PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO &
WAKIL PRESIDEN JUSUF KALLA di SURAT KABAR
(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi Yang
Terjadi Bulan Januari-Maret 2007 di Harian Kompas)
Skripsi
Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi
Diajukan Oleh:
MERYATI PRISKA SIANTURI
030904015DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Meryati Priska Sianturi
NIM : 030904015
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi : PENCITRAAN SBY & JK di SURAT KABAR
(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan
Transportasi Yang Terjadi Bulan Januari – Maret 2007 di Harian
Kompas)
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Drs. Iskandar Zulkarnain, MSi
NIP. 131882279 NIP. 131654105
Drs. Amir Purba, MSi
Dekan
NIP. 131757010
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas
Sumatera Utara, oleh :
Nama : Meryati Priska Sianturi
Nim : 030904015
Pada hari :Sabtu
Tanggal : 29 Maret 2008
Pukul : 10.00 Wib
TIM PENGUJI
Ketua Penguji : Dra. Mazdalifah, Msi ( )
Nip. 131837035
Penguji : Dr. Iskandar Zulkarnain, Msi ( )
Nip. 131882279
Penguji Utama : Dra. Dayana, Msi ( )
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO & WAKIL PRESIDEN JUSUF KALLA di SURAT KABAR, Suatu studi Analis framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi yang Terjadi Bulan Januari-Maret 2007 di harian Kompas.
Susilo Bambang Yudhoyono & Jusuf Kalla adalah Presiden dan Wakil Presiden yang pertama sekali dipilih dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada November 2004 . Sejak pemerintahannya SBY dan JK selalu mendapat sorotan publik, bukan saja dari masyarakat tapi juga dari pihak oposisi. Tragedi transportasi massal (KM. Senopati, AdamAir, KA. Bengawan-Solo, KM. Levina I & Garuda Indonesia) yang terjadi secara beruntun pada masa pemerintahan SBY&JK menuntut pembuktian eksistensi mereka sebagai pemimpin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana media khususnya harian Kompas mengkonstruksi pemberitaan tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 dalam membangaun citra mereka di mata publik.
Penelitian menggunakan metode analisis framing dengan model pendekatan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dengan perangkat framing yang dapat dibagi kedalam empat struktur besar. Pertama, struktur Sintaksis (lead, latar,
headline, kutipan, pernyataan dan penutup). Kedua, struktur Skrip (5W+1H). Ketiga, struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat dan
sebagainya). Keempat ,struktur Retoris (pilihan kata, idiom, grafik).
Subjek penelitian adalah berita tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi bulan Januari-Maret 2007, melalui total sampling diperoleh 20 item berita yang menjadi subjek penelitian. Penelitian ini tidak lepas dari subjektifitas peneliti, maka untuk menjaga kesubjektifan dan kesignifikasian penganalisaan data, penelitian ini menggunakan dua orang Rechecker (pembanding) yang akan meneliti subjek penelitian berdasarkan teknik analisis yang digunakan peneliti, kemudian hasil analisis rechecker akan dikomparasikan dengan hasil peneliti.
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1
I.2 Perumusan Masalah ... 8
I.3 Pembatasan Masalah ... 8
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian ... 9
I.4.2 Manfaat Penelitian ... 9
I.5 Kerangka Teori 5.1 Teks Berita: Pandangan Konstruksionis ... 10
I.5.2 Analisis Framing ... 12
I.5.3 Berita dan Proses Produksi Berita ... 14
I.6 Kerangka Konsep... 17
I.7 Defenisi Operasional Variabel I.7.1 Sintaksis ... 18
I.7.2 Skrip ... 19
I.7.3 Tematik ... 20
I.7.4 Retoris ... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Deskripsi Subjek Penelitian
3.1 Sejarah Kompas ... 58
3.2 Visi dan Misi Kompas ... 63
3.3 Susunan Organisasi Harian Kompas ... 63
3.2 Metode Penelitian ... 67
3.3 Subjek Penelitian ... 70
3.4 Teknik Pengumpulan data ... 70
3.5 Unit dan Level Analisis ... 71
3.6 Teknik Analisis Data ... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Sintaksis ... 75
4.1.2 Skrip ... 103
4.1.3 Tematik ... 119
4.1.4 Retoris ... 146
4.2 Pembahasan... 158
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 173
5.2 Saran ... 176
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO & WAKIL PRESIDEN JUSUF KALLA di SURAT KABAR, Suatu studi Analis framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi yang Terjadi Bulan Januari-Maret 2007 di harian Kompas.
Susilo Bambang Yudhoyono & Jusuf Kalla adalah Presiden dan Wakil Presiden yang pertama sekali dipilih dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada November 2004 . Sejak pemerintahannya SBY dan JK selalu mendapat sorotan publik, bukan saja dari masyarakat tapi juga dari pihak oposisi. Tragedi transportasi massal (KM. Senopati, AdamAir, KA. Bengawan-Solo, KM. Levina I & Garuda Indonesia) yang terjadi secara beruntun pada masa pemerintahan SBY&JK menuntut pembuktian eksistensi mereka sebagai pemimpin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana media khususnya harian Kompas mengkonstruksi pemberitaan tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 dalam membangaun citra mereka di mata publik.
Penelitian menggunakan metode analisis framing dengan model pendekatan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dengan perangkat framing yang dapat dibagi kedalam empat struktur besar. Pertama, struktur Sintaksis (lead, latar,
headline, kutipan, pernyataan dan penutup). Kedua, struktur Skrip (5W+1H). Ketiga, struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat dan
sebagainya). Keempat ,struktur Retoris (pilihan kata, idiom, grafik).
Subjek penelitian adalah berita tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi bulan Januari-Maret 2007, melalui total sampling diperoleh 20 item berita yang menjadi subjek penelitian. Penelitian ini tidak lepas dari subjektifitas peneliti, maka untuk menjaga kesubjektifan dan kesignifikasian penganalisaan data, penelitian ini menggunakan dua orang Rechecker (pembanding) yang akan meneliti subjek penelitian berdasarkan teknik analisis yang digunakan peneliti, kemudian hasil analisis rechecker akan dikomparasikan dengan hasil peneliti.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Sekarang ini adalah zaman media. Hidup kita dikuasai oleh media mulai dari
media elektornik maupun cetak dapat kita temui dimana-mana. Sebagian atau banyak
dari informasi yang kita miliki diperoleh dari media. Hampir tidak ada satu rumahpun di
dunia ini yang tidak dimasuki oleh arus informasi dari media, baik informasi yang dapat
dibaca maupun yang bersifat audiovisual.
Media memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi dan perilaku khalayak.
Berbicara mengenai citra mengenai seseorang atau sesuatu yang melekat pada diri kita,
sebagian besar dibentuk oleh media. Misalnya dari iklan di media citra perempuan
diperlihatkan sebagai sosok yang lebih mempertimbangkan emosi daripada pikiran,
berperilaku halus dan lemah gemulai, serta peran sosialnya di ranah rumah tangga
(domestik domain) berbeda dengan pria yang digambarkan sebagi sosok yang
mempertimbangkan pikiran, kasar, dan berkiprah di ranah publik (publik domain).
