• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.3 Prosedur Percobaan

3.3.7 Biomassa Bakteri dan Protozoa

Keterangan:

VFA = Volatile fatty acid (asetat, propionat, butirat) BM = Berat molekul VFA parsial

Konsentrasi VFA standar 1mg/mL = 1000µg/mL

3.3.7 Biomassa Bakteri dan Protozoa (Blummel et al., 1999)

Microtube kosong dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama satu jam. Selanjutnya microtube dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang berat awal (Bo). Lalu sampel cairan rumen sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam microtube. Kemudian sampel disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama sepuluh menit hingga membentuk supernatan dan pelet. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam microtube baru.

Microtube tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit hingga membentuk endapan. Endapan yang terbentuk adalah protozoa.

Selanjutnya supernatan yang terbentuk, dipindahkan ke microtube lain dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan menghasilkan endapan. Endapan yang terbentuk adalah bakteri. Sepuluh microtube yang berisi lima microtube berisi protozoa dan lima microtube berisi bakteri dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam lalu dipindahkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama satu jam. Microtub diletakkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang berat akhir (Bt). Biomassa bakteri dan protozoa dapat dihitung dengan rumus:

28

Pengukuran DBK dilakukan dengan memasukkan kantong nilon beserta sisa pakan hasil inkubasi ke dalam oven 60°C dan oven 105°C. Setelah berat kantong konstan, kantong berisi sisa pakan ditimbang kemudian DBK dapat diukur dengan rumus:

Pengukuran degradasi bahan organik (DBO) dengan memasukkan sebagaian sampel pakan ke dalam tanur 600 °C. Selisih berat sampel sebelum dan sesudah dimasukkan tanur adalah kandungan bahan organik sampel. Nilai DBO dapat dihitung menggunakan rumus:

29

3.3.9 Produksi Gas Total (Owens & Goesfsch 1998)

Pengujian hasil produksi gas dilakukan dengan cara ditampung di dalam gas bag khusus untuk penampung gas hasil fermentasi. Pengukuran total produksi gas dilakukan menggunakan bejana air dengan memanfaatkan hukum Archimedes.

Pengamatan dilakukan dengan cepat untuk meminimalisir adanya perubahan suhu. Perhitungan gas total dapat dihitung dengan rumus :

Gas Total (mL/200mg) = . . .

Keterangan:

Vol.t : Volume gas 24 jam Vol.to : Volume gas awal Vol.blanko : Volume gas pada blanko BK sampel : Berat kering sampel

3.3. 10 Analisis Gas CO2 dan CH4 (Owens & Goesfsch 1998)

Gas dikeluarkan dari syringe dan langsung dimasukkan kedalam plastik untuk menampung gas, secara perlahan piston syringe ditekan agar gas tidak keluar dari dalam wadah. Setelah itu, semua sampel yang sudah dimasukkan dalam wadah dianalisis menggunakan gas analyzer.

3.4 Analisis Data

Data hasil penelitian ini dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan pengujian lanjutan menggunakan perhitungan Duncan untuk membandingkan semua parameter dari tiga perlakuan pengujian in vitro yaitu cairan rumen domba yang diberikan hay (hijauan sorghum yang dikeringkan) (A), silase sorghum (B), dan silase sorghum yang ditambahkan dengan probiotik BIOS K2 (C). Pengujian ini dilakukan dengan pengulangan 2 kali pada setiap sampel.

Pengujian hipotesis berdasarkan pada ketetapan H0 dan H1:

30

H0= Tidak ada perbedaan pada setiap perlakuan

H1 = Terdapat perbedaan dari setiap perlakuan

Jika Sig. < 0.05 maka H0 ditolak dan H1 diterima Jika Sig. > 0.05 maka H0diterima dan H1 ditolak.

