• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: PRAKTIK POLITIK ISLAM: KEPEMIMPINAN

E. Bercak Hitam Periode Umayyah (Peristiwa Karbala) 117

Sebelum wafatnya, Mu’awiyah mengangkat anaknya Yazid menjadi khalifah. Pengangkatan Yazid yang menyalahi tradisi bernegara ala khulafaurrasyidin menyebabkan pemerintahan dinasti ini mendapat perlawanan dari berbagai kelompok. Apalagi masyarakat di berbagai daerah khususnya Kufah mendapat penindasan dari gubernur yang diangkat oleh Yazid, semakin mempersubur perlawanan masyarakat. Di antara mereka ini adalah Husein adik dari Hasan bin Ali yang tinggal di Madinah tidak mengakui kekhalifahan Yazid. Husein memenuhi undangan masyarakat Kufah atas penobatannya sebagai khalifah setelah khalifah Ali, dan Hasan. Berbagai pihak telah menasehatinya untuk tidak pergi ke Kufah. Akan tetapi atas nasehat Abdullah Ibn Zubeir Husein akhirnya memenuhi panggilan masyarakat Kufah ini.9 Husein berangkat ke Kufah pada tahun 680 M dengan jumlah rombongan 200 orang, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Rombongan Husein ini kemudian dikepung oleh pasukan Yazid, lewat perintah Gubernur Irak Ubaydullah Ibnu Ziyad kepada komandan pasukan yang bernama ‘Umar, anak Said Ibnu Abi Waqas dengan kekuatan 4000 pasukan. Husein berkemah di padang Karbala di tepi Sungai 25 mil sebelah Utara Kufah. Husein dipaksa menyerah setelah sungai dekat tempat ia berkemah dibendung sehingga kering. Di tengah kelaparan dan kehausan akibat pengepungan ini cucu nabi inipun gugur dengan

9 Diduga Abdullah Ibnu Zubeir (keponakan ‘Aisyah) ini bermanuver yang menyebabkan Husein terbunuh. Dengan terbunuhnya Husein Abdullah Ibnu Zubeir tidak memiliki pesaing yang kuat untuk menjadi khalifah. Lihat Philip K. Hitty,

luka di sekujur tubuhnya. Kepalanya dipenggal dan selanjutnya dibawa ke hadapan Yazid di Damaskus. Ketika kepala Yazid diperlihatkan ke publik seorang laki-laki tua berteriak keras: “Hati-hatilah, ia adalah cucu nabi. Demi Allah Aku pernah melihat bibir itulah yang dicium nabi yang mulia”.10

Peristiwa ini terjadi tepat tanggal 10 Oktober 680 M. Sebelum terbunuh, Husein sempat mengajukan permohonan dan berkata: “lepaskanlah kami kembali ke tempat kami semula. Atau biarkanlah kami menghadap Yazid, dan jika engkau tidak menghendaki hal ini, maka hindarkanlah pertempuran ini. Atau kami mesti bertempur atas nama khalifah yang syah, melawan musuh Islam”. Permohonan Yazid tidak dikabulkan. Sebaliknya sang komandan memerintahkan untuk menangkap Yazid hidup atau mati. Ali anak Husein menderita demam dan kehausan, demikian pula seluruh anak-anak dan wanita. Tidak ada air setetespun untuk membasahi bibir cicit nabi yang sedang kehausan. Seluruh wanita dan anak-anak meraung ketakutan.11

Akhirnya keluarga nabi inipun satu persatu gugur di suatu pertempuran yang tidak seimbang dan di tengah tangisan anak dan para wanita. Dimulai dari Qasim keponakan Husein meninggal di pangkuan Husein dan disusul dengan yang lain gugur di tengah siksaan musuh yang kejam mati kehausan dan siksaan. Selanjutnya giliran anak Husein yang kehausan. Husein mencari air sambil merangkak menggendong bayi yang masih kecil yang bernama Ali Asgar.12 Pada saat inilah anak panah menembus bayi yang tidak berdosa ini di atas pangkuan sang ayah. Hujan anak panah yang bertubi-tubi membuat Husein terhuyun-huyun. Dengan tubuh berlumuran darah Husein jatuh terkulai di depan tenda tempat ia berkemah. Sebelum ajalnya, seorang perempuan mencoba menolongnya dengan tetesan air ke mulutnya bersamaan itu pula anak panah menembus mulutnya. Kemudian prajurit Yazid memenggal leher cucu Rasulullah ini, sehingga berpisah dari badan. Kemudian kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid di Damaskus.

