• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJADI ENERGI LISTRIK

TOTAL BIAYA INVESTASI PROYEK 33.888.510.500 100,

B. Biaya Asumsi Peralatan

1. HDPE, tutup, tanggul, parit 1.074.020.217 2,90 2. Flare, penyala, elektroda 70.347.979 0,19

3. Flowmeter 26.121.728 0,07

4. Pipa 799.169.952 2,16

5. Agitator, motor, pengapung, batas, pad 115.549.453 0,31 6. Blower 209.881.825 0,57

7. Alat monitoring 52.227.630 0,14

8. Instalasi listrik 76.495.013 0,21

9. Kontingensi, pengapalan, dan asuransi 854.311.831 2,31

10. Peralatan lain (pagar, dll.) 90.897.177 0,25

11. Persiapan lahan 410.593.577 1,11

12. Scrubber 18.552.500.000 50,10

13. Mesin gas 14.455.500.000 39,04

Total Biaya Peralatan 36.787.616.382 99,35

TOTAL BIAYA 37.030.056.854 100,00

Sumber: UNFCCC (2008) dengan adaptasi

Biaya investasi pada teknologi PT AES menjadi yang terbesar karena biaya scrubber dan mesin gas merupakan asumsi. Hal tersebut disebabkan oleh batasan proyek PT AES selama ini yang hanya berfokus pada bagian pengolahan anaerobik dan destruksi biogas. Pada pengolahan tersebut,

47

lagoon yang dipakai merupakan lagoon yang sudah ada. Oleh sebab itu, tanpa memperhitungkan harga scrubber dan mesin gas, investasinya hanya sebesar Rp4.022.056.854,00.Berbeda dengan PT AES, meskipun sama-sama menggunakan cover lagoon, batasan proyek PT KME lebih luas. Investasi mengenai flaring ataupun konversi ke energi listrik dari biogas yang dilengkapi dengan scrubber

sudah merupakan proyek utuh. Di pihak lain, biaya investasi teknologi PT KIS lebih tinggi dari biaya investasi PT KME karena fasilitas yang dibangun merupakan suatu tangki biodigester, tidak memanfaatkan kolam yang sudah ada. Selain itu, batasan proyeknya lebih luas dan kompleks.

Pada rincian biaya investasi PT KIS dan PT AES, persentase biaya scrubber dan mesin gas di antara keduanya berbeda cukup signifikan yaitu 28,30% dari keseluruhan biaya investasi untuk teknologi PT KIS (Tabel 7), dengan 89,14% dari biaya investasi pada teknologi PT AES (Tabel 8). Persentase pada PT KIS lebih kecil karena biaya investasi terbesar dikeluarkan untuk teknologi dan semua peralatan yang terkait dengan pretreatment, CSTR, pengolahan sekunder dan tersier serta penanganan lumpur. Di sisi lain, PT AES tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk keperluan pengolahan anaerobik ataupun penanganan selain untuk biogas sehingga persentase biaya penanganan gas dari keseluruhan investasi menjadi tinggi. Terlebih lagi, harga scrubber dan mesin gas pada PT AES merupakan asumsi berdasarkan informasi yang diperoleh dari pustaka, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan nilai dari proyek yang sebenarnya.

Pada penggunaan teknologi konversi gas metana menjadi energi listrik, terdapat manfaat secara finansial yang dapat diperoleh PKS penerima teknologi. Manfaat tersebut adalah keuntungan dari pemakaian atau penjualan energi listrik yang dihasilkan dan/atau dari implementasi mekanisme CDM melalui penjualan kredit karbon (CER). Dari dua jenis manfaat tersebut, dapat dibuat perhitungan yang diplotkan dalam tiga skenario. Skenario pertama dibuat untuk manfaat yang diperoleh hanya dengan penjualan listrik, skenario kedua dibuat untuk manfaat yang diperoleh dari penjualan CER, sedangkan skenario ketiga diperoleh dengan penjualan kedua produk tersebut.Ketiga skenario di atas dibuat dengan memperhatikan aspek teknis dan lingkungan dari masing-masing teknologi dalam periode satu tahun.

