarnya tidak dapat memahami permasalahannya, subjek selalu membawa dalam doa tiap tekanan selama proses menyusui sambil bekerja. Seperti dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:

“Saya gak bisa sharing sama siapa-siapa. Karena… eeee… saya punya group temen deket gitu ya dari SMA. Tapi yang punya anak baru saya. Jadi mau sharing, ya mungkin mereka mau dengerin tapi solusinya kan gak dapet. Saya mau sharing di tempat kerja yang punya anak baru beberapa dan mereka mix sama formula…. Ya saya bingung juga kan mau sharing sama siapa. Mau sharing sama suami ntar malah bikin BT. Ya jadi saya pikir, yaudahlah… gitu. Dibawa doa aja.”

WS2 B 85

Dokumen terkait