• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

1. Partai Politik Dalam Konfigurasi Politik Rezim Orde Baru 111

2.2. Kebijakan Politik Fusi dan Perkembangan PPP

Dinamika internal PPP hampir sama dengan yang dialami oleh PDI.

Perbedaannya hanya terletak pada rentang waktu terjadinya konflik. Strategi dan campur tangan pemerintah tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh PDI.

Namun demikian, karena kinerja kepemimpinan PPP di bawah Ismail Hasan Metareum dianggap kondusif, PPP tidak banyak mengalami intervensi,

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

penggarapan dari dalam, ataupun dikacaukan oleh pihak eksternal (pemerintah).

Akan tetapi, itu tidak berarti partai hasil fusi Partai Islam ini bebas dari intervensi pemerintah dan militer.

Pascafusi 1973, tipologi unsur PPP, menurut Deliar Noer, ada dua, yaitu (1) kelompok modernis yang secara longgar ada pada Muslimin Indonesia (MI) atau Parmusi dan Syarikat Islam (SI) atau PSII; dan (2) kelompok tradisionalis yang relatif ada pada NU dan Perti. Fusi ini telah memakan banyak korban, setelah sebelumnya SI dan MI digarap lebih dahulu karena tipe kepemimpinan mereka yang dianggap “radikal”. Parmusi yang muncul pada 1968 sebagai metamorfosis dari Masyumi telah mengalami perubahan-perubahan dengan kcputusan presiden. Penggarapan dari dalam ini menunjukkan bahwa ideologi Islam masih dianggap sebagai ancaman oleh Orde Baru sehingga mereka tidak menginginkan kembalinya tokoh-tokoh tua Masyumi dalam gelanggang politik.

Nasib yang sama juga dialami oleh SI sebelum fusi dengan digarapnya kepemimpinannya, dengan alasan menentang pemerintah. Kelompok yang sebagian propemerintah inilah yang membidani fusi partai Islam ke PPP140

Unsur yang memimpin PPP sebagai hasil fusi dari partai aliran Islam ini setidaknya menurut tipologi Deliar Noer, yaitu H.M.S. Mintaredja sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat, K.H. Idham Chalid sebagai Presiden Partai, K.H.

Masykur sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat, dan K.H. Bisri Sjamsuri

140 Lihat Syamsuddin Haris, Op.,cit., hal. 10

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

selaku Rois ‘Aam Majelis Syuro. Kepengurusan ini tidak berubah meskipun PPP telah melakukan Munas pada 6-8 November 1975.

Baru saja fusi dilakukan pada 1973, PPP sudah dianggap membuat ulah, terutama menyangkut RUU Perkawinan yang diajukan oleh pihak pemerintah pada tahun itu. Alasan utama penolakan itu adalah secara prinsipil RUU itu bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun F-PP hanya berjumlah 94 orang (dari 460 anggota DPR), mereka berhasil menggagalkan RUU tersebut karena didukung oleh tokoh-tokoh Islam di luar partai, didukung pula oleh organisasi pelajar, mahasiswa, pemuda, dan massa Islam. Ketegangan antara pemerintah dengan PPP mereda pada 1974 hingga 1975 setelah munculnya Peristiwa Malari 1974. Mengenai Kasus Malari, Ali Moertopo sempat menuduh bahwa peristiwa itu ada kaitannya dengan tokoh PSI dan Masyumi, tetapi dibantah oleh Syafruddin Prawiranegara.141

Dalam Pemilu 1977, muncul penolakan dari Mendagri Amirmachmud tentang lambang Ka’bah yang tetap digunakan oleh PPP. Sekjen Departemen Agama, Kolonel Bahrum Rangkuti, juga menolaknya. Akan tetapi, PPP tetap Untuk menghindari konflik, terutama yang berasal dari unsur yang membentuknya, PPP hanya bergantung pada “Konsensus 75”. Konsensus ini mencerminkan bahwa struktur kepemimpinan di PPP diusahakan untuk dapat menampung seluruh unsur yang ada secara proporsional berdasarkan patokan hasil Pemilu 1971.

141 Syamsuddin Haris, Ibid., hal. 11

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

mempertahankan identitas Islam melalui simbol Ka’bah.142

Pertentangan kepentingan ideologis ini sering menjadi ancaman bagi para aktivis partai politik, termasuk PPP Pasca-Pemilu 1977, kekecewaan mulai muncul dan NU, terutama mengenai komposisi jatah kursi di DPR. Waktu itu, PPP memperoleh jatah 13 kursi untuk komisi DPR, lebih kecil jika dibandingkan dengan 100 anggota DPR yang diangkat dari ABRI. Jatah kursi ini lalu dibagi berdasarkan rasio NU:MI:SI:Perti=7:4:1:1. Di samping itu, NU juga mendapat jatah Komisi I, VII, dan VIII. Jatah Ketua Komisi VII dipinjamkan kepada MI, dengan catatan harus dikembalikan.

