• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS

2.3 Berita dan Proses Produksi Berita

Berita adalah laporan tentang tentang fakta atu ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi

human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep

berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendi, 1993:131-134). Melalui berita kita dapat mengetahui apa yang terjadi di Aceh,

di Papua dan di Jakarta. Melalui berita kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik, kehidupannya dan kegiatannya.

Berita adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita terus memperoleh informasi tentang pergantian peristiwa, isu dan tokoh di dunia luar. Menurut para sejarawan, akhirnya para penguasapun menggunakan berita untuk menjaga kebersamaan komunitas mereka. Berita menyediakan rasa kebersamaan dan tujuan bersama. Berita bahkan membantu penguasa tiran mengontrol rakyat mereka dengan mengikat mereka dengan ancaman bersama (Bill Kovach, 2003:16-17).

Pengertian berita yang paling terkenal dikemukakan oleh John B. Bogart lewat sebuah pernyataan, yaitu ‘When a dog bites a man, that’s not news. But when a man

bites a dog is news’, ‘ Jika anjing menggigit orang, itu bukan berita. Namun kalau ada

orang menggigit anjing, itu baru berita.’ (Brandt, 2002:17). Dengan demikian, berita memuat suatu hal yang tidak biasa, jarang, dan langka sehingga dapat dikatakan bahwa suatu berita harus memuat unsur baru, penting, relevan, menyangkut hajat hidup orang banyak dan memuat suatu kebenaran. Kendati sangat mustahil untuk memaparkan semua unsur tersebut namun para pencari berita berupaya untuk mencapai idealisasi itu.

Hanya peristiwa yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu baru dapat disebut sebagai berita. Semakin besar peristiwa dan semakin besar dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai peristiwa. Dalam kerja media, peristiwa tidak dapat langsung disebut sebagai berita, tetapi ia harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut mempunyai nilai berita. Nilai berita tersebut menyediakan standar dan ukuran bagi wartawan sebagai kerja dari praktik jurnalistik sebuah berita yang mempunyai unsur nilai berita paling tinggi memungkinkan untuk ditempatkan dalam

headline, sedangkan berita yang tidak mempunyai unsur nilai berita atau setidaknya tidak

berdamapak besar akan dibuang. Penentuan nilai berita ini merupakan prosedur pertama bagaimana peristiwa dikonstruksi (Eriyanto, 2002:104) Secara umum nilai berita itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Prominance Nilai berita diukur dari kebesaran peristiwanya. Peristiwa yang diberitakan adalah peristiwa yang dipandang penting. Mis: Kecelakaan yang menewaskan ratusan orang lebih dipandang sebagai berita daripada kecelakaan yang hanya menewaskan satu orang

Human interest Peristiwa yang banyak mengandung unsur haru, sedih, dan menguras emosi khalayak. Misalnya, peristiwa tentang perjuangan seorang nenek tua miskin dalam memenuhi kebutuhan anaknya sehingga menjadi sukses

Conflict/Controversi Peristiwa yang mengandung konflik. Misalnya konflik Timor Leste

Unusual Berita yang mengandung peristiwa yang tidak

biasa, peristiwa yang jarang terjadi. Misalnya Bayi lahir dengan bobot 6 Kg.

Proximity Peristiwa yang dekat lebih layak diberitakan

dibanding dengan peristiwa yang jauh, baik dari fisik maupun emosional dengan khalayak.

Misalnya, bencana Tsunami 2004 yang terjadi di Aceh akan lebih bernilai bagi warga Aceh yang sedang bermukim di luar negeri daripada orang Indonesia sendiri yang tidak punya saudara di Aceh

Sumber: Eriyanto, 2002: 106-107

Selain nilai berita , prinsip lain yang penting dalam proses produksi berita adalah kategori berita. Menurut Tuchman, secara umum wartawan memakai lima kategori berita berdasarkan jenis peristiwanya yaitu (Eriyanto, 2002:109-110).

1. Hard News, Berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu. Berita ini sangat

dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Semakin cepat semakin baik. Misalnya, Korupsi pejabat, kecelakaan, bencana alam.

2. Soft News, Berita yang berhubungan dengan kisah manusiawi (human interest).

Jika Hard News dibatasi oleh waktu dan merupakan peristiwa yang penting namun Soft News tidak memperhatikan kecepatan, yang penting apak berita itu menarik dan dapat menyentuh emosi dan perasaan khalayak. Misalnya, kisah mengenai pramuniaga yang akan melangsungkan pernikahannya namun meninggal dalam kecelakaan pesawat sehari sebelum pernikahan.

