• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

III. METODE PENELITIAN

3.1.

KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL

Salah satu permasalahan besar pada industri kelapa sawit adalah penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). Kondisi tersebutjuga terjadi pada industri kelapa sawit di Lampung. Berbagai permasalahan yang terjadi dapat berupa biaya yang besar pada pengolahan limbah, adanya pencemaran sumber air, masalah bau yang tidak sedap, serta emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca tersebut didominasi oleh kandungan metana dari kolam pengolahan limbah anaerobik yang menyebabkan pemanasan global (Wicke et al. 2008). Di lain pihak, menurut Suprihatinet al. (2008), gas metana (biogas) yang dihasilkan tersebut memiliki kandungan energi yang tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.

Untuk dapat memanfaatkan kandungan metana dari LCPKS, diperlukan teknologi yang terintegrasi dari pengolahan limbah cair secara anaerobik yang dilanjutkan dengan penangkapan gas metana (methane capture) dan konversinya menjadi energi listrik. Dengan demikian, kebutuhan energi listrik terbarukan pun dapat dipenuhi. Teknologi konversi tersebut sudah tersedia. Untuk itu, dapat dilakukan pengkajian terkait proses pada tahapan-tahapan aplikasi teknologinya.

Teknologi yang dihasilkan oleh masing-masing penyedia teknologi (technology content) memiliki karakteristik dan performansi yang berbeda, terkait dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing penyedia teknologi dibandingkan dengan pesaingnya. Technology content tersebut perlu dikaji untuk melihat kesesuaiannya dengan kondisi penerima teknologi terkait keperluan proses alih teknologi. Selain itu, untuk keperluan yang sama, diperlukan suatu analisis finansial untuk pengembangan teknologi tertentu pada industri. Dari hasil analisis tersebut, akan diperoleh suatu usulan pengembangan yang dapat direkomendasikan sesuai dengan kondisi perusahaan calon penerima teknologi. Secara ringkas, kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka pemikiran konseptual penelitian KONDISI PENGOLAHAN

LCPKS DI LAMPUNG SAAT INI

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN (Center cost, Emisi gas rumah kaca,

Pencemaran sumber air, dll.)

KAJIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN LCPKS YANG TERSEDIA • Pengolahan anaerobik

• Penangkapan metana (Methane Capture) • Konversi metana menjadi energi listrik

KETERSEDIAAN TEKNOLOGI KAJIAN PUSTAKA

DAN PRAKTIK INDUSTRI

ANALISIS ASPEK TEKNIS DAN LINGKUNGAN (TECHNOLOGY CONTENT)

KEBUTUHAN ENERGI TERBARUKAN

ANALISIS ASPEK FINANSIAL

USULAN PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KONVERSI GAS METANA MENJADI

13

3.2.

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu dari bulan September 2012 hingga bulan Desember 2012. Tahapan pengumpulan data terkait dengan analisis teknis, analisis finansial dan alih teknologi dilakukan pada perusahaan penyedia teknologi yang berlokasi di Jakarta. Perusahaan tersebut meliputi PT Knowledge Integration Services (KIS) Indonesia, PT AES AgriVerde Indonesia, dan PT Karya Mas Energi (KME).Di lain pihak, tahapan pengkajian lingkungan dan analisis perbandingan teknologi (aspek teknis, lingkungan, dan finansial) dilakukan di Institut Pertanian Bogor, Bogor.

3.3.

PENGUMPULAN DATA

Penelitianini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan pada pengkajian technology content, sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan pada analisis lingkungan bagian reduksi emisi gas rumah kaca dan analisis finansial. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara dengan responden, berupa akademisi dan praktisi. Praktisi yang dimaksud adalah pihak perusahaan penyedia teknologi. Wawancara yang dilakukan bersifat semi terstruktur dan tidak terstruktur. Pada wawancara semi terstruktur, pewawancara sudah menyiapkan topik dan daftar pertanyaan pemandu secara tertulis dan menanyakannya langsung pada responden. Pewawancara perlu menelusuri lebih jauh suatu topik berdasarkan jawaban dari responden. Urutan pertanyaan dan pembahasan tidak harus sama dengan panduan, melainkan bersifat tentatif disesuaikan dengan kondisi pada saat wawancara. Sementara, wawancara tidak terstruktur dilakukan tanpa panduan, bertujuan untuk menggali informasi lebih dalam. Pewawancara memberikan topik yang akan dibahas dan responden bebas mengungkapkan apapun yang berhubungan dengan topik.

