• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FORMAT POLITIK ORDE BARU

4. Politik Kepartaian yang Disederhanakan

4.2 Fusi Partai-Partai Politik

98 Mas’oed, ibid., hal. 165

4.2. Fusi Partai – Partai Politik

Konstelasi awal Orde Baru ini juga diantisipasi oleh para pemimpin Islam, dengan menyiapkan langkah-langkah yang memungkinkan politik Islam memainkan peran yang signifikan dalam rezim Orde Baru. Hal ini membuat para pemimpin Islam memandang bahwa pada saat itu mereka mempunyai kesempatan baik untuk memainkan peran politik yang bertujuan mencapai cita-cita Islam.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Sejumlah bekas pemimpin masyumi dan ormas pendukungnya mencita-citakan terbentuknya wadah politik yang dapat menampung aspirasi politik simpatisan Masyumi, yang sejak 1960 kehilangan wadah politiknya. Khususnya karena mereka juga sehaluan dengan pemerintah Orde baru dan di dalam gerakan penghujatan Orde Lama sehingga muncullah tuntutan rehabilitasi Masyumi.

Dalam rangka itu pada tanggal 16 Desember 1965 dibentuk Badan Koordinasi Muslimin (BKM) yang terdiri dari 16 organisasi Islam. Mereka melakukan upaya-upaya ke pemerintah dan mengeluarkan pernyataan tentang perlunya rehabilitasi Masyumi.99

99 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta : Gema Insani Pers, 1996), hal 146

Bersamaan dengan itu, muncul juga usaha mendirikan partai Islam Baru yang lain, yakni PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) yang diprakarsai oleh Mohammad Hatta dan Deliar Noer. Dalam rangka itu maka pada tanggal 11 januari 1967, Hatta mengirimkan surat kepada Soeharto tentang keinginan untuk mendirikan PDII tersebut. Malah pemerintah menyarankan agar bergabung dengan Amal Muslimin.

Dalam hubungan ini, angkatan darat tentu saja menyadari peranan dan jasa golongan Islam dalam gerakan penumbangan Rezim Sukarno,tetapi di sisi lain, para petinggi angkatan darat kala itu tidak menyukai dan bahkan merasa perlu mewaspadai stetiap usaha maupun setiap kondisi yang dapat mengakibatkan semakin meningkatnya pamor politik Islam.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Soeharto dan para petinggi militer Orde Baru tidak bersemangat terhadap kemungkinan rehabilitasi Masyumi. Belum hilang dari ingatan ABRI bagaimana beberapa unsur asyumi terlibat kegiatan DI/TII dan PRRI/Permesta. Oleh karena itu, dalam surat jawaban atas suart yang dikirim oleh Prawoto Mangkusasmito (bekas Ketua Masyumi ketika Masyumi dibubarkan oleh sukarno) tertanggal 27 Desember 1967, Soeharto dengan tegas menolak tuntutan rehabilitasi Masyumi dengan alasan : “yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis”. Namun, setelah melalui usaha yang gigih para pemimpin dan ormas simpatisannya, pemerintah akhirnya bersedia memberikan konsesi dengan berbagai persyaratan.100

100 Abdul Azis Thaba, Ibid, hal. 246

Akhirnya, pada 20 Februari 1968, dengan Surat Keputusan Presiden No.

70/1968, disahkanlah berdirinya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), setelah sebelumnya, 5 Februari, sempat dikecewakan dengan batalnya rencana pengesahan menyusul desakan dari para panglima angkatan bersenjata dan terutama pemimpin angkatan darat kepada Soeharto untuk tidak melegalisasi Parmusi sebagai Masyumi baru.

