• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTARUNGAN POLITIK IDEALIS VERSUS PRAGMATIS

E. BERPOLITIK ALA MACHIAVELLIAN

Mitos tahun 2013 sebagai tahun politik, karena rentetan peristiwa-peristiwa politik banyak digelar pada tahun ini, terutama adanya pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di berbagai tempat di belahan bumi nusantara ini, (baik pilgub dan wagub maupun pilbup dan wabup/pilwakot dan wawakot), dan sekaligus merupakan persiapan menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang akan dilangsungkan pada tahun mendatang, telah mengundang perhatian akademisi dari para pemerhati politik di berbagai perguruan tinggi yang banyak melontarkan teori-teori politik dan praktek politik, baik yang datar-datar saja, maupun yang bernada prontal, kontroversial bahkan bernuansa provokatif banyak ditampilkan di mass media, baik cetak maupun elektronik dengan cara diskusi public, talk show, dialog politik dan lain sebagainya. Dan yang lebih ―memuakkan‖

rakyat adalah praktik-praktik turbulensi politik dan patologi politik, terutam pada kelas ekskutif maupun kelas legislatif.

Stigma politik telah ―menghantui‖ rakyat, mau berpartisipasi

dalam politik agaknya banyak pertanyaan muncul dalam hati mereka. Terutama untuk memberi pertimbangan terhadap para kompetitor dalam pemilu banyak kesulitan. Pepatah mengatakan,

Keledai saja tidak mau terjerumus dua kali pada lobang yang sama‖, dalam konteks politik, ini sudah berkali-kali dikecewakan, dari pemilu ke pemilu nampaknya rakyat selalu salah dalam memberikan hak suara, karena setelah jadi pejabat, para calon yang terpilih semua ternyata cacat mental dan lupa ingatan, bahkan buta dan tuli, serta sudah tidak ada hati nuraninya lagi. Semua penyakit yang diidap itu disebabkan oleh kegilaan, gila berkuasa dan gila harta. Kata Damardjati Supadjar, zaman ini zaman edan/gila, karena itu siapa yang tidak ikut gila tidak kebagian. Agaknya

keprihatinan Supadjar ini disebabkan ia melihat bahwa patologi politik sudah menggurita ke semua sendi kehidupan politik, tidak saja di ekskutif, tetapi sudah merasuk kepada wakil-wakil rakyat di parlemen, dari ibu kota sampai ke pelosok-pelosok desa, raskin pun diselewengkan. Jabatan disalahgunakan hanya untuk merampok uang rakyat (APBN), karena sudah comfortable berkuasa tiap pemilu nyalon lagi dan nyalon lagi meskipun tidak ada prestasi yang dapat dibanggakan yang telah ia perbuat selama menjabat. Berpolitik hanya petualangan, bukan ajang pengabdian, agar menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak.

Machiavellian adalah para politisi atau penguasa Negara yang menerapkan teori-teori politik Niccolo Machiavelli dalam memenuhi syahwat politiknya, dengan merujuk pada teorinya seakan-akan mendapat legitimasi akademik, meskipun tindakannya itu membutakan mata dan membutakan hati. Ajaran pokok Machiavelli di anataranya adalah pertama, untuk mencapai tujuan politiknya, seseorang itu boleh melakukan kekerasan dan kekejaman. Melakukan kecurangan dalam pemilu adalah perbuatan yang masuk kategori kekejaman dan kekerasan politik. Kedua,

dalam perjuangan merebut kekuasaan dan menguasai pemerintahan, penindasan terhadap musuh-musuh politik dapat dilakukan, bahkan jangan sampai diberi kesempatan. Ketiga, dalam memainakan politiknya, maka seorang penguasa harus bertindak sebagai singa dan anjing pelacak sekaligus, artinya ia selalu waspada dan siap menggertak manusia srigala. Bahkan tidak hanya menggertak para pembangkang, tapi siap melibas dan melumatnya hingga tak berkutik.

Apa yang dipraktikkan dalam politik oleh para Machiavellian ini sudah jelas-jelas biadab, bahkan Hidayat Nataatmadja menilainya sebagai tindakan sesat karena telah memisahkan urusan politik dari agama. Terutama Islam sangat menjunjung tinggi etika politik dalam menjalankan roda pemerintahan. dalam Islam tidak ada pemisahan antara kekuasaan dan moralitas. Oleh sebab itu, dalam tahun politik ini, para penguasa Machiavellian yang duduk di ekskutif maupun di legislatif, jika ada hasrat politik untuk tampil maju kembali sebagai kompetitor, agar dapat memperoleh dukungan rakyat, public trust, jauhilah ajaran-ajaran Machiavelli

yang dikutuk oleh semua orang-orang yang tertindas, terutama rakyat kecil, wong cilik. tepatilah janji-janji kampanye, laksanakan tugas dan jabatan sesuai dengan peraturan dan undang-undang, ambillah hak yang sudah digariskan, jangan sekali-kali mengambil, merampok, atau merampas hak orang lain, apa lagi dengan cara yang culas, mengorupsi, memanipulasi bahkan menghabisi APBN, na‟uzubillah min zalik !!

Memelihara dan memperkuat kekuasaan, menurut Machiavelli adalah dengan cara menumpas habis penguasa dan seluruh keluarga yang pernah berkuasa. Filsafat politik demikian pernah dilaksanakan oleh PKI. Sikap ini sangat sadis dan sangat kejam. Akan tetapi prinsip tersebut di era reformasi PKI telah

―bermetamorfosa‖ dari Partai Komunis Indonesia menjadi Para Kuroptor Indonesia, betapa tidak, sekedar memberi contoh, seorang pejabat setingkat Irjen Polisi dapat menumpuk hasil korupsi simulator SIM-nya beratus-ratus milyard. Hal ini sama dengan membunuh jutaan pakir miskin yang hak-haknya telah dikorupsi tersebut. Jadi orang kaya baru (OKB) yang mendadak kaya karena menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan patut diduga ia sebagai anggota PKI yang telah bermetamorfosa itu, berarti ia sadis dan keji telah membantai jutaan rakyat miskin Indonesia.

Praktik politik Machiavellian jelas merugikan rakyat, merugikan bangsa dan Negara. Jika ditelusuri akar persoalannya ternyata keringnya nilai-nilai spiritualitas. Setidak-tidaknya secara sadar atau tidak ia telah termakan prinsip sekularisme, memandang tindakan politik tidak ada kaitannya dengan doktrin agama. Jadi orang yang korupsi itu tidak tau dosa, percuma sumpah jabatan hanya dijadikan kegiatan serimonial belaka, lebih celaka lagi jika sudah terjerumus pada ajaran Nietzsche yang sudah mengubur Tuhannya dalam kehidupan ini alias ateisme. Karena prinsip politik

―menghalalkan segala cara‖, maka para Machiavellian melakukan

patologi politik dengan mempraktekkan apa yang disebut dengan

transactional politic, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal ia melakukan kontrak-konrak politik di bawah tangan dengan penguasa yang lebih tinggi, atau para pemilik modal. Secara horizontal ia melakukan transaksi dengan para konstituen mulai dari bagi-bagi kaos, transport, nasi bungkus, alat

sholat dan lain sebagainya hingga janji-janji kosong yang tidak pernah direalisasikan yang dihitung sebagai hutang politik. Hati-hati jangan jatuhkan pilihan Anda ke manusia yang seperti itu.