Campur tangan dalam masalah ideologi ini sering dilakukan baik oleh pihak Depdagri maupun pejabat militer yang menduduki jabatan di pemerintahan. Unsur utamanya adalah persoalan perombakan struktur ideologi, mentalitas, dan perilaku partai politik.

143

Pasca-Pemilu 1977, dan pada pelaksanaan SU MPR 1978, PPP kembali membuat ulah ketika berlangsung pembahasan mengenai Rantap MPR tentang

Ternyata pada 1980, MI bersikeras tidak mau mengembalikan, akhirnya dilakukan voting, tetapi MI dibantu oleh F-ABRI dan F-KP sehingga NU kalah.

Kasus ini semakin mengecewakan NU dan tanda-tanda konflik antar unsur sudah mulai terlihat di tubuh PPP. Konflik ini semakin menajam ketika beberapa orang dari unsur NU ikut menandatangani Petisi 50 dan Soedardji dari MI mengatakan mengancam 17 rekannya yang ikut menanyakan kepada Presiden perihal pernyataan keprihatinan Petisi 50.

142 Syamsuddin Haris, Ibid., hal. 12

143 Syamsuddin Haris, Ibid.,hal. 19

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

4 dan dimasukkannya aliran kepercayaan dalam GBHN. Kesan tidak utuhnya unsur-unsur di PPP mulai tampak dalam kasus ini. Perbedaannya terletak pada taktik dan strategi masing-masing, meskipun mereka semuanya menolak rantap dan GBHN tersebut. Unsur MI menginginkan F-PP tetap ikut voting meskipun kalah, sementara SI mengusulkan agar abstain saja, sedangkan NU bersikeras menolak voting dan memilih walk out dari ruang sidang.

Mengenai sikap PPP ini, Presiden Soeharto sempat berang dan mulai menjaga jarak dengan PPP terutama unsur dari NU. Akibat sikap ini, kader NU yang masih dilibatkan dalam Kabinet Pembangunan I yang memegang jabatan menteri, pada Kabinet Pembangunan II tergusur dan hanya ada dua orang menteri yang berasal dan non-Golkar, yaitu H.M.S. Miritaredja (Parmusi) dan Sunawar Sukowati dan PNI. Kekecewaan unsur NU semakin terlihat karena semasa Orde Lama, biasanya posisi Menteri Agama selalu berasal dan NU. Tampaknya, pemerintah Orde Baru lebih suka memilih dari kelompok lain dan setelah Pemilu 1982, kebanyakan dipilih dan unsur MI (Muhammadiyah).

Perseteruan antar unsur ini semakin memuncak pada 1980 berkaitan dengan pengesahan UU Pemilu. PPP tampak tidak kompak, unsur NU menganggap pemilu tidak akan luber bila partai politik tidak diikutsertakan dalam kepanitiaan atau Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Sementara itu, unsur MI, SI, dan Perti dapat menerima RUU Pemilu yang diajukan oleh pemerintah.

Untuk melakukan kekacauan pada PPP munculnya fenomena John Naro atau Jaelani Naro, yang sering disebut sebagai kader yang bukan berasal dari

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

unsur fusi PPP tetapi lebih sebagai kader bebas. Bahkan ada pula yang mengatakan, dia berasal dan unsur pemerintah, seperti Soerjadi yang masuk ke PDI. John Naro akhirnya tampil sebagai Ketua Umum PPP dalam Munas PPP ke-3. Pasca-Pemilu 1982, Naro membuat persoalan dengan cara menyusun Daftar Calon Sementara PPP tanpa sepengetahuan anggota DPP yang lain, terutama dari kalangan NU. Hasilnya, banyak tokoh NU yang vokal hanya dijadikan nomor pajangan, sementara yang moderat justru menduduki urutan awal. NU, yang merasa dirugikan, kemudian mengajukan protes ke LPU, tetapi ditolak.144

Akibat konflik ini posisi NU semakin terpinggirkan di PPP. Apalagi setelah NU didera oleh konflik panjang sejak 1982 karena Idham Chalid diminta mundur oleh para ulama dalam pertemuan sepuluh ulama di Surabaya pada 1 Mei 1982, yang dihadiri banyak kubu. Pada 1984, ketika Munas NU di Situbondo, NU kembali ke khittah 1926 dan lepas dan PPP Dengan jelas diketahui bahwa kubu

Setahun kemudian, 1983, konflik kembali muncul antara kubu Idham Chalid (NU) dengan J. Naro. Kubu Idham menuntut agar Naro menegakkan prinsip musyawarah dalam partai. Tuntutan ini muncul berkaitan dengan ulah Naro yang melakukan perubahan susunan DPP tanpa sepengetahuan presiden partai dan anggota DPP lainnya. Perseteruan ini kian berbuntut menjelang pelaksanaan Muktamar I pada 1984. Kubu Idham Chalid, yang tidak puas atas panitia muktamar yang dibentuk oleh Naro, kemudian membentuk panitia tandingan.

