• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi

4. Perempuan Politik

Secara teoritis, pengkajian tentang perempuan politik, perlu diberi perhatian yang serius, karena menyangkut kebijakan politik Indonesia yang mengharuskan quota 30 % keterwakilan perempuan di Parlemen yang harus terpenuhi oleh partai politik peserta pemilu, tidak terkecuali partai-partai Islam. Selanjutnya krusial diperbincangkan karena masih adanya kontroversi publik tentang boleh tidaknya perempuan memegang jabatan politik, khususnya jika ditinjau dari perspektif Islam.Peliknya lagi, manakala

48Kuntowijoyo, ―Agama Berdimensi banyak Politik Berdimensi Tunggal‖, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (Ed.,), Mengapa Partai Islam Kalah Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 1999 sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta : AlvaBet, 1999), h. 4-5.

49Firman Subagyo, Menata Partai Politik dalam Arus Demokratisasi Indonesia, (Jakarta : RMBOOKS, 2009), h. 97.

persoalan kedudukan perempuan dalam jabatan politik perspektif Islam ini dikaitkan dengan politik kepentingan. Sebut saja misalnya, ulasan Azyumardi Azra, ia mengatakan bahwa pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto, Gus Dur pernah berjanji bahwa ia akan memberikan dukungannya kepada Megawati, tetapi secara politis berbalut agama, ia berucap bahwa banyak ulama NU tidak mendukung Megawati, dan Gus Dur setuju bahwa hukum Islam melarang perempuan menjadi pemimpin politik.50 Kebingungan masyarakat ketika, Megawati digandeng oleh Gus Dur sebagai Waprtesnya, dan setelah itu, megawati menduduki jabatan Presiden, sebagai puncak jabatan politik yang pernah direbut oleh perempuan di Indonesia, ternyata ulama NU tidak ada yang menentang.

Pandangan tradisional tekstual tidak membolehkan perempuan berada di ruang publik, apa lagi menjadi pemimpin politik seperti kepala negara, sebagaimana dikemukakan oleh Abul

A‘la Al-Maududi berikut ini : The women has not been allowed to go on a journey exept in company with a mahram, in short, Islam has not approved that a women should move out of the house without a genuine need. The most appropriate place for her according to the Islamic law, is her home. Artinya : perempuan tidak diperkenankan melakukan perjalanan kecuali jika ditemani oleh muhrimnya. Pendeknya, Islam tidak memperbolehkan perempuan keluar rumah tanpa keperluan mendesak atau dengan seizin suaminya. Tempat yang paling layak bagi kaum perempuan berdasarkan hukum Islam, adalah rumah tempat tinggalnya.51

Fakta politik memperlihatkan bahwa keterwakilan perempuan di DPR masih jauh dari pencapaian proporsional, padahal, pada Pemilu 1992 misalnya, pemilih perempuan mencapai 55 juta, lebih banyak dari pemilih kaum pria yang hanya 52 juta. Akan tetapi yang diserap di parlemen hanya 62 orang perempuan, berarti kurang dari 13 %, sungguh tidak berimbang jika dibanding

50Lihat Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat Tidak jadi Buih, (Bandung : Mizan, 2000), h. 399.

51Abul A‘la Al-Maududi, Purdah and the Status of Women in Islam, (Delhi : Markazi Maktaba Islami, 1981), h. 150. Lebih lanjut pemaparan tentang emansipasi perempuan ini. Lihat M. Sidi Ritaudin, Konsep Hijab Menurut Qasim Amin dan Abul A’la Al-Maududi : Suatu Kajian Perbandingan, (Tesis : Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1996).

dengan kaum pria yang berjumlah 438 orang.52 Maka tidak keliru jika diasumsikan bahwa masih berkembang pandangan misoginis terhadap kaum perempuan, baik oleh kaum perempuan itu sendiri maupun oleh kaum pria. Seandainya konstituen perempuan yang mencapai 50% lebih itu memilih para calon dari kalangan perempuan maka niscaya keterwakilan perempuan di parlemen akan di dominasi oleh perempuan. Persoalannya juga adalah calon-calon yang diajukan oleh partai-partai politik pun sangat sedikit, terlepas dari apakah kaum perempuan kurang berminat untuk duduk di DPR ataukah memang partai-partai yang masih cenderung bias gender dan menganggap bahwa perempuan tidak layak untuk bergerak di ruang publik, yang jelas data keterwakilan perempuan di parlemen menunjukkan prosentase dengan angka kecil.