Keuntungan secara finansial dapat diketahui dengan perhitungan mengggunakan cashflow dan analisis kriteria investasi. Cashflow atau laporan arus kas merupakan laporan keuangan yang memperlihatkan penerimaan kas dan pembayaran kas perusahaan selama periode waktu tertentu. Laporan ini berasal dari aktivitas operasi serta dari investasi dan pendanaan tanpa memperhitungkan penyusutan (Brealey et al. 2007).

Dari masing-masing cashflow tersebut, dapat dilakukan proses diskonto untuk mengetahui nilai-nilai kriteria investasi. Proses diskonto adalah proses penghitungan nilai sekarang dari suatu nilai dengan melakukan konversi menggunakan nilai diskonto (discount rate) yang diberlakukan oleh bank pemerintah. Pada pengkajian ini, nilai diskonto yang digunakan sebesar 11,29%. Nilai tersebut merupakan nilai diskonto yang diberlakukan Bank Indonesia bagi bank komersial umum untuk pinjaman investasi pada bulan Oktober 2012 (Bank Indonesia 2012).

Penilaian kriteria investasi yang dilakukan pada perusahaan umumnya berupa net present value

(NPV) dan internal rate of return(IRR) karena dinilai lebih valid. Akan tetapi, pada analisis aspek finansial ini, dilakukan juga analisis menggunakan nilai net benefit-cost ratio (Net B/C), gross benefit- cost ratio(Gross B/C)dan pay back period (PBP). Nilai net present value menunjukkan nilai sekarang dari penerimaan bersih selama umur proyek. Nilai internal rate of return memperlihatkan tingkat pengembalian. Nilai benefit cost ratio memperlihatkan perbandingan antara total penerimaan dengan total pengeluaran yang dilakukan. Nilai PBP menunjukkan waktu pengembalian investasi terjadi, yaitu pada saat keuntungan nilai sekarang sama dengan nol.

48

4.6.1.Manfaat dari Penjualan Listrik

Cashflow untuk skenario pertama dilakukan untuk penerimaan berdasarkan penjualan listrik. Harga jual listrik yang berlaku di Indonesia dari sumber energi terbarukan yaitu biogas adalah senilai Rp975/kWh x F, dengan nilai F sebesar 1 untuk wilayah Sumatera. Nilai tersebut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2012. Jumlah energi listrik yang diperhitungkan pada laporan arus kas ini berasal dari hasil perhitungan masing-masing teknologi pada sasaran proyek di Lampung yang telah dibahas (Gambar 26) dengan basis kapasitas olah PKS 45 ton TBS/jam. Laporan arus kas dapat dilihat pada Lampiran 5 untuk proyek milik PT KIS, Lampiran 6 untuk proyek milik PT AES, dan Lampiran 7 untuk proyek milik PT KME.

Pada cashflow tersebut, terlihat adanya perbedaan antara ketiga teknologi yang ada. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan biaya yang diperlukan serta energi listrik yang dihasilkan. Teknologi PT KIS dengan biaya investasi menengah, memiliki nilai kumulatif cashflow yang menengah juga jika dibandingkan dengan dua teknologi lainnya, yaitu Rp60.456.990.000,00. Nilai kumulatif cashflow yang lebih rendah diperoleh pada teknologi PT AES dengan nilai Rp22.584.530.000,00. Perolehan nilai tersebutsangat kecil dibandingkan dengan kedua teknologi lainnya. Nilai tersebut dipengaruhi oleh biaya investasi yang terbesar dibandingkan teknologi lainnya. Di sisi lain, energi listrik yang dihasilkan justru lebih kecil dibandingkan teknologi lainnya, yaitu sebesar 1.250 kWh per jam, sedangkan teknologi PT KISsebesar 1.446 kWh dan PT KME 1.260 kWh per jam. Umur proyeknya pun lebih singkat dibandingkan dengan perusahaan lainnya, yaitu hanya tujuh tahun. Nilai kumulatif tertinggi diperoleh pada teknologi PT KME, sebesar Rp65.140.860.000,00. Meskipun energi listrik yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan teknologi PT KIS, biaya investasi teknologi PT KME lebih rendah Rp3.821.070.000,00 dibandingkan biaya investasi PT KIS. Biaya operasionalnya pun lebih rendah Rp1.653.140.000,00.

