• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Tujuan Penelitian

Mengetahui kualitas produk fermentasi cairan rumen domba yang diberi pakan silase sorghum yang disuplementasi probiotik BIOS K2 terhadap produksi gas dan produk fermentasi dengan metode RUSITEC.

5 1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas produk fermentasi cairan rumen domba yang disuplementasi probiotik BIOS K2 dalam pembuatan silase berbahan baku hijauan sorghum untuk peningkatan produktivitas domba dan sebagai alternatif penyediaan pakan pada musim kemarau.

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Pakan

Bahan pakan adalah bahan yang dimakan, dicerna dan digunakan oleh ternak (Tilman et al., 1983). Selain itu Sanjaya (2014) menambahkan bahwa bahan pakan ternak merupakan segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak baik yang berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagaian atau semuanya dapat dicerna tanpa menggangu kesehatan ternak. Pakan memiliki peranan yang sangat penting bagi ternak, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, pertumbuhan, reproduksi, produksi hingga kepentingan kesehatan ternak. Pakan yang baik atau berkualitas adalah dapat memberikan seluruh kebutuhan nutrisi secara tepat. Jumlah kebutuhan nutrisi ternak tergantung pada jenis ternak, umur, fase pertumbuhan, reproduksi bobot badan, serta kondisi lingkungan. Sehingga setiap ternak berbeda-beda kebutuhan pakannya.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih sumber bahan pakan adalah kebutuhan mendapatkan atau ketersediaan bahan pakan, disukai oleh ternak, mutu atau kualitas gizi yang baik, tidak berbahaya bagi ternak, dalam penggunaannya tidak bersaing dengan manusia dan harganya relatif murah.

Kualitas bahan pakan dikaitkan dengan peran bahan pakan itu sebagai bagian dari formulasi ransum (Rasyaf, 1994).

7 2.1.1 Sorghum

Sorghum adalah salah satu jenis gandum yang merupakan pokok di beberapa daerah tandus dan tropis. Sorghum dapat beradaptasi dan mempunyai produk yang baik di daerah tersebut. Sorghum memiliki tinggi yang bervariasi antara 0-6 m. Akarnya dalam, kuat dan meluas. Daunnya memiliki panjang antara 0.3-1.4 m, lebar 1-13 cm dengan pinggiran daun rata atau bergelombang.

Sorghum tumbuh baik pada suhu 25-30oC dengan kelembaban relatif 20-40%

(Hartadi et al., 1990).

Gambar 1. Tanaman Sorghum (Zubair, 2009)

Kandungan nutrisi hijauan sorgum sebagai pakan ternak tergantung dari berbagai aspek yaitu umur panen, bagian tanaman dan metode pemupukan. Dalam Purwantari (2008) disebutkan bahwa kandungan nutrisi hijauan sorgum ada pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi jerami sorgum

Nutrien (% BK)

8 2.1.2 Silase

Silase adalah pakan yang telah diawetkan dari bahan pakan berupa tanaman hijauan, limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami lainya, dengan jumlah kandungan air pada tingkat tertentu. Pakan tersebut dimasukan dalam sebuah tempat yang tertutup rapat kedap udara yang dinamakan silo, selama sekitar tiga minggu. Di dalam tempat tersebut akan terjadi beberapa tahap proses anaerob, dimana bakteri asam laktat akan mengkonsumsi zat gula yang terdapat pada bahan baku, sehingga terjadilah proses fermentasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2013).

Silase yang terbentuk karena proses fermentasi ini dapat di simpan untuk jangka waktu yang lama tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisi dari bahan bakunya. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian diberikan sebagai pakan bagi ternak khususnya untuk mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Silase dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu susunan hijauan dalam silo, jumlah udara yang masuk dalam silo dan kandungan bakteri yang berperan dalam silase (Direktorat Jenderal Peternakan, 2013).