31 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Uji Proksimat Pakan

Analisis proksimat merupakan suatu metode untuk mengindentifikasi kandungan nutrisi pada makanan dari bahan pangan atau pakan. Analisis ini memiliki manfaat untuk mengetahui kualitas pakan terutama pada standar zat makanan yang terkandung didalamnya. Pakan yang digunakan dalam uji in vitro ini adalah tanaman sorghum. Tanaman ini diberikan suatu perlakuan yang berbeda-beda yang terdiri dari perlakuan hay, silase, dan silase + BIOS K2. Hay merupakan proses pengawetan dengan cara sampel dikeringkan di bawah sinar matahari. Sedangkan silase merupakan suatu produk fermentasi yang dilakukan secara anaerob dan disimpan dalam waktu tertentu. Selanjutnya, pakan ini dilakukan pengujian pada parameter kandungan bahan kering (%BK), bahan organik (%BO), protein kasar (%PK), lemak kasar (%LK), dan serat kasar (%SK) (Tabel 2).

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tanaman Sorghum Proksimat

Hasil analisis proksimat kandungan bahan kering pada sampel A diperoleh 87,64% lebih tinggi dibandingkan dengan sampel B dan C sebesar 86,15% dan 87,27%. Tingginya kandungan bahan kering pada sampel A (hay sorghum), hal ini adanya perlakuan pengeringan pada hijauan. Proses pengeringan dilakukan

32

dengan cara memanaskan sampel di bawah sinar matahari, akibat adanya proses tersebut menyebabkan kandungan air pada tanaman sorghum lebih rendah sehingga bahan keringya tinggi. Sedangkan pada perlakuan B dan C adanya proses fermentasi pada silase terjadinya menyebabkan kandungan air tinggi sehingga kandungan bahan keringnya lebih rendah.

Bahan organik adalah bahan alam selain kandungan air dan abu, meliputi kandungan karbohidrat, lemak, dan protein yang terdapat pada pakan. Kandungan bahan organik sangat dibutuhkan oleh ternak dalam jumlah yang cukup. Hasil kandungan bahan organik yang diperoleh pada pakan sampel A sebesar 82,16%

lebih tinggi dibandingkan dengan sampel B dan C yaitu sebesar 80,53% dan 81,4%. Adanya proses fermentasi pada sampel B dan C menjadikan kandungan bahan organik lebih rendah. Kandungan bahan organik yang rendah dapat mempercepat proses degradasi pada pakan, sehingga pakan mudah dicerna dan diuraikan oleh ternak.

Kandungan protein kasar pada sampel B diperoleh sebesar 12,25% lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan C yaitu sebesar 8,54% dan 10,49%.

Adanya peningkatan kandungan protein pada pakan menjadikan peningkatan kualitas pakan. Hal ini karena protein memiliki peranan penting di dalam rumen, karena di dalam rumen protein kasar akan mengalami proses hidrolisis menjadi peptida oleh enzim proteolisis yang dihasilkan oleh mikroba proteolitik. Peptida akan mengalami degradasi lebih lanjut menjadi asam-asam amino yang nantinya akan dideaminasi menjadi amonia untuk menyusun mikroba (Widodo et al., 2012).

33

Kandungan lemak kasar digunakan oleh ternak sebagai energi dalam melakukan metabolisme tubuh (Suprapto et al., 2013). Kandungan lemak kasar yang dihasilkan pada sampel C sebesar 1,87% lebih tinggi dibandingkan pada sampel A dan B sebesar 1,6 dan 0,58%. Kandungan lemak kasar dapat dipengaruhi oleh besarnya mikroba dalam melakukan fermentasi. Meningkatnya kandungan lemak kasar menunjukkan adanya penguraian lemak pada saat proses fermentasi dapat menghasilkan asam-asam lemak (Jamila et al., 2010).

Kandungan serat kasar pada sampel C adalah 25,25% lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan B sebesar 19,38 dan 20,45%. Pada ketiga jenis pakan ternyata memiliki kandungan serat kasar yang lebih rendah dibandingkan dengan jerami sorghum sebesar 31,69% (Purwanti, 2008).