Data sekunder diperoleh melalui metode studi dokumentasi. Studi tersebut menggunakan data- data yang sudah ada pada pustaka, jurnal ilmiah, laporan-laporan teknis dari institusi terkait (lembaga penelitian dan penyuluhan, lembaga penyedia teknologi, atau lembaga sejenis). Data sekunder lainnya yang digunakan adalah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta data dari website (internet).

3.4.

ANALISIS DATA

3.4.1.Analisis Technology Content

Analisis technology content merupakan analisis untuk mengukur kinerja teknologi dalam proses transformasi input-output, diukur dengan kontribusi dari tingkat penguasaan pemanfaatan (Thaha dan Syaefullah 2008). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kandungan dari masing- masing komponen teknologi yang ada (technoware, humanware, inforware, orgaware). Analisis dilakukan juga pada aspek teknis dan lingkungan. Analisis aspek teknis dilakukan menggunakan perbandingan antara ketiga teknologi yang ditawarkan oleh perusahaan penyedia teknologi. Analisis di atas dilakukan pada parameter skala, bioreaktor limbah cair anaerobik, kompleksitas, waktu pengolahan, suhu proses, kebutuhan lahan, reduksi beban pencemaran limbah, biogas yang dihasilkan, dan listrik yang dihasilkan. Perbandingan ini dilakukan dengan cara analisis deskriptif. Di sisi lain, analisis aspek lingkungan merupakan analisis terkait dampak dari teknologi terhadap aspek lingkungan. Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan reduksi emisi dan

14 substitusi bahan bakar fosil yang digunakan dalam pabrik, serta dampak lingkungan lainnya.Analisis mengenai estimasi reduksi emisi gas rumah kaca dihitung menggunakan persamaan yang terdapat pada AMS-III.H versi 16 mengenai recovery metana dari pengolahan limbah cair(UNFCCC 2010), sebagai berikut:

a.Emisi dasar (BEy

BE

)

y = {BEpower,y + BEww,treatment,y + BEs,treatment,y + BEww,discharge,y+ BEs,final,y BE

} :

y Emisi dasar pada tahun y (tCO2

BE

e) :

power,y Emisi dasar dari konsumsi listrik atau bahan bakar pada tahun y

(tCO2

BE

e) :

ww,treatment,y Emisi dasar dari sistem penanganan limbah cair yang dipengaruhi aktivitas proyek pada tahun y (tCO2

BE

e) :

s,treatment,y Emisi dasar dari sistem penanganan lumpur yang dipengaruhi aktivitas proyek pada tahun ke y (tCO2

BE

e) :

ww,discharge,y Emisi dasar dari karbon organik terurai pada limbah cair akhir yang dibuang ke laut/sungai/danau pada tahun y (tCO2

BE

e) :

s,final,y Emisi dasar dari degradasi anaerobik pada lumpur akhir yang diproduksi pada tahun y (tCO2

Keterangan : Pada studi ini, unsur BE

e)

y yang diperhitungkan hanya BEww,treatment,y,

sedangkan BE lainnya diabaikan.

b.Emisi dasar dari sistem penanganan limbah cair (BEww,treatment,y BE

)

ww,treatment,y = ∑(Qww,i,y*CODinflow,i,y*ηCOD,BL,i*MCFww,treatment,BL,i)*Bo,ww* UFBL*GWP BE

CH4

:

ww,treatment,y Emisi dasar dari sistem penanganan limbah cair yang dipengaruhi aktivitas proyek pada tahun y (tCO2

Q

e) :

ww,i,y Volume limbah cair yang diolah dalam sistem penanganan dasar i

pada tahun y (m3

COD

) :

inflow,i,y COD pada limbah cair inflow dalam sistem i pada tahun y (t/m3 η

) :

COD,BL,i Efisiensi reduksi COD dalam sistem i MCFww,treatment,BL,i : Faktor koreksi metana untuk sistem i (0,8)