Pembuatan silase menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat (2013), dibagi menjadi lima tahap yaitu: 1). Hijauan akan menghasilkan panas dan CO2 sampai proses respirasi terhenti. Respirasi aerob hijauan mengurangi udara dalam silo dan menyebabkan kondisi anaerob yang penting bagi pertumbuhan bakteri penghasil asam organik. Proses ini berlangsung selama 3-5 hari pertama;

9

2). Fase asam asetat dihasilkan oleh bakteri; 3). Konsentrasi asam meningkat dengan bertambahnya bakteri pembentuk asam laktat; 4). Terjadi penurunan bakteri pembentuk asam asetat karena bakteri asam tersebut tidak dapat hidup pada kondisi keasaman yang tinggi. Hari ke-15 sampai 20 asam laktat merupakan asam terbesar yang dihasilkan dan pada saat tercapai keasaman yang diinginkan, kerja mikroba akan terhenti; 5). Apabila asam laktat dan asam asetat tersedia cukup, tidak akan terjadi perubahan lebih lanjut, tetapi jika asam laktat dan asam asetatnya terlalu rendah, asam butirat akan dihasilkan dan kemudian bereaksi dengan bahan yang diawetkan sehingga terjadi pembusukan. Selama itu, asam amino dan protein berubah menjadi amonia dan amina yang dapat menurunkan kualitas dari silase. Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2013) pembuatan silase selesai dalam waktu 3-4 minggu, namun tegantung dari jumlah bakteri dan laju fermentasi (Mc Donald et al., 2002).

Proses fermentasi yang tidak terkontrol akan mengakibatkan kandungan nutrisi pada bahan yang diawetkan menjadi berkurang jumlahnya. Diperlukan jenis zat tambahan agar kandungan nutrisi dalam silase tidak berkurang secara drastis, bahkan bisa memenuhi kebutuhan nutrisi ternak yang memakannya.

Syarat hijauan (tanaman) yang dibuat silase adalah segala jenis tumbuhan atau hijauan serta bijian yang di sukai oleh ternak, terutama yang mengandung banyak karbohidrat nya seperti : rumput, sorghum, jagung, biji-bijian kecil, tanaman tebu, tongkol gandum, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nanas dan jerami padi.

2.2 Ruminansia

Ternak ruminansia merupakan salah satu ternak yang memiliki sistem pencernaan yang kompleks dibandingkan ternak lain. Sistem pencernaan pada

10

rumnansia melibatkan interaksi dinamis antara bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke dalam mulut akan mengalami proses pengunyahan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk ke dalam darah (Sutardi, 1997). Proses fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA, NH3 serta gas-gas (CO2, H2, dan CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995).

2.2.1 Domba

Domba merupakan salah satu hewan ruminansia yang dagingnya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Populasi domba di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 16.509,33 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2015).

Domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba ekor tipis. Domba yang ekor tipis dikenal sebagai domba asli Indonesia dan sering disebut Domba Gembel, dalam Bahasa Inggis disebut Javanesse Thin-Tailed sheep. Pada awalnya domba ini berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, namun saat ini sudah berkembang di seluruh Pulau Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Ciri-ciri domba ekor tipis :

a. Termasuk golongan domba berperawakan kecil, dengan berat badan domba jantan 30-40 kg dan domba betina 15-20 kg.

11

b. Bulu wolnya gembel berwarna putih dominan dengan warna hitam di sekeliling mata, hidung dan beberapa bagian tubuh lain.

c. Ekornya tidak menunjukkan adanya desposisi lemak.

d. Telinga umumnya medium sampai kecil dan sebagaian berposisi menggantung.

e. Domba jantan memiliki tanduk melingkar, sedangkan yang betina umumnya tidak bertanduk.

Keunggulan domba ekor tipis ini adalah bersifat prolific (dapat melahirkan anak kembar 2-5 ekor setiap kelahiran), mudah berkembang biak dan tidak dipengaruhi musim kawin, serta mampu beradaptasi pada daerah tropis dan makanan yang buruk (Dikdik, 2014).

Gambar 2. Domba Ekor Tipis (Dok. Pribadi 2016)

2.2.2 Mikroba Cairan Rumen

Mikroba sangat berperan dalam mendegradasi pakan yang masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba dimana aktivitas mikroba tersebut sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energi. Kelompok utama mikroba yang berperan dalam pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, protozoa, dan jamur yang jumlah dan komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak (Preston & Leng, 1987).

12

Mikroba rumen itu sangat penting hal ini karena biomassa mikroba yang meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant et al., 1995 menyebutkan bahwa 2/3-¾ bagian dari protein yang diabsorpsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba. Produk akhir fermentasi protein akan digunakan untuk pertumbuhan mikroba itu sendiri dan digunakan untuk mensintesis protein sel mikroba rumen sebagai pasokan utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Arora (1995) sekitar 47%-71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada dalam bentuk protein mikroba.