3. Spot news, Merupakan subklasifikasi atau bagian lain dari Hard News. Dalam Spot News, peristiwa yang diliput tidak bisa direncanakan. Peristiwa kebakaran,

kecelakaan, bencana alam adalah peristiwa yang tidak dapat diprediksi.

4. Developing News, Merupakan sublikasi lain dari Hard News. Peristiwa yang diberitakan mempunyai kelanjutan pada jam berikut atau keesokan harinya.

Dalam pemberitaan jatuhnya pesawat terbang, dalam berita pertama mungkin diberitakan nama pesawat dan lokasi kejadian, satu jam kemudian diberitakan nama korban, sebab-sebab kecelakaan dan seterusnya. Disini satu berita diteruskan oleh berita lain, atau malah dikoreksi oleh berita selanjutnya.

5. Continuing News, juga merupakan sublikasi lain dari Hard News. Bedanya dalam Continuing News berita tersebut diprediksi dan direncanakan. Proses dan

peristiwa tiap hari berlangsung kompleks, namun tetap berada dalam wilayah dan pembahasan yang sama. Misalnya, Peristiwa Tsunami yang diberitakan mulai dari sebab terjadinya, sampai penanganan korban. Peristiwanya berbeda tapi tetap mengarah pada suatu tema tertentu.

Setiap kategori tersebut akan menentukan kontrol kerja wartawan, apa yang harus dilakukan, kapan pekerjaan itu harus selesai, dan bagaimana peristiwa itu seharusnya ditulis, menurut Tuchman kategori berita tersebut bukan hanya menentukan bagaimana peristiwa diklasifikasikan, melainkan juga menunjukkan bagaimana peristiwa tersebut didefenisikan dan dikonstruksi (Eriyanto, 2002: 111).

Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam presentasi media (Sudibyo, 2001:7). Proses pembuatan berita merupakan proses yang rumit dan melibatkan banyak faktor seperti kepentingan yang bermain dibaliknya.

Pamela D. Shoemaker dan Stephen D. Reese meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan yaitu:

5. Faktor Individual.

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis kelamin, umur, atau agama.

6. Level Rutinitas Media (media routine)

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tesebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya.

7. Level Organisasi.

Level organissi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam orgnisasi berita, ia sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.

8. Level Ekstramedia

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media.

Faktor-faktor tersebut adalah sumber berita, sumber penghasil media (iklan, pelanggan/pembeli media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan ideologi (kerangka berfikir/referensi).

Sebuah teks berita tidak dapat disamakan dengan Copy realitas, ia haruslah dipandang sebagi konstruksi atas realitas, karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama, tetapi konstruksinya berbeda. Teks berita memiliki sejumlah strategi baku dalam mempersuasikan pernyataan (Eriyanto, 2002:14).

Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua peristiwa dapat menjadi berita. Bagaimana suatu peritiwa menjadi pemberitaan suatu media dapat menjelaskan isi media tersebut. Dalam studi media ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan isi media (Sudibyo, 2001:2-4):

1. Pendekatan politik ekonomi (The political- economy approach)

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politk diluar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungn pemberitaan sebuah media diarahkan. Pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi yang secara dominan menguasai pemberitaan. Mengapa media memberitakan dengan cara seperti itu dan mengabaikan cara pemberitaan yang lain? Jawabannya dicari dengan melihat

kepentingan ekonomi, kepentingan politik, dan kepentingan modal dibalik sebuah media.

2. Pendekatan organisasi (Organisasional approaches).

Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi politik. Dalam pendekatan ekonomi politik, isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal diluar diri pengelola media. Pengelola media dipandang bukan sebagai entitas yang aktif, dan ruang lingkup pekerjaan mereka dibatasi berbagai struktur yang mau tidak mau memaksanya untuk memberi fakta dengan cara tertentu. Pengelola media dipandang tidak bisa mengekspresikan pandangan personalnya. Sebaliknya, kekuatan eksternal di luar konteks pengelolaan medialah yang menentukan apa yang seharusnya diwartakan dan diwacanakan.