Bo,ww : Kapasitas produksi metana dari limbah cair (nilai IPCC sebesar 0,25 kg CH4

UF

/kg COD) :

BL Faktor koreksi model untuk ketidakpastian model (0,89)

GWPCH4 : Potensi pemanasan global metana (21)

c.Emisi aktivitas proyek (PE)

PEy= PEpower,y+PEww,treatment,y+PEs,treatment,y+PEww,discharge,y+PEs,final,y+PEfugitive,y+PEbiomass,y PE + PE flaring,y :

y Emisi aktivitas proyek pada tahun y (tCO2

PE

e) :

power,y Emisi dari listrik dan bahan bakar yang digunakan untuk fasilitas proyek (tCO2

PE

e) :

15 aktivitas proyekdan tidak dilengkapi dengan recovery biogas pada skenario proyek (tCO2

PE

e) :

s,treatment,y Emisi dari sistem penanganan lumpur yang dipengaruhi aktivitas proyek dan tidak dilengkapi dengan recovery biogas pada skenario proyek(tCO2

PE

e) :

ww,discharge,y Emisi dari inefisiensi sistem penanganan limbah cair dan kehadiran karbon organik terurai pada limbah cair akhir (tCO2

PE

e) :

s,final,y Emisi dari kekurangan lumpur akhir yang dihasilkan dari proyek(tCO2

PE

e) :

fugitive,y Emisi fugitif dikarenakan inefisiensi sistem penangkapan gas

metana (tCO2

PE

e) :

biomass,y Emisi dari biomassa yang tersimpan pada kondisi anaerobik yang

tidak terjadi pada kondisi dasar (tCO2

PE

e) :

flaring,y Emisi karena flaring yang tidak sempurna (tCO2

Keterangan : Pada studi ini, unsur PE

e)

y yang diperhitungkan adalah PEfugitive,y dan PEflaring,y.

d.Emisi fugitif (PEfugitive,ww,y

PE

)

fugitive,ww,y= (1-CFEww)*(Qww,y*Bo,ww*UFpj*∑CODremoved,PJ,k,y*MCFww,treatment,PJ,k GWP

)*

PE

CH4

:

fugitive,ww,y Emisi fugitif dari inefisiensi penangkapan metana pada sistem penanganan limbah cair (tCO2

CFE

e) :

ww Efisiensi penangkapan biogas pada sistem pengolahan limbah cair

(nilai standar 0,9 seharusnya digunakan)

Qww,i,y : Volume limbah cair yang diolah dalam sistem penanganan dasar i

pada tahun y (m3

B

) :

o,ww Kapasitas produksi metana dari limbah cair (nilai IPCC sebesar 0,25 kg CH4

UF

/kg COD) :

PJ Faktor koreksi model untuk ketidakpastian model (1,21)

CODremoved,PJ,k,y : COD yang dihilangkan oleh sistem k pada aktivitas proyek yang dilengkapi dengan recovery biogas pada tahun y (t/m3

MCF

) :

ww,treatment,PJ,k Faktor koreksi metana untuk sistem k yang dilengkapi dengan peralatan recovery biogas(0,8)

GWPCH4 : Potensi pemanasan global metana (21)

e.Emisi flaring (PEflaring,y PE

)

flaring,y = ∑(Qww,i,y*CODinflow,i,y*ηCOD,BL,i*MCFww,treatment,BL,i)*Bo,ww* UF BE

BL

:

ww,treatment,y Emisi dasar dari sistem penanganan limbah cair yang dipengaruhi aktivitas proyek pada tahun y (tCO2

Q

e) :

ww,i,y Volume limbah cair yang diolah dalam sistem penanganan dasar i

pada tahun y (m3

COD

) :

inflow,i,y COD pada limbah cair inflow dalam sistem i pada tahun y (t/m3 η

) :

COD,BL,i Efisiensi reduksi COD dalam sistem i MCFww,treatment,BL,i : Faktor koreksi metana untuk sistem i (0,8)

16

Bo,ww : Kapasitas produksi metana dari limbah cair (nilai IPCC sebesar 0,25 kg CH4

UF

/kg COD) :

BL Faktor koreksi model untuk ketidakpastian model (0,89)