Komponen yang terkandung dalam serat kasar antara lain selulosa, hemiselulosa dan lignin (Hendraningsih, 2010). Sampel B dan C yang dijadikan silase dapat membantu ternak dalam mendegradasi serat kasar lebih mudah. Di dalam rumen, selulosa didegradasi oleh enzim selulase, menghasilkan monosakarida, oligosakarida, polisakarida, dan menjadi produk akhir berupa glukosa. Glukosa ini merupakan sumber energi mikroba rumen yang digunakan untuk berkembang biak. Setelah mati mikroba tersebut akan menjadi lisis dan diserap oleh fili usus di dalam ternak dan menjadi sumber karbon untuk ternak tersebut (Sutardi, 1997).

Probiotik BIOS K2 sebenarnya merupakan isolat khamir. Pada saat ditambahkan khamir tersebut di dalam rumen akan mengambil oksigen sehingga kondisi anaerob dapat cepat tercapai dan akan meningkatkan viabilitas bakteri.

Viabilitas bakteri yang meningkat akan berakibat pula peningkatan aktivitas selulolitik, jumlah protein mikroba, penurunan produksi laktat, perubahan

34

konposisi VFA, kestabilan pH rumen yang terjaga, dan menekan bakteri metanogenesis. Akibat dari khamir tersebut adalah terjadinya efisiensi kecernaan pakan yang tinggi dan akan mempu menekan bakteri penghasil metana (Gambar 7). (Sugoro, 2010).

Gambar 8. Peran probiotik khamir di dalam rumen (Sugoro, 2007) 4.2 Kualitas cairan rumen hasil fermentasi dengan metode RUSITEC

Metode RUSITEC (Rumen Simulation Technique) merupakan suatu metode analisis in vitro yang dirancang oleh Czerkawski dan Breckenridge tahun 1977 yang telah dimodifikasi sehingga terjadi proses fermentasi sebagaimana ternak hidup. Pada rumen buatan ini mikroorganisme dapat dipertahankan seutuhnya dalam waktu yang relatif lama sampai dengan beberapa minggu karena dalam sistem tersebut mikroorganisme diberikan pakan seperti ternak ruminansia hidup. Di samping itu mikroorganisme diberikan pula kondisi fisiologis seperti halnya lingkungan rumen seperti temperatur, pH dan aliran saliva.

35

Pada penelitian ini, hasil fermentasi pakan dan cairan rumen dalam alat RUSITEC selanjutnya dihomogenkan dan dipisahkan untuk dilakukan pengukuran volume effluent. Kualitasnya diamati berdasarkan parameter pengujian meliputi pH, amonia, VFA total, VFA parsial, biomassa bakteri, biomassa protozoa, degradasi bahan kering, degradasi bahan organik, produksi gas dan komposisi gas. Adapun hasil dari setiap parameter pengujian dijelaskan pada bagian selanjutnya:

4.2.1 Hasil Pengujian pH

Nilai pH merupakan salah satu parameter pengujian yang paling mudah untuk menyatakan terjadinya proses fermentasi akibat aktivitas mikroba (Pelczar et al., 1992). Nilai pH pada setiap perlakuan mengalami hasil yang berbeda-beda dengan kisaran 6,78-7,06 selama 8 hari inkubasi (Gambar 11). Rata-rata nilai pH yang diperoleh pada sampel C sebesar 7,06 lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan B sebesar 6,88 dan 6,78. Berdasarkan hasil statistik yang tergambar pada uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan jenis pakan yang berbeda mempengaruhi nilai pH dalam cairan rumen (p≤0,05). Perbedaan nyata ini terjadi pada perlakuan sampel C terhadap A dan B (Lampiran 4).

