• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERPEGANG KEPADA SUNNAH

Dalam dokumen MATERI KAJIAN KMIP HADITS ARBAIN (Halaman 88-92)

Ν Ï δ ωô γ y èÎ/#sŒÎ)

BERPEGANG KEPADA SUNNAH

Dari Abu Najih Irbad bin Sariyah berkata bahwa Rosululloh menasehati kita dengan nasehat perpisahan yang menggetarkan hati dan membuat air mata jatuh bercucuran. Kami bertanya,

“Wahai Rosululah, sepertinya ini nasehat perpisahan, karenanya berilah kami wasiat.”

Nabi bersabda,

“Saya memberi wasiat kepadamu agar tetap bertaqwa kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, mendengar, dan taat walaupun yang memerintahkanmu adalah hamba sahaya. Sesungguhnya, barang siapa di antara kalian masih hidup niscaya bakal menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu berpegang teguhlah kepada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang lurus. Gigitlah ia dengan gerahammu. Jauhilah hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.”

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan lagi shohih.”)

Hadits ini hadits yang sangat agung di mana Rosululloh mewasiatkan kepada para shohabatnya dan wasiat ini berlaku kepada umatnya seluruhnya hingga yaumul qiyamah, yaitu untuk bertakwa kepada Alloh, untuk mendengar dan taat walaupun yang memerintah seorang budak. Taat dalam perkara-perkara yang tidak menyelisihi syari’at. Dan selama yang bukan dari maksiat, maka termasuk di dalamnya adalah perintah yang mubah. Bahkan walaupun yang memerintah adalah orang yang melanggar syariat ketika dia memerintah tersebut.18

Selama pemimpin tetapi tidak memerintahkan untuk melanggar syariat, meskipun yang memerintah melanggar syariat –dan dia memerintahkan untuk sesuatu yang bukan menjadi kewajiban kita– maka kita laksanakan perintah tersebut selama bukan sesuatu yang merupakan kemaksiatan kepada Alloh.

Maka taat kepada pemerintah atau imam bisa terbagi dalam tiga bentuk. Yang pertama perintah tersebut merupakan kewajiban syar’i sehingga ketaatan di sini merupakan ketaatan kepada Alloh. Hal in telah jelas, kalau imam memerintahkan kepada kita, yang memang itu perintah Alloh dan Rosul-Nya, maka wajib bagi kita mentaati perintah Alloh dan perintah imam.

Kemudian yang kedua perintah tersebut sesuatu yang mubah maka wajib ditaati karena ini merupakan haknya. Alloh dan Rosul-Nya tidak pernah memerintahkan dengan perintah tersebut, tetapi imam memerintahkan suatu perbuatan dan bukan maksiat dan merupakan perkara yang mubah; maka kita wajib menunaikannya.

18 Maksudnya, perintahnya tidak menyelisihi syari’at, tetapi orang yang memerintahkan adalah orang yang melanggar syari’at, misalnya, presiden yang peminum khomr.

Kemudian yang ketiga, perintah tersebut merupakan kemaksiatan, maka tidak boleh ditaati. Perintah untuk bermaksiat kepada Alloh tidak boleh ditaati. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khalik. Hanyalah ketaatan itu kepada yang ma’ruf.

Dari sabda Nabi ini ada isyarat bahwasanya budak tadi berkuasa dengan jalan yang tidak sesuai dengan aturan syari–atau dengan istilah lain dengan kudeta–. Dalam hal terbentuknya pemimpin, kalau memang pemimpin sdah terbentuk, bagaimanapun cara terjadinya pembentukan pemimpin tersebut, maka wajib masyarakat untuk taat kepada pemimpin tersebut.

