• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

MANAJEMEN TEKNOLOGI

Teknologi merupakan segala pengetahuan, proses, produk, alat, metode, dan sistem kerja yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa (Khalil 2000). Barang dan jasa tersebut digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Teknologi dalam suatu proses produksi merupakan alat atau sarana transformasi dari input ke output (Wiratmadja dan Govindaraju 2010). Menurut Harjanto (2009) diacu dalam Octavia (2010), teknologi sebagai suatu alat untuk pengembangan peningkatan kekuatan manusia berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kekuatan otak, dan membuat kehidupan manusia lebih nyaman.

Teknologi dapat dipilah menjadi empat komponen, yaitu technoware, humanware, inforware

dan orgaware (ESCAP 1988 diacu dalam Alkadri et al. 2001). Technoware merupakan object- embodied technology yang berupa fasilitas fisik atau perangkat teknis. Komponen tersebut dapat dijumpai dalam bentuk peralatan, perlengkapan, mesin, kendaran bermotor, pabrik, infrastruktur fisik, dan barang-barang modal lainnya yang digunakan manusia dalam mengoperasikan suatu transformasi produksi.

Humanware merupakan person-embodied technology, dijumpai dalam bentuk kemampuan sumber daya manusia. Kemampuan yang dimiliki berupa pengetahuan, keterampilan atau keahlian, kebijakan, kreativitas, prestasi, dan pengalaman seseorang atau sekelompok orang dalam memanfaatkan sumber daya alam dan teknologi yang tersedia. Menurut Baskoro (2009), kemampuan sumber daya manusia dapat terbagi menjadi kemampuan manajerial, berpikir, kualitas personal, dan kemampuan dasar. Kemampuan-kemampuan tersebut digunakan dalam pengembangan, perancangan, dan penggunaan suatu sistem.

Inforware atau document-embodied technology merupakan perangkat informasi atau fakta yang terdokumentasi. Komponen inforware dapat berbentuk prosedur, metode, teori, spesifikasi, desain, observasi, manual, dan fakta lainnya yang diungkapkan melalui publikasi, dokumen, dan cetak-biru (ESCAP 1988 diacu dalam Alkadri et al. 2001). Di sisi lain, Baskoro (2009) mengungkapkan bahwa

inforwaremerupakan perangkat lunak pengetahuan pada kondisi sistem, mekanisme penyebaran, dan pembelajaran harus dikembangkan.

Komponen orgaware merupakan institution-embodied technology, suatu kerangka kerja organisasi dalam bentuk perangkat organisasi dan peraturan. Di dalamnya, terdapat praktik-praktik manajemen, keterkaitan, dan pengaturan organisasi. Selain perangkat organisasi, lingkungan budaya yang relevan dengan institusi akademik dan bisnis juga termasuk dalam perangkat orgaware (Baskoro 2009). Komponen di atas dibutuhkan untuk mewadahi perangkat teknis, kemampuan sumber daya manusia, dan perangkat informasi.

Keempat komponen teknologi tersebut bersifat komplementer. Akan tetapi, dalam suatu sistem transformasi, komponen technoware menjadi komponen inti tanpa mengesampingkan komponen lainnya. Technoware akan berfungsi produktif jika dikembangkan, diinstalasi, dioperasikan, dan diperbaiki oleh humanware berdasarkan inforware yang telah dikumpulkan serta kerangka yang ditetapkan dalam orgaware (Alkadri et al. 2001).

Dalam penggunaan suatu teknologi, diperlukan suatu manajemen untuk mencapai kondisi penggunaan yang produktif. Manajemen teknologi merupakan pendekatan yang berkaitan dengan perencanaan, pengembangan, dan implementasi kemampuan teknologi untuk mencapai tujuan operasional ataupun tujuan strategis suatu organisasi (Adityaputra 2011). Contoh aktivitas manajemen

5 teknologi di bidang rekayasa atau ilmu pengetahuan alam adalah rancang bangun daur ulang limbah industri, sedangkan di bidang manajemen, aktivitas manajemen teknologi dapat berupa studi kelayakan (Gumbira-Sa’id et al. 2004).