Analisis kriteria investasi pada skenario pertamaumumnya menunjukkan bahwa ketiga teknologi layak diterapkan (Lampiran 14,15,16). Pertama, NPV yang dihasilkan dari semua perusahaan penyedia teknologi bernilai positif di batas akhir umur proyek.Artinya, ketiga proyek layak dikembangkan. Akan tetapi, jika dibandingkan, nilai NPV yang terbesar menunjukkan teknologi yang lebih baik dipilih untuk diterapkan. Teknologi PT KME merupakan teknologi yang lebih baik dipilih dengan nilai NPV Rp25.327.590.000,00. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai NPV PT KIS dengan perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Nilai NPV PT KIS sebesar Rp21.004.520.000,00. Sementara, NPV pada proyek milik PT AES hanya sebesar Rp2.727.510.000,00.

Kedua, nilai IRR akan menunjukkan bahwa suatu proyek layak dilaksanakan jika lebih besar atau sama dengan nilai discount rate. Ketiga teknologi memiliki nilai IRR yang lebih besar dari

discount rate sehingga layak diterapkan. Nilai yang terbesar adalah nilai IRR dari PT KME sebesar 29,23%. Artinya, pengembalian setiap tahun dari proyek PT KME mencapai 29,23% dari biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR PT KIS sebesar 24,80%, lebih besar dari pada PT AES yang hanya bernilai 13,55%.Menurut Wongsapai (2011), untuk kasus di Thailand, teknologi CSTR untuk pengolahan limbah cair kelapa sawit dalam proyek biogas memiliki IRR sebesar 2,7-17,0 tanpa menggunakan CDM. Sementara, untuk penggunaan cover lagoon, IRR yang diperoleh tanpa menggunakan CDM sebesar 3,1-14,0. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa teknologi CSTR dari PT KIS memiliki potensi nilai IRR yang lebih besar daripada teknologi serupa yang dikembangkan di Thailand. Di sisi lain, teknologi cover lagoon dari PT KME juga memiliki potensi yang lebih tinggi, sedangkan cover lagoon dari PT AES memiliki potensi yang tidak jauh berbeda dengan cover lagoon

49 Ketiga, nilai perbandingan antara manfaat dan biaya melalui net B/C dan gross B/C

menunjukkan bahwa teknologi PT KME tetap lebih baik digunakan karena memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kedua teknologi lainnya yaitu nilai net B/CPT KME> PT KIS >PT AES sebesar 1,84 >1,62> 1,07. Sementara, nilai gross B/C PT KME, PT KIS, dan PT AES berturut-turut adalah 1,70; 1,62; dan 1,06. Kecenderungan nilainya tetap sama karena menggunakan discounted cashflow.

Perbedaannya, nilai net B/C menunjukkan angka yang lebih jelas dan akurat. Nilai net B/C diperoleh dengan membandingkan arus kas bersih terhadap biaya investasi di awal. Sementara, gross B/C

membandingkan akumulasi keseluruhan manfaat terhadap keseluruhan biaya. Menurut Soeharto (2002), metode penghitungan gross B/C merupakan metode penghitungan standar B/C. Akan tetapi, penggunaannya amat dikenal dalam mengevaluasi proyek-proyek untuk kepentingan umum atau sektor publik. Penekanannya ditujukan pada manfaat bagi kepentingan umum dan bukan keuntungan finansial perusahaan. Sementara, metode penghitungan net B/Clebih umum digunakan pada proyek- proyek sektor swasta. Manfaat (benefit) umumnya berupa pendapatan yang telah dikurangi dengan biaya di luar biaya pertama, misalnya biaya operasional.