Melalui penambahan citra itu sesungguhnya media, langsung atau tidak langsung, telah
melakukan diskriminasi sebab telah mengabaikan kelompok perempuan, padahal
perempuan juga merupakan pihak yang dapat berkiprah di ruang publik, ambisius dan
‘wanita karir’. Dalam konteks kemampuan dalam pembentukan citra itulah, media
SBY dan JK adalah Presiden dan Wakil Presiden yang pertama sekali dipilih
dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada tahun November 2004 . Selama
2,5 tahun pemerintahannya SBY dan JK selalu mendapat sorotan publik, bukan saja dari
masyarakat tapi juga dari pihak oposisi
Dalam proses terpilihnya SBY sebagai Presiden, SBY memperoleh ‘keuntungan’
citra yang besar ketika diberhentikan oleh Gus Dur sebagai Menkosospolhankam dan
menolak jabatan lainnya. Ia juga mendapat ‘keuntungan’ citra ketika mengundurkan diri
sebagai Menkopolkam. SBY tampil memberi keterangan pers, dengan ekspresi emosi
yang matang dan hal ini dipublikasikan oleh media. Di media SBY tampil dengan sosok
dengan tutur kata yang tertata, tenang dan santun tanpa kehilangan wibawa. Peristiwa
tersebut turut membentuk citra SBY sebelum pemilihan umum sebagai sosok yang layak
memimpin bangsa Indonesia karena bukan termasuk arus besar politik seperti legislatif,
eksekutif, dan yudikatif yang dipersepsikan telah gagal memulihkan Indonesia dari
krisis.
Bangsa Indonesia sedang mengalami berbagai persoalan, berbagai bencana alam
seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi di berbagai daerah di tanah air mewarnai
perjalanan tahun 2006. Masalah bencana alam di berbagai daerah belum lagi selesai,
akhir akhir ini masyarakat kita terhenyak dengan berbagai kecelakaan transportasi.
Akhir tahun 2006, tepatnya tanggal 30 Desember KM (Kapal Motor) Senopati
Nusantara yang berangkat dari Teluk Kumai, Kalimantan Tengah, dinyatakan hilang.
Berdasarkan data penumpang, kapal ini mengangkut 628 orang yang terdiri dari 542
penumpang, 57 anak buah kapal, dan 29 orang sopir truk dan kendaraan. Selain
sepeda motor. Dari jumlah total penumpang diperkirakan 46 orang meninggal dan 349
dinyatakan hilang. (http://news.indosiar.com/)
Awal Januari 2007, tepatnya 1 Januari, kita semua dikejutkan dengan hilangnya
pesawat Adam Air. Pesawat jenis Boeing 737-400 milik maskapai penerbangan Adam
Air jurusan Surabaya–Manado, yang sebelum transit di Surabaya berasal dari Jakarta,
dinyatakan hilang di selat Makassar dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Semua penumpang sebanyak 149 orang dan 6 orang awak pesawat dinyatakan tewas di
perairan selat Makasar
merayakan tahun baru dalam suasana duka, harapan agar saudara dan orang-orang
tercinta dapat diselamatkan punahlah sudah karena sampai saat ini upaya menemukan
Adam Air tidak pernah berhasil, yang ada hanyalah bangkai pesawat yang di temukan
oleh penduduk di kepulauan Majene Sulawesi.
16 Januari 2007 subuh, rangkaian kereta api Bengawan jurusan Solo-Tanah
Abang terputus di kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Lima orang
penumpang dilaporkan tewas, ratusan lainnya luka-luka akibat inseiden ini. Kereta Api
Bengawan membawa 12 gerbong, gerbong 4 jatuh ke sungai, sedangkan gerbong 5
sampai dengan 12 miring di atas rel.
Tanggal 22 Februari 2007, Kapal Motor Levina I terbakar di selat Sunda, sekitar
kepulauan Seribu, 50 mil dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Sebanyak 46 orang
meninggal dan 349 orang dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Dugaan penyebab
kecelakan adalah karena kelebihan penumpang dan angkutan serta cuaca buruk. Pada hari
Mnggu, 25 Februari bangkai kapal Levina I akan ditarik untuk dikandaskan setelah
Keselamatan Transportasi (KNKT), Puslabfor (Pusat laboratorium Informasi) Mabes
Polri dan wartawan yang meliput peristiwa, tengah berada di kapal ini, tiba-tiba kapal
tenggelam di perairan Muara Gembong Bekasi, Jawa Barat. Akibatnya dua orang juru
kamera dari stasiun televisi, serta dua orang dari tim Puslabfor Mabes Polri meninggal
dunia.
7 Maret 2007, maskapai penerbangan Garuda Indonesia jurusan
Jakarta-Yogyakarta terbakar ketika hendak mendarat di bandar udara Adi SutjiptoJakarta-Yogyakarta
setelah lepas landas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng. Pesawat ini
membawa 133 penumpang, 1 orang pilot, 1 Kopilot, dan 5 orang awak kabin. Beberapa
tokoh Indonesia juga ikut dalam penerbangan ini antara lain Ketua Umum PP
Muhammadiyah Dien Samsudin (luka ringan), kriminolog Adrianus Meliala (luka), dan
mantan rektor UGM Yogyakarta Prof. Dr. Kusnadi Hardjosumantri (meninggal). Pesawat
tersebut juga membawa 19 warga negara asing antara lain dari Jepang, Brunei
Darussalam dan 8 orang warga Australia yang merupakan rombongan jurnalis yang akan
meliput kunjungan menteri luar negeri Australia Alexander D. di Yogyakarta. Jumlah
korban tewas adalah 22 orang (21 penumpang dan 1 awak pesawat). Perjalanan dengan
pesawat yang dinyatakan sebagai salah satu maskapai penerbangan unggulan di negara
ini pun ternyata tidak menjamin keselamatan para penumpang. Jatuhnya pesawat Garuda
ini menepis anggapan bahwa pesawat murah rawan kecelakaan karena ternyata pesawat
yang disebut sebagai maskapai penerbangan unggulan negeri ini pun ternyata tidak luput
dari kecelakaan.
Rentetan tragedi dari ketidaknyamanan transportasi di Indonesia sepertinya
masyarakat terhadap transportasi Indonesia mulai menurun. Akumulasi pengalaman
traumatik membuahkan frustrasi sosial berlarut di masyarakat. Rasa was-was dan takut
selalu muncul kala ingin bepergian dengan kereta api, kapal laut mapun pesawat terbang.
Rasa takut bepergian bukan saja di kalangan rakyat tapi juga melanda para pejabat
negara. Bayang-bayang kecelakaan menghantui masyarakat kala melakukan perjalanan
dengan transportasi umum. Sejumlah kecelakaan transportasi yang terjadi sampai
membuat publik meragukan tingkat keamanan trasportasi massal di negeri ini.