Pengkajian manajemen teknologi umumnya dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap indikator transformasi teknologi dan indikator kemampuan teknologi. Indikator transformasi teknologi dilakukan untuk menilai tingkat kecanggihan empat komponen teknologi, yaitu technoware, humanware, inforware, dan orgaware. Indikator kemampuan teknologi dilakukan untuk menilai kemampuan operatif, kemampuan akuisitif, kemampuan penunjang, dan kemampuan inovatif yang dimiliki perusahaan (Joharman 2010). Dalam pengkajian tersebut, umumnya dilakukan analisis

technology content. Analisis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknometrik (Adityaputra 2011). Analisis teknometrik menurut Wiratmadja dan Govindaraju (2010) terbagi atas estimasi derajat kecanggihan teknologi, penilaian state of the art, penentuan koefisien kontribusi teknologi, penentuan intensitas kontribusi masing-masing komponen, serta penetapan nilai kontribusi total.

Menurut Thaha dan Syaefullah (2008), manajemen teknologi untuk pembangunan dapat dikaji melalui beberapa analisis. Analisis technology contentdilakukan untuk mengukur kinerja teknologi dalam proses transformasi input-output, diukur dengan kontribusi dari tingkat penguasaan pemanfaatan. Analisis technology status dilakukan dalam menilai tingkat perkembangan dan keunggulan teknologi setiap sektor. Analisis technology climate dilakukan dengan memperhatikan indeks (perkembangan sosial ekonomi, infrastruktur dan jasa penunjang, ketersediaan Iptek, dan dukungan pemerintah). Analisis technology capability dilakukan dalam penyusunan program dan analisis technology need dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan sektoral, keseimbangan, dan keterkaitan dalam perencanaan berbasis teknologi.

Dalam pembangunan di tingkat perusahaan, terdapat beberapa indikator, yang tergolong dalam indikator konvensional dan indikator berbasis teknologi. Indikator konvensional berpusat pada aspek produksi, sedangkan indikator berbasis teknologi berpusat pada aspek transformasi yang dikaji. Indikator konvensional yang diukur mencakup faktor produksi (lahan, tenaga kerja, modal), ukuran produktivitas modal dan tenaga kerja, ukuran kekuatan modal (bunga, inflasi, penyusutan), dan ukuran matematis dalam bentuk analisis kelayakan ekonomi (IRR, NPV, BCR). Di sisi lain, indikator berbasis teknologi mencakup faktor-faktor transformasi (ketersediaan sumber daya alam, kemampuan sumber daya manusia, tatanan organisasi, infrastruktur fisik, dan sistem informasi), ukuran kontribusi dari empat komponen teknologi, ukuran kekuatan terkait tingkat kemutakhiran teknologi (inovasi, kinerja, dan konservasi) serta ukuran matematis menggunakan analisis kontribusi teknologi (Thaha dan Syaefullah 2008).

Manajemen teknologi terkait juga dengan proses perubahanteknologi. Perubahan teknologi dapat berupa penyebaran teknologi ataupun alih teknologi. Penyebaran atau difusi teknologi merupakan pergerakan spontan, tetapi lamban dari unsur-unsur budaya, termasuk teknologi, dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya. Proses tersebut membutuhkan waktu yang lama, berlangsung spontan dan dapat membuat negara berkembang tidak mampu mengatasi masalah pembangunannya apabila tidak didorong dengan usaha yang sengaja untuk memindahkan teknologi. Perubahan dalam bentuk alih teknologi dilakukan dengan cara sengaja, direncanakan, dan mempunyai tujuan untuk memindahkan teknologi dari negara yang satu ke negara yang lainnya atau dari pemanfaatan yang satu ke pemanfaatan yang lain. Pengalihan teknologi direncanakan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan kemampuan penerima untuk mengintegrasikannya dengan proses-proses yang telah ada. Berkaitan dengan alih teknologi di atas, terdapat proses pemilihan teknologi (Dewi 2005).