Gambar 9. Nilai pH pada perlakuan hari ke-1 hingga hari ke-8 hay, silase, silase

6.6 6.7 6.8 6.9 7 7.1

Hay Silase Silase +

BIOS K2

pH

36 sorghum + BIOS K2

Nilai pH cairan rumen ternyata diperoleh hasil yang berbeda pada semua perlakuan, namun hasil tersebut masih dalam kondisi netral. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Kajikawa et al., (2003) yang melaporkan kisaran pH effluent hasil inkubasi RUSITEC biasanya sekitar 6,80-7,00. Dalam penelitian tersebut digunakan formula jerami Timothy (67%), tepung jagung giling (20%) dan tepung kedelai (13%). Hasil nilai pH pada sampel B diperoleh lebih rendah, pada tahap ini sampel pakan yang digunakan dalam bentuk silase. Fermentasi silase akan menghasilkan asam organik yang menyebabkan pH menjadi lebih asam dalam cairan rumen dibandingkan dengan hay (Chen & Weinberg, 2008). Hasil yang diperoleh menunjukkan hanya perlakuan yang ditambah silase yang menyebabkan pH yang lebih asam dibandingkan perlakuan hay, sedangkan perlakuan silase yang ditambah probiotik BIOS K2 memiliki pH yang lebih tinggi. Adapun menurut Arora (1995), pH bervariasi menurut jenis pakan yang diberikan, namun pada umumnya dipertahankan tetap sekitar 6,8 karena adanya absorpsi asam lemak dan amonia. Selain itu nilai pH yang cenderung netral pada ketiga perlakuan diharapkan dapat mendukung kondisi fermentasi pakan oleh mikroba rumen.

4.2.2 Hasil pengujian amonia

Kandungan amonia pada setiap perlakuan mengalami hasil yang berbeda-beda dengan kisaran 2,45-2,80 mM selama 8 hari inkubasi (Gambar 12).

Kandungan amonia pada sampel C diperoleh sebesar 2,80 mM lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan B sebesar 2,45 mM dan 2,57 mM.

Berdasarkan hasil statistik yang tergambar pada uji ANOVA menunjukkan bahwa

37

perlakuan tidak mempengaruhi kadar amonia dalam cairan rumen (p>0,05) (Lampiran 4). Kandungan amonia yang diperoleh dari ketiga sampel masih di bawah kondisi optimum untuk pertumbuhan mikrroba rumen. Mc Donald et al., (2002) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi berkisar 2-21 mM.

Gambar 10. Kandungan amonia pada hari ke-1 hingga hari ke-8 hay sorghum,silase sorghum dan silase sorghum + BIOS K2

Hasil pengujian amonia pada sampel C lebih tinggi dibanding dengan sampel A dan B. Tingginya amonia pada sampel C karena terjadi proses degradasi protein yang tinggi. Menurut Sugoro (2010) adanya penambahan probiotik BIOS K2 mampu meningkatkan aktifitas mikroba cairan rumen dalam menguraikan protein pakan menjadi amonia. Selain itu, didukung pula oleh tingginya kandungan protein kasar pada perlakuan silase dibandingkan dengan hay (Tabel 2). Amonia diproduksi dari hasil penguraian protein di dalam rumen, yang digunakan sebagai sumber nitrogen utama untuk perkembangbiakan mikroba rumen. Hal ini karena probiotik dapat meningkatkan populasi dan aktifitas mikroba khususnya bakteri proteolisis di rumen sehingga perombakan protein pakan semakin meningkat akibatnya produk amonia dari hasil degradasi protein semakin meningkat (Riswandi et al., 2015).

2.2

38

Di dalam rumen, protein pakan akan mengalami proses degradasi menjadi peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino. Amonia berasal dari protein pakan yang didegradasi oleh enzim proteolitk. Di dalam rumen protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen untuk pembentukan protein mikroba yang selanjutnya akan diabsorpsi oleh usus dan diedarkan keseluruh tubuh (Arora, 1995). Pengukuran amonia dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan amonia pada ternak ruminansia disajikan pada Gambar 12.

