• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FORMAT POLITIK ORDE BARU

3. Birokrasi Sipil yang Terkendali

Rezim Orde Baru yang bertekad menciptakan stabilitas politik bagi kelangsungan pembangunan ekonomi pada awalnya akan tersandung persoalan bagaimana membuat program-program pemerintah secara efektif dapat diterapkan di seluruh wilayah negara tanpa diselewengkan oleh birokrasinya. Agar pemerintahan rezim Orde Baru itu dapat berfungsi, yaitu mampu menjalankan program-program pembangunan ekonomi dan menciptakan stabilitas politik diperlukan sebuah birokrasi yang efektif dan tanggap.

Orde Baru bertekad untuk menggunakan birokrasi negara sebagai primum mobile atau penggerak utama dari program pembangunannya.68

Akan tetapi, birokrasi yang mereka warisi dari rezim sukarno sangat besar, tidak efektif, bergaji terlalu rendah, serta sangat terpolitisir. Bahkan birokrasi itu merupakan arena bagi para politisi partai untuk berebut pengaruh.

Aparat birokrasi terpolarisasi secara tajam dalam kutub-kutub ideologi dan golongan. Posisi strategis dalam jajaran birokrasi telah dimanfaatkan oleh partai-partai politik untuk kepentingan politik golongan masing-masing. Implikasi yang mengikuti fenomena ini adalah terdapatnya loyalitas ganda pada aparat birokrasi.

Birokrasi menjadi alat pembangunan yang penting, tidak saja untuk tujuan teknis membantu formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan tetapi juga untuk tujuan politik, yaitu menjaga stabilitas kekuasaan Negara secara internal dan melakukan penguasaan terhadap masyarakat secara eksternal.

68 Mohtar Mas’oed, “Restrukturisasi Masyarakat Oleh Pemerintah Orde Baru di Indonesia”, dalam Prisma, (Jakarta : LP3ES, 1989) hal. 20

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Di satu sisi mereka loyal kepada pemerintah, di sisi lain mereka dituntut loyalitasnya kepada partai politik yang diwakilinya, atau yang telah menempatkannya dalam jajaran birokrasi.69

Tindakan pertama itu menghasilkan sentralisasi seluruh proses pembuatan kebijakan pemerintah. Pemerintah pusat menyiapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai acuan semua kebijaksanaan pemerintah dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang direvisi setiap lima tahun. Mekanisme untuk melaksanakan Repelita adalah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan, yang merinci kebijakan yang hendak dilakukan pemerintah. Semua ini kemudian mendorong sentralisasi sistem mobilisasi dan alokasi sumber-sumber daya negara. Pemerintah pusat menerapkan mekanisme itu

Bagi rezim Orde Baru pembaharuan birokrasi yang ada menjadi hal yang penting untuk mewujudkan obsesi rezim ini. Pembaharuan birokrasi harus diarahkan pada: pertama, mengalihkan wewenang pemerintahan ke tingkat birokrasi yang lebih tinggi atau dengan kata lain pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintah; kedua, membuat birokrasi agar tanggap dan efektif terhadap kehendak para pemimpin di pusat; dan ketiga, memperluas wewenang pemerintahan rezim Orde Baru dan mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

69 Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan struktural, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 91-92

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

dengan begitu ketat sehingga tidak ada ruang gerak yang tersisa bagi pemerintah daerah untuk melakukan manuver.70

Dimasukkannya militer sebagai birokrasi pemerintahan semakin memperkuat posisi pemerintah dalam membuat kebijakan baik teknis maupun politik untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. Dalam hal kebijakan

Strategi kedua menyebabkan banyaknya perwira militer dan teknokrat sipil yang masuk ke departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan.

Rezim Orde Baru memerlukan birokrasi yang mampu menjalankan perubahan.

Jalan pintas ke arah itu adalah dengan menempatkan teknokrat dan perwira militer yang reformis, yang dapat diawasi dan dikendalikan oleh pemimpin tertinggi, pada jabatan-jabatan birokrasi. Sebagian besar departemen dan badan-badan pemerintahan dikepalai oleh perwira militer atau teknokrat sipil. Begitu juga posisi-posisi Inspektur Jenderal, Sekretaris Jenderal, dan direktur Jenderal.

Beberapa pos yang tidak penting diberikan kepada politisi partai.

Langkah ketiga menggerakkan proses penempatan orang-orang yang ditunjuk oleh pemerintah pusat pada jabatan-jabatan pemerintahan daerah sebagai gubernur atau bupati. Dan yang paling banyak mendapatkan kepercayaan pemerintah pusat adalah perwira-perwira militer. Tradisi menunjuk militer sebagai kepala daerah berimplikasi juga pada kepemimpinan pada aras desa. Kepala desa banyak diangkat dari bintara-bintara yang memilki penugasan di sekitar wilayah desa tersebut.

70 Mohtar Mas’oed, op., cit., hal. 22

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

politik, menurut sistem politik birokrasi pada masa orde baru mempunyai sifat ; 1) proses pengambilan keputusan politik hampir sepenuhnya berada pada pejabat pemerintah, termasuk di dalamnya militer yang mendominasi 2) lembaga politik yang dominan adalah birokrasi, sedangkan lembaga politik lainnya adalah parlemen, partai politik dan kelompok kepentingan (interest group) tidak mampu mengontrol kekuasaan birokrasi 3) massa di luar birokrasi secara politik dalam keadaan pasif.71

Selain dari langkah-langkah ini, rezim Orde Baru juga mengupayakan penciptaan jarak antara partai politik dan birokrasi. Rezim ini memandang keterlibatan partai politik dalam birokrasi akan mengganggu bahkan dapat menghambat tugas pelayanan birokrasi dan kepentingan pemerintah pusat.

