• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: PRAKTIK POLITIK ISLAM: KEPEMIMPINAN

A. Kepemimpinan Abu Bakar

S

etelah wafatnya nabi Muhammad, posisi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai kepala negara di Madinah, digantikan oleh empat sahabatnya secara periodik. Keempat sahabatnya tersebut adalah Abu Bakar as-Siddiq (11-13 H/632 634M), Umar bin Khattab (13-24H/ 634-644M), Usman bin Affan (24-36H/ 644-656M) dan Ali bin Abi Talib (36-41 H/ 656-661 M). Mereka ini disebut dengan

al-Khulafâ ar-Râsyidûn (para pengganti yang memberi bimbingan). Masing-masing mereka ini menerima estafet kepemimpinan secara berbeda beda antara yang satu dengan yang lain. Demikian pula tentang gaya kepemimpinan, masing-masing mereka memiliki karakter tersendiri, termasuk persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Keadaan yang demikian ini perlu diketahui oleh umat Islam agar apa-apa yang baik dari mereka ini dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dan suri tauladan bagi kemajuan umat. Sebaliknya apa-apa yang tidak baik yang menimpa mereka dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk tidak terulang lagi di masa depan. Kepemimpinan khulafaurrasyidin ini dimulai oleh Abu Bakar. Abu Bakar lahir dua tahun setelah penyerangan pasukan Abrahah ke Ka’bah. Jadi usianya lebih muda dua tahun dari nabi Muhammad, tepatnya pada tahun 573 M. Berasal dari sebuah keluarga terhormat di Makkah. Ia biasa dipanggil dengan Abdul Ka’bah.1 Nama aslinya adalah

1 A. Syalabi, Mausû’ah al-Tarikh al-Islami wa al Ha«harah al-Islamîyah,

Abdullah Ibn Abu Kuhafah at-Tamimi. Nabi Muhammad kemudian memanggilnya Abdullah. Sedangkan sebutan Abu Bakar adalah gelar yang diberikan kepadanya sebagai orangtua dari Aisyah, satu-satunya istri nabi yang masih gadis yang dinikahi nabi. Aslinya adalah Abu Bakar yang artinya ayah si gadis.2 Ia juga dijuluki al-Siddik oleh Nabi Muhammad setelah masuk Islam, terutama setelah peristiwa Isra mi’raj. Sejak kecil ia sudah dikenal sebagai sosok yang memiliki pribadi yang luhur seperti: jujur, tulus penyayang dan suka menolong orang. Atas kepribadian seperti inilah sehingga masyarakat Makkah sangat menaruh hormat kepadanya. Selain itu Abu Bakar adalah seorang saudagar yang kaya. Ia sudah menjalin hubungan dengan nabi Muhammad sebelum Muhammad dianggkat menjadi rasul. Hubungan keduanya semakin dekat setelah anaknya Aisyah dinikahkan dengan nabi Muhammad. Bahkan setelah masuk Islam waktunya dihabiskan bersama nabi Muhammad dalam menegakkan agama Islam. Ia sering diajak bermusyawarah. Demikian juga di saat-saat genting ia selalu mendampingi nabi, seperti pada peristiwa hijrah. Oleh sebab itu, dapat dipahami jika nabi sangat menyayanginya dan memberi tempat khusus dengan mewakili nabi sebagai imam shalat jika nabi berhalangan.

Secara umum sosok Abu Bakar bila dilihat segi kedekatannya kepada nabi Muhammad dapat diringkas sebagai berikut:

1. Abu Bakar adalah orang yang pertama sekali memeluk Islam dari kalangan senior, setelah Khadijah.

2. Abu Bakar adalah mertua nabi Muhammad. Anaknya yang bernama Aisyah menikah dengan nabi.

3. Abu Bakar telah beberapa kali ditunjuk menggantikan nabi Muhammad sebagai imam shalat, ketika nabi Muhammad berhalangan hadir. Ini dapat dipahami sebagai isyarat yang cukup jelas tentang kualitas kepemimpinannya, yang kelak dapat menggantikan posisi nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah.