2.2.3 Fermentasi dalam Cairan Rumen

Hasil fermentasi dalam cairan rumen salah satunya Volatil Fatty Acid (VFA). VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan menjadi sumber energi utama ruminansia asal rumen (Parakkasi, 1999). Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Hasil fermentasi dari VFA menghasilkan asam asetat, butirat, dan propionat. Strukturnya yaitu sebagai berikut:

C

Gambar 3. Struktur Asam Asetat Gambar 4. Struktur Asam Butirat

C H3

O

OH

Gambar 5. Struktur Asam Propionat

Pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasikan untuk menghasilkan produk berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metana dan CO2. Polisakarida di

13

dalam rumen dihidrolisis menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Hasil pencernaan tahap pertama masuk kejalur glikolisis Embden-Mayerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan di ubah menjadi VFA (Arora, 1995).

Kisaran produk VFA cairan rumen normal adalah 26 - 242 mM (Blummel et al, 1990). Mc Donald et al., 2002 menjelaskan konsentrasi VFA dipengaruh oleh jenis pakan, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan.

Selain produksi VFA di dalam rumen, hasil fermentasi yang lainnya adalah amonia (NH3). Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum di capai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung pada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Jika pakan tinggi kandungan protein yang lolos degradasi maka konsentrasi amonia rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/L) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat. Sebaliknya jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran optimum amonia dalam rumen berkisar antara 2-21 mM (Mc Donald et al., 2002).

Kandungan amonia, VFA serta pembentukan protein mikroba merupakan tolak ukur nilai gizi dan manfaat bahan serta aktivitas di dalam rumen. Mc Donald et al,. (2002) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang tinggi dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen.

14

Peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi yang dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan amonia, sehingga pada saat amonia terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut bersama dengan protein pakan yang lolos degradasi mengalami kecernaan di dalam usus oleh enzim-enzim protease dengan hasil akhir asam amino (Sutardi, 1997).

Hasil fermentasi anaerobik karbohidrat dalam rumen menghasilkan gas hidrogen (H2) yang digunakan untuk sintesis VFA. Produksi H2 yang berlebih, dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas metana. Senyawa H2

merupakan produk akhir dari protozoa, fungi dan bakteri, tidak terakumulasi di dalam rumen karena langsung dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk membentuk gas metana (Moss et al., 2000). Pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reaksi sebagai berikut:

CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O

Gas metana kemudian dikeluarkan oleh hewan ruminansia pada saat bersendawa (Madigan et al., 2003).

2.3 Probiotik BIOS K2

Probiotik digunakan dalam pakan bertujuan untuk membuat keseimbangan mikroba yang bermanfaat dalam proses degradasi komponen zat gizi di dalam rumen. Probiotik yang digunakan pada penelitian ini ialah BIOS K2. Probiotik ini

15

merupakan salah satu suplemen yang diproduksi oleh BATAN, mengandung mikroba jenis khamir (Saccharomyces cerevisiae) dari cairan rumen kerbau. BIOS K2 dibuat dalam bentuk cair atau diimobilisasi dalam bahan pembawa, dimana substrat yang digunakan adalah molases dengan jumlah sel khamir 108 sel/mL dan bahan pembawa yang biasa digunakan adalah dedak dengan jumlah sel khamir 108 sel/g (Sugoro, 2010).

Gambar 6. Probiotik BIOS K2 (Dok. Pribadi 2016)

2.4 RUSITEC

RUSITEC adalah salah satu pengujian menggunakan metode continous-culture untuk mengevaluasi pengaruh pakan terhadap proses fermentasi rumen.

Kelebihan RUSITEC adalah dapat digunakan untuk mengetahui gambaran dinamika proses fermentasi dalam periode yang panjang (beberapa minggu).

Metode RUSITEC juga dipilih untuk mengevaluasi beberapa informasi penting sebelum melakukan riset secara in vivo (Garcia et al., 2010). Teknik ini berfungsi untuk mengetahui efek perlakuan pakan terhadap fermentasi rumen. Parameter yang dapat diteliti adalah fermentasi rumen, kecernakan pakan dan produksi gas (Wahyono et al., 2012). Dalam RUSITEC, sampel pakan berada dalam kantong nilon yang diganti setiap 24 jam dan hal ini memungkinkan pengujian kecernakan,

16

fermentatif dan parameter mikroba dalam waktu yang sama (Czerkawski &

Breckenridge, 1997).

