• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)

DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

C. NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)

Diskursus Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), secara historis, mau tidak mau atau suka tidak suka, bergumul dengan perkembangan pemikiran para tokoh dan atau peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya ide negara kesatuan, sehingga menjadi ideologi. NKRI adalah perwujudan ideologi yang menopang bangunan nasionalisme. Dalam teori Spirit of Asia,

Bung Karno menegaskan bahwa bercokolnya para imperialis Eropa Barat mengais rezeki di Asia sangat tragis, keinsafan akan tragedi inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu, sebab walaupun secara lahiriyah sudah takluk dan tunduk kepada kaum imperialis,

namun Spirit of Asia masih kekal, bergelora dan membara. Rokh Asia masih hidup bagai api yang tidak pernah padam! Keinsyafan akan tragedi inilah pula yang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia. Nyawa pergerakan ini, menurut Bung Karno memiliki tiga sifat, yaitu Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.79

J. Kristiadi dalam acara ―Sentilan Sentilun‖ di Metro TV mengatakan ―kita boleh saja salah paham, tetapi tidak boleh berpaham salah‖.80 Selama ini, penulis salah paham terhadap jalan pikiran Bung Karno, yang menurut penulis ia berpaham salah. Kesalahannya itu secara stereotip diperoleh dari katanya, katanya dan katanya bahwa Bung Karno berpaham Nasakom, yaitu integrasi pemikiran Nasionalisme, Agama dan Komunis. Setelah membaca gagasannya yang tertulis dalam buku Nasionalisme, Islamisme dan Marxime, diketahui bahwa ketiga ideologi besar itu secara substantif dapat membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman penjajah, manakala spirit dari ketiganya disatukan ia ilustrasikan laksana badai topan yang dahsyat, karena dengan cara itulah Sukarno dapat membangkitkan kesadaran bahwa terjajah itu tertindas dan tragis.81

NKRI sebagai ideologi permanen bukan sekedar sistem ide, seperti misalnya ketika orang berbicara tentang ideologi liberal, konservatif atau sosialis. Bagi Bung Karno NKRI adalah ideologi organik yang bersifat historis (historical organic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: Sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia mempunyai keabsahan

secara psikologis; ideologi ‗mengatur‘ manusia, memberikan

tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan akan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya.82 Jadi menurut Bung Karno, ideologi terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Pandangan ini memperlihatkan pengaruh Karl Marx

tentang ‗solidaritas keyakinan masyarakat‘.

NKRI menyiratkan secara eksplesit adalah negara integral, yang dipahami sebagai suatu kompleks dari aktifitas dan teoritis di mana kelas penguasa tidak hanya mempertahankan dominasinya, namun juga memperoleh persetujuan dari kelompok lain yang

79Lihat, Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, (Jakarta : Yayasan Pembaharuan, 1963), h. 6. Pernah diterbitkan oleh ―Suluh Indonesia Muda‖, 1926.

80Acara Sentilan Sentilun di Metro TV ditayangkan pada hari Senin 6 Desember 2010, pukul 21.30.

81Baca lebih komprehensif, Lihat, Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, (Jakarta : Yayasan Pembaharuan, 1963), h. 6. Pernah diterbitkan oleh ―Suluh Indonesia Muda‖, 1926.

82Lihat, Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Kata Pengantar Mansour Fakih, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001), cet. III, h. 83.

berada di bawah kekuasaannya. Negara tidak lebih dari masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, di mana hegemoni yang dilindungi oleh tameng demokrasi yang disebut sebagai negara integral. Marxisme, termasuk Leninisme, melihat bahwa kekuasaan itu terpusat pada negara dan berada di bawah kontrol penuh kelas pemilik modal. Tujuan dari stategi revolusioner adalah mencapai kekuasaan.83 Revolusi Bung Karno hendak mencapai kekuasaan atas negara Indonesia, tentu saja sebagai negara kesatuan, seluruh rakyat Indonesialah yang berkuasa atas bangsa ini, yang direprestasikan oleh kelas penguasa, yaitu elit politik.

Bertolak dari pemahaman terhadap pengertian negara integral tersebut dapat dimengerti jika tiap penguasa ingin melanggengkan kekuasaanya, terutama rezim Sukarno dan Suharto, gejala ini juga muncul pada praktik pemerintahan dan kenegaraan yang dipimpin oleh SBY. Indikatornya adalah politik pencitraan yang ia lakukan hanyalah sebagai tameng, namun setiap persoalan yang menyangkut kesejahteraan rakyat belum menunjukkan penyelesaian yang tuntas. Umpamanya saja kasus BLBI, Bank Century, Kasus Antasari, Kasus Susno Duaji, Kasus Mavia Gayus, Mafia Hukum, Mafia Peradilan Cyrus Sinaga dan lain sebagainya. Lebih menyakitkan lagi bagi rakyat ketika kehormatan bangsa

―diobok-obok‖ oleh Malaysia, seperti kasus Ambalat dan Ligitan,

Kasus TKI, Kasus pengkaliman budaya Reog Ponorogo, Kasus Lagu Raksasa Yang Sayangi dan lain sebagainya.