Gambar 11. Proses Metabolisme Protein Dalam Rumen Ternak Ruminansia (Mc Donald et al., 2002)

4.2.3 Hasil Volatil Fatty Acid (VFA) Cairan Rumen 4.2.3.1 Hasil VFA total

VFA adalah sumber energi yang digunakan ternak ruminansia dan merupakan hasil dari proses fermentasi pakan di dalam rumen. Energi yang dihasilkan akan dimanfaatkan oleh ternak dan menunjang kehidupan dalam mikroba rumen. Kandungan VFA total pada setiap perlakuan yang diukur setelah

39

fermentasi secara in vitro menunjukkan hasil yang berbeda-beda dengan kisaran 79,4-104 mM selama 8 hari inkubasi (Gambar 13). Nilai VFA total pada sampel B diperoleh sebesar 104 mM lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan C sebesar 79,4 dan 81 mM. Berdasarkan hasil statistik yang tergambar pada uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi nilai VFA dalam cairan rumen (p>0,05) (Lampiran 4).

Gambar 12. Kandungan VFA total pada hari ke-1 hingga hari ke-8 hay sorghum, silase sorghum dan silase sorghum + BIOS K2

Hasil pengujian VFA pada sampel B lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan C. Hal ini akibat adanya proses fermentasi pada pakan silase.

Kandungan VFA yang tinggi seiring dengan kandungan pH yang lebih rendah pada sampel B berkisar 6,78. Adanya proses fermentasi yang berjalan secara terus menerus akan menghasilkan VFA dalam jumlah yang besar dan nilai pH yang akan menurun, sedangkan VFA hasil fermentasi berada dalam jumlah yang sedikit maka pH akan naik (Nuswantara 2002). Menurut Sugoro (2010) penambahan probiotik khamir dapat mengingkatkan nilai VFA, sehingga kandungan VFA pada sampel C lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A. Namun, perbedaan kandungan VFA total yang diperoleh dari ketiga sampel masih dalam batas normal yaitu berkisar antara 26 - 242 mM, nilai yang dihasilkan bergantung pada susunan pakan yang diberikan (Blummel et al., 1999). Church (1979)

40

menambahkan bahwa banyaknya Volatil Fatty Acid (VFA) yang ada dalam rumen dicirikan oleh aktivitas mikroba, jumlah Volatil Fatty Acid (VFA) yang diserap atau yang keluar dari rumen. Makanan yang mudah difermentasi akan meningkatkan aktivitas mikroba, sehingga konsentrasi Volatil Fatty Acid (VFA) juga meningkat. Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan Volatil Fatty Acid (VFA) pada ternak ruminansia disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Proses Metabolisme Karbohidrat dan Pembentukan VFA pada Ruminansia (Mc donald et al., 2002)

4.2.3.2 Hasil VFA parsial

Hasil kandungan VFA parsial disajikan dalam bentuk presentase kandungan masing-masing asam lemak rantai pendek dalam total VFA (Gambar 14). Asam lemak pendek terdiri dari asam asetat, asam butirat, asam propionat.

Kandungan asam asetat tertinggi dihasilkan oleh sampel B (silase sorghum) diikuti sampel A dan C dengan nilai masing-masing 40,96, 27,77 dan 25,71 mM.

Kandungan asam propionat tertinggi dihasilkan oleh sampel B sebesar 19,51 mM

41

sedangkan pada sampel A diperoleh sebesar 16,88 mM dan sampel C sebesar 9,84 mM. Pada sampel B juga menghasilkan kandungan asam butirat sedikit lebih tinggi sebesar 3,21 mM dibandingkan sampel A dan C sebesar 3,26 dan 1,94 mM.

Menurut Mc Donald et al., (2002) proporsi molar dari VFA terdiri dari 65%

asetat, 21% propionat, dan 14% butirat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis pakan yang dikonsumsi.

Gambar 14. Kandungan VFA parsial pada hari ke-1 hingga hari ke-8 hay

Volatile fatty acids yakni asam asetat, propionat, butirat, kemudian CO2, CH4 dan kadang-kadang laktat dan suksinat serta H2 merupakan produk akhir dari degradasi karbohidrat (Prawirokusumo, 1994). Asam asetat dan butirat merupakan sumber energi untuk oksidasi yang bersifat ketogenik, sedangkan asam propionat digunakan untuk proses glukoneogenesis atau bersifat glukogenik (Chuzaemi, 1994). Kandungan asam asetat, butirat, dan propionat yang tertinggi pada sampel B berhubungan dengan produksi gas metana yang dihasilkan selama masa fermentasi pakan di dalam rumen, namun tidak berhubungan dengan produksi asam propionat. Hal ini disebabkan karena gas metana yang dihasilkan sangat tergantung kepada ketersediaan H2 dan CO2 yang dilepaskan saat terjadi produksi asam asetat dan butirat selama proses fermentasi pakan dalam rumen. Berbeda