Meskipun pemerintah mengijinkan berdirinya Parmusi, tetapi mencegah orang-orang Masyumi yang menonjol dari pusat sampai ke daerah-daerah duduk dalam kepengurusan Parmusi. Karena itu, ketika dalam kongres yang pertama Parmusi tanggal 4-7 Noember 1968 di Malang, jawa Timur, yang telah memilih Mohamad Roem sebagai Ketuanya, pemerintah tetap tidak merestuinya, walaupun Mohamad Roem tidak terlibat dalam kesalahan Masyumi di masa lalu.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Pemerintah melalui Opsus-nya masih merasa perlu untuk memporak-porandakan susunan personalia pengurus Parmusi guna mendapatkan pemimpin yang benar-benar pro-pemerintah. Upaya itu dimulai dengan meniptakan kekisruhan yang diciptakan oleh H.J. Naro and Imron Kadir yang membentuk suatu badan eksekuti tandingan pada 17 Oktober sehingga pemerintah punya alasan untuk mendorong calon “hasil kompromi”, yakni H.M.S. Mintaredja, tokoh akomodatif dari Muhammadiyah yang dikenal amat loyal terhadap pemerintah menjadi Ketua Umum.101

Itulah awal keterlibatan rezim dalam mengintervensi suatu kekuatan politik. Sejak itu, hampir tidak ada partai yang sepenuhnya independen dan berdaulat. Setiap calon pimpinan sebuah partai, memerlukan “restu” atau persetujuan penguasa. Intervensi kekuasaan, baik terang-terangan maupun secara terselubung melalui operasi intelejen (Opsus), selalu membayangi setiap partai

Nasib yang sama seperti Parmusi, perubahan kepemimpinan juga dilami PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), akibat para pemimpin PSII terkenal keras dan bersifat kritis terhadap ide-ide pemerintah. Sikap semacam ini melahirkan peristiwa pembajakan pimpinan PSII oleh sekelompok pimpinan lainnya seperti Anwar Tjokroaminoto dan Syarifuddin Harahap. Lalu dengan resep dari pemerintah, mereka mendirikan DPP tandingan yang diketuai oleh Anwar Tjokroaminoto yang direstui oleh pemerintah.

101 Abdul Azis Thaba, ibid., hal. 247

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

dan gerakan politik manapun juga demi menjaga “stabilitas nasional” untuk kelangsungan pembangunan.

Sedangkan dalam tubuh NU yang mengalami pergolakan internal, terutama antara K.H Idham Chalid dan K.H. Bisri Sjansuri dengan Subchan ZE, tokoh muda NU yang menginginkan pembaharuan, tampaknya pemerintah tidak berniat turut campur tangan.102

Operasi yang dikerjakan Opsus ini memaksa PNI untuk menyelenggarakan kongres partai pada 24-27 April 1966. Surat-surat kuasa untuk memasuki ruang sidang diperiksa ketat oleh tentara dan dengan berbagai alasan beberapa tokoh yang yang dikenal berada di haluan ‘keras’ dSan sangat Sukarnois dilarang Hal ini dapat menjadi jawaban atas keberhasilan NU meraih 18,6 persen suara dalam Pemilu 1971 atau meningkat 2 persen pada Pemilu 1955, sedangkan Parmusi yang dianggap sebagai penerus masyumi mendapatkan 7,3 persen, PSII 2,3 persen dan Perti 0,47 persen.

Partai politik yang juga dianggap sebagai penghambat kemenangan rezim Orde Baru dalam pemilu adalah partai nasionalis terbesar PNI yang dikenal dekat dengan Sukarno. Orde Baru mengkhawatirkan akan kembalinya Sukarno dan dengan kekuatan massanya seperti pada Pemilu 1955 akan menggangu proyek besar yang akan dibangun Orde Baru. Oleh sebab itu Opsus juga menjadikan PNI sebagai target untuk menjamin keberhasilan rencana rezim untuk memenangi Pemilu.

102 Lihat, Choirul Unam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul Ulama, (Solo:

Jatayu, 1986) hal 28-29

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

masuk. Sebagai hasilnya, kongres ini berhasil menyingkirkan para pemimpin lama yang mempunyai pengaruh di masyarakat dan setia kepada Sukarno.