Evaluasi pakan secara in vitro dengan menggunakan alat Rumen Simulation Technique (RUSITEC) telah dikembangkan oleh Kajikawa et al., (2003). Alat ini dapat digunakan untuk mengukur beberapa parameter yaitu hasil fermentasi (pH, amonia, total volatile fatty acid/TVFA, biomasa mikroba, gas CH4) dan degradasi pakan (bahan kering dan bahan organik).

Sistem RUSITEC dilengkapi dengan 8x800 mLvessel yang digunakan untuk inkubasi dengan kapasitas dua sampel pakan didalam kantong nilon selama 24 jam. Waktu inkubasi ditentukan sedemikian rupa untuk mengatur efisiensi fermentasi selama 24 jam. Khusus pada hari pertama dilakukan inkubasi padatan rumen sebagai inokulan untuk proses fermentasi selama 8 hari (Kajikawa et al., 2003). Vessel sebagai fermentor diisi dengan 400 mL cairan rumen dan 400 mL saliva buatan.

Gambar 7. Diagam Sistematika RUSITEC.

17 Keterangan:

A Motor

B Batang penghubung pemutar rotor C Papan penggerak feed container

D Batang penghubung feed container dengan papan penggerak

E Waterbath

F Vessel untuk fermentasi

G Feed container

H Penahan samping vessel

I Penahan atas vessel

J Selang outlet effluent K Botol penampung effluent

L Kantong penampung gas

M Selang inlet saliva buatan

N Peristaltic pump

O Penampung saliva buatan

P Heater

Q Lubang kontrol effluent.

1A dan 1C Tanpa tampilan botol penampung effluent dan kantong penampung gas

1B Tanpa tampilan penampung saliva buatan dan peristaltic pump (Kajikawa et al., 2003)

Menurut Bhatta et al., (2006) faktor utama uji RUSITEC adalah kestabilan pH selama running yang mempengaruhi produksi mikroba, VFA dan gas.

Pengkondisian pH untuk meningkatkan aktivitas bakteri mungkin adalah salah satu metode untuk mengoptimalkan produksi VFA, menurunkan CH4 dan meningkatkan performa ternak.

18 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Mei 2016 di Laboratorium Pengujian Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jalan Lebak Bulus Pasar Jumat Jakarta Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah perlatan gelas, sentrifus, cawan porselen, pompa vakum, seperangkat alat destilasi, mesin RUSITEC, desikator (Phyrex), kantong nilon ukuran pori-pori 50µ, microtube, yellowtube, pH meter (Hanna Istrumens), oven (Fisher Isotemp Oven), neraca analitik (Satrorius), tanur (Heraeus), tabung effluent (Scott DURAN), cawan conway (Phyrex) dan grinder (Fritsch Standard Funnel V2A 14304).

Bahan-bahan yang digunakan adalah tanaman sorghum, cairan rumen domba, residu isi rumen domba, saliva buatan (larutan Mc Dougall), EDTA (Merck), probiotik BIOS K2, NaOH (Merck), H2SO4 (Merck), HCl (Merck), K2CO3 (Merck), CuSO4 (Merck), buffer pH (Agilent Technologies) dan gas CO2.

3.3 Prosedur Percobaan 3.3.1 Pembuatan Pakan

Pakan yang dibuat pada penelitian ini sebanyak 3 jenis, yaitu pakan A (hijauan sorghum), pakan B (silase sorghum) dan pakan C (silase sorghum+BIOS K2). Pembuatan pakan A dilakukan dengan cara hijauan sorghum sebanyak 50 Kg

19

dipotong-potong, kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105oC.

Setelah itu pakan A disimpan di dalam drum dengan volume 50 L pada suhu kamar (±25oC). Pembuatan pakan B dilakukan dengan cara hijauan sorghum sebanyak 50 Kg dipotong-potong, kemudian dimasukkan ke dalam drum pembuatan silase (Silo) dengan volume 50 L. Drum di tutup rapat hingga kondisinya kedap udara. Proses pembuatan silase akan berlangsung selama 21 hari.