42

halnya dengan produksi asam propionat yang tidak disertai dengan produksi H2 dan CO2 (Church, 2002). Berdasarkan hasil penelitian kandungan asam asetat pada sampel B (silase sorghum) yang tinggi menandakan produksi gas metana yang dihasilkan semakin tinggi.

4.2.4 Hasil Biomassa Bakteri dan Protozoa

Biomassa mikroba dapat dijadikan sebagai indikator dari banyaknya jumlah mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen yang berperan dalam mendegradasi pakan. Mikroba di dalam rumen terdiri dari bakteri dan protozoa serta sebagaian kecil fungi. Adanya bakteri maupun protozoa di dalam rumen memiliki fungsi dalam melakukan fermentasi serat (Mc Donald et al., 2002).

Hasil biomassa bakteri dan protozoa pada setiap perlakuan mengalami hasil yang berbeda-beda dengan kisaran 3,4-24,4 mg/10mL untuk bakteri dan 3,3 -28,3 mg/10mL untuk protozoa selama 8 hari inkubasi (Gambar 15). Hasil rerata biomassa bakteri pada sampel B diperoleh sebesar 12,85 mg/10mL lebih tinggi dibandingkan dengan sampel A dan C sebesar 9,41 dan 8,27 mg/10mL. Selain itu hasil biomassa protozoa diperoleh hasil tertinggi masih pada sampel B sebesar 11,05 mg/10mL dan pada sampel A sedikit lebih tinggi dari sampel C sebesar 9,66 dan 9,59 mg/10mL. Berdasarkan hasil statistik yang tergambar pada uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi kandungan bakteri dan protozoa dalam cairan rumen (p ≥0,05) (Lampiran 4).

43

Gambar 15. Kandungan biomassa bakteri (A) dan kandungan biomassa protozoa (B) pada hari ke-1 hingga hari ke-8 hay sorghum, silase sorghum dan silase sorghum + BIOS K2

Hasil biomassa bakteri dan protozoa lebih tinggi pada sampel B, dibandingkan dengan sampel A dan C. Adanya penambahan probiotik yang berasal dari isolat khamir pada sampel C dapat menekan pertumbuhan bakteri dan protozoa, sehingga kandungan bakteri dan protozoa pada sampel C paling rendah.

Pertumbuhan bakteri dan protozoa pada cairan rumen domba dapat meningkatkan optimalisasi sistem pencernaan yang ada dalam rumen. Protozoa secara alami berkembang di dalam rumen, adanya protozoa dapat membantu pencernaan zat-zat makanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar.

Populasi protozoa cairan rumen Menurut Church (1979), berkisar 40-50%

dari biomasa rumen dan tergantung dari pakan induk semang. Protozoa sangat sensitif terhadap asam, dan jumlahnya akan berkurang jika berada pada pH rendah. Faktor-faktor lain yang membatasi keberadaan protozoa dalam rumen menurut Vieira et al., (1984) adalah konsentrasi amonia, kecepatan pertumbuhan bakteri, dan kandungan bahan kering dalam rumen. Protozoa berperan dalam

A B

44

mencerna hijauan berkualitas rendah dan kontribusinya mencapai 12- 20% (Akin

& Soeharsono et al., 2010). Protozoa mempunyai peranan penting pada aspek tertentu dari metabolisme dalam rumen yang berhubungan dengan kesehatan dan kondisi ternak, karena protozoa dapat menurunkan nitrat dan nitrit dalam rumen (Yoshida et al., 1982), dan dalam mendegradasi beberapa mikotoksin (Kiessling et al., 1984). Selain itu, kemampuan protozoa untuk memangsa bakteri juga akan menjaga kestabilan proses fermentasi dalam rumen (Church, 1979).