Fatsun politik atau lebih tepatnya tata krama politik NKRI bersumber dari nilai-nilai luhur mana pun. Bisa berangkat dari nilai luhur yang muncul dari budaya lokal, budaya nasional, maupun dari agama-agama, termasuk agam Islam. Imdadun Rahmat menengarai bahwa niali-nilai Islam seperti kejujuran, amanah, menghormati, menghargai dan sebagainama, harus menjadi rambu-rambu yang seluruh aktivitas politik harus mengacu pada nilai-nilai luhur itu.84 NKRI agaknya sepakat dengan pemenuhan nilai-nilai luhur itu, baik yang bersumber dari khazanah budaya lokal, nasional ataupun nilai-nilai luhur dari agama, seperti yang terkandung dalam spiritualisme Islam tersebut.

Nilai-nilai luhur pemikirtan politik modern yang sudah diakomodir, baik secara konstitusional maupun moral bangsa, oleh segenap rakyat Indosesia adalah nilai-nilai demokrasi,

83Lihat, Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Kata Pengantar Mansour Fakih, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001), cet. III, h. 106-108.

84Imdadun Rahmat, ―Amar Ma‘ruf dalam Bernegara‖, dalam Imdadun Rahmat (et.al.), Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realtas, (Jakarta :‖ Penerbit Erlangga, 2003), h 178

demokratisasi dan pluralisme dalam negara bangsa modern. Dalam konteks ini, agaknya masyarakat membutuhkan suatu bentuk otoritas atau meperintahan yang memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk memelihara hukum dan ketertiban serta mengatur aktivitas politik, ekonomi, dan sosial. Terutama melindungi rakyat dari nagfsu tirani elit penguasa, baik dalam bentuk refresif dalam menjalankan kekuasaan maupun korupsi dan penyelewengan dalam memegang amanatv rakyat. Di dalam struktur dan organisasi negaralah—distribusi dan pelaksanaan kekuasaannya serta hal-hal yang terkait dengannya—hubungan antara orang perorang dan organ-organ resmi negara ditentukan. 85 Pemerintah dituntut untuk secara konsisten dan konsekuen menjalankan UUD-1945 dan Pancasila dalam penyelenggartaan negara.

UUD-1945 menjamin kebebasan mengemukakan pendapat, tetapi dalam prakteknya seringkali kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat dan kebebasan individu dikorbankan untuk kepentinghan menyelamatkan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai komitmen NKRI. Atas argumen ini pulalah terjadinya tindakan refresif penguasa. Contoh konkrit di masyarakat adalah tindakan Sat-Pol Pamong Praja dalam menggusur PKL, menggusur perumahan rakyat kecil tanpa ganti rugi yang memadai. Pemungutan pajak bagi rakyat kecil yang tidak berdaya. Maksudnya ia adalah orang miskin tidak memilki apa-apa, cuma punya rumah gribig kecil, eh diuber-uber oleh aparat, sementara terhadap kuroptor kakap terlihat ada pembiaran dan tidak ditindak secara adil, ini merupakan pengkhianatan konstitusi dan pengkhianatan terhadap rakyat yang telah berhimpun dalam NKRI yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara. Oleh karena itu, jika ada di antara rakyat Indonesia menuntut keadilan, terutama mereka yang tidak memiliki akses, janganlah dituduh sebagai anti demokrasi.86

85Lihat Norani Othman ―Islamisasi dan Demokratisai di Malaysia dalam Konteks Regional dan Global‖ dalam, Ariel Heryanto dan Sumit K. Mandal, Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), h. 236.

86Kenyataan ada sinyalemen pemerintah yang phobi terhadap kebangkitan agama, terutama Islam, sehingga dikembangkan isu-isu terorisme untuk melegalkan aksi referesif pemerintah terhadap rakyat, sebut saja misalnya kaus DOM di Aceh, kasus Abu Bakar Ba‘asyir yang tidak terbukti bahwa ia menentang pemerintah. Gerakannya sering disebut sebagai tradisionalis berorientasi ke masa Islam klasik dan fundamentalis, oleh karena itu di anggap berbahaya. Padahal, kenyataan di lapangan mereka hanya menuntut keadilan penguasa, jangan terjadi pengkhianatan terhadap konsep NKRI. Tentang Islam tidak anti demokrasi ini, lihat pemaparan, Fatima Mernessi, Islam and Democracy : Fear of the Modern World, ter. M. J. Lakeland, (London : Virago, 1993), h. 42-47.

NAFAS ISLAM DALAM PERDAMAIAN