Kepemimpinan yang tadinya dipegang oleh Ali Sastroamidjojo-Surachman digantikan oleh Osa Malii-Usep Ranawidjaya karena campur tangan militer. Pertarungan antara kubu Ali-Surachman dengan Osa-Usep pada kongres berlangsung dalam suasana penuh kecurigaan. Aparat keamanan dari Kodam Siliwangi ikut campur tangan dan mengamankan njalannya sidang. Keuntungan tampaknya berada pada kelompok Osa-Usep yang didukung oleh pihak militer dan KAMI Bandung.103

Derita PNI tampanya masih terus terjadi. PNI mendapat perlakuan tertentu oleh Orde Baru, termasuk mencabut kembali gelar “Bapak Marhaenisme” yang pernah diberikan kepada Sukarno guna menjawab tantangan kekuatan Orde Baru yang belum percaya akan sikap PNI.

Pengarapan ini nampanya masih terusdilakukan. Diawali oleh dibekukannya PNI di seluruh Sumatera oleh Panglima daerah Militer, hingga, pada tahun 1967 Pangdam Brawijaya melumpuhkan PNI di Jawa timur yang merupakan pendukung terbesar PNI dan Sukarno. Banyak cabang-cabang PNI ditutup, pelarangan penyelengaraan rapat-rapat terbuka oleh PNI dan beberapa ormasnya dibekukan.

104

103 Paulus Widiyanto, “Osa maliki dan Tragedi PNI Konflik Intern Pra dan Pasca-1965”, dalam Prisma, Edisi Khusus 20 Tahun Prisma 1971-1991, (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 30-31

104 Paulus Widiyanto, Ibid., hal. 36

Lebih-lebih adanya keinginan agar PNI agar mencabut gelar “Bapak Marhaenisme” yang pernah diberikan kepada Sukarno sebagai wujud keseriusan PNI menerimaOrde Baru.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Tekanan-tekanan ini akhirnya ditanggapi oleh PNI dengan mengeluarkan pernyataan kebulatan tekad PNI bahwa PNI dengan segenap organisasi massanya akan tetap menjauhkan diri dari sikap kultus individu terhadap siapapun, termasuk terhadap Sukarno pada 20 Desember 1967. ini sekaligus menunjukkan sikap PNI yang disertai pencabutan gelar “Bapak Marhaenisme” oleh DPP PNI beserta organisasi massanya. Surat pernyataan ini disampaikan oleh Osa Maliki, Mh.

Isnaeni, dan Gede Djaksa kepada penjabat presiden, Soeharto, yang ditangapi positif dengan penilaian bahwa PNI mampu meletakkan kembali landasan-landasaan bidang ideologi dan politik yang sesuai dengan semangat dan tekad Orde Baru.105

Dalam kongres PNI XII di Semarang, terlihat sangat jelas campur tangan Opsus pada saat kongres berlangsung. Campur tangan ini merupakan strategi besar untuk mempengaruhi PNI di masa ang akan datang.apalagi, ada kemiripan pemikiran antara Opsus dan pemikiran hadisubeno yang diibaratkan sebagai dua aliran sungai yang bertemu di muara yang sama. Strategi besar itu adalah pengamanan Pancasila dan UUD 1945 sehingga campur tangan itu, dalam batas-batas tertentu, dapat diterima oleh anggota Kongres PNI di Semarang. Akhirnya, kubu Hadisubeno terpilih sebgai Ketua Umum PNI dan Abdul madjid sebagai sekjendnya. Inilah tragedi awal bagi PNI setelah pemerintahan Orde Baru terbentuk; mulai munculnya campur tangan militer terhadap PNI.106

105 Paulus Widiyanto, Ibid., hal. 36-37

106 Paulus Widiyanto, Ibid., hal. 38-39

Oleh sebab itu terselenggaranya Pemilu 1971 PNI hanya mampu memperoleh 6,94 persen

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

suara yang jauh dari kondisi Pemilu 1955, dimana PNI berhasil memperoleh 22,3 persen suara.

Model dan pola intervensi pemerintah terhadap partai politik di luar garis Sekber Golkar ini, selanjutnya, dijadikan cara untuk melumpuhkan beberapa partai politik yang dianggap berbahaya bagi pemerintah. Dalam sejumlah kebijakan politik, rezim Orde Baru melakukan reorganisasi dan refungsionalisasi, baik pada tingkat suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksanannya pembangunan ekonomi.