GWPCH4 : Potensi pemanasan global metana (21)

f.Reduksi emisi (ER)

ERy = BEy – (PEy + LEy

ER

)

:

y Reduksi emisi pada tahun y (tCO2

BE

e) :

y Emisi dasar dari sistem penanganan limbah cair pada tahun y

(tCO2

PE

e) :

y Emisi aktivitas proyek pada tahun y (tCO2

LE

e) :

y Emisi karena leakage pada saat penggunaan biogas (tCO2e)

3.4.2.Analisis Aspek Finansial

Analisis data finansial dilakukan dengan menggunakan cash flow dan analisis kriteria investasi. Analisis cashflow dilakukan untuk membandingkan aspek finansial berdasarkan pengeluaran dan penerimaan setiap tahunnya. Analisis kriteria investasi dilakukan untuk menguji kelayakan investasi suatu proyek serta membandingkan kelayakan implementasi antara proyek teknologi yang satu dengan teknologi lainnya yang dikaji dalam penelitian ini. Analisis finansial yang dilakukan meliputi penghitungan nilai Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio

(Net B/C), Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C), dan Pay Back Period (PBP).

Menurut Soeharto (2002), perhitungan kriteria investasi tersebut dapat dituliskan melalui rumus-rumus sebagai berikut:

a. Net Present Value (NPV)

NPV : Nilai sekarang bersih (Rp) (C)t

(Co)

: Arus kas masuk pada tahun ke-t (Rp)

t

n : Umur unit usaha hasil investasi : Arus kas keluar pada tahun ke-t (Rp) t : Tahun proyek yang sedang berlangsung i : discount rate atau biaya peluang modal (%)

Jika NPV ≥ 0, proyek layak untuk dilaksanakan. Jika NPV < 0, proyek tidak layak untuk dilaksanakan. b. Internal Rate of Return (IRR)

IRR : Tingkat pengembalian internal (%) (C)t

(Co)

: Arus kas masuk pada tahun ke-t (Rp)

t

n : Umur unit usaha hasil investasi : Arus kas keluar pada tahun ke-t (Rp)

17 t : Tahun proyek yang sedang berlangsung

Jika IRR ≥ discount rate, proyek layak untuk dilaksanakan. Jika IRR <discount rate, proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

c. Net B/C

R : Nilai sekarang pendapatan (Rp)

(C)op : Nilai sekarang biaya, di luar biaya pertama (Rp) Cf : Biaya pertama (Rp)

Jika Net B/C≥ 1, proyek layak untuk dilaksanakan.

Jika Net B/C< 1, proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

d. Gross B/C

(PV) B : Nilai sekarang benefit (Rp) (PV) C : Nilai sekarang biaya (Rp)

Jika Gross B/C≥ 1, proyek layak untuk dilaksanakan.

Jika Gross B/C< 1, proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

e. Pay Back Period (PBP)  Waktu pengembalian saat kumulatif cashflow bernilai 0.

t1

t

: tahun saat kumulatif cashflow mulai bernilai positif

2

kumulatif cashflow1 : kumulatif cashflow mulai bernilai positif : tahun saat kumulatif cashflow bernilai negatif

kumulatif cashflow1 : kumulatif cashflow bernilai negatif

18

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

KONDISI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT

DI PROVINSILAMPUNG

Industri kelapa sawit di Provinsi Lampung berjumlah 13 pabrik yang tersebar di limawilayah kabupaten, meliputi Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah, Way Kanan, Tulang Bawang, dan Mesuji (Sarono et al. 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sarono et al. (2012), semua pabrik kelapa sawit (PKS) di Lampungmenghasilkan produk CPO (Crude Palm Oil). Tiga di antaranya juga memproduksi PKO (Palm Kernel Oil). Kapasitas pabrik dari ketiga belas PKS tersebut bervariasi, dari kapasitas terkecil sebesar 20 ton tandan buah segar (TBS) per jam hingga kapasitas terbesar 72 ton TBS per jam (Gambar 3).Rata-rata PKS di Provinsi Lampung tersebut memiliki kapasitas proses produksi sekitar 45 ton TBS/jam.

