• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FORMAT POLITIK ORDE BARU

2. Lembaga Kepresidenan yang Kuat

Setiap pemimpin yang baru saja memperoleh kekuasaan pasti menghadapi persoalan bagaimana untuk tetap berkuasa. Apapun tujuan jangka panjang yang hendak dicapai oleh seorang pemimpin, menciptakan masyarakat adil dan makmur, misalnya, tujuan jangka pendeknya pasti memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan yang cukup besar dan efektif, tujuan tersebut tidak akan pernah tercapai. Karena itu setiap rezime akan berupaya untuk memperkut posisi kekuasaannya sehingga ia bisa melakukan perubahan dalam masyarakat.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Hal pertama yang dilakukan pendukung Orde Baru adalah menampilkan citra baik tentang kepribadian pemimpin. Upaya ini dilakukan terutama untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa pemimpin baru merupakan jelmaan dari figur yang diimpi-impikan rakyat. Ali Moertopo, seorang arsitek Orde Baru, berhasil mengerjakan ini dengan baik ketika ia mengusulkan sebutan “Bapak Pembangunan” bagi Presiden Soeharto.61

Salah satu kondisi yang membuat Jendral Soeharto mampu membina kekuasaannya telah disiapkan ketika ia berhasil mempengaruhi Presiden Sukarno agar memberikan wewenang kepadanya untuk “memulihkan keamanan dan ketertiban” setelah kondisi september 1965. setelah terjadi tawar-menawar yang tampaknya cukup sengit, Sukarnno mengangkatnya sebagai Panglima dari suatu unit yang secara khusus dibentuk untuk itu, yaitu Kopkamtib.

Selain citra pemimpin, untuk memperkuat posisi kekuasaannya pemimpin Orde Baru melembagakan lembaga-lembaga politik dan pemerintahanyang dicirikan dengan menguatnya kantor (lembaga) kepresidenan. Pelembagaan ini bisa berjalan dengan baik karena Soeharto memiliki dua kemampuan istimewa.

Pertama, kemampuan memanfaatkan kekuasaan darurat yang diperoleh dari Presiden Sukarno, dan kedua, kemampuan untuk membina sumber keuangan untuk melanggengkan kekuasaannya.

62

61 Mohtar Mas’oed, “Lembaga Kepresidenan dan Resep Pengendalian Politik di Indonesia”, dalam Risa Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hal. 97

62 Mohtar Mas’oed, Ekonomi...,Op.cit, hal 176

Kondisi yang lebih penting diciptakan Jenderal Soeharto adalah ketika ia – sekali lagi, setelah

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

tawar-meawar yang sengit – memperoleh Surat Perintah yang nyaris dikeramatkan, pada tanggal 11 Maret 1966 dari Presiden sukarno; suatu surat yang memindahkan kekuasaan negara secara de facto kepada Jendral Soeharto.

Setelah memperoleh kekuasaan darurat yang luar biasa itu, Jenderal Soeharto mampu menghadapi lawan-lawannya dari posisi yang sangat menguntungkan.

Setelah keadaan darurat ini selesai, mulailah Soeharto membina sumber keuangan, terutama ketika ia secara resmi menjadi Presiden Indonesia yang kedua. Dari sinilah soeharto membangun lembaga kepresidenan yang sangat kuat dalam era kepemimpinanya.

Bila dibandingkan dengan lembaga kepresidenan lain yang ada di dunia ini, lembaga kepresidenan Orde Baru merupakan lembaga kepresidenan yang sangat kuat. Lembaga kepresidenan di Indonesia sangat kuat, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, lembaga kepresidenan mampu mengontrol political recruitment dan ini merupakan resource politik yang sangat strategis.63

63 E. Shobirin Nadj. (ed.), Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik, dan Masalah Integrasi Nasional: Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2003) hal. 11

Meskipun menurut Undang-Undang dasar 1945 lembaga ini mempunyai kedudukan yang sama dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Mahkama Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan, namun dalam kenyataannya lembaga kepreasidenan mempunyai kekuasaan untuk mengisi jabatan dalam lembaga tinggi negara tersebut.