Kecelakaan massal yang terjadi menunjukkan betapa sistem transportasi kita
memang ringkih, padahal kenyamanan transportasi merupakan unsur vital dalam suatu
negara. Betapa ada yang tidak beres dengan moda transportasi kita, hilangnya ratusan
jiwa lewat kecelakaan transportasi beruntun yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 bukti
dari buruknya manajemen transportasi di negeri ini.
Tragedi transportasi massal yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) mempengaruhi citra mereka di mata
publik, sejauh mana pemimpin bangsa ini menyikapi kecelakaan yang terjadi secara
beruntun sangat mempengaruhi citranya di hadapan publik.. SBY dan JK dituntut untuk
dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap moda transportasi di Indonesia,
waktunya yang tersisa sampai pemilu berikutnya di tahun 2009 tinggal dua tahun, bahkan
ada yang berpendapat bahwa waktu yang efektif tinggal satu tahun lagi, selebihnya
adalah masa menebar janji untuk meraih kekuasaa. (http://www.poskota.co.id/).
Pengambilan kebijakan pasca kecelakaan trasportasi oleh SBY dan JK dapat
Berbagai kecelakaan transportasi yang ada tak luput menjadi perhatian media. Hal
ini terlihat dari berbagai topik mengenai kecelakaan transportasi yang selalu mewarnai
pemberitaan media baik media cetak maupun media elektronik. Munculnya reformasi
tahun 1998 memang membawa angin segar bagi pers indonesia, berbeda halnya dengan
tahun sebelumnya di mana pers dimonopoli oleh pihak tertentu khususnya penguasa Orde
Baru. Namun sejak diberlakukannya Undang-Undang kebebasan pers No.40 tahun 1999,
berbagai jenis media tumbuh bak cendawan di musim hujan. Pers kita sudah mulai berani
dalam mengemas suatu fakta. Jika sebelumnya banyak fakta yang ditutup-tutupi demi
menjamin kepentingan kelompok tertentu maka sejak munculnya reformasi tahun 1998,
wartawan memiliki kebebasan untuk memperoleh informasi dan fakta dari peristiwa yang
terjadi serta kebebasan untuk menyebarkan informasi yang diperolehnya kepada publik.
Termasuk informasi mengenai kebijakan suatu negara dan pejabatnya.
Media dalam fungsi kontrol sosialnya mempunyai fungsi sebagai pengawas atas
setiap kebijakan yang dilakukan oleh pejabat negara. Dalam hal ini media memiliki
kebebasan untuk mengetahui setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebebasan
pers pada masa Orde Reformasi membuat pers tampil beda, lebih berani bersikap kritis
terhadap penguasa. Pers menjadi lebih agresif dan kreatif dalam memberi nilai tambah
suatu berita, dan juga mengeksploitasi isu-isu. Permasalahan-permasalahan diolah
menjadi komoditas informasi. Tetapi justru karena itu, media tak lepas dari pemberitaan
yang berpihak pada pihak tetentu, tidak objektif, mengingkari kaidah cover both side,
dan lain-lain.
Analisis framing adalah analisis yang memusatkan perhatian pada bagaimana
alternatif model analisis yang dapat mengungkapkan rahasia di balik semua perbedaan
(bahkan pertentangan) media dalam mengungkapkan fakta, bagaimana realitas dibingkai
media. Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa peristiwa X
diberitakan? Mengapa peristiwa lain tidak? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat
berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realita didefinisikan dengan cara
tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu yang ditonjolkan sedang yang lain tidak?
Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain
yang diwawancarai?.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui
bagaimanakah media cetak (harian Kompas) mengemas berita tentang SBY&JK pasca
kecelakaan transportasi.
Pemilihan harian Kompas dalam penelitian ini didasarkan pada dua alasan:
Pertama, karena harian ini merupakan harian nasional yang mapan secara ekonomis.
Kompas memiliki berbagai anak perusahaan yang dibangun di bawah atap kelompok
Kompas Gramedia seperti majalah, stasiun radio, penerbitan, percetakan, hingga hotel.
Kelompok perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan yang memanjakan pegawainya.,
mulai tunjangan kesehatan, pendidikan untuk anak-anak karyawan, bonus lebih dari tiga
kali dalam satu tahun, piknik keluarga, pesta ulang tahun perusahaan secara besar-besaran
adanya ‘wartawan amplop’, sehingga wartawan lebih berintegritas dalam menyusun
berita. Kedua, Kompas memiliki khalayak pembaca yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hingga saat ini (Juli 2007), Kompas masih dikenal sebagai koran berskala nasional
Dengan demikian pemberitaan Kompas cukup berdampak luas bagi khalayak pembaca di
Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan di atas, maka dapat
dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: ‘Bagaimanakah citra SBY & JK pasca
kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 dikonstruksi oleh harian
Kompas?’.
1.3 Pembatasan Masalah
Peneliti perlu membuat pembatasan masalah yang lebih jelas dan spesifik untuk
menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas. Adapun pembatasan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini hanya dilakukan pada harian Kompas edisi Januari - Maret 2007
2. Berita yang diteliti adalah pemberitaan tentang SBY & JK pasca kecelakaan
transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 .
3. Obyek penelitian terbatas pada frame yang dikonstruksi lewat pemberitaan, bukan
pada frame individu atau dampaknya terhadap pembentukan opini publik.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana harian Kompas memaknai, memahami dan
mengkonstruksi berita tentang SBY & JK pasca kecelakaan transportasi yang
terjadi bulan Januari-Maret 2007.
2. Untuk melihat citra yang dibentuk oleh harian Kompas terhadap SBY & JK
pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari - Maret 2007.
1.4.2. Manfaat Penelitian.
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya
penelitian khususnya dalam bidang komunikasi.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas cakrawala
pengetahuan penulis serta dapat menjadi kontribusi khususnya dalam melengkapi
kajian tentang realitas dan konstruksi pemberitaan di media cetak.
3. Secara Praktis, penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pembaca
surat kabar maupun bagi media khususnya harian Kompas.
1.5. Kerangka Teori
Setiap penelitian membutuhkan teori sebagai landasan berpikir dalam memcahkan
permasalahannya. Teori yang baik adalah memiliki ciri khas yaitu apakah teori itu
mampu menjelaskan fenomena-fenomena yang penting dalam bidang yang diteliti;
apakah penjelasan itu dapat diberikan dengan tegas dan bersahaja, serta; apakah dengan
penjelasan itu dapat ditemukan sesuatu yang baru (Surakhmad, 1990: 70)
Sasa Djuarsa menyebutkan bahwa, teori adalah abstraksi dari realitas yang terdiri
dari sekumpulan prinsip-prinsip dan definisi-definisi yang secara konseptual
teori bukan saja untuk menemukan fakta tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk
melihat fakta, mengorganisasikan serta menginterpretasikannya (Sendjaja, 1994: 10-11).