Pembuatan pakan C dilakukan dengan cara hijauan sorghum dipotong-potong, kemudian dimasukkan ke dalam drum pembuatan silase (Silo) dengan volume 50 L. Selanjutnya, ke dalam silo ditambahkan 500 mL probiotik BIOS K2 yang sudah diencerkan dengan aquades (20 g dan molases 1%). Drum di tutup rapat hingga kondisinya kedap udara. Proses pembuatan silase akan berlangsung selama 21 hari.

Setelah 21 hari, masing-masing sampel pakan A, B dan C dikeringkan menggunakan oven 105oC kemudian dihaluskan menggunakan grinder hingga didapatkan serbuk. Selanjutnya sampel pakan ditimbang sebanyak 15 g dan dimasukkan kedalam kantong nilon, dan disimpan pada suhu 60oC. Hal ini dipersiapkan untuk pengujian RUSITEC.

Uji proksimat dilakukan terhadap pakan meliputi setiap perlakuan. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kualitas awal pakan yang akan digunakan. Uji ini meliputi pengukuran bahan kering (BK), bahan organik (BO), serat kasar (SK), protein kasar (PK), dan lemak kasar (LK) yang dianalisis di Laboratorium Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB).

20 3.3.2 Prosedur Penentuan Uji Proksimat

3.3.2.1 Penentuan Bahan Kering (BK) (Metode AOAC 2005)

Disiapkan cawan yang sebelumnya telah dipanaskan ± 1 jam pada oven 105 C dinginkan dalam desikator, kemudian di timbang berat cawan kosong (X).

Setelah itu, di timbang pakan A (hay sorghum), pakan B (silase sorghum), dan pakan C (silase+BIOS K2) ± 5 g (Y) kemudian letakkan ke dalam cawan.

Selanjutnya masukkan cawan ke dalam oven 105˚C selama ± 4-6 jam (hingga tercapai bobot tetap). Angkat kemudian dinginkan dalam desikator, timbang dan catat beratnya. Ulangi tahap berikut sampai diketahui berat stabilnya (Z).

%BK = ( )

( ) x 100%

Keterangan:

X : Bobot cawan kosong (g) Y : Bobot sampel (g)

Z : Bobot akhir (g)

3.3.2.2 Penentuan Bahan Organik (BO) (Metode AOAC 2005)

Disiapkan cawan yang sebelumnya telah dipanaskan pada tanur 400-600˚C, dinginkan dalam desikator kemudian timbang dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator selama 1 jam ditimbang. Sampel pakan A, B, dan C yang telah di oven (c) kemudian di tanur dengan suhu 600˚C selama 4 jam.

Setelah itu, sampel pakan dimasukkan ke dalam desikator selama 1 jam lalu ditimbang (d).

Penentuan bahan kering (%BK), berat abu (%BA) dan bahan organik (%BO) diketahui dengan rumus sebagai berikut:

21

% BA = ( )

( ) 100%

%BO = %BK - %BA Keterangan:

a : Bobot cawan kosong (g) c : Bobot yang telah di oven (g) d : Bobot akhir (g)

3.3.2.3 Penentuan Serat Kasar (Metode AOAC 2005)

Sampel pakan A, B, dan C masing-masing dimasukkan ke dalam labu refluks sebanyak 1 g (X). Kemudian sampel ditambahkan 50 mL H2SO4 0,3 N dan didihkan selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan 5 mL NaOH 1,5 N dan didihkan kembali selama menit. Kemudian disiapkan kertas saring yang telah dipanaskan dalam oven 105̊C selama 1 jam kemudian ditimbang (a). Lalu saring cairan menggunakan kertas saring di atas ke dalam corong Buchner, penyaringan tersebut dilakukan dengan labu penghisap yang dihubungkan dengan pompa vakum. Setelah itu, cuci bertutur-turut menggunaakn 50 mL air panas, 50 mL H2SO4 0,3 N, 50 mL air panas dan 25 mL aseton. Kemudian masukkan kertas saring beserta isinya ke dalam cawan porselen, lalu keringkan dengan oven 105̊C selama 1 jam, angkat dan dinginkan dalam eksikator kemudian timbang (Y).