Bakteri dalam rumen dapat berasal dari bahan pakan maupun adanya kontak langsung dengan bahan lain yang mengandung bakteri. Bakteri merupakan mikroorganisme rumen yang dominan. Dilihat dari fungsinya, bakteri dalam rumen dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) kelompok utama, yaitu (1) kelompok pencerna selulosa, (2) kelompok pencerna hemiselulosa, (3) kelompok pencerna pati, (4) kelompok pencerna gula, (5) kelompok pemakai laktat, (6) kelompok pembentuk metan, dan (7) kelompok bakteri proteolitik. Bakteri rumen telah beradaptasi untuk hidup pada kondisi fisik rumen relatif tetap yakni pH 5,5–7,0 dan dalam keadaan anaerob (ada oksigen, tetapi sangat sedikit), suhu 39–40̊C, dan konsentrasi produk fermentasi kontinyu, walau tidak begitu tinggi.

4.2.5 Hasil Degradasi Bahan Kering (%DBK) dan Degradasi Bahan Organik (%DBO)

Kandungan degradasi bahan kering (DBK) merupakan salah satu komponen yang mempresentasikan tinggi rendahnya kandungan nutrien dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Fermentasi yang dilakukan oleh mikroba rumen akan mendegradasi komponen yang terkandung di dalam pakan. Adapun hasil dari degradasi bahan organik yang terdapat pada pakan

45

meliputi kandungan VFA, amonia dan produksi gas yang dihasilkan. Nilai degradasi bahan kering (%DBK) dan bahan organik (%DBO) pada setiap sampel memperoleh hasil yang berbeda selama 8 hari inkubasi dengan kisaran 12,43-56,59% untuk DBK dan 10,15-60,59% untuk DBO. Nilai %DBK dan %DBO pada penelitian kali ini, sampel C memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan sampel lain yakni sebesar 40,59 dan 44,72%, sampel B memiliki nilai % DBK dan

%DBO sebesar 28,08 dan 32,29% dan pada sampel A diperoleh nilai sebesar 27,84 dan 24,99%. Berdasarkan hasil statistik yang tergambar pada uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan jenis pakan yang berbeda mempengaruhi nilai

%DBK dan %DBO dalam cairan rumen(p≤0,05). Perbedaan nyata ini terjadi pada perlakuan sampel C terhadap A dan B (Lampiran 4).

Gambar 16. Hasil %DBK (A) dan %DBO (B) pada hari ke-1 hingga hari ke-8 hay sorghum, silase sorghum dan silase sorghum + BIOS K2

Perbedaan nilai %DBK dan %DBO pada setiap sampel dapat dipengaruhi oleh pemanfaatan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) oleh mikroba untuk berkembang biak selama proses fermentasi. Sampel C memiliki nilai degradasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel B dan A hal ini karena mikroba mendapatkan kebutuhannya selama proses fermentasi, sehingga mikroba dapat

A B

46

mencerna pakan secara optimal. Selain itu tingginya degradasi yang dihasilkan pada sampel C karena adanya penambahan probiotik yang pada pakan sehingga dapat meningkatkan populasi bakteri selulotik dan asetogenik dalam mendegradasi BK dan BO (Sugoro 2010). Salah satu bahan organik hasil degradasi yaitu lemak. Berikut ini tahap hidrolisis lipid menjadi asam lemak:

O

Gambar 17. Degradasi lipid menjadi asam lemak

Menurut Chatterjee et al., (2006) bahwa tingkat degradasi pakan yang tinggi menggambarkan ketersediaan energi dan protein untuk fermentasi dan pertumbuhan populasi mikroba. Adapun menurut Kajikawa et al., (2003)

Menurut Chatterjee et al., (2006) bahwa tingkat degradasi pakan yang tinggi menggambarkan ketersediaan energi dan protein untuk fermentasi dan pertumbuhan populasi mikroba. Adapun menurut Kajikawa et al., (2003)

Dokumen terkait