Dengan demikian Rezim Orde Baru telah dapat memiliki akses yang baik terhadap pengaturan dan arah kebijakan partai politik. Pada tanggal 27 Februari 1970, Presiden Soeharto bertemu dengan para pemimpin partai politik untuk membicarakan rencana pemerintah mengurangi jumlah partai politik dengan mengelompokkanya menjadi dua kelompok.107

Jalan mulus melakukan ini juga oleh strategi pemerintah tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR. Dari 460 anggota DPR yang diproyeksikan dalam

Pertemuan tersebut menghasilkan pembentukan dua kelompok koalisi dalam DPR pada bulan Maret 1970, yaitu kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Khatolik; dan Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti. Dengan demikian, suatu pola telah ditetapkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian lebih lanjut.

107 Moertopo, Op.,cit., hal. 74-76

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

undang-undang Pemilu dan Susunan dan Kedudukan DPR-MPR yang disahkan pada 1969, 100 orang diangkat oleh Presiden untuk wakil angkatan darat. MPR, yang mencakup keseluruhan 460 anggota DPR, juga mengandung 207 anggota yang ditunjuk Presiden (sepertiga dari keseluruhan), dan 253 anggota tambahan mewakili daerah, (dan dipilih oleh DPRD) serta kelompok lain yang oleh Presiden dianggap tidak diwakili di DPR.108

Akan tetapi, bagi kalangan partai politik, cara ini dianggap melemahkan posisi mereka karena dengan menghimpun partai yang berbeda dalam satu wadah akan timbul perpecahan di dalam partai baru ini.

Dengan demikian, Golkar telah benar-benar menjadi kekuatan mayoritas dalam kekuasaan sehingga dorongan untuk melakukan restrukturisasi politik oleh pemerintah sebagai upaya mengontrol partai politik dapat berjalan dengan sempurna.

109 Akan tetapi, dorongan fusi bagi kalangan partai Islam dianggap merupakan momentum untuk menyatukan barisan. Semangat ini tercermin dari ditandatanganinya Deklarasi Pembentukan PPP pada 5 Januari 1973 oleh K.H. Idham Chalid dan K.H. Masykur dari NU, H.M.S. Mintaredja dari Parmusi, Anwar Tjokroaminoto dari PSII, dan Rusli Halil dari Perti.110

108 William Liddle, op.,cit., hal. 79.

109 Suryadinata, op.,cit., hal. 79

110 Syamsuddin Haris, Op.,cit., hal. 10

Gagasan yang sama dilakukan oleh para tokoh Parkindo dan Partai Katolik yang secara sukarela akan melakukan fusi, meskipun pernah mengancam tidak bersedia melakukannya setelah dimasukkan ke dalam kategori material-spiritual, tetapi lebih memilih bergabung dalam kelompok nasionalis-materialis, atau bergabung ke PDI.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Rupanya ”penggarapan” terhadap parpol, baik yang dilakukan oleh militer maupun unsur pemerintah lainnya, bertujuan memuluskan gagasan restrukturisasi politik. Buktinya, kedua parpol yang ”digarap”, yaitu Parmusi dan PSII, akhirnya ikut menandatangani fusi PPP. Tampaknya, ukuran bagi seorang pemimpin partai adalah sikap politiknya terhadap pemerintah. Pemerintah lebih suka pemimpin parpol yang akomodatif sekaligus pragmatis dan menolak yang ”radikal”.

Goyangan terhadap PNI pada 1966 dan sepanjang masa sulit parpol, 1965-1971, merupakan langkah mulus bagi pemerintah untuk menggarap parpol dan mencari komitmen loyalitas terhadap gagasan pembaruan dan restrukturisasi politik yang dilakukan. Setelah dihempas kanan-kiri, digarap dengan berbagai tuntutan untuk bergabung, kehadiran partai politik secara formal dilakukan oleh PPP dan PDI pada 1973. Tepatnya pada Januari 1973, pemerintah berhasil mengelompokkan kembali (merestrukturisasi) sembilan partai politik yang ada menjadi dua partai