Pemilihan teknologi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan permodalan, investasi, dan kelayakan. Pendekatan tersebut terbagi menjadi tiga cara yaitu Guesstimation, Order-of-

6

Magnitude, dan Studi Kelayakan (Gumbira-Sa’id2012). Guesstimation merupakan peramalan permodalan yang berbasis pada penilaian pakar atau perkiraan kasar. Perkiraan tersebut dilakukan melalui diskusi dengan pakar dan konsultanyang dapat dipercaya. Biayanya tergolong paling murah dan hanya membutuhkan waktu tiga sampai tujuh hari. Estimasi kebenaran dari metode tersebut kurang dari 50-65%.

Order-of-Magnitudeberbasis pada rasio alat dan mesin, dengan estimasi kebenaran kurang dari 76%. Pada pendekatan tersebut, diperlukan juga pakar dan konsultan. Prosesnya membutuhkan waktu dua hingga tiga minggu. Proses tersebut membutuhkan studi pustaka, perhitungan rekayasa berbasis rasio, browsing harga dan ukuran alat dan mesin yang terbaru. Pendekatan order-of-magnitude lebih akurat untuk peramalan pada agroindustri.

Studi kelayakan berbasis pada analisis komprehensif dengan estimasi kebenaran 90-97%. Studi kelayakan dilakukan melalui pengkajian aspek teknis, teknologis, pasar, hukum dan lingkungan, serta ekonomi dan finansial. Proses studi kelayakan membutuhkan waktu satu hingga tiga bulan (Gumbira- Sa’id 2012).

2.2.

LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT

Limbah cair pabrik kelapa sawit memiliki potensi pencemar lingkungan karena berbau dan memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Bahan organik di atas dapat berupa padatan melayang dan melarut serta emulsi minyak dalam air. Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) tersebut dihasilkan dari beberapa tahapan proses produksi CPO (Crude Palm Oil). Menurut Wuet al. (2010), LCPKSdihasilkan dari beberapa sumber yaitu bagian stasiun rebusan (36%), stasiun klarifikasi(60%), dan hidrosiklon (4%).Menurut Yuliasari et al. (2001), setiap ton TBS akan menghasilkan LCPKS sekitar 0,75-0,9 m3, sedangkan Mahajoeno et al. (2008) menyatakan bahwa setiap ton TBS akan menghasilkan LCPKS sebanyak 0,7 m3. Wiryawan (2012) justru mengemukakan bahwa pabrik kelapa sawit rata-rata menghasilkan 0,6 m3 LCPKS per ton TBS yang diproses. LCPKS memiliki karakteristik koloid, kental, dan berwarna coklat atau keabu-abuan. Parameter beban pencemaran limbah dan pH dari LCPKS, serta baku mutunya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik limbah cair pabrik kelapa sawit dan baku mutunya

No. Parameter Rata-rata1 Rata-rata2 Baku Mutu3

1 Nilai pH 4,4-4,5 4,0-4,5 6,0-9,0

2 Biological Oxygen Demand/BOD (mg/L) 23.500-29.300 30.000 250 3 Chemical Oxygen Demand/COD(mg/L) 49.000-63.600 50.000-70.000 500 4 Total Suspended Solid/TSS(mg/L) 26.500-45.400 - 300

5 Nitrogen Total (mg/L) - - 45

6 Amonia (mg/L) - - 20

Sumber: 1Mahajoeno et al. (2008)

2

KIS Group (2012)

3

Bapedal (1999)

Penanganan limbah cair secara umum terbagi menjadi enam bagian, yakni penanganan pendahuluan (pretreatment), penanganan primer (primary treatment), penanganan sekunder (secondary treatment), penanganan tersier (tertiary treatment), pembunuhan kuman (disinfection) dan penanganan lanjutan (ultimate disposal). Penanganan pendahuluan dan penanganan primer dilakukan melalui proses pemisahan bahan-bahan mengapung dan mengendap (screening fisik) serta proses kimia. Selain itu, pada aplikasi pabrik kelapa sawit, digunakan fat pit. Fat pitmerupakan sarana untuk

7 mengambil kembali minyak yang masih terkandung pada LCPKS. Limbah akan dipanaskan menggunakan uap dengan suhu 85-95o

Pada penanganan secara biologi, umumnya PKS di Indonesia menggunakan sistem kolam, yaitu dekomposisi pada kolam anaerobik yang dilanjutkan dengan kolam aerobik atau kolam fakultatif.Sistem konvensional tersebut membutuhkan lahan yang sangat luas, melepaskan gas metana yang dihasilkan ke atmosfer, dan menghasilkan banyak lumpur. Sistem tersebut masih umum digunakan karena dipertimbangkan sebagai sistem yang paling efektif dalam hal biaya (Wiryawan 2012). Kondisi di atas disebabkan oleh paradigma pengusaha kelapa sawit bahwa pengolahan limbah cair harus menggunakan biaya seminimal mungkin untuk memenuhi tujuan utama pencapaian baku mutu limbah sebelum disalurkan ke lingkungan, bukan pemikiran bahwa limbah merupakan sumber pendapatan.