Dan terbentuknya pemimpin dalam Islam bisa dengan hasil pilihan yaitu dengan cara dipilih oleh pemimpin sebelumnya atau oleh perwakilan umat. Demikian juga bisa didapat dengan hasil kudeta, yaitu menjadi pemimpin karena berhasil mengkudeta pemimpin sebelumnya dan pada lafadz wa inta ammara ‘alaikum ‘abdun ada isyarat demikian. Dengan kata lain, budak tadi menjadi pemimpin tidak melalui jalan yang syari. Apapun terjadinya, kalau sudah jadi pemimpin, maka menjadi kewajiban bagi rakyat mentaatinya selama tidak untuk bermaksiat kepada Alloh.

Sesungguhnya, barang siapa di antara kalian masih hidup niscaya bakal menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu berpegang teguhlah kepada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang lurus. Gigitlah ia dengan gerahammu. Jauhilah hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.

Pada pesan Nabi untuk berpegang teguh dengan sunnahnya dan sunnah Khulafaur Rasyidin dan untuk meninggalkan bid’ah di sini, bahwasanya standar kebenaran adalah pada sunah Nabi dan khulafaur rasyidin, sementara yang menyelisihinya, itulah bid’ah yang sesat.

Bid’ah tidak sama dengan sunnah. Kalau sunnah terbagi menjadi sunnah hasanah dan sunnah sayyiah.19 Kalau bid’ah, hanya ada satu bid’ah, yaitu bid’ah dhalalah. Maka kalau kemudian ada penyebutan bid’ah, bid’ah ini baik, maka bisa jadi yang disebut bukan bid’ah atau memang bid’ah dan salah tatkala dia mengatakan itu baik.

Jadi, kalau ada sebuah perbuatan dikatakan perbuatan itu merupakan bid’ah hasanah, kemungkinannya hanya ada dua: yakni perbuatan itu memang betul-betul hasanah sehingga salah dilihat dari sisi penamaannya sebagai bid’ah karena semua bid’ah jelek. Atau itu memang bid’ah karena salah dalam penyebutan hasanahnya (karena jika bid’ah pasti perbuatan itu jelek). Itu kalau bid’ah dalam

19 Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik) dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang sayyi’ah (buruk), maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Muslim)

dan ada yang hasanah.20

Telah dijelaskan bahwasanya bisa juga dikatakan bid’ah jika seseorang membuat perkara baru yang tidak ada contohnya ketika itu. Artinya dia termasuk yang mengadakan yang baru tersebut di masanya dan tidak ada orang yang membuatnya ketika itu. Maka ini dibawa kepada makna bid’ah sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab , walaupun itu dalam masalah din. Sebagian ulama mengatakan itu bid’ah secara lughotan, namun Syaikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin ada penjelasan yang lebih tepat untuk menjelaskan perkataan Umar bin Khattab . Beliau katakan bahwa bid’ah tersebut adalah bid’ah nisbiah. Yaitu bid’ah tapi nisbi. Jadi dinisbah di masanya hal itu bid’ah karena belum ada yang memulainya. Masa sebelumnya, yakni pada masa akhir pemerintahan Rosululloh , Abu Bakar , dan awal pemerintahan beliau , amalan tersebut ditinggalkan. Rosululloh pernah tarowih bersama para shohabatnya selama tiga hari di bulan Romadlon, kemudian beliau tidak melakukannya lagi karena khawatir dianggap wajib. Akhirnya sunnah itu ditinggalkan. Para shohabat pun datang ke masjid sholat sendiri, berdua, bertiga, secara berkelompok (dengan imam yang banyak). Melihat keadaan seperti ini, ‘Umar dengan kepemimpinannya yang cerdas hendak mengembalikan mereka kepada Sunnah pertama, yaitu: sholat tarowih dengan satu imam (karena tidak ada lagi kekhawatiran akan dijadikan wajib). Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan menunjukk Tamim ad-Dari dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam. Beliau memerintahkan mereka berdua untuk mengimami jama’ah sebelah roka’at, sebagaimana Nabi tidak melakukannya lebih dari sebelas roka’at, baik di bulan Romadlon maupun selainnya.