Demikianlah noda hitam dalam sejarah politik umat Islam kembali tumpah untuk kesekian kalinya. Suatu tragedi kemanusiaan yang tidak

10 Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts, hlm. 209.

11 K. Ali, A Study of Islamic History, hlm. 148.

mungkin terlupakan. Hati sekeras apapun akan terharu melihat tragedi yang menimpa cucu Rasulullah ini. Tidak hanya Husein yang gugur seluruh perempuan dari keluarga Husein juga turut terbunuh, kecuali tersisa satu orang yang bernama Ali yang kelak dikenal dengan Ali Zainal Abidin.

Untuk memperingati peristiwa “syahidnya” Husein, Kelompok Syi’ah merayakan 10 hari pertama bulan Muharam sebagai hari-hari kepedihan dan penyesalan, serta menyusun kisah-kisah pilu yang menekankan penderitaan dan perjuangan “heroik” Husein. Peringatan terhadap peristiwa ini diadakan oleh kaum Syi’ah setahun sekali dengan mengambil dua tahapan. Tahap pertama disebut dengan Asyura (hari kesepuluh) yang diperingati di Kazimain dekat Bagdad. Tahap kedua adalah peringatan 40 hari berikutnya di Karbala yang disebut dengan pengembalian kepala. Hari kematian Husein tanggal 10 Muharam inilah kemudian oleh golongan Syi’ah dianggap sebagai hari kelahiran golongan ini. Kemudian sejak masa inilah teori tentang kedudukan “Imâm” yang diwariskan secara turun temurun berkembang di kalangan mazhab Syi’ah ini. Kedudukan Imam ini dianggap setara dengan kedudukan nabi Muhammad dalam Islam. Juga berkembang pula yel-yel yang berisi tentang tuntut balas atas kematian Husein. Faktor inilah yang nantinya menjadi sebab runtuhnya dinasti Umayyah.

Noda hitam yang turut menodai lembaran kelam sejarah Politik Islam selanjutnya adalah peristiwa serangan terhadap kawasan Hijaz yang di dalamnya ada Ka’bah. Yazid setelah berhasil menumpas perlawan keluarga Ali bin Abi Talib, kemudian mengarahkan serangannya kepada Abdullah Ibnu Zubair keponakan ‘Aisyah. Abdullah Ibnu Zubair diangkat menjadi khalifah oleh penduduk Hijaz setelah kelompok Ali dan keluarganya dapat disingkirkan. Akan tetapi Abdullah mengalami nasip serupa sebagaimana yang menimpa Husein, setelah Yazid mengirimkan pasukan dengan panglima perangnya Muslim Ibnu ‘Uqbah. Tidak hanya keponakan ‘Aisyah yang terbunuh pasukan Yazid juga meluluhlantakkan kota yang dibangun Nabi, yakni Madinah. Kota ini hancur berantakan akibat serangan membabibuta dari dinasti Umayyah ini selam tiga hari. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 26 Agustus 683 M.

Setelah Madinah hancur pasukan Yazid bergerak ke Makkah. Makkahpun hancur berantakan. Bangunan Ka’bah terbakar dan hancur rata dengan

tanah. Bahkan batu Hitam yang di dalamnya pecah tiga.13 Ketika pengepungan Ka’bah sedang berlangsung Yazid meninggal dunia. Pertempuranpun berakhir, karena pasukan ditarik ke pusat (Damaskus). Perebutan khilafah untuk ke sekian kali ini berakhir sementara.