1.5.1 Teks Berita : Pandangan Konstruksionis
Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter
L.Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara
ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dibentuk dan
dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang, artinya setiap orang bisa
mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas (Eriyanto, 2002:15), karena
setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan yang berbeda sehingga
membentuk kerangka berpikir yang berbeda pula. Masing-masing akan menafsirkan
realitas berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan atau pergaulan
sosialnya. Misalnya mengenai demonstrasi mahasiswa. Satu kelompok bisa jadi
mengkonstruksi gerakan mahasiswa sebagai anarkis, di luar batas dan mengganggu
masyarakat serta dijadikan alat permainan elit politik tetentu. Tetapi orang dari kelompok
sosial yang lain bisa jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa itu, suatu tindakan untuk
memperjuangkan nasib rakyat, sebuah perjuangan tanpa pamrih.
Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa sebuah teks
dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan) dari realitas (mirror of
reality), ia harus dipandang sebagai hasil konsruksi atas ralitas. Realitas lapangan
sebenarnya berbeda dengan realitas media. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa
yang sama dikonstruksi secara berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu
suatu peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu,
yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2002: 17). Setiap media akan memodifikasi
konstruksi realitas berita dengan caranya masing-masing sehingga suatu peristiwa yang
sama saat dimuat oleh beberapa media pada terbitan keesokan harinya akan berbeda satu
dengan lainnya.
Berita dalam pandangan konstruksi sosial , bukan merupakan peristiwa atau fakta
dalam arti yang rill. Disini realitas bukan diperoleh begitu saja sebagai berita, ia adalah
produk interaksi antara wartawan dengan fakta.
1.5.2 Analisis Framing
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Analisis framing
adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik.
Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif
komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat
mengkonstruksi fakta. Analisisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan
pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau
lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur,
2001:162). Dengan kata lain, framing adalah pendekatan atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau
perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang
Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu
kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan
memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan
istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat
ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001:186). Artinya, realitas dibingkai, dikonstruksi dan
dimaknai oleh media.
Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam frame, tidak
semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang dan ada bagian yang
dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa menghadirkan analogi ketika kita memfoto
suatu pemandangan, maka maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam ‘frame’,
sementara bagian lain terbuang. Contohnya adalah pas photo Rachmat. Ketika Rachmat
difoto 3x4 untuk KTP, maka yang di-frame adalah bagian dada ke atas. Bagian bawah
tidak termasuk dalam frame (Kriyantoro, 2006: 251-252). Tentunya ada alasan mengapa
framing dilakukan pada bagian tertentu, mengapa bagian tertentu yang difoto sementara
bagian lain tidak. Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa
peristiwa X diberitakan? Mengapa peristiwa lain tidak? Mengapa suatu tempat dan pihak
yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realita didefinisikan dengan
cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu yang ditonjolkan sedang yang lain tidak?
Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain
yang diwawancarai?.
Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian
realitas (peristiwa, individu, kelompok, dan lain-lain) yang dilakukan media.
direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan media untuk
menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media.
Akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap
penting, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak.
Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat
kabar karena masing-masing surat kabar memiliki ‘kebijakan politis’ tersendiri.
1.5.3 Berita dan Proses Produksi Berita
Berita adalah laporan tentang tentang fakta atu ide yang termasa, yang dipilih oleh
staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah
karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi
human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep
berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman
fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendi,
1993:131-134). Melalui berita kita dapat mengetahui apa yang terjadi di Aceh, di Papua
dan di Jakarta. Melalui berita kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik,
kehidupannya dan kegiatannya.
Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua peristiwa dapat
menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi
untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan wacana dalam
merupakan proses yang rumit dan melibatkan banyak faktor seperti kepentingan yang
bermain dibaliknya.
Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan yaitu:
1. Faktor Individual.
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. Level
individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal dari pengelola media
mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada kahalayak. Aspek
personal tersebut seperti jenis kelamin, umur, atau agama.
2. Level Rutinitas Media (media routine)
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita.
Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut
berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran
tesebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar
bagi pengelola media yang berada di dalamnya.
3. Level Organisasi.
Level organissi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotik
mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang
tunggal yang ada dalam orgnisasi berita, ia sebaliknya hanya sebagian kecil dari
organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media
bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain bagian redaksi
ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan
4. Level Ekstramedia
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada
di luar organisasi media, namun hal-hal di luar organisasi media ini sedikit
banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Faktor-faktor
tersebut adalah sumber berita, sumber penghasil media (iklan,pelanggan/pembeli
media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan ideologi
(kerangka berfikir/referensi).
Sebuah teks berita tidak dapat disamakan dengan Copy realitas, ia haruslah
dipandang sebagi konstruksi atas realitas, karenanya sangat potensial terjadi peristiwa
yang sama, tetapi konstruksinya berbeda. Teks berita memiliki sejumlah strategi baku
I.6 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah model analisis yang
dikembangkan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki seperti gambar berikut
berikut ini;
Tabel perangkat framing Pan dan Kosicki
STRUKTUR UNIT YANG DI AMATI
SINTAKSIS
Headline, lead, latar
Cara wartawan informasi, kutipan sumber,
menyusun fakta pernyataan, penutup
SKRIP
Cara wartawan 5W+1H
mengisahkan fakta
TEMATIK
Cara wartawan Paragraf, proposisi,
menulis fakta hubungan antar kalimat.
PERANGKAT
1. Skema berita
2. Kelengkapan berita
RETORIS
Cara wartawan Kata, idiom, gambar/foto,
menekankan fakta grafik
Sumber : Eriyanto, 2002: 256
1.7 Defenisi Operasional Variabel
1.7.1 Sintaksis.
Dalam pengertian umum sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat.
Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa,
pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan
kisah berita. Struktur sintaksis memiliki perangkat:
a. Headline
Merupakan berita yang dijadikan topik utama oleh media
b. Lead (teras berita)
Merupakan paragraf pembuka dari sebuah berita yang biasanya
mengandung kepentingan lebih tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada
ideologi penulis terhadap peristiwa.
c. Latar informasi
Latar informasi merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi
semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis
informasi biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang
ditulis. Latar yang ditulis menentukan ke arah mana pandangan khalayak 7. Leksikon
hendak dibawa. Latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang
diajukan dalam suatu teks.
d. Kutipan
Pernyataan yang berasal dari pernyataan seseorang atau para ahli untuk
memperkuat berita yang ditulis oleh wartawan.
e. Sumber
Bagian ini dalam penulisan berita dimaksudkan untuk membangun
objektifivitas-prinsip keseimbangan dan tidak memihak. Ia juga merupakan
bagian berita yang menekankan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan
bukan pendapat wartawan semata., melainkan pendapat dari orang yang
memiliki otoritas tertentu. Pengutipan sumber ini menjadi perangkat
framing atas tiga hal. Pertama, meng-klaim validitas atau kebenaran dari
pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan pada klaim otoritas akademik.
Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat
yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu.
f. Pernyataan.
Bagian berita yang dimaksud untuk mendukung isi berita atau tulisan
wartawan
g. Penutup
Bagian akhir berita biasanya berisi kesimpulan.
Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai
wartawan dalam mengemas peristiwa. Struktur skrip memfokuskan perangkat
framing pada kelengkapan berita:
a. What (apa), menyangkut peristiwa yang diberitakan.
b. When (kapan), menyangkut waktu terjadinya peristiwa.
c. Who (siapa), menyangkut pelaku.
d. Where (di mana), menyagkut tempat.
e. Why (mengapa), mengemukakan berbagai alasan terjadinya suatu
peristiwa yang diberitakan.
f. How (bagaimana), menyangkut cara memaknai peristiwa yang diberitakan.
1.7.3. Tematik
Struktur ini berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan
pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar
kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur tematik mempunyai
perangkat framing:
a. Detail
Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan
seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi
yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan
menampilkan informasi yang tidak menguntungkan dirinya dalam jumlah
sedikit (bahkan kalu perlu tidak disampaikan)
Pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat dalam teks. Koherensi
merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara
strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau
peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang secara saling terpisah,
berhubungan atau malah sebab akibat. Biasanya memakai kata hubung
(konjungsi) diantaranya ; dan, akibat, tetapi, lalu, karena, meskipun.
c. Bentuk kalimat
Jenis kalimat yang dipakai untuk menjelaskan sejumlah fakta yang ada.
Bentuk kalimat berhubungan dengan kalimat aktif dan pasif atau deduktif
dan induktif.
d. Kata ganti
Kata ganti orang atau benda, misalnya Saya, mereka, itu, nya, dll.
1.7.4. Retoris
Struktur ini berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu
dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan
kata, idiom, grafik dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan,
melainkan menekankan arti tertentu kepada pembaca. Struktur retoris mempunyai
perangkat framing:
a. Leksikon/pilihan kata
Penekanan terhadap sesuatu yang penting.
b. Grafis
Bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang
Grafis biasanya muncul lewat pemakaian huruf tebal, huruf miring,
pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar.
Termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar,
atau label untuk mendukung arti penting suatu pesan.
c. Metafor
Kiasan, ungkapan sebagai landasan berpikir , alasan pembenar atas gagasan
atau pendapat tertentu. Dapat berupa kepercayaan masyarakat, ungkapan
sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, ungkapan
yang diambil dari ayat-ayat suci.
Cara memindahkan (transpose) makna sesuatu dengan merelasikan dua
fakta analogi, sering berupa kiasan menggunakan fakta : seperti, bak,
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1 Teks Berita: Pandangan Konstruksionis
Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretative Peter
L.Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara
ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dibentuk dan
dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang, artinya setiap orang oci
mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas (Eriyanto, 2002:15), karena
setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan yang berbeda sehingga
membentuk kerangka berpikir yang berbeda pula. Masing-masing akan menafsirkan
realitas berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan atau pergaulan
sosialnya. Misalnya mengenai demonstrasi mahasiswa. Satu kelompok oci jadi
mengkonstruksi gerakan mahasiswa sebagai anarkis, di luar batas dan mengganggu
masyarakat serta dijadikan alat permainan elit politik tetentu. Tetapi orang dari kelompok
ocial yang lain oci jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa itu, suatu tindakan untuk
memperjuangkan nasib rakyat, sebuah perjuangan tanpa pamrih. Konstruksi yang
mereka buat itu dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa
apa yang mereka katakana dan percayai itu benar adanya, punya dasar yang kuat.
Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa sebuah teks
dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan) dari realitas (mirror of
reality), ia harus dipandang sebagai hasil konsruksi atas ralitas. Realitas lapangan
yang sama dikonstruksi secara berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu
sebuah peristiwa, dapat memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat
suatu peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu,
yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2002:17). Setiap media akan memodifikasi
konstruksi realitas berita dengan caranya masing-masing sehingga suatu peristiwa yang
sama saat dimuat oleh beberapa media pada terbitan keesokan harinya akan berbeda satu
dengan lainnya. Berita dalam pandangan konstruksi social , bukan merupakan peristiwa
atau fakta dalam arti yang rill. Artinya, realitas tidak dioper begitu saja sebagai berita. Ia
adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media,
wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu persatu di bawah ini.
(Eriyanto, 2002:19-36)
1. Fakta/ Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi
Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena
dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi,
sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat
objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu.
Realitas bias berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi kita ketika
realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Jika
dalam konsep positivisme ada realitas yang bersifat ‘eksternal’ yang ada dan
hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi realitas bersifat objektif, yang harus
diambil dan diliput oleh wartawan. Pandangan semacan ini sangat bertolak
sesuatu yang tinggal diambil, ada, dan menjadi bahan berita. Fakta atau realitas
pada dasaranya dikonstruksi
Positivis Ada fakta yang ‘rill’ yang diatur oleh kaidah-kaidah
tertentu
Konstruksionis Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran
suatu fakta bersifat relative, berlaku sesuai konteks
tertentu.
Sumber: Eriyanto, 2002: 20
2. Media Adalah Agen Konstruksi
Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran bagaimana pesan
disampaikan dari komunikator ke penerima (khalayak), media dilihat murni
sebagai saluran bukan agen artinya media bersifat netral. Dalam pandangan
konstruksionis media dilihat sebaliknya, media bukanlah sebagai saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan,
bias dan keberpihakannya. Apa yang kita baca di media setiap hari adalah hasil
dari pembentukan realitas oleh media.
Positivis Media sebagai saluran pesan
Konstruksionis Media sebagai agen konstruksi pesan
Sumber: Eriyanto, 2002: 23
3. Berita Bukanlah Refleksi dari Realita. Ia Hanyalah Konstuksi dari Realitas.
Jika pandangan positivis melihat berita sebagai informasi sebagai representasi dari
bukan menggambarkan relitas, tetapi konstruksi oleh pihak yang berkaitan dengan
peristiwa. Seperti sebuah drama, tentu saja ada pihak yang didefinisikan sebagai
pahlawan (hero), tetapi ada juga pihak yang didefinisikan sebagai pecundang.
Positivis
Berita adalah cermin dan refleksi
dari kenyataan. Karena itu, berita
haruslah sama dan sebangun
dengan fakta yang diliput.
Konstruksionis
Berita tidak mungkin merupakan
cermin dan refleksi dari realitas
karena berita yang terbentuk
merupakan konstruksi atas realitas.
