• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK AGNOSTISITIS YANG TERDISTORSI

PERTARUNGAN POLITIK IDEALIS VERSUS PRAGMATIS

F. POLITIK AGNOSTISITIS YANG TERDISTORSI

Apatisme rakyat, terutama ―wong cilik‖ terhadap ―hiruk pikuk‖ politik tanah air, karena pemahaman terhadap Negara yang

sulit nyambungnya, alias komunikasi politik vertikal ke horizontal tidak efektif. Distribusi kesejahteraan pun juga sangat-sangat tidak efektif. Rakyat masih memegang komitmen sesuai dengan kontrak politik yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara kita ini berbentuk kesatuan republik dengan asas demokrasi. Sementara, barangkali para elit penguasa, memiliki penafsiran berbeda perihal makna demokrasi. Secara teoritis, Negara demokrasi itu diartikan rakyat yang berkuasa atas Negara. Kalaupun yang berkuasa itu adalah pemegang mandat rakyat, baik di ekskutif maupun di legiuslatif, maka apa pun yang dilakukan oleh mereka yang memegang mandat tersebut hendaklah mengusung aspirasi rakyat, membela rakyat dan bertanggung jawab menyejahterakan rakyat. Mengurus Negara dan menjalankan pemerintahan pun juga harus diketahui oleh rakyat, sehingga akuntabilitas dan transparansi benar-benar terpenuhi. Karena sudah berkali-kali diuji dengan pemilihan umum (pemilu), ternyata para pemegang mandat dan berkuasa atas rakyat dalam pemerintahan dan Negara ternyata tidak ada progres yang menggembirakan, persoalan rakyat masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah dituntaskan. Persoalan-persoalan rakyat itu di antaranya adalah; pemenuhan sembako murah, BBM gratis, pendidikan gratis, kesehatan gratis. Semua ini indikator kesejahteraan, termasuk lapangan kerja yang luas, pakir miskin dan gelandangan, orang jumpo, cacat seharusnya dipelihara oleh Negara, perlindungan hukum, ketentraman dan kenyamanan hidup.

Negara republik Indonesia dianugerahi oleh Sang Maha Pencipta tanah yang subur, lautan yang luas. Faktanya, kebutuhan pokok saja dipenuhi dengan impor, beras, kedelai, bawang, gula, bahkan garam dan ikan pun diimpor. Padahal Indonesia satu-satunya Negara yang memilki pantai terpanjang di dunia, oleh

sebab itu, semestinya Indonesia merupakan eksportir garam dan ikan terbesar. Hasil tambang apa pun Indonesia paling besar di dunia, BBM, emas, timah, besi, aluminium, batu bara dan lain sebagainya. Hasil hutan dan perkebunan juga luar biasa. Tapi nyatanya Indonesia Negara miskin dan rakyatnya benar-benar miskin. Maka benarlah apa yang disinyalir oleh almarhum

Nurcholish Madjid bahwa Negara kita ini ―salah urus‖, berarti

sejak merdeka sampai kini, para penyelenggara Negara dan pejabat pemerinbtah tidak ada yang beres, buktinya adalah bahwa korupsi terjadi di semua sektor, yang menjabat langsung jadi orang kaya baru (OKB), dan jurang menganga sangat lebar yang memisahkan antara yang kaya dengan yang miskin semakin senjang. Lalu

apakah persoalan yang dihadapi ―wong cilik‖ ini selesai dengan

berpangku tangan, dengan apatisme dan tidak mau berpartisipasi lagi dalam politik, karena sudah sangat kecewa. Mau protes salah, diampun salah, lantas harus bagaimana.

