• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTAI ISLAM SEBUAH NAUNGAN PERJUANGAN ISLAM ISLAM

PERTARUNGAN POLITIK IDEALIS VERSUS PRAGMATIS

C. PARTAI ISLAM SEBUAH NAUNGAN PERJUANGAN ISLAM ISLAM

Usaha pembebasan diri dunia Islam dari kolonialisme Barat dengan mempergunakan sentimen persaudaraan Islam untuk tujuan-tujuan politik internasional disebut sebagai gerakan pan-Islamisme, dalam arti luas adalah rasa solidaritas antara seluruh umat Islam di penjuru dunia.16 Dengan begitu maka dunia Islam menyediakan diri untuk mengorganisir perlawanan dalam taraf

politik. Ia mempunyai alat ―ideologis‖ untuk memperkuat

posisinya terhadap dunia luar (negara-negara kolonialis/imperialis Barat) dan mengumpulkan umat Islam dalam satu solidaritas bersama.

Kebangkitan Islam, sebagian besar didorong oleh kemauan kebebasan dari penjajahan, para pembaharu mengerahkan sebagian besar dari tenaga mereka kepada politik. Aspirasi untuk reformasi keagamaan dan perjuangan politik bercampur menjadi satu. Afirmasi tentang keunggulan agama Islam dinyatakan dengan ingatan masa lampau yang gemilang dan dengan keinginan untuk pembaharuan doktrin pan-Islamisme, seperti yang diungkapkan

oleh Bernad Lewis, seorang sarjana Barat dalam bukunya ―Return

15Lebih jauh tentang hal ini dapat dilihat Muhammad Imarah, al-Islam wa Huquq al-Insan, (Kairo : 1989).

16Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. Muljadi Djojomartono, dkk , (Jakarta : Percetakan Negara, 1966), h. 46.

of Islam‖ yang diterjemahkan oleh Hamid Luthfi AB, sebagai

berikut :

…. Sejak pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, gelombang ekspansi penjajahan Eropa bergerak lebih jauh lagi, pemberontakan di India berhasil dipadamkan diikuti dengan lenyapnya peningalan-peninggalan kekaisaran Mughal di India serta semakin mantapnya penjajah Inggris bercokol di daerah yang dulunya dikuasai kaum muslimin tyersebut, Rusia memperoleh kemajuan pesat di Asia Tengah, Perancis melancarkan ekspansinya ke Tuniasia dan Inggris ke Mesir, dan Kesultanan Ottoman sendiri mengalami ancaman yang semakin meningkat. Semuanya ini mengandung respon dalam bentuk serangkaian gerakan pan-Islamisme.17

Ungkapan Lewis tersebut menyiratkan bahwa gerakan pan-Islamisme muncul dikarenakan adanya penetrasi kolonial Barat ke dunia Islam. Dalam konteks ini, menurut Al-Afghani18, persatuan ideologi dan politik dunia Islam adalah satu-satunya benteng yang dapat bertahan melawan imperialisme Eropa, dan seluruh dunia Islam harus bersatu dalam persekutuan pertahanan yang kokoh untuk mempertahankan diri dari keruntuhan.19

Pergerakan pan-Islamisme ini tampaknya adalah pergerakan politik, dan banyak berbicara tentang umat daripada tentang Islam. Ia berbicara tentang keharusan adanya musyawarah dalam hubungan umat dengan pemerintah, jadi bukan dalam hubungan patron-klien, bukan ikatan sempit, melainkan bergabung dalam ikatan universal : ikatan keagamaan (Islam).20 Secara terus terang, ia berbicara tentang perlawanan terhadap imperialisme Barat, begitulah perjuangan Jamaluddin, sebagai seorang Muslim yang kritis, atau sebagai tokoh politik yang menggunakan prinsip-prinsip al-Qur‘ân dan al-Sunnah dalam setiap propaganda politiknya. Sedangkan sistem yang dianutnya untuk mempersatukan umat Islam yaitu dengan mengajak mereka kembali kepada al-Qur‘an

17Bernard Lewis, Kebangkitan Islam, terj. Hamid Luthfi, (Bandung : Mizan, 1983), h. 14.

18Jamaluddin Al-Afghani adalah pelopor gerakan pan-Islamisme. Ia dilahirkan pada awal abad ke-19 di Asadabad, dekat Hamazan di Parsi dan meninggal pada tahun 1896.

19Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. HM. Rasjidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 318. Lihat pula, Stoddard, op.cit., h. 61-62.