Pengangkatan Ketua MA dan Hakim Agung adalah melalui lembaga kepresidenan. Hal yang sama juga terjadi di lembaga DPA dan BPK.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Yang lebih menarik lagi, dari 500 orang anggota DPR, tidak kurang dari 100 orang anggota dewan tersebut diangkat oleh Presiden. Kenyataan seperti ini mempunyai makna strategis yang sangat vital dalam proses pemeliharaan kekuasaan. Ada tiga dimensi yang sangat penting yang berkaitan dengan hal di atas, yaitu mekanisme rekruitmen politik seperti itu dapat merupakan political resources dari presiden yang sangat terutama, pertama, untuk menyediakan political reward bagi sejumlah orang yang telah banyak membantu pemerintah, kedua, hal ini sekaligus untuk memobilisir dukungan untuk presiden sendiri, dan ketiga adalah untuk mengangkat orang-orang yang betul dapat menjamin kerjasama dan loyal terhadap presiden.

Alasan kedua lembaga Kepresidenan Indonesia demikian kuat dalam perpolitikan adalah karena Presiden memiliki kekuasaan keuangan (financial and budgetary power) yang sangat kuat, sehingga dengan demikian lembaga kepresidenan mempunyai sumber daya keuangan yang sangat besar. Kekuasaan keuangan ini dapat diperoleh melalui proses budgeting yang ada. Hampir semua masyarakat di Indonesia mengetahui bahwa dalam praktek anggaran keuangan di Indonesia peranan lembaga kepresidenan sangat sentral, sementara lembaga perwakilan rakyat (DPR) belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan.64

Kekuasaan keuangan sangat sentral yang dimilki oleh Presiden diwujudkan juga dalam bentuk sejumlah implementasi pembangunan yang melalui proyek BANPRES dan INPRES. Dua proyek ini secara politis sangat

64 E. Shobirin Nadj. Ibid., hal. 15

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

strategis untuk memperkuat lembaga kepresidenan. Program Banpres (Bantuan Presiden) dengan dikendalikan langsung oleh Presiden merupakan suatu program non-APBN yang penting dengan tujuan meningkatkan pengaruh pemerintah di kalangan rakyat, terutama dikalangan rakyat yang secara potensial dapat menjadi pembangkang.65

65 Mohtar Mas’oed, “lembaga....op., cit., hal. 99

Misalnya, program ini dipakai untuk mencari dukungan-dukungan dari umat islam dengan membangun banyak mesjid dan bantuan untuk sekolah-sekolah Islam selama kampanye pemilihan umum 1971. Banpres juga digunakan untuk memberikan sumbangan kepada partai politik, berupa mobil, alat-alat kantor, dan lain sebagainya. Pada prakteknya, program ini dapat digunakan untuk kegiatan apa saja yang dipandang perlu untuk mencari legitimasi bagi pemerintah.

Secara umum ada dua cara yang dilakukan lembaga kepresidenan untuk membina basis sumber dana, yaitu pertama, pemungutan “sumbangan”; kedua, pengendalian atas pengeluaran pemerintah untuk program khusus. BUMN Pertamina adalah sumber pungutan yang terbesar, terutama karena pada saat Soeharto “naik tahta” serdang terjadi booming harga minyak. Untuk waktu yang lama, perusahaan ini begitu otonom sehingga tidak pernah membuat laporan tentang kegiatan bisnisnya kepada Menteri Pertambangan ataupun Menteri Keuangan. Jenderal Soeharto membiarkan Jenderal Ibnu Soetowo (Direktur Utama Pertamina Pada waktu itu) mengelola secara bebas asalkan memberi dukungan keuangan yang besar untuk Orde Baru.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Sumber dana yang lain adalah Badan Urusan Logistik (Bulog). Badan ini didirikan tahun 1966 untuk membeli beras bagi pegawai negeri yang sebagian gajinya berupa beras. Namun, tahun 1969, Presiden menjadikan Bulog sebagai alat untuk stabilitas harga bahan pangan. Sejak saat itu Bulog mengelola berbagai bisnis yang menguntungkan seperti distribusi beras, gula, tepung terigu, monopoli impor gula dan gandum serta bisnis besar lainnya yang menghasilkan miliaran rupiah dalam sekejap.