Sumber: Eriyanto, 2002: 25
4. Berita Bersifat Subjektif/ Konstruksi Atas Realitas.
Pada pendekatan positivis, titik perhatiannya pada bias artinya, bias harus
dihindari. Jika ada bias, penjelasannya ditekankan dengan mencari
sumber-sumber kesalahan yang ada; waktu, yang terbatas bagi wartawan, keterbatasan
ruang, kekeliruan wartawan, dan sebagainya. Hal inilah yang berbeda dengan
penempatan konstruksionis. Jika wartawan menempatkan seorang tokoh lebih
besar dari tokoh lain, liputan yang tidak berimbang dan secara nyata memihak
satu kelompok, kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan/bias, melainkan
praktik jurnalistik bisa semacam itu bukan dengan meneliti sumber bias, tetapi
mengarahkan pada bagaimana peristiwa dikonstruksi.
Positivis
Berita bersifat objektif.
Menyingkirkan opini dan
padangan subjektif dari pembuat
berita.
Konstruksionis
Berita bersifat subjektif. Opini
tidak dapat dihilangkan karena
ketika meliput wartawan melihat
dengan perspektif dan
pertimbangan subjektif.
Sumber: Eriyanto, 2002: 27
5. Wartawan Bukanlah Pelapor. Ia adalah Agen Konstruksi Realitas.
Dalam pandangan positivis wartawan bisa menyajikan realitas secara benar, kalau
ia bertindak professional ia bisa menyingkirkan pilihan moral dan
keberpihakannya. Tetapi dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak dapat
menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan
bagian yang instrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya
produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi
antara wartawannya. Dalam bayak hal kasus; topik apa yng diangkat dan siapa
yang diwawancarai, disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan
hasil konstruksi wartawan saja tetapi hasil konstruksi dari wartawan lain,
pemimpin redaksi, maupun pemimpin perusahaan media. Pandangan
konstruksionis juga melihat bahwa wartawan bukanlah pemulung yang
mengambil berita begitu saja, realita bersifat subjektif, yang terbentuk lewat
pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan. Kaum konstruksionis
melihat bahwa seorang wartawan tidak dapat membuat jarak dengan objek yang
hendak diliput karena ketika ia meliput sesungguhnya ia telah menjalin hubungan
dengan objek liputan sehingga melibatkan pemahaman yang mau tidak mau sukar
dilepaskan dari subjektivitas.
Positivis Wartawan sebagai pelapor
Konstruksionis Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani
keragaman subjektifitas pelaku sosial.
Sumber: Eriyanto, 2002: 29
6. Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral
Dalam Produksi Berita.
Pendekatan positivis menekankan agar nilai, etika dan keberpihakan wartawan
dihilangkan dalam proses pembuatan berita, pertimbangan-pertimbangan tersebut
dapat membelokkan wartawan-apapun alasannya-mejauhi realitas yang
sesungguhnya. Pendekatan konstruksionis justu sealiknya. Aspek etika, moral dan
nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan
bukanlah robot yang meliput apa adanya. Mungkinkah subjektifitas wartawan
melihat dan menulis tetapi lebih sering terjadi adalah menimpulkan dan melihat
fakta fakta apa yang dikumpulkan di lapangan. Ketika menyimpulkan wartawan
tidak mungkin lepas dari subjektivitas, memilih fakta apa yang ingin dipilih dan
fakta apa yang ingin dibuang.
Positivis Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada di luar
proses peliputan berita.
Konstruksionis Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat
dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu
peristiwa.
Sumber: Eriyanto, 2002: 32
7. Nilai, Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral dalam
Penelitian.
Dalam pandangan positivis peneliti haruslah bebas nilai, ini berarti etika dan
pilihan moral peneliti tidak boleh ikut dalam penelitian karena akan
mempengaruhi penelitian. Artinya jika subjektivitas dihilangkan maka antara
peneliti yang satu dengan yang lain kalau melakukan penelitian dengan topik dan
objek yang sama akan menghasilkan hasil yang sama juga. Dalam penelitian
yang berkategori konstruksionis, pilihan moral dan keberpihakan justru sukar
dihilangkan karena peneliti bukanlah robot yang seolah-olah makhluk netral dan
akan menilai realitas tersebut apa adanya. Artinya, bisa jadi objek penelitian yang
sama akan menemukan temuan yang berbeda karena peneliti dengan
Positivis Nilai, etika dan pilihan moral harus berada di luar
proses penelitian.
Konstruksionis Nilai, etika, dan pilihan moral adalah bagian tak
terpisahkan dari suatu penelitian.
Sumber: Eriyanto, 2002: 35
8. Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita.
Pandangan positivis melihat berita sebagai sesuatu yang objektif, apa yang
diterima pembaca seharusnya sama dengan apa yang disampaikan oleh pembuat
berita. Jika wartawan melucu khalayak seharusnya tertawa dengan berita yang ia
baca. Dengan pandangan semacam ini pembuat berita dilihat sebagai pihak yang
aktif, sementara pembaca dilihat sebagai pihak yang pasif. Kalau ada kekerasan di
masyarakat, salah satunya disumbangkan oleh realitas penyajain media yang
banyak menampilkan kekerasan. Konstruksionis memiliki pandangan yang
berbeda. Pembaca bukanlah khalayak yang pasif, ia juga subjek yang aktif dalam
menafsirkan apa yang dia baca. Oleh karena itu, setiap orang bisa mempunyai
pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Sebuah foto yang sebenarnya
dimaksudkan untuk mengkomunikasikan stop kekerasan dan seksual, bisa jadi
dimaknai pembaca sebagai menyebarkan pornografi. Kalau terjadi perbedaan
semacam ini, bukanlah berarti berita tersebut buruk.
Positivis Berita diterima sama dengan apa yang dimaksudkan
Konstruksionis Khalayak mempunyai penfsiran sendiri yang bisa jadi
berbeda dari pembuat berita.
Sumber: Eriyanto, 2002: 35
Dari berbagai pandangan diatas jelas terlihat ada perbedaan yang mendasar
antaraparadigma positivis dengan konstruksionis. Karena itu secara umum ada
dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis, pertama pendekatan
konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana
seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua pendekatan konstuksionis
memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis, yang memeriksa
bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator dan memeriksa bagaimana
konstruksi makna individu/ komunikan ketika menerima pesan. Berdasarkan
pandangan tersebut maka analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini
adalah salah satu analisis teks yang berada dalam kategori penelitian
konstruksionis.
2.2 Analisis Framing
Gagasan mengenai framing, pertama sekali diperkenalkan oleh Beterson tahun
1955. Awalnya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan
yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan
kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahu 1974, yang mengandaikan frame
dalam membaca realitas. Akhir- akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas
dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan
penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Walaupun Konsep tentang
framing atau frame sendiri bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi ditinjau dari
ilmu kognitif (psikologis) dan sosiologi (Sobur, 2002: 162). Pendekatan psikologis
terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema
tentang sesuatu, atau gagasan tertentu. Sementara dari sosiologi melihat setiap tindakan
manusia pada dasarnya mempunyai arti dan manusia berusaha memberi penafsiran atas
perilaku tersebut agar bermakna dan berarti.