Pandangan misoginis terhadap perempuan politik bermula

dari sebuah hadis yang sangat popular di kalangan fuqaha‘ yang berbunyi : ―Lan yufliha qaumun walau amarahum imratan”(H.R. Abu Bakrah) Artinya : Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.53 Hadis ini telah menjadi kontroversi kaitannya boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin, oleh karena itu terdapat banyak penafsiran. Terlepas dari pro-kontra, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.54Pendapat ini diamini

52Setelah membaca profil wakil-wakil rakyat dan visi mereka, ternyata kaum perempuan tidak kalah mumpuni dari kaum pria, mereka memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, minimal sarjana S1, bahkan banyak yang S3, serta sarat dengan pengalaman organisasi dan pengalaman interaksi sosial, sehingga betul-betul kapable dan layak menjadi anggota DPR, untuk lebih jelas lagi baca : Ibrahim Taju dan Nugroho Dewanto, Profil dan Visi Perempuan Anggota DPR RI 1992-1997, (Jakarta : PT Pustaka Cidesindo, 1997), h. vii.

53Setelah dilakukan pelacakan di sebuah kitab, AJ. Wensick, Al-Mu’jam Al -Mufahras Lil Al-Fâdz Al-Hadîts An-Nabawi, Jilid 5 (Leiden : Brill, 1965), h. 196. Hadis tersebut terdapat dalam Musnad Ahmad, Sunan An-Nasa’i, dan Shoheh Al-Bukhari. Untuk mengetahui rangkaian sanad dan matan selengkapnya dapat dilihat : Abu Bakar Qatha‘i, Musnad Ahmad bin Hambal, Juz V, (Beirut : Maktabah Al-Islami Li At-Thiba wa An-Nasyr, h. 38, 43, 47 dan 51. Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz IV (Indonesia : Maktabah Dahlan, t.th), h. 2843. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i, Jilid 3, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), h. 707-708.

54M. Quraish Shihab, ―Konsep Wanita Menurut Quran, Hadis dan Sumber-Sumber Ajaran Islam‖, dalam Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman

oleh Sachico Murata dengan mengutip ayat : ―…walirrijâl ‘alaihinna darajatun..”(Q.S, al-Baqarah : 228), Kaum pria satu derajat lebih tinggi daripada mereka (kaum perempuan). Meskipun terjemahnya ada perbedaan, namun Sachico setuju dengan tafsiran Maybudi, bahwa hak kaum perempuan atas kaum pria persis sama dengan hak kaum pria atas kaum perempuan. 55 Kendati demikian, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa pembatasan tentang hak-hak perempuan dalam bidang politik hanya pada kaum laki-laki, dan menegaskan bahwa perempuan harus mengakui kepemimpinan laki-laki,

pertama, adanya ayat : Ar-Rijâl qawwâmûn ‘ala An-nisâ, (QS : An-Nisâ‘, 34). Kedua, hadis yang menyatakan bahwa akal perempuan kurang dibandingkan dengan lelaki, keberagamaannya pun demikian. Ketiga, hadis Abu Bakrah di atas, ―Lan yufliha qaumun walau amarahum imratan”.56Atas dasar argumentasi inilah di antara para ulama terjadi kontroversi atas interpretasi terhadap dalil-dalil naqliah tersebut.

Kontroversi terhadap kebolehan perempuan menjadi pemimpin di bidang politik muncul dari perbedaan kondisi sosial dan politik, adat istiadat serta kecenderungan masing-masing yang kemudian mempengaruhi cara pandang mereka. 57 Namun demikian, menarik dikemukakan di sini, kutipan Quraish tentang pendapat Al-Ghazali dari kitab Al-Islâm wa Tâqât Al-Mu’attalah

dan pendapat Ibn Hazm dalam kitab Al-Muhallâ, yang juga dikutip oleh Al-Ghazali: ―…Islam mempersamakan antara kedua jenis

(lelaki dan perempuan) dalam segala macam pekerjaan yang baik,

(Red.,), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Seri INIS XVIII, (Jakarta : INIS, 1993), h. 13-16.

55Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung : Penerbit Mizan, 1999), h. 234.

56

M. Quraish Shihab, ―Konsep Wanita Menurut Quran, Hadis dan Sumber-Sumber Ajaran Islam‖, dalam Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (Red.,), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Seri INIS XVIII, (Jakarta : INIS, 1993), h. 13-16.

57Hasil penelitian M. Sidi Ritaudin tentang Hijab antara pemikiran Qasim Amin dan Al-Maududi juga menunjukkan perbedaan karena berbeda cara pandang yang disebabkan latar belakan sosial dan adat istiadat mereka. Lihat Tesis M. Sidi Ritaudin, Konsep Hijab Menurut Qasim Amin dan Abul A’la Maududi Suatu Kajian Perbandingan, (Banda Aceh, PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1996).

yang paling baik di antara mereka di sisi Allah adalah yang paling

suci niatnya dan paling banyak usahanya‖, kemudian, Ibnu Hazm mengatakan : ―Pada dasarnya bukanlah menjadi kewajiban perempuan untuk melayani suaminya baik dalam memasak, mengatur kamar, menyapu, menjahit dan apa pun lainnya, walaupun kalau dia melakukan hal-hal tersebut adalah sesuatu yang

baik‖.58

Kalau persoalan lelaki satu derajat lebih tinggi dari perempuan, penulis sepakat dengan pandangan Sacicho Murata, bahwa konteksnya berbeda, sedang An-Nisa : 34 berbicara daslam konteks kehidupan rumah tangga, dan tidak serta merta dalam kehidupan social politik. Sedangkan hadis tentang kurang akal dan agama kum perempuan, dinilai saebagai suatu hal yang tidak logis, karena bertentangan dengan prinsi-prinsip ajaran Islam. Adapun tentang hadis yang berisi tentang tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan, dipahami sebagai kasus khusus, sebagaimana yang digambarkan oleh asbâb al-wurûd hadis tersebut, di samping juga bertentangan dengan isi al-Qur‘ân, karena tidak ditemukan satupun ketentuan yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya pada kaum laki-laki.59

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan dan hak-hak yang sama di ruang publik. Islam, secara historis, menunjukkan keterlibatan perempuan dalam politik praktis, sebut saja misalnya

Ummu Hani‘ yang memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik yang dibenarkan Oleh Nabi SAW, sebagai salah satu aspek politik. Siti Aisyah ra menjadi panglima perang Jamal. Hindun ikut ke medan perang pada akhirnya masuk Islam dan

58 M. Quraish Shihab, ―Konsep Wanita Menurut Quran, Hadis dan Sumber-Sumber Ajaran Islam‖, dalam Lies M. Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman (Red.,), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Seri INIS XVIII, (Jakarta : INIS, 1993), h. 17.

59Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq Al-Mar’ah fî Al-Mujtama’ Al -Islâmi, (Mesir : Al-Hai‘ah Al-Mishriyyah Al-‗Ammah, 1986), h. 62.

melahirkan pemuka-pemuka Islam seperti Mu‘awiah Bin Abi

Sufyan.

Perempuan menduduki jabatan khusus, seperti menteri, anggota parlemen atau presiden, tentu berdasarkan keahlian khusus dan di atasnya ada lembaga kontrol, masih diperselisihkan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan, kaum perempuan sebenarnya sudah biasa keluar dari rumahnya. Mereka pergi ke sekolah/kampus, bekerja di berbagai sektor kehidupan, menjadi dokter, guru, dosen, tenaga administrasi di kantor, menjadi konsultan dan sebagainya tanpa ada seorangpun yang mengingkarinya. Maka seolah-olah

MENIMBANG NAFAS ISLAM POLITIK PERSPEKTIF