Keempat, perbandingan berdasarkan penilaian pay back period (PBP). Semakin tinggi nilai PBP, semakin rendah kelayakan investasi suatu proyek. PBP PT KME merupakan PBP yang tercepat yaitu sekitar4,13 tahun. PBP PT AES sekitar 6,32 tahun dan PBP PT KIS sebesar 4,87 tahun. Berdasarkan nilai PBP tersebut, PT KME dan PT KIS menyediakan teknologi yang prospektif dikembangkan karena pengembalian biaya investasi dapat dicapai sebelum pertengahan umur proyek. Di lain pihak, teknologi PT AES kurang prospektif karena pengembalian investasinya dicapai menjelang akhir proyek.

4.6.2.Manfaat dari Penjualan CER

Skenario kedua dibuat melalui cashflow dengan penerimaan yang hanya memperhitungkan penjualan CER. Hal tersebut umumnya diperoleh pada aplikasi penangkapan gas metana tanpa adanya konversi menjadi energi listrik. Harga jual CER yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga yang berlaku pada tanggal 30 Nopember 2012 sebesar €0,69 per tCO2

Pada skenario kedua ini, tidak diperhitungkan proporsi pembagian CER antara penyedia dan penerima teknologi. Pembagian CER dapat dilakukan pada saat negosiasi. Umumnya, pembagian dilakukan jika dalam pelaksanaan negosiasi, PKS yang bersangkutan menawar biaya investasi atau investasi dilakukan tidak hanya oleh PKS. Pembagian yang cukup umum dilakukan sebesar 30:70 atau 20:80 antara perusahaan penyedia teknologi dengan penerima teknologi, meskipun tidak semua perusahaan penyedia teknologi memberlakukannya. Pada pengkajian ini, diasumsikan keseluruhan CER didapat oleh pihak penginvestasi dan pengguna teknologi yaitu PKS.

(European Energy Exchange AG 2012). Dengan menggunakan data nilai tukar euro terhadap rupiah menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI (2012) yaitu Rp12.461,80 per euro, harga CER adalah Rp8.598,64.

Cashflow pada bagian ini dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, dan 10.

Keseluruhan nilai cashflow kumulatif dari ketiga teknologi bernilai negatif. Nilai tersebut menunjukkan kondisi yang tidak menghasilkan keuntungan (laba) bagi pengguna. Kecenderungan nilai negatif dapat terlihat dari net revenue setiap tahun dimana penjualan CER tidak mampu menutupi pengeluaran yang ada. Oleh sebab itu, kerugian terakumulasi hingga di akhir proyek. Nilai kumulatif dari teknologi PT KIS sebesar -Rp59.778.920.000,00; PT AES -Rp50.075.410.000,00; dan PT KME sebesar -Rp39.426.450.000,00. Dengan demikian, kerugian terkecil dapat diperoleh dengan mengaplikasikan teknologi PT KME. Sebaliknya, kerugian terbesar diperoleh saat menggunakan teknologi PT KIS.

50 Kondisi negatif di atas dapat berbeda, bergantung pada harga CER yang berlaku. Nilai CER pada akhir tahun 2012 cenderung kecil. Hal tersebut terkait dengan masa berlaku Protokol Kyoto yang sudah hampir berakhir. Meskipun ada kemungkinan perpanjangan proyek dan masih dapat dilakukan penjualan CER dari proyek yang sedang atau sudah beroperasi, nilai jualnya cenderung menurun.Dengan melakukan trial and error, dapat diketahui break even point (BEP), yaitu kondisi harga CER yang menghasilkan nilai cashflow kumulatif nol (tidak untung dan tidak rugi). Teknologi PT KIS akan mencapai BEP jika harga CER €26,88/ton CO2e; PT AES pada harga CER €33,6/ton

CO2e; dan PT KME pada harga CER €17,97/ton CO2

Pada analisis kriteria investasi, semua parameter menunjukkan bahwa proyek tidak layak dikembangkan jika manfaat finansial yang diperoleh hanya berasal dari penjualan CER (Lampiran 17,18,19). Semua nilai NPV bernilai negatif dengan kecenderungan kerugian terbesar diperoleh pada aplikasi teknologi PT KIS sebesar Rp59.778.920.000,00 dan kerugian terendah pada aplikasi teknologi PT KME sebesar Rp39.426.450.000,00 pada akhir proyek.

e.