4. Abu Bakar tidak pernah ragu dengan misi nabi Muhammad, khsusnya terkait dengan peristiwa isra’ mi’raj. Atas sikapnya inilah Abu Bakar digelari oleh nabi Muhammad dengan as-Siddiq.

5. Abu Bakar telah membuktikan sebagai sosok pelindung nabi Muhammad dalam arti yang sebenarnya, pada saat-saat yang genting dan menentukan, yakni dengan menemani nabi Muhammad melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.

Berdasarkan kualifikasi-kualifikasi yang ada pada dirinya inilah Abu Bakar dipandang oleh publik sebagai sosok yang memang layak menerima amanah sebagai penyambung estafet kepemimpinan umat Islam menggantikan nabi Muhammad.

1. Pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah

Setelah nabi Muhammad wafat, posisi kepala negara Madinah beralih ke Abu Bakar melalui sistem musyawarah mufakat, meskipun hal ini diawali oleh perdebatan-perdebatan yang sengit antara kaum Anshor dan kaum muhajirin.3 Perdebatan ini dinilai wajar, karena semasa nabi hidup, ia tidak pernah memberikan wasiat tentang siapa yang akan meng-gantikan posisi nabi sebagai kepala negara. Sedangkan posisi Muhammad sebagai nabi tidak diperdebatkan. Ia akan berakhir sejalan dengan wafatnya nabi Muhammad.

Ketika itu kaum Anshor mengadakan rapat di sebuah tempat yang bernama Tsaqifah (balai pertemuan) Bani Saidah. Mereka menyepakati untuk menganghkat Sa’ad bin Ubadah tokoh dari suku Khazraj untuk menjadi kepala negara Madinah pengganti nabi Muhammad. Sementara dari suku Aus belum memberikan persetujuan tentang pengangkatan itu. Situasi yang sangat kritis ini didengar oleh kaum Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang sedang sibuk mengurus jenazah nabi Muhammad. Ketiganyapun bergegas menuju ke tempat pertemuan itu. Kaum Anshor dengan segenap argumentasinya menganggap bahwa mereka cukup pantas dan berhak menggantikan posisi nabi sebagai

3 Mengenai perdebatan di balai persidangan Saqifah Bani Sa’idah, lihat Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts & History (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), hlm.158-161; At-Thabari, juz 3, hlm. 210; Muhammad Dhiauddin Rais, an-Nazhariyah as-Siyasah al-Islâmîyah, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turats, 2001), hlm. 129-131;

Ensiklopedis Tematis Dunia Islam, jilid, 2, hlm. 36-38; W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburge University Press, 1980), hlm. 49.

kepala negara. Sebaliknya kaum Muhâjirinpun demikian halnya. Di tengah perdebatan sengit ini, Abu Bakar minta waktu dan berkata yang intinya menegaskan tentang keutamaan kaum Muhâjirin sebagai orang-orang penganut Islam awal yang mengiringi Rasul dalam segenap penderitaan yang mengiringinya dan dengan segenap konsekuensi-konsekuensi yang diterimanya. Dengan semua konsekuensi inilah Abu Bakar memandang bahwa kaum Muhâjirin berhak atas hak kekhalifahan mengganti posisi nabi sebagai kepala negara. Abu bakar juga menegaskan tentang keutamaan dan peran kaum Anshor yang luar biasa bagi perkembangan Islam. Awalnya kaum Anshor tidak menyepakati pandangan Abu Bakar tentang hak kaum Muhajirin dalam mewarisi estafet kepemimpinan menggantikan posisi nabi. Hal ini tercermin dari pandangan salah seorang tokoh kaun Anshor yang bernama al-Habab bin Munzir dari suku Khazraj. Akan tetapi setelah suku Ansor yang lain tampil berbicara (suku Aus) yang bernama Basyir bin Saad ketegangan yang menyelimuti rapat di Saqifah akhirnya mereda. Saad menyatakan bahwa pertolongan yang diberikan kaumnya adalah semata-mata karena mencari keridhoaan Allah dan ketaatan kepada nabi, karena itu tidak pantas kalau mereka turut berebut jabatan pemimpin dengan Muhajirin. Selanjutnya ia menyatakan bahwa nabi Muhammad adalah berasal dari suku Kuraisy, maka kaumnya lebih berhak untuk menggantikannya.