Gambar 3. Penyebaran PKS di Provinsi Lampung berdasarkan kapasitas produksi CPO (ton TBS/jam) (Sarono et al. 2012)

Setiap PKS memiliki lahan yang dialokasikan untuk kebun kelapa sawit, pabrik, dan unit pengolahan limbah. Luasan lahan yang dimiliki oleh masing-masing pabrik juga berbeda satu dengan yang lainnya. Luasan lahan yang dialokasikan untuk unit pengolahan limbah berkisar antara 2,5-8 ha, atau setara dengan 25.000-80.000 m2

Pada proses produksinya, jumlah tandan buah segar kelapa sawit yang diproses di Lampung bervariasi untuk setiap pabrik dan setiap tahun.Berdasarkan data yang diperoleh, total TBS yang diproses di seluruh pabrik kelapa sawit Lampung adalah 1.312.355 ton pada tahun 2009, 1.483.128 ton pada tahun 2010, dan 1.553.908 ton pada tahun 2011. Dari TBS yang diproses tersebut, jumlah CPO yang dihasilkan pada tahun 2009, 2010, dan 2011 adalah sebanyak 288.251 ton, 325.142 ton, dan 342.293 ton dengan nilai rata-rata rendemen 21,96%; 21,92%; dan 22,03%. Dari nilai rendemen proses pengolahan di atas, terlihat adanya potensi pembangkitan limbah yang cukup besar, termasuk limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). Total potensiLCPKS yang terdokumentasi adalah sebanyak 1.095.373 m

.

3

; 1.208.516 m3; dan 1.286.595 m3

Berdasarkan data tersebut, faktor konversi dari tandan buah segar kelapa sawit yang diproses menjadi limbah cair adalah sebesar 0,835 m

pada tahun 2009, 2010, dan 2011(Sarono et al. 2012).

3

LCPKS/ton TBS; 0,815 m3 LCPKS/ton TBS; dan0,828 m3 LCPKS/ton TBS untuk tahun 2009,2010, dan 2011 sehingga faktor konversi rata-ratanya sebesar 0,826 m3LCPKS/ton TBS. Hal tersebutmenunjukkan bahwa proses produksi CPO di Lampung cenderung kurang efisien karena menghasilkan faktor konversi LCPKS yang lebih besar dari rata-rata LCPKS yang dihasilkan per ton TBS, yaitu 0,6m3/ton TBS(Mahajoeno et al.(2008) atau0,75 m3/ton

19 TBS (Morad et al. 2008 diacu dalam Suprihatin et al. 2012b), meskipun masih berada pada range

0,75-0,90 m3/ton TBS (Yuliasari et al. 2001). Sementara, faktor konversi dari CPO menjadi limbah cair sebesar 3,800 m3 LCPKS/ton CPO; 3,717 m3 LCPKS/ton CPO; dan 3,759 m3

Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi PKS di Lampung, dibandingkan dengan literatur dan baku mutu lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.Terlihat bahwa parameter pH, COD, dan TSS pada LCPKS Lampung tidak memenuhi baku mutu, bahkan menyimpang cukup jauh dari nilai yang dipersyaratkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa LCPKS di Lampung memiliki kandungan bahan organik atau padatan yang tinggi dan memiliki peluang yang besar dalam mencemari lingkungan. Oleh karena itu, LCPKS tersebut harus mengalami pengolahan dan penanganan terlebih dulu sebelum disalurkan ke lingkungan. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan rata-rata parameter menurut Mahajoeno et al. (2008) dan KIS Group (2012), nilai pH pada LCPKS Lampung lebih baik karena lebih mendekati baku mutu. Selain itu, nilai COD yang diperoleh pun lebih baik mutunya daripada kedua literatur. Artinya, kandungan karbon organiktotal kecuali senyawa aromatik pada limbah cair tersebut lebih rendah daripada limbah cair kelapa sawit pada umumnya. Akan tetapi, total padatan tersuspensi yang terkandung pada limbah lebih banyak sehingga kemungkinan lumpur yang dihasilkan akan lebih banyak dibandingkan limbah cair pada pengamatan Mahajoeno et al. (2008).

LCPKS/ton CPO.