C. Minyak akan terlepas dan dapat diambil kembali sebanyak 0,8-1,2%. BOD dari pengolahan tersebut sebesar 30.000-40.000 ppm dengan pH 4-5(Rahardjo 2009). Setelah diolah menggunakan fat pit, limbah cair akan memasuki cooling tower ataupun cooling pond

untuk menurunkan suhu dan siap memasuki penangan sekunder. Penanganan sekunder dilakukan secara biologi menggunakan mikroorganisme pengurai untuk menurunkan kadar polutan organik. Penanganan tersier merupakan kelanjutan penanganan sekunder apabila masih terdapat bahan pencemar yang berbahaya. Contoh penanganannya adalah penggunaan saringan pasir (sand filter) dan saringan hampa (vacuum filter) serta proses penyerapan. Penanganan lanjutan setelah desinfeksi adalah penanganan lumpur yang dihasilkan dari proses sebelumnya.

Pada penanganan limbah secara anaerobik, pengurangan beban limbah dapat mencapai95% BOD dalam jangka waktu 55 hari hingga 110 hari dengan kebutuhan lahan yang sangat luas (Ahmad

et al. 2012).Mikroorganisme yang berperan sebagai pengurai terbagi menjadi empat golongan. Pertama, bakteri hidrolitik yang berperan katabolis terhadap sakarida, protein, dan lipid. Kedua, bakteri asetogenyang menghasilkan gas hidrogen dengan merombak asam-asam lemak tertentu. Ketiga, bakteri homoasetogen yang menghidrolisis senyawa multikarbon menjadi asam asetat. Kelompok keempat adalah bakteri metanogen yang mengkatabolisis asetat dan senyawa karbon tunggal menjadi gas metana. Oleh karena itu, selain mengurangi beban pencemar dalam LCPKS, proses pengolahan limbah di atas akan menghasilkan biogas yang mengandung metana, karbon dioksida, dan hidrogen sulfida.

2.3.

PRODUKSI GAS METANA MELALUI DEKOMPOSISI ANAEROBIK

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gas metana dihasilkan pada proses dekomposisi LCPKS secara anaerobik. Proses dekomposisi tersebut terdiri atas tahapan hidrolisis, asidogenesis (pembentukan asam), asetogenesis (pembentukan asam asetat) dan metanogenesis (pembentukan metana), seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.

8 Gambar 1. Tahapan proses dekomposisi anaerobik (Hambali et al. 2008)

Tahapan hidrolisis merupakan tahapan paling awal dalam bentuk pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana penyusunnya. Senyawa kompleks dapat berupa karbohidrat, lemak, ataupun protein. Hidrolisis dilakukan dengan adanya eksoenzim dari bakteri anaerobik yang membutuhkan senyawa sederhana untuk memperoleh energi. Bakteri yang berperan adalah

Clostridium. Bakteri tersebut mampu menghasilkan lipase dan protease untuk memecah lipid dan protein (Deublein dan Steinhauser2008).

Tahapan selanjutnya sebelum asetogenesis adalah tahapan asidogenesis. Tahapan tersebut merupakan perombakan bahan hasil hidrolisis menjadi bahan organik lain, meliputi asam-asam organik (asam format, asetat, propionat, butirat, laktat, suksinat), etanol, karbon dioksida, dan gas hidrogen. Bakteri yang berperan adalah Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan

Alcaligenes(Deublein dan Steinhauser2008).