144 Abdul Azis Thaba, op., cit.,hal. 75

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

ulama yang menentang kepemimpinan Idham Chalid mendapat restu dan pemerintah. Inilah faktor yang agak meredakan konflik di tubuh NU.

Setelah keluar dan PPP, pada Pemilu 1987 – setelah didahului oleh keinginan pemerintah untuk menerapkan asas tunggal Pancasila pada 1984-1985 – NU kembali mengejutkan berbagai pihak dengan menyatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. NU menerima pemberlakuan asas tunggal Pancasila dari pemerintah dalam Munas di Situbondo 18-21 Desember 1984.

Sementana itu, di tubuh PPP muncul pendebatan sengit tentang diberlakukannya asas tunggal ini terutama berkaitan dengan tanda gambar PPP. Kubu Soedardji menginginkan perubahan tanda gambar apabila PPP menerima asas tunggal, sementana kubu Naro menganggap tanda gambar merupakan hasil keputusan Muktamar. Tekanan ideologisasi ini bagi PPP merupakan tekanan berat, apalagi mendekati pelaksanaan Pemilu 1987. Bagaimanapun, Islam merupakan simbol dan strategi PPP untuk memperoleh suara dalam pemilu.

Isu tanda gambar ini akhirnya memperuncing konflik di PPP Kubu Soedardji yang menginginkan digantinya tanda gambar Ka’bah menyusun kekuatan hingga berjumlah 18 (disebut Kelompok 18) dan membentuk DPP tandingan dengan Syah Manaf sebagai Ketua Umum dan Syarifuddin Harahap sebagai Sekjen. Untuk memperkuat kelompoknya, kubu Soedardji melakukan perubahan susunan pemimpin F-PP secara sepihak.

Dari konflik yang masih belum tuntas inilah PPP menyongsong Pemilu 1987. Saat itu, NU melakukan berbagai penggembosan dengan memfatwakan

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

bahwa umat Islam tidak harus mencoblos PPP, tetapi bisa Golkar, ataupun PDI.

Setelah selesai Pemilu 1987, Naro kembali mengajukan DCS PPP dengan menggeser kelompok Soedardji dari daftar. Sementara itu, kubu Soedardji membuat daftar lain dan ditolak oleh Mendagri, persis kasus yang pernah dialami oleh Idham Chalid pada 1982.145

“….kalau sampai Majelis harus bertannya kepada saya, siapa yang akan saya pilih diantara kedua calon itu. Apa jawaban saya? Secara rasional harus saya jawab, ‘saya sudah lama mengenal Sudharmono, lebih lama mengenal Sudharmono daripada mengenal Naro’. Dengan begitu tentunya saya juga akan lebih percaya kepada Dharmono daripada kepada Naro”

Setahun kemudian, pada pelaksanaan SU MPR 1988, PPP kembaIi membuat kejutan dengan mencalonkan Naro sebagai wakil presiden bersaing dengan Sudharmono dari Golkar dan ABRI. Tentang ini, banyak tekanan yang dialami oleh PPP hingga akhirnya Naro mengundurkan diri sebagai calon wapres.

Menjelang muktamar II PPP, Presiden soeharto menjelaskan :

146

Tentang hal ini, para penentang Naro, seperu Aisyah Amini dan Hartono Mardjono, menyatakan bahwa pemerintah telah “memutuskan” berakhirnya riwayat Naro di PPP. Menjelang Muktamar PPP, intervensi pemerintah sudah mulai muncul di beberapa daerah terhadap Naro. Lagu lama mengintervensi partai dilakukan kembali oleh pejabat pemerintah, ABRI, dan yang lainnya. Meskipun dengan cara tidak mengintervensi secara langsung, tetapi tersembunyi, yang sebelumnya dinyatakan bahwa pemerintah tidak menyukai formatur tunggal,

145 Abdul Azis Thaba, ibid., hal. 77

146 Soeharto, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Otobiografi sebagaimana dituturkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH. (Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1989) hal. 543

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

merupakan sinyal untuk menggusur Naro dari PPP. Dalam Muktamar II PPP berhasil dipilih tujuh orang formatur yaitu Ismail Hasan Metareum, J. Naro, Kadir Abbas, Karmani, Imam Sofyan, Sulaiman Fadely, dan Muchsin Bafadhal. Ketujuh orang ini yang dibebani tugas untuk menyusun pengurus DPP PPP.

