• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKTI ATAS TUDUHAN

Dalam dokumen MATERI KAJIAN KMIP HADITS ARBAIN (Halaman 106-109)

Ν Ï δ ωô γ y èÎ/#sŒÎ)

BUKTI ATAS TUDUHAN

Dari Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa sesungguhnya Rosululloh bersabda,

“Jika semua orang dipenuhi tuntutannya, niscaya akan ada orang yang menuntut harta benda dan darah satu kaum. Akan tetapi hendaknya ada bukti bagi orang yang menuduh dan ada sumpah bagi yang mengingkari.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lain-lain, dan sebagainya dalam Ash-Shohihain)

Hadits ini memiliki kedudukan yang sangat penting dan merupakan landasan dalam bab hukum dan perselisihan. Apa yang semestinya dihadapi atau yang semestinya dilakukan oleh seorang hakim tatkala dia dihadapkan pada sebuah perselisihan di antara manusia dalam muamalah mereka. Kaidah telah dipancangkan secara jelas di sini oleh Nabi tatkala beliau menyampaikan seandainya manusia diberikan kepada mereka sesuai dengan apa yang di-aku-kan, maka akan terjadi kekacauan karena nanti dia akan mengaku-aku harta yang ada pada orang lain atau mengaku-aku bahwasanya orang lain telah menumpahkan darahnya. Jikalau setiap orang mengaku ”itu sepeda motor saya” dan setiap yang mengaku itu diberikan, semua orang nanti akan berbuat demikian.

Dan demikianlah. Maka akan ada kaidah: bukti bagi orang yang mengaku. Artinya boleh orang mengaku itu motornya. Namun harus menunjukkan bukti-bukti bahwasanya itu memang miliknya (STNK, BPKB). Sehingga seseorang yang mengaku kepemilikan –yang itu ada pada pihak yang lainnya– atau mengaku memiliki hak harta maupun darah, dalam artian orang lain telah menumpahkan darah saudaranya misalnya, anaknya atau istrinya atau kerabatnya; atau dalam bentuk-bentuk yang lain; maka tidak digubris pengakuannya tersebut sehingga dia membawa bukti. Ketika tertuduh ingin mengingkari, maka dia harus bersumpah.

Kebenaran hukum itu kemudian diperuntukkan bagi yang dituduh karena dia bersumpah. Tetapi kalau yang dituduh bersumpah, ternyata kemudian pendakwa membawa bukti-bukti yang meyakinkan maka hukum pada yang menuduh walaupun dia (yang dituduh) bersumpah karena sumpahnya tergugurkan oleh bukti yang dibawa oleh penuduh. Bayyinah adalah yang dengan hal itu menunjukkan kepada yang benar. Maka yang namanya bayyinah, berbeda tempat berbeda model, berbeda zaman berbeda bentuk bayyinah kecuali bayyinah yang sudah ditetapkan oleh syariat bentuk bayyinahnya.

Jadi kalau syariat sudah menentukan bentuk bayyinahnya dengan bentuk yang tertentu, seperti misalnya bayyinah untuk tuduhan zina yaitu 4 orang saksi atau pengakuan dari yang berzina. Maka tidak boleh dibuktikan dengan foto dan sejenisnya karena bisa merupakan permainan atau manipulasi. Dan sebagaimana tadi disampaikan, maka bahwasanya bukti pada hakekatnya dibutuhkan pada setiap pengakuan. Maka pengakuan tanpa bukti tidak dihiraukan namun adakalanya meski penuduh tidak membawa bukti, dibutuhkan sumpah dari yang dituduh jika dia mengingkarinya.