Bid’ah tarawih ini bid’ah nisbi karena asalnya sudah ada, yaitu pada masa Nabi .

Perintah Nabi untuk menjadikan standar kebenaran adalah sunahnya dan sunah Khulafaur Rasyidin ini menunjukkan adanya larangan untuk betahazhub (berpartai-partai), berkelompok-kelompok dan bergolongan-golongan yang wala’ dan bara’nya diukur dari kelompoknya.

Syekh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin mengatakan, bahwasanya apabila telah terjadi banyak kelompok dalam umat ini, janganlah berintima’ kepada kelompok-kelompok tersebut. Di masa dulu telah muncul kelompok Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah. Kemudian di masa akhir ini muncul berbagai macam kelompok, ikhwaniyun, salafiyun, tablighiyun. Beliau istilahkan sebagai ahzab. Semua ini adalah firqoh. Jangan intima’ kepada kelompok-kelompok yang ada. Beliau katakan, walaupun tidak diragukan bahwasanya menjadi kewajiban bagi semua kaum muslimin untuk menjadikan mazhab mereka sebagai mazhab salaf, bukan kemudian mengelompok kepada sebuah kelompok tertentu yang namanya salafiyyun. Wajib bagi umat islam untuk mazhab mereka adalah mazhab salafush shalih dan bukan untuk bertahazub kepada suatu kelompok yang namanya salafiyun. Di sana ada thariqoh salaf dan di sana ada hizb namanya salafiyun. Jadi beda antara mazhab salaf dengan salafiyun, artinya mazhab salaf mesti benar dan salafiyun belum tentu benar. Dan realita yang ada memang menunjukkan bahwa

20 Bid’ah hasanah dalam masalah duniawi misalnya penggunaan microphone untuk ta’lim sedangkan bid’ah sayyiah adalah gedung bioskop.

salafiyyun belum tentu benar. Jika benar, mengapa mereka saling membid’ahkan? Sama-sama mengaku salafiyyun, mengapa mentahdzir satu sama lainnya. Mesti ada yang salah di antara keduanya. Berbeda dengan mazhab salaf yang pasti benar. Maka wahai salafiyyin, instrospeksilah terhadap diri-diri kalian, jangan hanya bisa membantah ikhwaniyyin dan tablighiyyin karena bisa jadi dalam diri kalian terdapat kesalahan. Suka atau tidak suka, meskipun di antara semua kelompok, salafiyyin paling banyak benarnya. Dan musykilah (persoalan) yang ada dalam salafiyyin sama dengan yang lainnya, yakni saling membid’ahkan.

Kami tidak mengingkari bahwa yang mereka lakukan benar, tetapi mengobati bid’ah bukan saling membid’ahkan. Katakan saja perbuatan itu salah, tetapi kita tidak boleh menuduh ahli bid’ah. Bagaimanapun kuatnya ibadah dan ilmu kita, tetap saja tidak maksum. Mungkin, intima’nya pada tablighi tapi aqidahnya salaf, ilmunya salaf, amalnya salaf, maka dia salafi. Orangnya intima’nya pada salafiyyun, tapi aqidah salaf tidak kenal, amalnya preman, meski runtang-runtungnya dengan salafiyyin ya bukan salafi. Jadi, yang menjadi tuntutan untuk ittiba’ adalah ittiba’ salaf bukan ittiba’ salafiyun. Kita tidak boleh tidak berlapang dada ketika tahririyyin, tablighiyyin, ikhwaniyyin, mengkritik kita. Jika memang benar, maka terimalah kritikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, jika memang kritikan yang dialamatkan pada tablighiyyin, ikhwaniyyin, atau tahririyyin benar, maka mesti diterima. Allohua’lam.

Dalam dokumen MATERI KAJIAN KMIP HADITS ARBAIN (Halaman 88-92)