Bahkan di luar dan di dalam formatur sendiri, muncul isu intervensi dari pemerintah yang memberikan restu kepada Mahdi Tjokroaminoto – mulailah terlihat simpang siurnya kerja formatur yang sebelumnya telah didahului oleh keinginan setiap unsur untuk mengajukan calonnya masing-masing. Naro sendiri kehilangan kepercayaan dari keenam formatur lainnya. Kelompok MI (Ismail Hasan Metareum, Kadir Abbas, dan Muchsin Bafadhal) mengajukan Hartono, sementara unsur dan NU (Karmani, Imam Sofyan, dan Sulaiman Fadely) mencalonkan Karmani.

Seperti halnya kasus yang pernah menimpa PDI, jalan yang ditempuh adalah melakukan konsultasi dengan Mendagri. Setelah mereka melakukan konsultasi, Mendagri membantah merestui calon tertentu. Akan tetapi, dalam kesempatan lain, ketua formatur, Imam Sofyan, menemui Mendagri Rudini dan pihak pemerintah menginginkan Yusuf Anwar Gofar sebagai ketua umum, namun ditolak. Alasannya, dia merupakan orang yang setia kepada Naro. Akhirnya, Imam Sofyan mengusulkan tokoh yang dianggap moderat dan dapat diterima oleh siapa saja, yaitu Ismail Hasan Metareum sebagai Ketua Umum PPP.

Dari kasus ini tampak bahwa budaya politik partai masih sangat terhegemoni oleh kekuasan negara, dan menganggap legitimasi politik selalu

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

harus “direstui” oleh pemerintah. Bahkan muncul kecenderungan umum, apabila seorang ketua organisasi partai ataupun organisasi kemasyarakatan telah memilih pemimpinnya dan belum diterima oleh presiden, berarti belum mendapat legitimasi dari pemerintah – seperti yang pernah menimpa Gus Dur, yang tidak diterima oleh Presiden Soeharto, ketika terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah setelah Mukt amar NU di Cipasung.

Fenomena ini menarik karena getaran kekuasaan Orde Baru telah benar-benar merasuk ke dalam setiap budaya politik elit, baik yang ada di partai politik maupun di lembaga legislatif, yudikatif, ataupun eksekutif. Jalur utama budaya politik itu ternyata bersifat tunggal dan ditentukan oleh satu orang, yaitu Soeharto.

Dengan demikian, betapapun demokrasi diberikan untuk memilih seorang ketua seperti tecermin dalam kasus PPP, hasil akhirnya masih bergantung kepada presiden sebagai mandataris MPR. Dengan demikian, demokrasi yang diterapkan adalah “semu” karena seorang pemimpin partai politik tidak dapat leluasa memiliki kekuasaannya, meskipun ia telah terpilih melalui mekanisme pemilihan menurut AD/ART-nya. Kasus ini hampir sama dengan yang dialami oleh Megawati, yang akhirnya tergusur dan disingkirkan dari struktur kepemimpinan PDI.

Dari kasus yang dialami oleh PPP dan PDI, dapat ditarik benang merah.

Pertama, bahwa betapapun seseorang didukung dari bawah menjadi ketua partai, apabila ia dianggap “membahayakan” penguasa, dengan cara apa pun ia akan digusur. Kedua, negara memiliki segala sumber penentu akhir dari setiap proses

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

politik yang dijalankan oleh partai politik. Dengan kata lain, hegemoni kekuasaan negara, terutama Presiden Soeharto dengan segala jajarannya, tidak dapat diganggu gugat.

Akibat dari hal ini partai politik pascafusi mengalami konflik internal. Ada tiga macam asumsi atas gejala konflik internal tersebut. Pertama, konflik itu diciptakan oleh pihak luar, terutama dari unsur penguasa, sebab dinilai “orang”

yang akan mendudukinya tidak dapat diatur dan membahayakan penguasa. Kedua, konflik itu memang dipelihara dengan tujuan agar tidak ada partai politik yang solid dalam membangun kekuatannya yang akhirnya dapat menandingi kekuatan Golkar. Ketiga, tujuan lainnya adalah agar Golkar menjadi single majority, yang akhirnya memuluskan segala sandiwara politik agar status quo tetap terpelihara.

Dokumen terkait