Pendekatan organisasi justru melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Dalam pendekatan ini, berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada di ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalm ruang organisasi adalah unsur-unsur dianamik yang mempengaruhi pemberitaan. Kenapa media memberitakan kaus A dengan cara tertentu? Penjelasannya merujuk pada mekanisme yang terjadi di ruang redaksi. Misalnya ketika media mengangkat tokoh politik tertentu, ini bukan berdasarkan motivasi ekonomi atau politik, tetapi karena tokoh politik itu memang mempunyai nilai berita yang tinggi. Setiap organisasi berita mempunyai pola dan mekanisme tersendiri untuk memberitakan suatu peristiwa. Mekanisme itu bersifat internal dan tidak ditentukan oleh kekuatan di luar media.

Media dianggap otonom dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik atau buruk, dan apa yang layak atau tidak layak untuk diberitakan. 3. Pendekatan kulturalis (culturalis approach)

Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita disini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal diluar diri media. Mekanisme yang rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana perdebatan yang terjadi dalam ruang pemberitaan. Pendekatan kulturalis ini mungkin lebih memadai untuk menjelaskan perkembangan pers pasca Orde Baru ‘Revolusi Mei’, dimana para pengelola media mencoba melepaskan diri dari batasan-batasan yang sebelumnya membelenggu kinerja mereka. Persolan kemudian, apakah pada perkembangan selanjutnya pers dapat sepenuhya mempraktekkan ide-ide tentang profesionalisme dan etika jurnalis ideal? Pers telah masuk dalam era industri kapitalisme global, ada sejumlah kompromi yang harus dilakukan dengan kaidah-kaidah pasar. Dengan kata lain, dinamika internal redaksi sebuah media di era pasca-Orde Baru tetap tidak sepenuhnya menjadi entitas otonom, karena ada kekuatan-kekuatan ekonomi yang turut mempengaruhinya.

Dalam pendekatan kulturalis, pengaruh kekuatan ekonomi politik dominan dalam pemberitaan itu diyakini tidak bersifat langsung. Dalam banyak kasus justru sering kali tidak disadari oleh wartawan. Wartawan menganggap beritanya objektif, berimbang, dan dua sisi, padahal secara tidak langsung berita itu turut melanggengkan dan menguntungkan kekuatan ekonomi yang dominan. Sebut saja

misalnya dalam riset pemberitaan mengenai konflik antara petani dengan pemilik perkebunan dan pemerintah. Wartawan banyak mewawancarai pemilik perkebunan dan aparat keamanan sebagai sumber berita. Secara tidak langsung, media sebenarnaya telah menempatkan pemilik tanah dan aparat keamanan sebagai sumber penting dan dominan. Sebaliknya, para petani tidak mendapatkan porsi yang memadai. Disini terlihat, dominasi pemilik perkebunan (baca: modal) dan aparat keamanan tidak bersifat langsung dan koersif. Bahkan sering terjadi awak media tidak menyadari bahwa pola pemberitaannya telah menguntungkan kelompok tertentu dalam sebuah konflik.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan Proses framing dan proses produksi berita

sendiri tidak lepas dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak. Reporter dilapangan menentukan siapa yang diwawancarainya. Redaktur, dengan atau tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat atau tidak, dan menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tatap muka dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur tersebut, apakah teks berita itu perlu diberi aksentuasi foto, karikatur, atau bahkan ilustrasi lain atau tidak serta foto, karikatur atau bahkan ilustrasi mana yang dipilih (Sobur, 2002:64). Artinya sebuah berita yang terdapat di media merupakan suatu perjalanan panjang dari perencanaan sampai terbentuknya suatu berita di media cetak atupun elektronik. Melalui proses itu tentunya tidak hanya melibatkan para pekerja pers tetapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditampilkan.

Pada prinsipnya media massa juga berusaha menjual sesuatu demi memperoleh keuntungan. Keuntungan inilah yang kemudian dapat menghidupi organisasi media massa, dan modal tentu diperlukan sebagai awal untuk menjalankan kegiatan media, dan modal inilah yang biasa dipenuhi oleh pemilik media massa, pemegang saham, penguasa dan sebagainya. Untuk alasan ekonomi inilah pemilihan dan penulisan berita harus disesuaikan dengan selera masyarakat belum lagi adanya iklim persaingan antar media.

Terjadinya proses tarik menarik antara editor judgements dan market forces merupakan dualisme yang dihadapi dalam proses prosuksi isi media. Namun ketika harus memilih opsi tersebut, editor Judgements-lah yang lebih tepat untuk didahulukan. Bagaimanapun jurnalis harus mementingkan kepentingan khalayak bukan dalam pengertian ekonomi, tetapi untuk kepentingan jurnalis (Hidayat, 2000: 408).

Dokumen terkait