Partsisipasi politik seluruh rakyat selalu diharapkan, Islam mengharamkan putus asa. Di tahun politik ini harapan baru selalu ada. Perubahan yang selalu dijanjikan oleh para politisi menjelang pemilu dan selalu diharapkan oleh rakyat pascapemilu. Meski belum kunjung tiba, mungkin akan terwujud pada periode

berikutnya. Semakin rakyat ―ngambek‖ dan tidak mau

berpartisipasi, maka rakyat juga yang akan semakin terpuruk dan terdistorsi. Bagaimanapun anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, demekian kata pepatah. Hal ini menegaskan bahwa sekecil apa pun partsisipasi rakyat ikut pemilu, sistem demokrasi kita tetap mengesahkan pembentukan pemerintahan hasil pemilu. Oleh sebab itu, golongan putih (golput) justru merupakan sikap agnostisistis yang bakal mendestorsi dan merugikan rakyat. Rakyat melarat, rakyat miskin dan terdistorsi dalam kehidupan, ini dosa siapa kata Ebit GAD, sudah tanya saja pada rumput yang bergoyang, mungkin Anda akan tahu jawabannya, malu ah itu ulah pemimpinku sendiri, yang memilih juga aku sendiri, sengsara dan menderita jadi rakyat jelata biar kutanggung sendiri, aku pasrah, akau tidak mendapat pengetahuan politik yang benar, yang kutahu politik itu, ya begitulah…jadi kalau ada stigma politik berkembang

Meminjam istilah dalam filsafat ketuhanan yang dimunculkan oleh T.H. Huxley yang mengatakan bahwa kata agnostisisme adalah sebuah istilah untuk diterapkan pada pernyataan mana saja yang kejelasannya tidak mencukupi untuk dipercaya. Secara umum, agnostisisme berarti teori tentang tidak dapat diketahuinya sesuatu. Dalam konteks teologi, agostisisme suatu keyakinan keterbatasan manusia dapat mengetahui substansi Tuhan dan alam gaib. Dalam konteks politik, agaknya keawaman mayoritas rakyat Indonesia terhadap demokrasi itu sendiri. Seorang Otto Cornelis Kaligis saja, dalam sebuah dialog di TV mengatakan bahwa demokrasi kita ini adalah demokrasi suka-suka. Hal ini menunjukkan bahwa term demokrasi dalam sistem pemerintahan

―hanya topeng‖ dan dapat ditafsirkan oleh penguasa untuk

mendukung kepentingannya. Sebagai contoh, demokrasi diberi pengertian bahwa pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini yang dipegang oleh masyarakat awam, rakyat jelata, wong cilik yang memberikan suaranya, berpartisipasi dalam pemilu, dan berharap banyak kepada wakil-wakil rakyat yang sudah dipilihnya dalam pemilu.

Realitas empiris dalam pemerintahan dan Negara yang dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mendapatkan lebih dari 60 persen suara, ternyata telah

―mengecewakan rakyat‖, karena dia tidak bisa berbuat apa-pa untuk rakyat ketika dihadapkan kepada kasus Century, Mafia Hukum, Mafia Pajak, Penuntasan Korupsi, bahkan ―ngurusi‖ anak

buahnya saja (oknom-oknom Partai Demokrat) yang korupsi sampai berlarut-larut, tidak tuntas-tuntas. Rekayasa kasus Antasari dan skandal Aulia Pohan, kasus Lapindo Brantas. Ini hanya beberapa kasus saja sebagai contoh yang tidak aspiratif terhadap kepentingan rakyat. Jadi demokrasi menjadi tidak jelas dan tidak dapat dimengerti oleh rakyat. Jangan salahkan rakyat jika mereka bersikap agnostisistik dan cuek dengan pesta lima tahunan. Lebih sadis lagi, partai-partai yang didukung oleh rakyat diharapkan dapat menyuarakan aspirasi mereka, o..o.. ternyata setelah duduk di

parlemen, mereka ―mengatasnamakan‖ rakyat, lalu berkoalisi

dengan penguasa. kemudian mereka duduk di senayan itu digugat dan dipertanyakan oleh konstituen mereka di akar rumput, mereka di sana mewakili rakyat atau mewakili partai. Pengetahuan rakyat

terbatas untuk itu, dan mau mengadu ke mana tak ada yang mau tau dan peduli, inikah demokrasi agnostisistis ?