Tahapan asetogenesis merupakan tahapan pembentukan senyawa asetat, karbon dioksida, dan hidrogen. Asam propionat dan butirat dikonversi menjadi asetat karena bakteri metanogen tidak dapat menggunakan bahan organik dengan atom karbon lebih dari dua. Proses konversi tersebut dilakukan oleh bakteri asetogen. Karbon dioksida dan hidrogen yang ada dikonversi juga menjadi asam asetat oleh bakteri homoasetogen. Bakteri yang berperan dalam tahapan asetogenesis adalah Acetobacterium woodee dan Clostridium aceticum(Deublein dan Steinhauser 2008).

Tahapan metanogenesis merupakan proses yang terpenting dalam pembentukan gas metana pada dekomposisi anaerobik. Karbon dioksida dikonversi menjadi metana dan air, sedangkan asam asetat dikonversi menjadi metana dan karbon dioksida. Proses konversi terjadi karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO2

CH

(Deublein dan Steinhauser 2008) sebagai berikut:

3COOH  CH4 + CO2

4 CO

(dekarboksilasi asetat)

9 Bakteri pada tahapan metanogenesis merupakan bakteri mesofilik yang hidup pada kisaran suhu 20- 40o

Proses dekomposisi anaerobik tersebut dapat dilakukan di dalam empat jenis bioreaktor, yakni bioreaktor teraduk sempurna (Complete Stirred Tank Reactor/CSTR), Sludge Blanket Reactor (SBR), bioreaktor film tetap (Fixed Film Reactor), dan bioreaktor terfluidisasi (Fluidized Bed Reactor). Keempat bioreaktor di atas dapat dicampur menggunakan cairan. Selain dengan cairan, CSTR juga dapat menggunakan metode pencampuran mekanis (Gumbira-Sa’id 1994).

C dan beberapa merupakan bakteri termofilik. Bakteri tersebut antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanosarcina.

Dalam proses dekomposisi anaerobik, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh antara lain suhu, nilai pH, kadar C/N, ada tidaknya bahan toksik, dan pengadukan. Pertama, suhu sebagai faktor yang sangat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan berkaitan erat dengan waktu retensi. Suhu dekomposisi anaerobik terbagi menjadi tiga jenis yaitu suhu termofil (45-60oC) untuk dekomposisi yang cepat dan produksi tinggi, suhu mesofil (27-40oC) berupa suhu ruang, dan suhu kryofil (5-25o

Kedua, dekomposisi anaerobik dipengaruhi oleh nilai pH limbah. Nilai pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri dan laju reaksi. Umumnya pembentukan biogas membutuhkan pH 6,5-8,5. Jika pH terlalu rendah, kondisi menunjukkan tingginya konsentrasi asam asetat pada limbah sehingga dekomposisi menjadi metana tidak berlangsung dengan baik. Sebaliknya, nilai pH yang terlalu tinggi menghasilkan amonia dengan konsentrasi berlebih sehingga toksisitas substrat meningkat (Bitton 1999).

C) yang umumnya dipengaruhi udara iklim sedang dengan laju dekomposisi berjalan lambat(Metcalf dan Eddy 2003). Suhu termofil lebih baik dibandingkan dengan suhu mesofil, asalkan suhunya tidak terlalu tinggi. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan produksi amonia lebih tinggi sehingga bersifat toksik bagi bakteri metanogen. Suhu termofil yang optimum akan memperkecil waktu retensi karena laju pertumbuhan bakteri termofil lebih cepat dibandingkan dengan laju bakteri mesofil. Selain itu, kondisi termofil akan menyebabkan keberadaan mikroorganisme patogen pada limbah lebih sedikit, degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik, dan residu pembentukan biomassa (sludge) lebih rendah dibandingkan dengan kondisi mesofil. Akan tetapi, derajat kestabilan kondisi termofil lebih rendah dan membutuhkan energi yang lebih besar (Wellinger 1999).

Ketiga, rasio karbon-nitrogen (C/N) sebagai substrat yang dibutuhkan oleh bakteri pendekomposisi. Rasio yang baik untuk pertumbuhan bakteri anaerobik adalah 20:1.Nilai C/N yang yang terlalu tinggi akan menyebabkan nitrogen dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metanogen sampai batas persyaratan protein, kemudian bereaksi pada kandungan karbon pada bahan sehingga produksi metana rendah. Sebaliknya, nilai C/N yang terlalu rendah menyebabkan nitrogen bebas dan membentuk amonia sehingga pH meningkat. Jika kondisi tersebut dibiarkan hingga nilai pH yang terlalu tinggi, akan timbul sifat toksik bagi bakteri metanogen (Wahyuni 2009).