Nilai IRR tidak dapat dihitung. Selain itu, net B/C bernilai nol, menunjukkan tidak adanya manfaat finansial yang diperoleh. Nilai gross B/Cpun bernilai kurang dari satu, menunjukkan manfaat yang diperoleh lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Bahkan, nilai pengembalian investasi proyek tidak diperoleh selama periode pelaksanaan proyek, yaitu PT KIS dan PT KME dengan periode proyek selama sepuluh tahun dan PT AES selama tujuh tahun.

4.6.3.Manfaat dari Penjualan Listrik dan CER

Skenario ketiga merupakan arus kas yang dibuat dengan memperhatikan manfaat yang diperoleh baik dari penjualan dan/atau pemakaian listrik, serta penjualan CER. Skenario ini merupakan skenario yang paling mungkin dikembangkan oleh perusahaan pengguna teknologi penangkapan gas metana yang disertai dengan konversi menjadi energi listrik. Pada bagian ini, kecenderungan nilai kumulatif cashflow sama dengan skenario pertama karena nilai penjualan CER tidak berpengaruh secara signifikan. Nilai kumulatif cashflow proyek PT KIS, PT AES, dan PT KME secara berurutan sebesar Rp62.032.080.000,00 (Lampiran 11); Rp26.634.590.000,00 (Lampiran 12); dan Rp66.715.950.000,00 (Lampiran 13). Nilai-nilai tersebut menunjukkan manfaat secara finansial yang dapat diperoleh dalam penggunaan teknologi penangkapan dan konversi gas metana mencapai hampir dua kali lipat biaya investasi yang dikeluarkan, kecuali pada proyek PT AES.

Pada penilaian kriteria investasi yang dapat dilihat pada Lampiran 20, 21, dan 22, terlihat bahwa keseluruhan proyek aplikasi teknologi dari ketiga perusahaan penyedia teknologi layak untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan adanya penjualan listrik dan CER yang dihasilkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada skenario pertama, dengan melakukan penjualan listrik pun, proyek dari ketiga perusahaan layak dikembangkan. Terlebih lagi, dengan adanya tambahan manfaat melalui penjualan CER meskipun tidak terlalu signifikan.

Kecenderungan nilainya tetap sama yaitu proyek PT KME lebih layak dikembangkan dibandingkan dengan teknologi dari perusahaan penyedia lainnya. NPV PT KME mencapai Rp26.188.590.000,00; PT KIS sebesar Rp21.865.520.000,00; sedangkan NPV PT AES sebesar Rp3.387.260.000,00. Nilai IRR pada PT KME, PT KIS, dan PT AES secara berurutan 29,72%; 25,27%; dan 14,08%. Ketiga nilai tersebut setara dengan nilai IRR pada kasus pemanfaatan biogas dari LCPKS di Thailand yang menggunakan CDM, yaitu 7,2-42,0% untuk teknologi CSTR dan 10,7- 30,0 untuk teknologi cover lagoon(Wongsapai 2011). Nilai net B/C dan gross B/C pun menunjukkan hasil yang baik, meskipun tidak terlalu berbeda secara signifikan dengan skenario pertama. Demikian pula dengan nilai PBP, yang secara umum menjadi lebih cepat. Perbandingan hasil kriteria investasi antara ketiga skenario dapat dilihat pada Tabel 9.

51 Tabel 9. Perbandingan penilaian kriteria investasi berdasarkan jenis penerimaan

Skenario penerimaan

Proyek Teknologi

Kriteria Investasi

NPV (Rp) IRR (%) Net B/C Gross B/C PBP (tahun) 1. Listrik PT KIS 21.004.520.000 24,80 1,62 1,42 4,87 PT AES 2.727.510.000 13,55 1,07 1,06 6,32 PT KME 25.327.590.000 29,23 1,84 1,70 4,13 2. CER PT KIS -49.007.750.000 - 0 0,02 - PT AES -45.770.670.000 - 0 0,01 - PT KME -35.568.220.000 - 0 0,02 - 3. Listrik dan CER PT KIS 21.865.520.000 25,27 1,65 1,44 4,78 PT AES 3.387.260.000 14,08 1,09 1,07 6,18 PT KME 26.188.590.000 29,72 1,87 1,72 4,06