Birokrasi yang bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan hanya dapat berjalan dengan lancar jika mereka dijauhkan dari politik, dalam artian bebas dari kerjasama ataupun ikatan simbiosa dengan partai politik.

72

Untuk menciptakan jarak ini, rezim Orde Barumengambil langkah dengan mengeluarkan Permendagri No. 12 tahun 1969 atau yang lebih dikenal dengan Permen 12. keluarnya Permen 12 tersebut dimaksudkan untuk menjauhkan pegawai negeri (Birokrasi) dari jangkauan partai-partai politik. Di dalam Permen 12 tersebut disebutkan, bahwa anggota departemen hanya boleh memberikan legalitas kepada negara dan bangsa, bahkan melarang warga departemen untuk masuk partai politik.

71 Eep Saefulloh Fattah, op.cit., hal 134

72 Lihat, Syamsuddin Haris, ”Pola dan Kecendrungan Konflik Partai Masa Orde Baru”, dalam Analisis,(Jakarta : CSIS, 1985) hal. 257

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Sebagai implementasinya, Mendagri (yang pada saat itu dijabat oleh Amir Machmud) mengeluarkan surat edaran yang berisikan formulir Korps Karyawan Pemerintah dalam Negeri (Kokarmendagri). Tujuan Kokarmendagri adalah agar pegawai negeri menanggalkan keanggotaan kepartaian atatupun keormasannya dan menjadi anggota Kokarmendagri. Menteri Dalam Negeri secara tegas mengatakan bahwa barang siapa yang tidak melepaskan keanggotaannya dalam partai politik lebih baik keluar dari pegawai negeri.73

Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan PP No. 6 tahun 1970, yang melarang semua pegawai negeri termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai dan menuntut adanya loyalitas tunggal (monoloyalitas) terhadap pemerintah. Tidak lama kemudian, langkah ini diikuti dengan keluarnya Keppres No. 82 tahun 1971, sebgai pelaksana dari TAP MPRS No. XLI/MPRS/1968 yang menyatakan bahwa salah satu tugas pokok Kabinet Pembangunan adalah menertibkan aparatur negara (birokrasi). Keppres ini menetapkan pembentukan Korps Pegawai republik Indonesia (KORPRI) sebagi satu-satunya wadah organisasi bagi pegawai negeri. Langkah ini juga dimaksudkan untuk mengeliminir kesetiaan para pegawai negeri pada partai politik dan membina kesetian tunggal pada pemerintah.74

Oleh sebab itu pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami kecenderungan inefisiensi,

Mekanisme ini jelas bermaksud mengendalikan birokrasi agar kuat dan terkendali sesuai dengan keinginan rezim.

73 Daniel Dhakidae, dalam M. Amien Rais (Pengantar), Demokrasi dan Proses Poltik (Jakarta : LP3ES, 1986 ) hal. 195

74 Moertopo, op.,cit., hal 174

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat rezim mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monolitik.

Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.75

Ada kecenderungan beberapa aspek negatif sebagai dampak dari keberpihakkan birokrasi dalam politik di Indonesia. Pertama, terjadi keterpasungan pegawai birokrasi dalam kehidupan politik, khususnya akibat yang menimpanya jika memilih partai selain Golkar. Saat itu, jika ada pegawai birorkasi yang memilih atau menjadi pengurus partai non-Golkar, harus keluar dari jajaran birokrasi. Kedua, keberpihakan birokrasi pada Golkar telah membawa ketakutan terhadap sebagian anggota birokrasi yang tergabung dalam KORPRI, khususnya saat kampanye. Pegawai birokrasi tak lagi berani mengenakan seragam KORPRI dan PSH (Pakaian Seragam Harian) saat kampanye berlangsung, karena hanya akan menjadi sasaran ketidakpuasan simpatisan partai non-Golkar atas praktik keberpihakan birokrasi itu. Kenyataan seperti itu hampir terjadi di semua daerah.76

75 Priyo Budi Santoso, op., cit., hal. 94

76 Mohtar Mas’oed, Ekonomi,... .op., cit., hal. 180

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Ketiga, keberpihakkan birorkasi pada Golkar lebih mengakibatkan ancaman-ancaman struktural ketimbang fungsional. Contohnya, seorang pegawai tak akan pernah naik pangkat secara lancar jika disinyalir tidak memilih Golkar.

Akibatnya, karier organisatorisnya lebih didasarkan pada kepentingan politik (Golkar) ketimbang profesionalisme kerja.

Keempat, kecenderungan pelayanan birokrasi yang diskriminatif, baik dalam aspek administratif maupun pembangunan. Sudah bisa ditebak saat itu, jika suatu daerah tidak bisa memenangkan Golkar, jangan berharap daerah tersebut mampu dan diperioritaskan untuk dibangun sarana dan prasana fisiknya dengan lancar. Bahkan permohonan pembangunan fisik seperti pengaspalan jalan, pembuatan jembatan dan penyediaan fasilitas listrik, tidak akan tercapai jika Golkar kalah di tempat itu. Dalam pengurusan surat-surat administratif, berlaku hal yang sama. Jika mereka Golkar, maka akan dengan lancar mengurusnya, tetapi jika bukan, jangan terlalu berharap atau perlu menambahkan “uang pelicin”.

Kondisi ini nyata dalam pengurusan persoalan perizinan, pembuatan akte dan KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Kelima, keberpihakkan birorkasi pada salah satu partai politik memperlemah profesionalisme organisasi pemerintahan. Dengan demikian keasyikan birokrasi bermain dalam politik, pada suatu titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien dan amoral

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Dokumen terkait