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Pada dasarnya,
analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya
untuk menganalisis teks media. Analisis framing adalah salah satu metode analisis media,
seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah
membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai
untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisisis ini
mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih
bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi
khalayak sesuai perspektifnya (Sobur, 2001:162).
Menurut Gitlin, frame media pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan frame
dalam pengertian sehari hari yang sering kali kita lakukan. Setiap hari kompleksitasnya.
Lewat frame, jurnalis mengemas peristiwa yang kompleks itu menjadi peristiwa yang
dapat dipahami. Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas.
(included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas
dan bagian mana yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan
memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain.
Akibatanya pemahaman atas suatu peristiwa bisa saja berbeda antara satu media dengan
media lainnya. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta
itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan
proposisi apa, dengan bantuan foto dan gambaran apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta
yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan penempatan tertentu.: penempatan yang
mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan,
pemakaina grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tetentu
ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol
budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dan
sebagainya ( Eriyanto, 2002:70).
MEMILIH MENULIS
FAKTA FAKTA
Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian
tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan
penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang
mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi
lainnya (Sudibyo, 2001:186). Artinya, realitas dibingkai, dikonstruksi dan dimaknai oleh
media. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu menjadi bermakna dan
Pada dasarnya, pola penonjolan tersebut tidaklah dimaknai sebagai bias, tetapi
secara ideologis sebagai strategi wacana: upaya menyuguhkan pada publik tentang
pandangan tetentu agar pandangannya lebih diterima. Kata penonjolan (Saliance)
didefenisikan sebagai membuat sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan
berkesan. Suatu peningkatan dalam penonjolan mempertinggi probabilitas penerima akan
lebih memahami informasi, melihat makna lebih tajam, lalu memprosesnya dan
menyimpannya dalam ingatan. Bagian informasi dari teks dapat dibuat lebih menonjol
dengan cara penempatannya atau pengulangan atau mengasosiasikan dengan
simbol-simbol budaya yang sudah dikenal (Sobur, 2002: 164). Dalam menjelaskan realitas
media, ada beberapa tokoh yang menggunakan perangkat yang berbeda untuk
menjelaskan frame dari realitas yang dibentuk oleh media. Tokoh tersebut adalah Robert
N.Entman, William A.Gamson dan Andre Modigliani, serta Zhongdang Pan dan Gerald
M.Kosicki.
Robert N. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: Seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek/aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan adalah
proses membuat isu lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh kahlayak. Realitas yang
disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam
prakteknya framing, dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dengan
menggunakan berbagai strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan di
headlline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakain grafis untuk mendukung
dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu untuk mengambarkan
Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari
realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana
yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu
terkandung di dalamnya ada bagian berita yang
dimasukkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian
dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu
dari suatu isu.
Penonjolan
aspek tertentu
dari isu
Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika
aspek tetentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah
dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat
berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan
citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Sumber: Eriyanto, 2002: 187
Entman menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan realitas sebagai berikut :
Define problems
(Pendefinisian masalah)
Bagaimana suatu peristiwa dilihat? Sebagai
apa? Atau sebagai masalah apa?
Diagnoses causes
(Memperkirakan masalah
atau sumber masalah )
Peristiwa itu disebabkan oleh apa?Apa yang
dianggap sebagai penyebab dari suatu
masalah? Siapa (aktor) yang dianggap
sebagai penyebab masalah?
Make moral judgement
(Membuat keputusan moral)
Nilai moral apa yang disajikan untuk
dipakai untuk meligitimasi suatu tindakan?
Treatment Recommendation
(Menekankan penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk
mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang
ditawarkan dan harus ditempuh untuk
mengatasi masalah?
Sumber: Eriyanto, 2002: 188
William A.Gamson dan Andre Modigliani selanjutnya mengatakan bahwa media
memerankan fungsi yang kompleks dimana media adalah bagian dari konstruksi budaya.
Sebagai sosiolog Gamson banyak menitikberatkan pada studi gerakan sosial yang mau
tidak mau menyinggung studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Menurut
Gamson , keberhasilan dari gerakan sosial terletak pada bagaimana peristiwa dibingkai,
karenanya gerakan sosial selalu menseleksi dan menggunkan simbol, nilai dan retorika
tetntu dalam memobilisasi khalayak. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan
simpati khalayak. karena itu dipakai simbol, jargon, label yang dikenal oleh khalayak dan
dikenal secara luas. Ketika orang tidak suka dengan Soeharto salah satu simbol dan
jargon yang dibuat adalah SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana). Disini Soeharto
dianggap sama dengan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), istilah SDSB
mengena dalam benak publik karena familiar.
Dalam formulasi yang dibuat oleh William A.Gamson dan Andre Modigliani
framing, dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan
sejumlah kemasan (package), yakni rangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang
ditunjukkkan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau
struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan
yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan pesan-pesan yang ia terima. Framing adalah
pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang wartawan ketika
menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dibawa kemana
berita itu. Perangkat framing yang dikemukakan oleh Gamson dan Modigliani seperti
gambar berikut:
Analisis kausal atau sebab akibat
Catchprases
Frase yang menarik, kontras,
menonjolkan suatu wacana. Ini
umumnya jargon atau slogan.
Appeals to principle
Premis dasar, klaim-klaim moral
Exemplar
Mengaitkan bingkai dengan contoh
(bisa teori, perbandingan) yang
memperjelas bingkai
Consequences
Efek atau konsekuensi yang
didapat dari bingkai.
Sumber: Eriyanto, 2002: 225
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki melihat analisis Framing sebagaimana
Framing didefenisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol,
menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayaknya lebih tertuju pada
pesan tersebut. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki menawarkan perangkat framing
sebagai berikut :
Tabel perangkat framing Pan dan Kosicki
STRUKTUR UNIT YANG DI AMATI
SINTAKSIS
Headline, lead, latar
Cara wartawan informasi, kutipan sumber,
menyusun fakta pernyataan, penutup
SKRIP
Cara wartawan Kata, idiom, gambar/foto,
menekankan fakta grafik
Sumber : Eriyanto, 2002: 256 PERANGKAT
1. Skema berita
2. Kelengkapan berita
Dari semua pendekatan diatas , maka inti dari framing yang disampaikan oleh para
ahli adalah bahwa framing merupakan pendekatan untuk melihat bagaimana sebuah
realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Analisis framing juga dapat mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu
dan menulis berita. Ada dua esensi utama dari framing yakni :
1. Bagaimana peristiwa itu dimaknai (berkaitan dengan pemilihan peristiwa/fakta
yang mengakibatkan adanya suatu peristiwa yang diliput atau tidak)
2. Bagaimana peristiwa itu ditulis (berkaitan dengan bagaimana fakta yang sudah
dipilih semakin ditekankan dengan perangkat tertentu. Misalnya penempatan kata
atau kalimat dengan bantuan foto, gambar atau grafik)
Frame media dengan demikian adalah bentuk yng muncul dari pikiran (kognisi),
penafsiran, dan penyajian dari seleksi, penekanan dan pengucilan dengan menggunakan
simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana yang terorganisir, baik dalam
bentuk verbal maupun visual ( Eriyanto,2002:69).