Setelah pasukan Yazid di tarik kepusat, maka Ibn al-Zubayr diproklamirkan kembali menjadi khalifah di kawasan Hijaz, Mesir, dan sebagian Suriah. Akan tetapi gerakan anti kekhalifahan dinasti Uamyyah inipun kembali dapat dipadamkan lewat jendralnya al-Hajjaj yang dikirim oleh Marwan abd al-Malik. Makkah dikepung lebih kurang enam bulan lamanya dan akhirnya dapat dikuasai oleh keluarga dinasti Umayyah. ‘Asma anak perempuan Abu Bakar dan saudara perempuan ‘Aisyah Ibn al-Zubayr akhirnya dapat dibunuh, dan selanjutnya kepalanya dipenggal dibawa ke Damaskus. Tubuhnya digantung untuk beberapa lama, dan kemudian dikembalikan ke ibunya. Kematian Ibn al-Zubayr ini menandakan berakhirnya perlawaan dari kelompok Hijaz. Sisa-sisa kekuatan Anshar berhasil dimusnahkan. Kematian Usman yang dijadikan sebagai isu politik oleh keluarga bani Umayyah tampaknya sudah dapat terbalaskan melalui al-Hajjaj. Peristiwa Karbala jilid duapun berulang kembali.

F. CORAK PEMERINTAHAN DINASTI UMAYYAH

Dinasti Umayyah menerapkan corak pemerintahan yang dikenal dengan “Arabisasi”, yakni penonjolan unsur-unsur Arab ke dalam berbagai kebijakan pemerintahannya. Pertama, adalah arabisasi dalam bidang administrasi pemerintahan. Dinasti Umayyah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan. Sebelumnya bahasa yang digunakan dalam urusan administrasi pemerintahan adalah bahasa bahasa yang berkembang di kawasan tersebut. Misalnya di Damaskus menggunakan bahasa Yunani, bahasa Persia di Irak. Arabisasi di bidang bahasa administrasi pemerintahan ini dimulai sejak ‘Abd al-Malik dan Walid.

Kedua, arabisasi di bidang keuangan. Dinasti Umayyah mengganti mata uang Romawi dan Persia yang sebelumnya digunakan, kemudian menggantinya dengan cetakan sendiri dalam bentuk dinar emas dan dirham perak yang murni karya dinasti Umayyah sendiri. Ketiga, adalah

arabisasi di bidang politik. Jabatan-jabatan penting di dalam pemerintahan hanya boleh dijabat oleh orang Arab. Sebaliknya orang-orang non-Arab menduduki jabatan-jabatan yang tidak strategis.

Pada masa dinasti Umayyah inilah sekularisasii dimulai. Meskipun mereka adalah muslim, akan tetapi fokus mereka lebih kepada pengembangan bidang politik dari pada bidang agama. Sekularisasi tampaknya direncanakan dengan sangat sistematis. Dimulai dari pemindahan ibukota negara dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan ibukota ini tidak diikuti oleh para ulama yang memang berbasis di Madinah. Akibatnya adalah tidak didapati ijmak atau kesepakatan tunggal tentang otoritas keagamaan. Indikasi sekuler lainnya adalah dinasti Umayyah dan juga dinasti-dinasti lain sesudahnya pada umumnya adalah mendirikan negara secara sangat tribalistik. Perhatikanlah nama-nama kerajaan itu: “Umawiyyah” yang berarti klan Umayyah ibn Salt, “Abbasiyyah” yang berarti klan Abbas ibn Mutthalib, pamannya Nabi, dan “Utsmaniyyah,” “Fathimiyyah,” “Ayyubiyyah,” dan lain-lain. Semuanya merujuk pada sistem tribalisme (nama-nama tokoh penting dalam sebuah suku). Ini suatu kemunduran luar biasa jika dilihat semangat Muhammad yang pernah bilang: “Laysa minna man da’a ila al-ashabiyyah” (bukan dari golonganku siapa saja yang menyeru pada tribalisme).

B

BB

BBAB VIAB VIAB VIAB VIAB VI

PRAKTIK POLITIK ISLAM: KEPEMIMPINAN

DINASTI ABBASIYAH (133 – 656 H /750 - 1258 M)