20John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta : Rajawali Perss, 1984), h. 24.

dan al-Sunnah serta ajaran-ajarannya yang murni, sebab kelemahan umat Islam waktu itu katanya, seperti dituturkan oleh Muhammad Al Bahy dalam bukunya Pemikiran Islam Modern berikut ini :

Hilangnya persatuan karena beberapa golongan yang membawa fanatisme, taqlid—tanpa pemahaman—terhadap pemimpin golongan itu, penyelewengan dari Islam karena keyakinan hal-hal yang bid‘ah dan khurafat, seperti ahli agama yang keramat dan kemampuan mereka untuk memberi syafaat dan menjadi perantara, kemudian munculnya aliran-aliran tasauf yang salah keyakinan akan fanatisme dan penyerahan diri tanpa usaha.21

Apa yang diungkapkan di atas, sebetulnya adalah kelemahan-kelemahan umat Islam yang dihadapi oleh kaum muslimin pada masa Wahabiyah dan masa Ibnu Taymiyah yang mana perjuangannya lebih bersifat intern, namun pengaruh itu masih terasa pada masa Jamaluddin, tetapi perjuangannya yang lebih menonjol, memang lebih bersifat pemberontakan, penyatuan bangsa, mengobarkan perasaan, semangat kemanusiaan dan kesadaran agama, sebab musuh-musuhnya (para penjajah) memaksa dia mengadakan perlawanan. Kolonialis dan imperialis Barat telah menuasai bangsa-bangsa Islam, maka perlawanannya haruslah bangsa Islam itu sendiri yang bersatu, kuat dan semangat berkobar-kobar.

Pengaruh pan-Islamisme ini sangat besar di dunia Islam, seperti kata Stoddard, bahwa propaganda pan-Islamisme menghasilkan efek positif yang perlu untuk diperhitungkan.22 Sejarah mencatatnya sebagai pengobar kebangkitan Islam, persaudaraan dan solidaritas Islam dalam menghadapi Barat sebagai pembawa panji-panji anti imperialisme, kolonialisme.23 Oleh karena itu tidak mengherankan jika semangat pembelaan terhadap perjuangan Islam mendapat dukungan publik secara meluas.

Perjuangan pergerakan Islam di bawah naungan partai Islam, tidak terkecuali di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan bahkan merupakan sebuah negara yang terbesar

21Muhammad Al Bahy, Pemikiran Islam Modern, terj. Su‘adi Sa‘ad, (Jakarta : Panjimas, 1986), h. 51.

22Stoddard, op.cit., h. 65.

penduduk muslimnya, mendapat dukungan luas dari masyarakat. Persoalannya adalah identifikasi terhadap partai-partai Islam yang benar-benar memiliki identitas Islam di Indonesia sangat sulit, sebab Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam moderat dan interpretative. PDI-P, Partai GOLKAR dua partai besar yang mendaulatkan dirinya sebagai partai nasional, sulit untuk dikatakan sebagai partai setan, karena visi dan misi serta tujuannya bersifat ideal dan menjunjung tinggi kehormatan agama dan kemanusiaan, sebagaimana prinsip-prinsip partai Islam, lebih dari itu para fungsionaris kedua partai tersebut serta para anggotanya juga mayoritas muslim yang taat dan elite Islam berpengaruh.

Gagasan cerdas untuk memberikan identitas yang jelas dengan label Islam pada partai di Indonesia dimunculkan oleh Partai Keadilan, yang kini menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mereka para pendiri dengan gigih memperjuangkan partai dakwah ini agar mendapat dukungan luas dari kaum muslimin Indonesia. Ternyata membuahkan hasil, dan meraih dukungan suara yang cukup kompetetif bersanding dengan partai-partai besar. Namun belakangan visi dan misi serta haluannya telah bergeser menjadi partai terbuka, tidak eksklusif lagi dan tidak memilki identitas yang khas, maka muaranya sama saja dengan partai-partai Islam lainnya, seperti PPP, PAN, PKB, PANU, PBR, PBB dan lain sebagainya. Selain visi dan misi serta tujuan partai, untuk mengidentifikasi identitas partai Islam yang bermunculan tersebut, juga dapat dilihat dari platform perjuangannya. Kelihatannya partai-partai Islam tersebut sekarang ini hampir mirip kalalupun tidak mau dikatakan sama, baik dari sisi visi dan misi, maupun tujuan dan platformnya.

Warna percaturan politik yang berselimutkan partai dengan segala platform yang diusung nampaknya tidak akan pernah berhenti saling mengklaim sebagai partai yang paling benar, guna mendapatkan dukungan dari konstituen. Intrik-intrik politik pertama dalam Islam telah muncul pada saat Ali bin Abu Thalib (khalifah ke-empat) menerima at-Tahkîm (arbitrase)24 menjadi motif keluarnya sejumlah besar tentaranya yang membangkang

24Peristiwa at-Tahkim ini isinya adalah Amr ibnul Ash telah menipu rekannya, Abu Musa al-Asy‘ari

kepadanya, mencapai 12000 personil, sehingga lahirlah Khawarij25,

dari kubu Ali muncul partai Syi‘ah, kemudian partai Mu‘tazilah, partai Murji‘ah, Ahlul Hadits dan Sunnah. Bertolak dari partai-partai ini tumbuh perkembangan pemikiran politik dalam bentuk rantai atau rentetan yang teratur dari peristiwa-peristiwa politik yang berurutan dan tidak terputus hubungannya. Hal ini mencakup semua perang, eskalasi kekuatan, dilakukannya aneka pemberontakan. Beranjak dari sini, maka perkembangan konflik-konflik dan pemikiran-pemikiran politik akan senantiasa berkembang menuju dua arah partai Islam dan partai Setan. Selama partai tersebut berpegang secara konsisten pada ajaran Islam, maka ialah partai Islam, sebalik partai yang inkonsisten berarti itu adalah partai Setan. Demikian jika mengikuti paradigma aksiomatik dikotomik seperti yang telah diutarakan sebelumnya.