2.3 Berita dan Proses Produksi Berita
Berita adalah laporan tentang tentang fakta atu ide yang termasa, yang dipilih oleh
staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah
karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi
human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep
berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman
fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar
di Papua dan di Jakarta. Melalui berita kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit
politik, kehidupannya dan kegiatannya.
Berita adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita terus memperoleh
informasi tentang pergantian peristiwa, isu dan tokoh di dunia luar. Menurut para
sejarawan, akhirnya para penguasapun menggunakan berita untuk menjaga kebersamaan
komunitas mereka. Berita menyediakan rasa kebersamaan dan tujuan bersama. Berita
bahkan membantu penguasa tiran mengontrol rakyat mereka dengan mengikat mereka
dengan ancaman bersama (Bill Kovach, 2003:16-17).
Pengertian berita yang paling terkenal dikemukakan oleh John B. Bogart lewat
sebuah pernyataan, yaitu ‘When a dog bites a man, that’s not news. But when a man
bites a dog is news’, ‘ Jika anjing menggigit orang, itu bukan berita. Namun kalau ada
orang menggigit anjing, itu baru berita.’ (Brandt, 2002:17). Dengan demikian, berita
memuat suatu hal yang tidak biasa, jarang, dan langka sehingga dapat dikatakan bahwa
suatu berita harus memuat unsur baru, penting, relevan, menyangkut hajat hidup orang
banyak dan memuat suatu kebenaran. Kendati sangat mustahil untuk memaparkan semua
unsur tersebut namun para pencari berita berupaya untuk mencapai idealisasi itu.
Hanya peristiwa yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu baru dapat disebut
sebagai berita. Semakin besar peristiwa dan semakin besar dampak yang ditimbulkannya,
lebih memungkinkan dihitung sebagai peristiwa. Dalam kerja media, peristiwa tidak
dapat langsung disebut sebagai berita, tetapi ia harus dinilai terlebih dahulu apakah
peristiwa tersebut mempunyai nilai berita. Nilai berita tersebut menyediakan standar dan
ukuran bagi wartawan sebagai kerja dari praktik jurnalistik sebuah berita yang
headline, sedangkan berita yang tidak mempunyai unsur nilai berita atau setidaknya tidak
berdamapak besar akan dibuang. Penentuan nilai berita ini merupakan prosedur pertama
bagaimana peristiwa dikonstruksi (Eriyanto, 2002:104) Secara umum nilai berita itu
dapat digambarkan sebagai berikut:
Prominance Nilai berita diukur dari kebesaran peristiwanya.
Peristiwa yang diberitakan adalah peristiwa yang
dipandang penting. Mis: Kecelakaan yang
menewaskan ratusan orang lebih dipandang sebagai
berita daripada kecelakaan yang hanya
menewaskan satu orang
Human interest Peristiwa yang banyak mengandung unsur haru,
sedih, dan menguras emosi khalayak. Misalnya,
peristiwa tentang perjuangan seorang nenek tua
miskin dalam memenuhi kebutuhan anaknya
sehingga menjadi sukses
Conflict/Controversi Peristiwa yang mengandung konflik. Misalnya
konflik Timor Leste
Unusual Berita yang mengandung peristiwa yang tidak
biasa, peristiwa yang jarang terjadi. Misalnya Bayi
lahir dengan bobot 6 Kg.
Proximity Peristiwa yang dekat lebih layak diberitakan
dibanding dengan peristiwa yang jauh, baik dari
Misalnya, bencana Tsunami 2004 yang terjadi di
Aceh akan lebih bernilai bagi warga Aceh yang
sedang bermukim di luar negeri daripada orang
Indonesia sendiri yang tidak punya saudara di Aceh
Sumber: Eriyanto, 2002: 106-107
Selain nilai berita , prinsip lain yang penting dalam proses produksi berita adalah
kategori berita. Menurut Tuchman, secara umum wartawan memakai lima kategori berita
berdasarkan jenis peristiwanya yaitu (Eriyanto, 2002:109-110).
1. Hard News, Berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu. Berita ini sangat
dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Semakin cepat semakin baik. Misalnya,
Korupsi pejabat, kecelakaan, bencana alam.
2. Soft News, Berita yang berhubungan dengan kisah manusiawi (human interest).
Jika Hard News dibatasi oleh waktu dan merupakan peristiwa yang penting
namun Soft News tidak memperhatikan kecepatan, yang penting apak berita itu
menarik dan dapat menyentuh emosi dan perasaan khalayak. Misalnya, kisah
mengenai pramuniaga yang akan melangsungkan pernikahannya namun
meninggal dalam kecelakaan pesawat sehari sebelum pernikahan.
3. Spot news, Merupakan subklasifikasi atau bagian lain dari Hard News. Dalam
Spot News, peristiwa yang diliput tidak bisa direncanakan. Peristiwa kebakaran,
kecelakaan, bencana alam adalah peristiwa yang tidak dapat diprediksi.
4. Developing News, Merupakan sublikasi lain dari Hard News. Peristiwa yang
Dalam pemberitaan jatuhnya pesawat terbang, dalam berita pertama mungkin
diberitakan nama pesawat dan lokasi kejadian, satu jam kemudian diberitakan
nama korban, sebab-sebab kecelakaan dan seterusnya. Disini satu berita
diteruskan oleh berita lain, atau malah dikoreksi oleh berita selanjutnya.
5. Continuing News, juga merupakan sublikasi lain dari Hard News. Bedanya dalam
Continuing News berita tersebut diprediksi dan direncanakan. Proses dan
peristiwa tiap hari berlangsung kompleks, namun tetap berada dalam wilayah dan
pembahasan yang sama. Misalnya, Peristiwa Tsunami yang diberitakan mulai dari
sebab terjadinya, sampai penanganan korban. Peristiwanya berbeda tapi tetap
mengarah pada suatu tema tertentu.
Setiap kategori tersebut akan menentukan kontrol kerja wartawan, apa yang harus
dilakukan, kapan pekerjaan itu harus selesai, dan bagaimana peristiwa itu seharusnya
ditulis, menurut Tuchman kategori berita tersebut bukan hanya menentukan bagaimana
peristiwa diklasifikasikan, melainkan juga menunjukkan bagaimana peristiwa tersebut
didefenisikan dan dikonstruksi (Eriyanto, 2002: 111).
Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi untuk
mempengaruhinya, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai
realitas dalam presentasi media (Sudibyo, 2001:7). Proses pembuatan berita merupakan
proses yang rumit dan melibatkan banyak faktor seperti kepentingan yang bermain
dibaliknya.
Pamela D. Shoemaker dan Stephen D. Reese meringkas berbagai faktor yang