Keempat, ada tidaknya bahan toksik berpengaruh terhadap proses dekomposisi anaerobik. Bahan yang bersifat toksik bagi bakteri anaerobik adalah logam berat dan pelarut organik. Selain itu, ion substrat dengan konsentrasi yang tidak sesuai juga bersifat toksik. Sebagai contoh, ion natrium (Na+) dan kalsium (Ca2+) yang lebih dari 8 g/L, ion kalium (K+) yang lebih dari 12 g/L, serta ion amonium (NH4+

Kelima, faktor yang berpengaruh berupa ada tidaknya pengadukan. Pengadukan berfungsi untuk menghomogenkan substrat, mempertinggi kontak antara bakteri dengan substrat, dan mencegah pengendapan padatan di dasar reaktor. Pengadukan yang baik untuk proses dekompisisi anaerobik adalah sekitar 15-50 rpm. Tanpa pengadukan, lumpur yang dihasilkan akan terendapkan di bagian bawah reaktor. Dampaknya, volume efektif reaktor menurun sehingga beban hidrolik berlebih. Beban ) yang lebih dari 3 g/L. Keberadaan unsur tembaga (Cu), krom (Cr), nikel (Ni), dan seng (Zn) dengan konsentrasi rendah juga bersifat toksik (Bitton 1999).

10 hidrolik yang berlebih mengindikasikan waktu tinggal di reaktor (HRT) lebih singkat dibandingkan laju pertumbuhan bakteri. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan bakteri mengalami wash- out(Wellinger 1999).

Proses anaerobik umumnya dilakukan pada suhu 50oCdengan laju dekomposisi sebesar 80%. Energi yang dibutuhkan cukup kecil yaitu 0,05-0,10 kWh/m3. Proses dekomposisi anaerobik pada LCPKS dengan COD sebesar 45 kg/m3 akan menghasilkan biogas yang mengandung gas metana sebesar 0,45 m3 biogas/kg COD (Sixt 1994 diacu dalam Gumbira-Sa’id 1994). Penurunan kadar polutan sebanyak 30 g COD/L/hari pada suhu 30oC dan sebanyak 50 g COD/L/hari pada suhu 40oC. Selain itu, hasil samping dari proses anaerobik adalah lumpur (sludge) dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan proses aerobik. Lumpur dapat digunakan sebagai pupuk organik yang kaya unsur hara nitrogen, fosfat, dan kalium.

2.4.

GAS METANA SEBAGAI POTENSI ENERGI TERBARUKAN

Gas metanamerupakan komponen terbesar biogas yang dihasilkan dari proses dekomposisi anaerobik, yaitu sekitar 55-70%. Selain metana, masih terdapat kandungan gas lain pada biogas yaitu 30-45% karbon dioksida, sedikit hidrogen sulfida, amonia, hidrogen, nitrogen, karbon monoksida, hidrokarbon terhalogenasi, dan siloxan.Biogas untuk energi membutuhkan setidaknya 85% metana. Gas pengotor lainnya, terutama karbon dioksida dan hidrogen sulfida, perlu dihilangkan karena dapat menyebabkan nilai energi menurun, korosi, endapan, dan beban pada peralatan (Kapdi et al. 2004).

Kapdi et al. (2004) juga menyatakan bahwa proses penghilangan pengotor dapat dilakukan dengan proses perombakan. Metode umum yang digunakan untuk perombakan hidrogen sulfida (H2S)

adalah aerasi ataupun penambahan FeCL3. Alat yang dapat digunakan untuk proses tersebut adalah

spons besi, karbon aktif, filter bed, dan membran pemisah. Di industri, proses perombakan umumnya menggunakan sistem scrubber.Dengan sistem tersebut, diharapkan kandungan H2S lebih kecil dari

500 ppm. Standar kandungan H2S untuk pembakaran biogas yang menghasilkan listrik adalah kurang

dari 800 ppm(Suprihatin et al. 2012a

Gas metana mengandung energi yang besar. Jika dilakukan penangkapan (methane capture) dan penyimpanan pada suatu gas holder, gas metana dapat digunakan untuk keperluan proses pemanasan ataupun menghasilkan listrik.Energi listrik dapat diperoleh sebesar 2 kWh/m

).