D. PARADIGMA TRIKOTOMIK

Ketatnya persaingan dalam pertarungan pemilu, baik pemilu presiden ataupun pemilu legislative dan juga pilkada menyebabkan Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdebat sengit soal suara partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold.

Fenomena itu tidak berhenti di sana, melainkan sampai ke ranting-ranting partai mencoba melakukan interaksi dan tawar penawar satu sama lainnya dengan melakukan koalisi. Sehingga yang terjadi tidak lagi melihat visi dan misi serta tujuan dan platform partai

yang dilihat adalah kepentingan pragmatis. Tidak lagi muncul paradigma dikotomis, melainkan paradigma trikotomis yang berdimensi ganda. Sehingga abu-abulah warna partai tersebut dengan berbagai argumentasi dan latar belakang pemikirannya.

Karena ancaman theshold begitu kuat, jika tidak memenuhi prosentase yang ditetapkan dalam undang-undang pemilu, maka partai tidak dapat mengikuti even-even pemilu. Untuk memenuhi ambisi memenangkan pemilu, maka partai menerapkan beberapa taktik dan strategi bagaimana mendulang suara yang lebih banyak dan memenangkan pemilu. Di antaranya adalah dengan

25Khawarij ini disebut juga sebagai partai Muhakkimah, yang hanya berhukum kepada kitab Allah. Khawarij ini dapat dikatakan sebagai partai politik pertama yang terbentuk dalam sejarah Islam; dan tokoh-tokohnya tampil di atas panggung peristiwa-peristiwa , memiliki sitem aturan, dan di antara cirri khas kehidupannya adalah kehendak untuk mempertahankan kuntinuitas pemerintahan. Lihat Muhammad Dhiauddin Rais, al-Nazhariyyât …, op. cit., h. 34.

mencanangangkan bahwa partainya adalah partai nasionalis, partai rakyat, partai pluralis, partai demokratis, partai terbuka dan lain sebagainya. Ironi memang, tetapi itulah lagunya partai politik. Jika tidak demikian bukan partai namanya.

Pada kondisi dan situasi yang rentan, labil dan rapuh disebabkan adanya krisis yang berdimensi ganda yang melanda Indonesia, mulai dari krisis pangan, krisis BBM, krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan hingga krisis dukungan dari konstituen dalam pemilu, maka partai-partai hendaknya segera mengaca diri, mereformulasi platformnya, meninjau kembali visi dan misinya. Kemudian istiqamah, konsisten dengan ketetapan-ketetapan yang sudah digariskan untuk dilaksanakan. Jangan sekali-kali mengubar janji dan menyakiti hati rakyat. Jalankanlah amanat partai sebaik mungkin, niscaya perolehan dukungan akan meningkat signifikan pada pemilu-pemilu yang akan dating. Dengan kata lain, perjelaslah identitas integritas partai. Jangan terjebak dalam kondisi abu-abu, maksud hati ingin meraup dengan siku biar perolehan lebih banyak, tidak tahunya kosong melompong.

Oleh sebab itu, main partai pun tidak boleh ada dusta, bila hitam katakan hitam, jangan hitam dikatakan putih. Sebaliknya bila putih katakan putih, jangan putih dikatakan hitam. Sehingga yang putih dicampur hitam menjadi abu-abu. Dalam Islam jelas tidak ada posisi partai abu-abu. Namun demikian, dalam ranah pemikiran politik, paling tidak ada yang berpretensi menafsirkan nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat interpretable, dalam Istilah pak Harun sebagai ranah Zhanny, pemikiran politik termasuk dalam ranah

zhanny ini, tidak dalam ranah qath‟iy.

Partai Islam versus partai setan secara terminologi terdapat dalam al-Qur‘an. namun dalam praksisnya dalam percaturan partai politik tidak dapat vis a vis dibenturkan secara dikotomis. Sebab dalam perkembangan pemikiran politik ada yang memunculkan pemikiran bahwa antara Islam dan politik itu memiliki tiga karakter, pertama bersifat sekuler, agama urusan agama dan negara urusan negara, terpisah secara ketat. Kedua bersifat integrated, berkohesi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga bersifat moderat, nilai-nilai Islam saja yang interpretable itu dapat direalisasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Dengan demikian, bagi penganut pemikiran ketiga, maka partainya adalah partai abu-abu. Mungkin dia menamakan partainya sebagai partai nasional, atau partai buruh, atau partai rakyat, dan lain sebagainya. Namun visi dan misi serta tujuan dan

platformnya jelas li‟i‟lâi kalimatillah. Ini adalah identitas integritas diri partai sejati.