Situasi yang sedikit mereda akibat dari statmen dari suku Aus ini lalu dimanfaatkan oleh Abu Bakar untuk berbicara. Ia mencalonkan Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah agar masyarakat memilih di antara mereka berdua untuk menjadi khalifah. Namun, keduanya menolak seraya berkata: “tidak, kami tidak memiliki kelebihan dari kamu sekalian dalam urusan ini”. Kemudian Umar mengangkat tangan Abu Bakar sambil menyampaikan sumpah setia kepadanya dan membaitnya sebagai khalifah. Lalu sikap Umar ini diikuti oleh Abu Ubaidah serta tokoh-tokoh

Anshor yang hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka seluruhnya sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah sebagai pemimpin negara Madinah menggantikan nabi Muhammad.4 Dengan demikian resmilah Abu Bakar menjadi pemimpin negara Madinah.

Bai‘at pertama ini disebut bai‘at Saqifah karena persetujuan atau pernyataan setia ini dilakukan di Saqifah yang dihadiri oleh para pemuka suku yang hadir saja. Baru keesokan harinya dilanjutkan dengan al-Ba’iah al-‘Ammah (baiat umum) oleh umat Islam yang dilaksanakan di Masjid nabawi. Pada baiat pertama di Saqifah terdapat beberapa orang sahabat yang tidak hadir dikarenakan sibuk mengurusi jenazah nabi Muhammad. Mereka ini antara lain adalah Zuber bin Awwam, dan beberapa pemuka bani Hasyim. Pada baiat kedua baru mereka turut serta.

Setelah dilantik menjadi khalifah, Abu Bakar memberikan pidato kenegaraan yang berbunyi: “Wahai sekalian manusia. Sekarang Aku telah memangku jabatan yang kalian percayakan kepadaku. Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Maka bila aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tetapi bila aku berbuat salah, luruskanlah. Orang yang kalian nilai kuat, sebenarnya kuanggap lemah. Adapun yang kalian pandang lemah adalah orang yang kuat dalam pendapatku. Karena itu, aku akan mengambilkan haknya dari yang kuat, insya Allah. Hendaknya kalian taat kepadaku, selama aku patuh kepada Allah dan Rasulnya. Tetapi bila aku mengingkari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian taat kepadaku. Marilah kita menunaikan salat dan semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya kepadamu”.5

Pidato kenegaraan Abu Bakar tersebut di atas, meskipun singkat tetapi mengandung sejumlah nilai atau prinsip-prinsip tentang kepemimpinan yang amat penting.6 Pertama adalah nilai amanah. Abu Bakar menganggap bahwa jabatan yang ia peroleh adalah suatu amanah yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kedua adalah adanya kebebasan berpendapat atau apa yang dalam era modern ini dikenal dengan kebebasan pers, seperti harapannya agar jika ia salah diluruskan. Atau dengan kata lain ia ingin ada semacam lembaga kontrol yang di era sekarang ini menjadi ciri negara demokratis. Ketiga adalah komitmen terhadap penegakan hukum (law inforsment), seperti tampak pada ucapannya tentang orang

5 Dikutip dari Ensiklopedi Tematis Dunia Isam , hlm. 38; A. Syalabi, Mausû‘ah al-Tarîkh al-Islâmi, jilid I, hlm. 196; Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts & History, hlm. 160; Muhammad Dhiauddin Rais, an-Nazhârîyah, hlm. 129; K. Ali,

A Study of Islamic History, hlm. 91.

6 Muhammad Dhiauddin Rais, an-Nazharîyah as-Siyâsah al-Islâmîyah, hlm. 130; K. Ali, A Study of Islamic History, hlm. 91.

kuat dan yang lemah. Keempat adalah prinsip kejujuran. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Abu Bakar ini ternyata menjadi ciri-ciri yang di era sekarang dikenal sebagai prinsip demokratis.