Tabel 2. Perbandingan karakter LCPKS Lampung dengan rujukan terdahulu dan baku mutu

No. Parameter LCPKS

Lampung Rata-rata Rata-rata

1 Baku Mutu 2 3 1 Nilai pH 5,0-5,6 4,4-4,5 4,0-4,5 6,0-9,0 2 Biological Oxygen Demand (mg/L) - 23.500-29.300 30.000 250 3 Chemical Oxygen Demand(mg/L) 41.000-50.250 49.000-63.600 50.000-70.000 500

4 Total Suspended Solid

(mg/L) 42.533-54.500 26.500-45.400 - 300

5 Nitrogen Total (mg/L) - - - 45

6 Amonia (mg/L) - - - 20

Sumber: 1Mahajoeno et al. (2008)

2

KIS Group (2012)

3

Bapedal (1999)

Semua PKS di Lampung telah melakukan proses pengolahan limbah cair. Sistem yang digunakan adalah sistem pengolahan konvensional, seperti kebanyakan kondisi pengolahan LCPKS di Indonesia saat ini, yaitu sistem kolam terbuka (ponding system). Kolam-kolam yang digunakan terbagi menjadi kolam cooling (pendinginan), kolam anaerob, dan kolam aerob. Selain kolam-kolam tersebut, terdapat juga kolam indikator untuk mengetahui kondisi efluen LCPKS sebelum disalurkan ke lingkungan. Dari keseluruhan PKS tersebut, terdapat empat PKS yang memiliki tambahan kolam fakultatif. Semua pabrik juga memiliki kolam atau lahan cadangan yang disiapkan untuk keperluan ekspansi unit pengolahan limbah jika volume limbah cair yang dihasilkan meningkat (Sarono et al.

2012).

Fasilitas pengolahan LCPKS tersebut memiliki kapasitas dan waktu retensi yang bervariasi. Kapasitas kolam cooling berkisar antara 800-2.250 m3 dengan waktu retensi 3-5 hari.Dari kolam

20 tersebut, limbah cair akan memasuki kolam anaerob dengan waktu retensi sekitar 50-70 hari. Masing- masing pabrik memiliki kapasitas kolam anaerob yang berbeda, dari kapasitas 6.000 m3 hingga 32.000 m3. Selanjutnya, limbah cair akan memasuki kolam fakultatif ataupun kolam aerob. Kebanyakan kolam fakultatif yang dimiliki oleh PKS di Lampung berkapasitas 2.600 m3 untuk waktu retensi sekitar lima hari. Kolam aerob berkapasitas antara 3.000-17.000 m3dengan waktu retensi sekitar 10-16 hari. Kolam indikator berkapasitas 750-1.350 m3 dengan waktu retensi 4-10 hari. Sementara, kolam cadangan berkapasitas 1.000 hingga 3.500 m3

Dari kondisi pengolahan limbah cair di atas, diketahui bahwa belum ada satupun PKS di Lampung yang menggunakan bioreaktor tertutup untuk pengolahan LCPKS secara anaerobik. Struktur pengolahan kolam yang terbuka menyebabkan adanya emisi gas rumah kaca langsung ke atmosfer dengan dominasi gas metana (CH

.

4

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saronoet al. (2012), pemanfaatan LCPKS untuk produksi biogas belum dilakukan. Hanya ada satu pabrik yang sedang melakukan studi mengenai biogas, sedangkan 12 pabrik lainnya belum melakukan tindakan untuk pemanfaatan biogas. Pemanfaatan limbah cair untuk pupuk pun hanya dilakukan oleh satu pabrik. Kebanyakan PKS di Lampung lebih tertarik dengan pemanfaatan lain dari limbah cair, yaitu pemanfaatan sebagai minyak parit dan land application.

) sebagai hasil dekomposisi anaerobik. Jika kondisi tersebut dipertahankan, kondisi lingkungan akan semakin buruk dan pemanasan global akan semakin terasa dampaknya. Selain itu, terdapat beberapa kerugian lain yang diperoleh, antara lain kerugian di bidang ekologi berupa kontaminasi air tanah dan bau yang tidak sedap, serta kerugian ekonomi (finansial) karena tidak menjual kredit karbon, tidak memiliki simpanan biomassa, serta adanya lumpur yang kurang produktif (KIS Group 2012).