3

biogas, sedangkan energi termal (panas) akan diperoleh sebanyak 3,2 kWh termal/m3 biogas (Sixt 1994 diacu

dalam Gumbira-Sa’id 1994).Nilai kesetaraan pemakaian 1 m3

Mesin generator merupakan paket mesin khusus yang terdiri atas mesin yang bergerak maju mundur, generator, dan sebuah panel kontrol. Mesin tersebut merupakan mesin gas standar untuk konversi biogas menjadi listrik. Umumnya, alat tersebut didesain untuk penggunaan skala kecil hingga menengah dengan daya 150-3.000 kW. Efisiensi listriknya sekitar 30-35% pada efisiensi total 70- 80%. Biaya investasinya terendah, tetapi membutuhkan pemeliharaan yang tinggi.

biogas (gas metana) adalah sebesar 60- 100 watt energi listrik yang dioperasikan selama 6-7 jam (Hambali et al. 2008).Pemanfaatannya dapat dilakukan dengan pembakaran pada mesin internal kendaraan berbahan bakar biogas atau boiler. Sebelum dimanfaatkan dengan cara dibakar, gas metana umumnya disimpan. Penyimpanan dilakukan dengan pemampatan menggunakan kompresor dan disimpan dalam tabung yang aman.Pemanfaatan biogas untuk menghasilkan energi listrik dapat dilakukan menggunakan beberapa jenis alat, meliputi mesin generator (enginegenerator), generator turbin, mikroturbin, dan fuel cell(Khanal 2008).

Turbin gas merupakan mesin untuk aplikasi pembangkit tenaga yang besar dengan daya listrik 1.000-50.000 kW. Bagian mesin ini adalah turbin yang terhubung dengan generator melalui gearbox

11 tetapi, panas yang diperoleh dari bagian pembuangan dapat digunakan sebagai sumber listrik tambahan. Potensi emisinya pun rendah.

Mikroturbin merupakan mesin yang tergolong baru dalam konversi biogas. Di dalamnya terdapat kompresor, pembakar, turbin, alternator, dan generator. Mesin ini juga memiliki unit recovery

panas. Efisiensi listriknya sama dengan turbin gas. Kapasitas dayanya berkisar 30-300 kW, tetapi dapat dipertinggi dengan rangkaian paralel beberapa unit mikroturbin. Bising dan emisi yang ditimbulkan rendah. Akan tetapi, biaya investasinya relatif sangat mahal sehingga penggunaannya saat ini masih jarang.

Fuel cell merupakan alat pengkonversi bahan bakar kaya hidrogen secara langsung menjadi energi listrik melalui reaksi elektrokimia. Efisiensi listriknya cukup tinggi (35-40%) karena tidak terpengaruhi oleh siklus Carnot. Konstruksinya modular, cocok untuk skala kecil. Pada konversi biogas, alat ini dilengkapi dengan karbon aktif untuk penghilangan H2

Peluang gas metana sebagai energi terbarukan cukup besar. Pengembangannya didukung oleh komitmen Protokol Kyoto dengan memanfaatkan perdagangan karbon, terkait emisi gas rumah kaca. Dengan adanya pemanfaatan gas metana, emisi gas rumah kaca dapat ditekan. Menurut Tan et al.

(2012), setiap ton CPO akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 971 kg CO

S. Saat ini teknologi fuel cell

untuk biogas umumnya masih dalam tahap pengembangan dan diperkirakan membutuhkan biaya investasi yang lebih tinggi dibandingkan alat lainnya (Khanal 2008).

2 ekuivalen.

Akan tetapi, dengan menggunakan sistem penangkap gas metana dengan efisiensi 85%, emisi gas rumah kaca yang dapat direduksi akan berkurang menjadi 506 kg CO2 ekuivalen per ton CPO.

Dokumen terkait