2. Kebijakan Politik Pemerintahan Abu Bakar

Abu Bakar selama memimpin negara Madinah, dikenal sebagai sosok yang tegas, seorang demokrat, meskipun ia sosok yang lembut. Ketegasan gaya kepemimpinannya ini terlihat ketika ia dihadapkan dengan tiga masalah krusial yang membahayakan negara pada waktu itu. Ketiga persoalan itu adalah munculnya sejumlah orang yang mengaku sebagai nabi, munculnya orang-orang yang murtad atau keluar dari Islam, dan pembangkangan sejumlah rakyat yang enggan membayar zakat. Tentang sejumlah orang yang mengaku sebagai nabi antara lain adalah: Aswad al-Ânsi (pemuka suku Ansi di Yaman), Musaylamah (dari suku Hanifah) di Yamamah, Tulaihah (dari suku Bani As’ad) dari Arabia Selatan, dan Sajah (seorang wanita Kristen dari suku Yarbu’) di Asia Tengah.

Seluruh gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Madinah tersebut berhasil ia tumpas dengan sukses selama lebih kurang satu tahun. Sikap tegasnya ini terbukti berhasil menyelamatkan negara dari bahaya pemberontakan yang hampir saja menghancurkan negara yang sedang tumbuh. Dengan kata lain Abu Bakar telah berhasil membangun konsolidasi internal yang selanjutnya menentukan bagi perkembangan Islam sesudahnya.

Meskipun demikian, keberhasilan Abu Bakar dalam menumpas pemberontakan disegenap penjuru negeri melalui kebijakan-kebijakannya ini, tetap saja tidak membuat Abu Bakar luput dari kritik. Faraq Fouda7

misalnya mempertanyakan kebijakan Abu Bakar membunuh orang-orang yang murtad, dan enggan membayar zakat. Bagi Faraq, ini termasuk wilayah ijtihadi. Menurutnya, orang yang telah mengucapkan syahadat tidak layak dianggap murtad. Mereka yang dianggap enggan membayar zakat bukan berarti tidak mau membayarnya. Hanya mereka membayarnya tidak kepada Abu Bakar (khalifah) dan ke baitul mal, melainkan memberinya secara langsung kepada pihak yang membutuhkan.

7 Faraq Fouda, Al-Haqîqah al-Ghâ’ibah, (Mesir: Dâr wa Matâbi‘ al-Mustaqbal Alexandria, cet.II, 2003), hlm. 48.

Terlepas dari kebijakan-kebijakan politik yang ditempuh Abu Bakar dalam mengelola negara Madinah yang terkadang dianggap terlalu kaku dan keras, faktanya kebijakannya ini mampu menyelamatkan negara dari goncangan pemberontakan yang sangat berbahaya. Dari kasus ini pula dapat dipetik suatu pelajaran bahwa dalam situasi negara yang sedang dilanda ketidakpercayaan masyarakatnya, di tengah situasi yang tidak menentu diperlukan sikap politik yang tegas, tanpa ragu-ragu. Sikap negarawan seperti inilah yang layak ditiru bagi penguasa di tengah situasi negara sebagaimana yang dihadapi oleh Abu Bakar. Abu Bakar juga tidak takut menanggung resiko dari kebijakan yang telah ia putuskan. Misalnya ia mendapat kritikan yang cukup tajam dari Umar. Ia tetap jalan tanpa ragu sedikitpun. Keberanian ini jugalah yang merupakan ciri-ciri kepemimpinan Abu Bakar. Sikap demikian didukung dengan integritas moral yang tinggi seperti kedermawanan, rendah hati, kesederhanaan, sikap ideal, cerdas, berbudi luhur, adil dan tidak memihak. Meskipun ia memerintah dalam jangka waktu singkat, tetapi prestasinya dapat menjadi inspirasi bagi penguasa-penguasa sesudahnya.

Abu Bakar memimpin negara Madinah selama lebih kurang 2 tahun 3 bulan, dan 11 hari. Ia meninggal dunia pada usia 63 tahun, tepatnya pada hari Senin 23 Agustus 624 M, setelah menderita sakit lebih kurang 15 hari. Ia menghembuskan nyawanya setelah wasiatnya dibacakan kepada sahabat-sahabatnya. Salat jenazah dipimpin oleh Umar, dan kemudian dikuburkan di rumah Aisyah, di samping makam nabi Muhammad.