Minyak parit adalah minyak yang diambil kembali dari fat pit atau lebih dikenal dengan CPO bermutu rendah (low grade CPO). Pemanfaatan tersebut merupakan pemanfaatan yang umum digunakan di semua pabrik CPO di Indonesia. Sementara, land application merupakan pemanfaatan hasil dari penanganan limbah secara biologis. Penanganannya sedapat mungkin tidak menambahkan bahan kimia. Hasil dari proses biologis adalahair reklamasi berkualitas tinggi (high quality reclaimed water) yang telah memenuhi baku mutu lingkungan. Air tersebutumumnya digunakan untuk aplikasi lahan perkebunan sawit sendiri. Metode penanganan limbah secara biologis untuk land application

cukup populer karena tergolong murah dalam operasi dan pemeliharaannya, tidak ada pembuangan ke badan air, tidak ada bau tidak sedap yang dapat mengganggu masyarakat,serta menyediakan air yang kaya unsur hara (Cortland Official 2012).

Dalam penanganan limbah cair tersebut, sumber daya manusia untuk manajemen lingkungan cukup terbatas. Hal ini terlihat dari jumlah tenaga kerja yang cukup sedikit, yaitu sekitar dua sampai lima orang dengan latar belakang pendidikan SLTA. Selain itu, tenaga kerja tersebut tidak berada pada bagian manajemen lingkungan khusus, melainkan berada di bawah bagian produksi. Pengalaman kerja di bidang penanganan limbah tersebut umumnya masih tergolong rendah hingga sedang yaitu dua sampai lima tahun. Hanya ada dua PKS yang memiliki tenaga kerja untuk penanganan limbah cair yang sudah bekerja selama 10 tahun atau lebih. Hanya saja, semua PKS telah melakukan pelatihan (training) bagi tenaga kerjanya.

Terkait dengan masalah sosial, unit penanganan LCPKS masing-masing pabrik memiliki jarak tertentu dari permukiman dan pabrik. Jarak unit penanganan limbah berkisar antara 400-1.500 meter dari permukiman penduduk dan 100-200 meter dari pabrik. Dari bagian manajemen, karyawan, dan penduduk, umumnya tidak ada keluhan terkait dampak dari limbah cair. Hanya ada keluhan bau tidak sedap LCPKS dari karyawan pada satu PKS dan dari penduduk pada tiga PKS (Sarono et al. 2012). Selain terkait dengan dampak langsung LCPKS bagi masyarakat sekitar pabrik, telah dilakukan kajian

21 juga oleh Sarono et al. (2012) terkait dengan kondisi listrik di sekitar pabrik kelapa sawit. Umumnya, asupan listrik bagi masyarakat di sekitar pabrik diperoleh dari PLN. Akan tetapi, kondisinya cukup tidak stabil ditandai dengan seringnya kondisi pemadaman listrik. Kondisi tersebut menyebabkan adanya harapan dari masyarakat sekitar pabrik terkait penyediaan listrik.

Kondisi ekologi dan sosial di sekitar lingkungan PKS di Provinsi Lampung tersebut memberikan peluang pengembangan teknologi konversi gas metana dari limbah cair kelapa sawit menjadi energi listrik. Dengan memanfaatkan teknologi konversi tersebut, dapat diperoleh listrik terbarukan. Listrik terbarukan dapat memberikan manfaat untuk aplikasi langsung di pabrik kelapa sawit. Selain itu, energi listrik juga dapat dijual kepadaPLN. Dengan demikian, keuntungan ekonomi (finansial), ekologi dan sosial dapat diperoleh oleh PKS yang menggunakan teknologi tersebut.

4.2.

PENYEDIA TEKNOLOGI KONVERSI GAS METANA DARI LCPKS

MENJADI ENERGI LISTRIK

Di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan penyedia teknologi penangkapan dan konversi gas metana menjadi energi listrik. Perusahaan-perusahaan tersebut menjual produk berupa perangkat keras (technoware) dalam bentuk mesin dan peralatan dalam suatu paket teknologi, serta jasa berupa sumber daya manusia yang ahli dalam bidang teknis sampai proses alih teknologi dianggap cukup oleh perusahaan kelapa sawit yang menggunakan teknologinya. Perusahaan tersebut adalahPT Knowledge

Dokumen terkait