Setelah itu masukkan kembali cawan kedalam tanur, angkat dan dinginkan kemudian timbang (Z). Penentuan serat kasar ini dapat dihitung dengan rumus :

% Serat Kasar = 100%

Keterangan:

a : Bobot kertas saring (g) Y : Bobot yang telah di oven (g) Z : Bobot akhir setelah di tanur (g)

22

3.3.2.4 Penentuan Lemak Kasar (Metode AOAC 2005)

Disiapkan labu penyari dengan batu didih di dalamnya yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105-110 C dan didinginkan dalam eksikator.

Selanjutnya timbang berat labu penyari (a), timbang sampel pakan A, B, dan C ditimbang sebanyak ± 1 g (x), kemudian sampel dibungkus menggunakan kertas saring. Setelah itu, sampel pakan dimasukkan ke dalam soklet, dieksraksi dengan petroleum eter selama 6 jam. Sampel di oven kembali sampai bobot tetap dan ditimbang (b). Penentuan lemak kasar dapat dihitung dengan rumus :

%Lemak Kasar = 100%

Keterangan:

a : Bobot labu penyari (g) x : Bobot sampel (g) b : Bobot akhir (g)

3.3.2.5 Penentuan Protein Kasar (Metode AOAC 2005)

Sampel pakan A, B, dan C ditimbang sebanyak 0,3 g ditambahkan 1,5 g katalis selenium mixture, selanjutnya dimasukkan kedalam labu Kjeldahl 20 mL H2SO4 lalu sampel didestruksi sampai warna larutan menjadi hijau-kekuningan jernih, setelah itu dinginkan selama 15 menit. Kemudian ditambahkan 300 mL aquadest dan dinginkan kembali. Setelah itu ditambahkan 100 mL NaOH (teknis), kemudian lakukan destilasi tampung hasil destilasi dengan 10 mL H2SO4

0,1 N yang ditambah 3 tetes indikator campuran methylen blue dan methylen red.

Lakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu biru kehijauan. Selanjutnya tetapkan penetapan blanko, pipet 10 mL H2SO4 0,1 N dan ditambah 2 tetes indikator PP selanjutnya titrasi dengan NaOH 0,1 N.

23

%Protein Kasar = ( ) ,

( ) 100%

3.3.3 Pengujian RUSITEC (Kajikawa et al. 2003)

Optimalisasi alat RUSITEC dilakukan tanpa sampel pakan, hal ini bertujuan untuk mengecek kinerja alat agar seluruh komponen bekerja optimal, mulai dari pompa peristaltik, vessel, sampai dengan heater. Optimalisasi alat dilakukan dengan running RUSITEC tanpa menginkubasi sampel dan menggunakan akuades sebagai simulasi cairan rumen serta saliva buatan. Adapun tahapannya adalah water bath diisi dengan akuades sampai vessel terendam.

Kemudian jirigen penampung saliva buatan diisi dengan akuades. Selanjutnya jirigen, selang dan peristaltic pump dirangkai secara berurutan. Masing-masing vessel diisi dengan akuades sampai penuh kemudian dimasukkan dalam water bath. Selang dari peristaltic pump disambungkan ke masing-masing tube inlet vessel kemudian sambungkan selang dari tube outlet vessel pada botol penampung akuades untuk mengoptimalkan laju flow rate saliva buatan antara 25 – 30 mL/jam. Optimalisasi dilakukan selama 1x24 jam untuk mengoptimalkan kondisi laju flow rate saliva buatan dan menginvestigasi jika ada gangguan pada rangkaian alat RUSITEC.

Inkubasi Sampel, persiapan media berupa cairan rumen harus dipersiapkan terlebih dahulu. Cairan rumen yang digunakan berasal dari domba dan disaring menggunakan empat lapis kain kasa kemudian dipisahkan antara padatan serta cairan. Sebanyak 75 g padatan rumen dimasukan dalam kantong nilon untuk ditempatkan pada bagian bawah container dalam masing-masing vessel. Total

Inkubasi Sampel, persiapan media berupa cairan rumen harus dipersiapkan terlebih dahulu. Cairan rumen yang digunakan berasal dari domba dan disaring menggunakan empat lapis kain kasa kemudian dipisahkan antara padatan serta cairan. Sebanyak 75 g padatan rumen dimasukan dalam kantong nilon untuk ditempatkan pada bagian bawah container dalam masing-masing vessel. Total

Dokumen terkait