4.6.4.Manfaat dari Penurunan Bea Masuk pada Ekspor CPO ke Negara APEC

Selain manfaat finansial yang diperoleh dari penjualan listrik dan CER, dapat diperoleh juga manfaat finansial jika CPO tergolong dalam kategori ramah lingkungan. Dengan kategori tersebut, ekspor ke negara-negara anggota APEC dapat memperoleh penurunan bea masuk. Di antara anggota APEC, negara-negara yang merupakan importir CPO dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Impor CPO dunia oleh negara anggota APEC tahun 2011 Negara Anggota APEC Nilai Impor CPO (US$)

1. Malaysia 1.630.867.301 2. Singapura 434.114.218 3. Meksiko 398.467.390 4. Vietnam 188.935.120 5. Cina 95.260.804 6. Jepang 21.879.739 7. Korea Selatan 3.818.682 8. Rusia 1.448.657 9. Amerika Serikat 198.298 10. Kanada 51.946 11. Selandia Baru 48.420 Total 2.775.090.575

Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database

(IndexMundi 2012b)

Dari antara negara-negara anggota APEC tersebut, negara yang menjadi importir CPO Indonesia adalah Jepang, Hongkong, Cina, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2010, ekspor CPO Indonesia yang terbesar adalah ekspor ke Malaysia. Sementara, pada perkembangannya, ekspor Indonesia yang terbesar pada tahun 2011 adalah ekspor ke India dan Cina. India tidak termasuk negara anggota APEC, sementara Cina merupakan negara APEC. Salah satu hambatan dalam ekspor CPO Indonesia umumnya dikenai bea masuk yang cukup besar di negara-

52 negara importir tersebut. Sebagai contoh, pada bulan September 2012, bea masuk CPO Indonesia mencapai 13,5%. Jika CPO Indonesia tergolong produk ramah lingkungan, bea masuk CPO Indonesia ke negara APEC dapat mencapai 0-5% (APEC 2012). Hal ini akan berdampak pada perolehan keuntungan secara finansial.Sebagai ilustrasi, dapat dilakukan penghitungan mengenai pengurangan bea masuk berdasarkan data ekspor CPO Indonesia. Data yang digunakan merupakan data ekspor CPO Indonesia tahun 2010, tetapi besaran bea masuk menggunakan asumsi sesuai data pada bulan September 2012. Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai penurunan bea masuk berdasarkan data ekspor CPO Indonesia tahun 2010 Negara Tujuan Jumlah

ekspor (ton)*

Nilai ekspor (US$)*

Bea masuk (US$)

13,5% 5% Penghematan 1.Jepang 7.408 5.869.000 792.315 293.450 498.865 2.Hongkong 52 55.000 7.425 2.750 4.675 3.Cina 108.827 93.832.000 12.667.320 4.691.600 7.975.720 4.Singapura 573.156 460.368.000 62.149.680 23.018.400 39.131.280 5.Malaysia 1.318.387 1.059.891.000 143.085.285 52.994.550 90.090.735 6.Vietnam 176.076 145.302.000 19.615.770 7.265.100 12.350.670 7.AS 3.000 2.750.000 371.250 137.500 233.750 Total 2.186.906 1.768.067.000 238.689.045 88.403.350 150.285.695 Sumber : *Badan Pusat Statistik (2011)

Saat CPO Indonesia tidak termasuk produk ramah lingkungan, bea masuk total yang dikenakan adalah US$ 238.689.045. Di sisi lain, jika CPO Indonesia termasuk dalam kategori produk ramah lingkungan, bea masuk yang dikenakan hanya sekitar US$ 88.403.350, atau bahkan tidak ada bea masuk yang harus dibayarkan. Dengan demikian, penghematan yang dapat diperoleh sebesar US$150.285.695 – US$ 238.689.045. Penghematan ini dapat memacu pabrik-pabrik CPO Indonesia untuk meningkatkan produksinya.

4.7.

KOMPONEN TEKNOLOGI DALAM PROSES ALIH TEKNOLOGI

Dokumen terkait