Kemudian, kewajiban hakim itu adalah memutuskan berdasarkan bukti-bukti yang zhohir. Ini harus diperhatikan. Hakim memutuskan hukum berdasarkan bukti-bukti yang zhohir, bukan berdasarkan yang dia ketahui dari orang-orang yang berselisih. Jadi, meskipun hakim tahu mana sesungguhnya di antara dua pihak yang berselisih mana yang salah dan mana yang benar. Kemudian di depannya orang yang dia ketahui benar tidak membawa bukti, maka hakim tetap harus menghukumi berdasarkan apa yang dilihat secara zhohir di depan persidangan. Seperti misalnya suatu saat tatkala ada perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dengan seorang Yahudi tentang baju besi yang ada pada Yahudi. Ali bin Abi Thalib mengaku itu baju besinya. Si Yahudi mengingkari sedangkan Ali bin Abi Tholib tidak bisa mendatangkan bukti. Apakah masuk akal Ali bin Tholib berdusta, nekat mengaku barang yang ada pada tangan orang lain itu barang miliknya padahal bukan? Tidak tidak mungkin. Namun Ali bin Abu Thalib tidak punya bukti akan tuduhannya tersebut sehingga oleh Rosululloh tetap dikalahkan dan memenangkan Si Yahudi. Dan justru itulah kemudian Si Yahudi tadi masuk Islam karena keadilan Rosululloh , dia menghukum berdasarkan apa yang semestinya harus dilakukan oleh seorang hakim dan tidak melihat walaupun ini shohabatnya dan itu adalah orang kafir. Inilah al-adl.

Dan dalam memutuskan hukum di dalam perselisihan yang ada, jangan melihat siapa yang saya hadapi, tapi apa yang saya hadapi. Mana yang harus diputuskan berdasarkan ketentuan hukum, itu yang harus diputuskan. Dan tidak melihat apakah itu saudara apakah itu lawan. Dan di sinilah keadilan Islam dan demikianlah ahli sunnah adil dalam seluruh sisinya, dalam segala bidang.

Maka, berbuat adillah, itu lebih dekat kepada takwa. Dengan demikian, karena bisa jadi seseorang, dia mampu menunjukkan bukti-bukti zhohir, padahal dia bukan haknya, dia yang salah. Sementara pihak yang benar tidak mampu menampilkan bukti-bukti karena bukti-bukti yang dia miliki sudah hilang misalnya, maka, otomatis hakim yang benar memutuskan kepada yang memiliki bukti-bukti tersebut walaupun bukan haknya. Dan keputusan hakim itu tidak berarti menjadi keputusan yang benar. Maka keliru kalau kemudian ada perkataan: ”Kebenaran? buktikan saja nanti bagaimana dari pengadilan.” Hasil pengadilan bukan bukti terhadap yang sebenarnya. Hasil dari pengadilan, yakni keputusan pengadilan, bukan bukti tentang siapa yang salah dan yang benar pada sesungguhnya. Tapi itu bukti siapa yang salah dan benar menurut yang dilihat oleh hakim dalam sidang pengadilan, bukan yang dilihat hakim pada hakikatnya.

Oleh karena itu, kita dalam perselisihan itu harus jujur. Kalau bukan hak kita, ya katakan bukan hak kita. Ada pulpen misalnya: dua orang tertinggal pulpennya di masjid dengan wujud yang sama, tapi masing-masing tidak punya bukti. Maka seorang muslim yang baik adalah yang dia memberikan kepada saudaranya, yakni dengan jalan diundi karena masing-masing juga punya hak. Dan kalau dalam hak untuk ”tidak” dan ”iya”nya sama persis, maka aturan syariat adalah diundi. Seperti istri, seorang suami mau safar, hak untuk diajak atau tidaknya adalah sama dalam istri keempat-empatnya kalau punya empat maka, caranya diundi. Siapa yang keluar namanya, dialah yang diajak. Kalau safarnya sebulan, maka ia bersama suaminya sebulan. Dan tidak otomatis kalau pulang kemudian seorang istri mengatakan: kan kamu kemarin sudah sebulan, sekarang kamu nganggur sebulan. Tidak demikian. Kembali sebagaimana giliran, itulah

pemberian Alloh kepadanya, hanya karunia dan kemurahan dari Alloh sehingga namanya keluar. Maka yang paling adil kalau haknya sama, maka diundi. Kecuali kalau kemudian yang lain merelakan yang lainnya. Itu lain perkara. Tapi kalau semuanya ingin diajak dan tidak mau ditinggal, sementara yang mau dibawa cuma satu, maka diundi. Allohua’lam.

HADITS KE-34

Dalam dokumen MATERI KAJIAN KMIP HADITS ARBAIN (Halaman 106-109)