Lembaga kepresidenan juga memungut dana dari sumber-sumber swasta melalui berbagai sumbangan wajib yang dikelola oleh lembaga kepresidenan.

Lembaga kepresidenan juga memberi hak-hak monopoli kepada sekelompok wiraswasta yang dinilai dapat membantu perjuangan Orde Baru. Lembaga kepresidenan memanfaatkan dana-dana ini terutama untuk program-program yang dirancang untuk membina pendukung di kalangan kekuatan-kekuatan politik non-pemerintah.66

66 Mohtar Mas’oed, Ekonomi, Ibid., hal. 104-106

Salah satu langkah paling penting yang mendorong munculnya Lembaga Kepresidenan yang sangat kuat dilakukan pada pertengahan 1966. Jenderal

Soeharto membentuk Staf Pribadi (Spri), yang dibentuk segera setelah pembentukan Kabinet Ampera, beranggotakan enam orang perwira Angkatan darat dan dua tim penasehat sipil untuk urusan politik dan ekonomi. Spri ini dibebani tugas di berbagai bidang, seperti keuangan, politik, intelijen, urusan pemilihan umum dan lain-lain.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Dalam praktek, selama tahun-tahun awal kepemimpinannya Jenderal Soeharto dalam membuat kebijaksanaan lebih bertumpu pada pada Spri-nya dan sejumlah jenderal-jenderal lain, dan ini berarti merugikan wewenang menteri-menteri kabinetnya.Caranya mencopot fungsi pembuatan keputusan dari kabinet dan tumpuannya yang berlebihan pada Spri. Hal ini menimbulkan kritik yang tajam dari pendukung Orde Baru dan karena hal ini Jenderal Soeharto membubarkan Spri pada bulan juni 1968, namun ia menggantinya dengan membentuk Aspri (Asisten Pribadi) yang diisi oleh mantan fungsionaris Spri. 67

67 Mohtar Mas’oed, Ekonomi... Ibid., hal 178

Pada awal 1974 Aspri dibubarkan oleh Jenderal Soeharto karena dipandang merugikan sebagai akibat dari munculnya demonstrasi-demonstrasi besar selama 1973 dan awal 1974. akhirnya Jenderal Soeharto memaksimalkan Sekretariat Negara sebagi alat untuk mengkoordinasikan fungsi-fungsi kesekretariatan serta menangani tugas-tugas yang lebih bersifat politik.

Dengan demikian di bawah rezim Orde Baru kekuasaan dipusatkan di tangan presiden dengan cara yang meluas dan sistematis, sedangkan lembaga-lembaga negara lainnya dibiarkan lemah dan tergantung pada presiden. Mau tidak mau kenyataan ini memperlemah tonggak-tonggak demokrasi, karena peluang bagi keikutsertaan dan pengaruh rakyat dalam kehidupan politik bangsa sangat dibatasi. Berbagai undang-undang dan peraturan dibuat untuk membatasi kemandirian, partisipasi, dan peran kontrol rakyat terhadap pemerintah.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Praktek kenegaraan dan politik yang dilakukan Orde baru yang mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Orde baru yang pada awal terbentuknya bercita-cita untuk mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah.

Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham Demokrasi Pancasila yang didasarkan cita negara inetgralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan "revolusi", maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan "pembangunan" dan "stabilitas politik". Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Dokumen terkait