”baru”, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pada 5 Januari 1973 dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), pada 10 Januari 1973. Pengelompokkan ini sesuai dengan divisi di DPR yang diperkenalkan pada febuari 1968. Waktu itu, PDI berhimpun dalam kelompok Demokrasi Pembangunan, sementara PPP berhimpun dalam kelompok Persatuan Pembangunan.111

Sistem ini dipelihara pemerintah melalui berbagai cara pengendalian. Satu diantaranya adalah mekanisme recall, dengan mana pimpinan partai dapat mengenakan tindakan disipliner terhadap para anggotanya di parlemen kapan saja

111 Syamsuddin Haris, op., cit., hal. 25

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

atas kehendak pemerintah. Cara lain adalah pengendalian dalam seleksi kepemimpinan. Ini termasuk persyaratan bahwa anggota yang ingin memegang posisi pimpinan harus memperoleh ‘persetujuan’ dari pemerintah.

Cara yang juga efektif adalah pendekatan pemerintah dalam kongres-kongres partai guna mencegah agar pimpinan yang tidak bisa kerja sama dengan pemerintah tidak menjadi pimpinan partai. Metode lainnya lagi adalah mencegah partai agar tidak merekrut anggota dari kalangan pegawai negeri. Dan akhirnya pemerintah juga mencegah agar partai tidak mengorganisasikan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan partai di daerah pedesaan, atau di luar ibukota kabupaten, kecuali selama kampanye pemilihan umum yang dilakukan sekali dalam lima tahun.112

Selanjutnya, setelah partai politik tuntas melakukan fusi pada 1973 ke dalam PPP dan PDI, setahun kemudian, tepatnya pada 6 Desember 1974, RUU Partai Politik dan Golkar diajukan ke parlemen oleh Presiden. Rumusan RUU ini dianggap bertentangan dengan kepentingan partai politik. Pegawai negeri boleh menjadi anggota parpol (dan Golkar) dengan izin tertulis dari atasannya (Pasal 7, ayat 2). Parpol dan Golkar hanya dapat mendirikan cabangnya di tingkat kecamatan atau di atas tingkat desa (Pasal 9, ayat 10. Pengawasan atas UU Parpol dan Golkar hanya akan dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri atas instruksi presiden (Pasal 12), sementara presiden memiliki kekuasaan untuk membubarkan partai politik dan Golkar (Pasal 13). PPP dan PDI keberatan atas pasal-pasal ini.

112 Syamsuddin Haris, ibid., 28

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Akhirnya, terjadi kompromi bahwa pegawai negeri boleh menjadi anggota parpol dan Golkar dengan sepengetahuan atasannya, meski beberapa pegawai negeri tertentu masih memerlukan izin atasannya, meski beberapa pegawai negeri tertentu masih memerlukan izin atasannya. Pasal-pasal ini dianggap menguntungkan Golkar dan merugikan PPP dan PDI.113

Kerugian yang diderita oleh PPP dan PDI tidak hanya berkaitan dengan persoalan UU politik, tetapi juga dengan munculnya konflik internal partai yang memperlihatkan kecenderungan campur tangan negara di dalamnya. Gejala perpindahan konflik dari antarpartai ke intern partai disebabkan oleh persoalan fusi yang masih belum tuntas atau peleburan antar unsur di PPP dan PDI yang secara ideologis dan kepentingan memang berbeda. Umumnya, PPP dan PDI mengalami konflik sebagai akibat dari (1) persoalan ideologis; (2) persoalan kalangan posisi dan sumber kekuasaan dalam kepengurusan partai politik; dan (3) alienasi politik.114 Umumnya, campur tangan negara muncul pada sumber konflik pertama dan kedua. Namun, tentang waktu konflik yang dialami oleh PPP dan PDI relatif berbeda. Sejak digantikannya H.J.Naro oleh Ismail Hasan Metareum pada Muktamar II, konflik di PPP boleh dikatakan agak mereda, terkendali.

Sedangkan konflik dalam PDI masih berlangsung, yakni antara kubu Soerjadi dengan ”kelompok 17”, yang kemudian hingga 1996 antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati.

113 Suryadinata, Op.,cit., hal. 80-83

114 Syamsuddin Haris, Op., cit., hal. 171-178

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Dokumen terkait